Disukai
3
Dilihat
6,586
Titik dan Koma
Romantis

I’m looking forward for it. Yet,

I’m getting bored of it.

“Kamu mau ‘kan?” dia bertanya. “Kenapa harus aku?” Pria itu membalas pertanyaannya.” Karena kamu yang paling cocok, aku sudah memperhatikanmu,” dia lagi.

“Hmm... Kamu yakin? Kamu yakin aku bisa?” Pria itu merubah posisi duduknya dan menyalakan rokok, dia ingin menawarkan teman bicaranya, tapi tidak jadi. Sebuah kesalahan.

“Aku yakin kamu bisa. Aku sudah memperhatikanmu dari dulu, seperti aku telah memperhatikan dirinya.” Dia memperhatikan pria yang kini sedang menghisap rokoknya.(iri?)

“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?” Sebuah pertanyaan bodoh, dia menyesalinya, tapi tidak terlihat, membuang asapnya.

“Hhhh... ‘Kan aku sudah bilang, aku terlalu mustahil bagi dirinya, aku tak mampu berubah, aku berbeda.”

“Selamat ulang tahun!” Pria itu tersenyum lebar, menyodorkan bingkisan mungil yang terbungkus rapi, lengkap dengan pita merah. Berdiri di depan pintu rumah gadis itu, kemeja biru, celana jeans, sepatu coklat. Ia rapi sekali, membuat gadis yang membukakan pintu malu akan piyama yang dipakainya, motif panda, seperti anak kecil. Gadis itu sempat mengira itu pizza pesanannya. Menghibur dirinya yang memang ulang tahun saat itu. Dia sangat terkejut, terharu, ingin menangis. Matanya sudah sangat panas. Gadis itu bingung, terpana.

 “Terimalah, ini untuk kamu. Aku boleh masuk?” Dia membuka sepatunya dan melangkah masuk.

“Ya... ya silakan saja...” Gadis itu menggeser tubuhnya yang kurus, mengizinkan pria itu masuk, masih ingin menangis, ia menundukkan wajah tak berani menatap pria itu.

Pria itu membiarkan dirinya masuk. Ia kagum atas gadis itu, masih muda sudah memiliki rumah sendiri. Rumahnya pun nyaman. Pria itu langsung duduk, di sofa kulit di ruang TV. Tak ada ruang tamu, pria itu menyadari. Sekarang ia merasa simpati.

“Jadi apa yang ingin kamu lakukan malam ini? Tidakkah kamu ingin membuat hari ini spesial? Ulang tahunmu yang ke 29, kau bahagia?”

Gadis itu makin ingin menangis saja. Dia berjalan menuju sofa di depan televisi. Sambil menunduk ia meraih kacamata di meja kecil, persis di samping pria itu mengambil posisi. Dipakainya kacamata itu. Gadis itu mengangkat wajahnya, tersenyum pada pria yang kini telah menyalakan rokok.

“Aku kaget kamu ingat ulang tahunku,” Titik duduk di sebelah Tanya, matanya menatap televisi yang tidak menyala.

“Masak sih saya lupa? Ingin keluar?” 

Titik menatap Tanya. Tanya menunduk, rambutnya yang panjang di bawah telinga menutupi wajahnya. “Aku sedang menunggu pizza, sebentar lagi pasti tiba.” Ditatapnya bingkisan mungil yang kini berada di atas meja.

“Ganti bajumu, aku ingin mengajakmu keluar.”

Titik mengerutkan dahinya, alisnya hampir menyatu, “Hahaha... Kamu kenapa sih? Gak seperti biasanya? Biasanya kamu senang kalau ada makanan, kamu pasti tunggu pizza itu datang, tapi kok? Hei... hei... Tan... Serius banget kamu!” Siku Titik menyolek-nyolek bahu Tanya lembut. Tanya merubah kepalanya, ia menatap gadis itu sekarang. Tiga detik, lima, sepuluh, lama. Gadis itu tertawa (tak tahan ia, sembunyi).

“Aku akan mengabulkan semua permintaanmu. Uang, wanita, ketenaran, apa saja yang kamu inginkan.” Persis setan, atau Tuhan?

