Disukai
2
Dilihat
6,601
Jatuh
Drama

Saya tidak murni, maka saya terjatuh...

Saya tidak tulus...

Saya tidak mau tidak tulus tidak murni...

Saya ingin murni dan tulus...

Dia berjalan dengan yakin, tegap, dan percaya diri. Bangga atas dirinya, wajahnya cantik, tubuhnya tinggi langsing. Sekali-kalinya ia pernah bangga atas dirinya sendiri adalah saat itu. Saat itu, sesaat sebelum ia terjatuh. 

Ia terjatuh, beberapa orang tersenyum-senyum melihatnya. Beberapa tampak prihatin. Ia bangkit, membersihkan lututnya yang kotor. Mungkin akan sedikit memar...

Dari kecil ia sering terjatuh. Ibunya pernah bercerita, waktu ia berumur 3 tahun, ia pernah terjatuh dari tempat tidur. Memar. Umur 9 tahun terjatuh dari tangga rumahnya yang curam. Seringkali ia terjatuh, sampai tak terhitung. Ibunya bercerita, saat ia kecil ia sudah mandiri, jarang menangis. Yang paling dirinya dan ibunya ingat adalah ketika umurnya 4 tahun ia sakit campak, tangannya yang kecil memegang roti isi meises, gemetaran, menolak tawaran ibunya yang ingin menyuapi mulutnya yang mungil. Si mungil, panggilannya dulu.

Yang paling diingatnya pula, ia berbeda dengan anak-anak kecil lainnya. Ibunya pernah bercerita, tak pernah ia menangis meraung-raung seperti anak-anak lainnya, si mungil menangis tak bersuara, air mata hanya mengalir saja, turun di pipinya yang mungil. 

‘Kenapa ya? Terjatuh? Mungkin karena saya tidak tulus, tidak murni... saya tak mau berpikir begitu...’ pikirnya.

Sekali-kalinya ia optimis dan percaya diri, ia terjatuh. Kualat dia. Ia jadi tambah pesimis. Mungkin ini hukuman. Ia memang pantas dihukum.

Ia takut bahagia. Bahagia sedikit, pasti akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Ingin sekali ia bahagia. Bahagia, optimis, percaya diri, tanpa terjatuh di bagian akhirnya. Saat ini ia berpikir, mungkin dengan menjalani hidup biasa-biasa saja, jangan terlalu senang, rendah diri, ia akan aman. Ia akan jarang terjatuh.

Akhir-akhir ini semua sudah sangat baik bagi dirinya. Ia mencoba menahan semua kekesalan, air mata, kesedihan, kebahagiaan. Semuanya tak ia bawa ke permukaan. Ia sudah berbeda daripada dirinya yang dulu. Dirinya setahun-dua tahun lalu, yang benar-benar menyimpan semua itu tertutup rapat dalam tubuhnya. Ia sudah lebih terbuka. Belajar menulis pengalaman hidupnya kembali. Paling tidak, kadang ia bercerita. Tapi kadang masih menipu dirinya sendiri.

Tak boleh terlalu bahagia, ia berkesimpulan, setelah terjatuh untuk ke sekian kali. Tak boleh terlalu percaya diri, tak berhak, tak pantas. Salahkah? Pesimis, mungkin. Itulah dia. Seorang pesimis, rendah diri, pembohong yang sok kuat. Ia kuat kok! Kuat. Kuat?

Berjalan dia, dengan sisa percaya diri yang makin meredup, setelah terjatuh. ‘Kuat, kamu kuat kok, kuat. Tak pernah tergantung siapa pun. Tak peduli orang kata apa. Terbiasa sendiri. Melakukan semuanya sendirian. Bosan? Kadang. Habis harus bagaimana lagi?’ 

Jadi, ia jalani saja semuanya sendirian. Sampai... ada yang jatuh cinta pada dirinya. Ia tak sadar. Tak tahu. Tak pernah ada sebelumnya. Tak pernah ia jatuh cinta. Tak ingin terlalu bahagia dirinya. Semua sudah sangat baik. Segala suatu yang berlebihan, tak baik akhirnya.

Masih saja ia menipu dirinya. Berhenti ia jatuh cinta. Ia berkesimpulan, itu akan mengacaukan semuanya. Ia akan terlalu bahagia dan mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi. 

Lain halnya dengan orang itu. Orang yang ia pikir tidak akan ada di dunia ini, mungkin di kehidupan selanjutnya, pasti di khayalannya. Orang yang telah jatuh cinta kepadanya. Memperhatikan dan memikirkannya. Tentu saja ia tak tahu. Terkesan tak sensitif. Menjaga, menahan perasaan. Menipu.

Lebih baik belajar mencintai orang yang mencintai dirinya daripada belajar melupakan orang yang tidak mencintai dirinya, namun sangat ia cintai. Dia telah mencintai orang itu, sepenuh hati, memikirkannya setiap hari, dan malam. Tapi ia tahunya orang itu tak cinta dia. Tapi kenyataannya sebaliknya. Rumit