“Apa yang membuatmu berpikir aku tertarik dengan itu? Hidupku sudah cukup nyaman, aku punya Petik, aku cukup tenar di kota kecil ini, aku senang dengan pekerjaanku. Hahahaha… Kau persis setan, kau kira aku akan dengan mudah menjual jiwaku padamu ?”

Dia putus asa, “Tolonglah aku, aku hanya ingin kau membantuku, membantu dia, tolonglah, aku tak tahu lagi harus berbuat apa, hanya kau yang paling cocok.”

Pria itu kembali menghisap dalam rokoknya. (makin iri ?)

“Begini, sebutkan satu keinginanmu yang belum tercapai.”

Lima detik, sepuluh detik, lama... Mereka berdua terdiam.

Jantung Titik berdetak sangat cepat, hampir keluar. Titik bangkit, menuju kamarnya di tingkat atas, meninggalkan Tanya yang masih merokok.

Diam-diam Titik sangat bahagia, ternyata ada juga yang memperhatikannya. Ia pakai gaun terbaiknya, gaun satu-satunya, lama tersimpan di lemari. Begitu juga hatinya.

Ia menatap wajah lonjongnya di cermin. Ia terlihat sangat manis, rambut pendeknya ia sisir dengan cepat, ia pasang jepit kecil di kepalanya. Ia terlihat sangat manis. Selop yang jarang ia pakai, ia pakai malam itu. Kembali ia ke cermin, memandangi penampilannya. Gaun hitam yang memperlihatkan bahu indahnya, sepanjang lutut, tak mengganggu jalan Titik yang memang kurang anggun. ‘Hmm...’ Titik menyukai penampilannya. Ia turun. Tanya langsung berdiri, ia terkejut melihat Titik yang begitu manis.

Mobil itu berlalu dengan cepat, menimbulkan suara berisik dan asap knalpot yang tebal. Mereka sempat kesal karena terganggu pembicaraannya.

“Bagaimana? Kau mau?” Dia kembali bertanya. “Aku benar-benar bisa mengabulkan permintaanmu.”

“Kenapa tidak kamu saja yang memohon permintaan. Yah... supaya dia mau melihatmu dengan berbeda. Supaya kamu bisa memilikinya. Kenapa harus aku? Kamu ‘kan bisa memohon untuk berubah?” Ia mematikan rokoknya.

“Kau tak mengerti! Aku tidak bisa berubah. Tak mungkin. Ini sudah jalanku. Takdir.” Ia putus asa. “Aku mohon, tolonglah, aku tak tega, aku begitu jatuh cinta pada dirinya.”

Mereka terdiam.

Titik hanya menatap keluar jendela civic kecil itu. Memandangi lampu-lampu jalan, pendarnya hangat. Tanya konsentrasi menyetir. Mereka sempat menertawakan motor pizza delivery yang berpapasan dengan civic kecil itu.

Diam-diam ia melihat itu semua. Dikejarnya civic kecil itu.

Titik bahagia sekali. Hanya untuk dapat berdua dengan seseorang yang ternyata peduli terhadapnya. Tanya, teman satu kuliah yang kini rekan kerjanya. Bahagia. Tak henti ia bersyukur.

Kafe di tengah kota kecil itu terasa begitu indah suasananya, lampion-lampion yang tergantung berusaha mengalahkan cahaya bulan. Sepi, karena sudah larut. Selain Titik dan Tanya, terdapat sepasang kekasih belasan tahun yang berada di pojok kafe dan seorang pria muda yang sedang merokok dan belum menyentuh cappuccinonya. Pria itu tampak kesepian. ‘Itu bisa saja aku,’ Titik berpikir dalam hati. ‘Tapi tidak lagi, sekarang ada Tanya, ia ternyata ingat ulang tahunku. Ia peduli, paling tidak aku tak kesepian malam ini. Selalu sendiri selama 29 tahun aku hidup. Bosan? Semangat? Menunggu? Menunggu saat ini. Tak pernah ada pria yang peduli padanya selama ini. Tak pernah punya ‘seseorang’. Hampir menyerah.

Titik dan Tanya duduk berhadapan. Titik tak bisa menahan senyum. Ia bahagia sekali. Tahun-tahun yang ia lalui sendirian terhapus oleh malam itu. Tanya seperti menariknya keluar dari lubang gelap yang setiap kegelapannya adalah kesepian.

“Titik, maafkan aku jika telah melupakan ulang tahun-ulang tahunmu yang sebelumnya, 18, 19, 20, 22, 25... Ah, dulu aku memang tidak pernah memperhatikanmu. Tapi sekarang berbeda. Aku tahu kisahmu. Jadi, aku HARUS ingat ulang tahunmu.” Tanya menatap Titik tajam. Titik bingung, ”Hahahaha... Kisahku? Lawakan apa yang coba kau lontarkan ? Aneh kamu, Tan !”

“Bahwa kamu selalu kesepian. Malam-malammu kau habiskan dengan sendirian. Kau selalu kesepian. Tak pernah ada yang memperhatikanmu, mendengarmu, memelukmu, membasuh air matamu. Bahkan aku sekali pun. Untung kamu kuat. Aku kagum, salut atas kesabaranmu,” Tanya meraih tangan Titik, digenggamnya.

Titik melepas genggaman Tanya. “Jadi ini semua karena kamu kasihan sama aku? Kamu datang karena kamu kasihan atas kehidupanku? Terima kasih. Selama ini aku memang dianggap tidak ada oleh semuanya. Aku bisa tahan kok selama bertahun-tahun ini. Kamu tak perlu mengasihani aku. Bagus, Tan, aku heran kenapa kamu bisa bertahan dengan orang yang membosankan dan patut dikasihani seperti aku.” Tanpa sadar Titik telah menangis. Ia meraih tangan Tanya kembali, “Tolong aku, temani aku, malam ini saja. Aku tak peduli alasanmu, aku tak peduli tatapan prihatin yang kau berikan padaku.” Titik berusaha menahan tangisnya, ia tak kuat lagi. Tangis yang ia pendam selama bertahun-tahun sepertinya ingin mengalir semua malam ini, saat ini juga. Tanya tersentuh.

(Akhirnya terkejar juga, tampak olehnya civic putih di parkiran kafe itu. Dia mencoba masuk)

“Kau tak akan bisa memberikan aku apa-apa. Aku juga tidak akan meminta apa pun darimu,” pria itu menyalakan sebatang rokok lagi.

“Percayalah. Aku akan berusaha mewujudkannya. Sebut saja satu permintaan.”

“Hhhh… Apa kau tidak dengar ? SAYA TIDAK AKAN MEMINTA APA PUN DARIMU! Kau telah membuatku sadar. Aku sadar, aku termasuk orang-orang itu. Orang-orang egois yang lupa. Aku akan merubahnya, aku akan melakukannya. Demi dia, demi kau, demi aku. Doakan aku saja supaya berhasil.” Tanya membuang asap rokoknya.

Titik tertunduk, bahunya naik turun tak bersuara. Namun, Tanya tahu gadis itu menangis, Tanya jadi ikut terbawa. Tak lama Titik mengangkat kepalanya, ia sudah tersenyum pada Tanya. Senyum yang paling manis. ’Cantik sekali gadis ini,’ Tanya berpikir, ’Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya? Aku jadi… Tak boleh! Hanya dia yang benar-benar mencintainya, hanya dia yang dengan tulus memperhatikan dan menemani Titik selama ini. Lagipula ada Petik, aku tak boleh melupakannya, aku jadi makin ingin melindungi gadis itu, aku jadi ingin cepat pulang menemuinya. Istriku tercinta, dia pasti sudah tertidur sekarang.’

“Tik, aku bukannya kasihan padamu, aku tulus, jujur aku ingin kamu bahagia. Kamu membuka mataku.” Tanya tak menghiraukan pesanan makanan yang sudah datang. Begitu pun Titik.

(Aku harus mengatakannya, demi dia, demi Titik, demi cinta. Tapi aku hanya mencintai Petik. Tapi aku telah berjanji. Tetap saja Petik yang ada di hatiku. Istriku. Aku tak bisa. Tapi aku harus.)

“Aku cinta kamu, Tik." (Aku telah mengatakannya. Lega? Khawatir? Puas? Lunas.)

Titik mengernyit, kemudian tersenyum. Senyum yang paling manis.

Dia telah masuk kafe itu dan telah melihat semuanya. Tak ada yang membuatnya lebih bahagia daripada melihat orang yang dicintainya tersenyum seperti itu. Pasti Tanya telah melakukannya, Tanya telah mengatakannya.

“Terima kasih, Tan, aku juga sayang padamu. Kau menghapus kesepianku selama bertahun-tahun ini. Kamu juga membuka mataku. Aku tak mau terus seperti ini. Aku akan berusaha. Bila memang aku harus terus sendiri, aku akan merangkulnya. Kamu sayang Petik ‘kan? Kamu bohong, aku tahu kamu hanya cinta Petik. Aku juga tahu kisahmu. Dulu waktu kuliah aku sempat jatuh cinta padamu, kamu pasti tidak tahu, aku perhatikan dirimu. Hanya Petik. Petiklah cintamu, pulanglah padanya.”

“Terima kasih, kamu tak tahu betapa bahagianya diriku, terima kasih, aku percayakan Titik padamu, kalau denganmu aku ikhlas. Titik bahagia. Itu saja.” Matanya yang kecil dan coklat hijau berkaca-kaca.

“Koma, sudahlah, aku sempat tak percaya kau bisa bicara dan mengungkapkan ini semua padaku. Namun, sekarang aku percaya. Cinta itu kuat.”

“Hei...hei... Melamun lagi, mikirin apa sih? Sudah-sudah, mari makan, aku yang traktir. Kamu lupa, aku ulang tahun, 29? Kalau dipikir-pikir sudah matang juga ya ?”

Koma telah ada di dekat mereka, ia sempat tak percaya Titik tak menerima Tanya. Namun, ia makin mengagumi Titik, Koma makin jatuh cinta pada Titik.

“Tan, aku gak sepenuhnya sendiri, ‘kan ada Koma. Kamu lupa ? Ia yang selama ini setia menungguku. Mmmm... Kalau boleh tahu isi bingkisanmu apa ?”

“Kalung untuk Koma.”

Tiba-tiba Koma bersuara, Titik dan Tanya terkejut. “KOMA! Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu mengikutiku?” Titik berhenti makan, ia mengangkat Koma dari lantai. Titik langsung memeluk kucing kesayangannya itu. Ia bahagia sekali malam itu. Koma tak pernah melewatkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama hidupnya. Koma selalu ada untuk Titik. Diam-diam Titik berharap andai Koma manusia, pria yang paling mungkin mencintai dirinya. 

Khayalan konyol.

‘Ting tong’ bel pintu Titik berbunyi. Hari ini ia ulang tahun, yang ke 29. Ia sudah menantikan bel pintu itu. ‘Itu dia, sedikit terlambat, tapi tak apalah...’ Titik merapikan gaun hitamnya, ia terlihat sangat manis. Dibukanya pintu itu, di depannya telah berdiri seorang pria yang memang dinantikannya. Sepatu coklat, celana jeans, kemeja biru, rambutnya yang cepak, matanya yang coklat. Ia tampan sekali.

“Ini untukmu,” dia berkata sambil menyodorkan bingkisan mungil berpita merah. “Wah, terima kasih, Titik menerimanya.”Mari berangkat, Tanya dan Petik mungkin telah menunggu kita di kafe.”

“Ya... ya, sebentar, aku harus memberi makan kucingku.”

Pria itu menatap Titik bingung, “Tik, kau kenapa? Jangan aneh deh, kamu ‘kan tak pernah punya kucing.”

“Hah ? Oh iya. Tapi kenapa aku merasa… Aneh... Ya sudahlah. Koma, mari kita berangkat.” Titik dan Koma bergandengan tangan. Koma berbisik ke telinga Titik,”Tik, aku selalu jatuh cinta padamu.”

Sabtu, 26 Oktober 2002

Jam 2 pagi

Kepada malam-malam itu, telah terlalui dengan sepi. Masih menunggu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@marydice : Wahhh makasihhh banget udah bacaa. Mudah2an terhibur...
Seru ceritanya dimana ada titik pasti ada koma 👏👏
@foggy81 : Ohhh gituu... hehehe. Maacih lohh dah lama nih nulisnya, waktu masih abege2 galau, 20 tahun lalu.
@heyaddie22 maksudnya titik koma Kak 😊
Gerakan keep moving, untuk orang2 yang pernah mengalami fase depresi. Bagus banget tulisannya ❤️
@foggy81 : Semicolon maksudnya?
Salam semicolon ❤️
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi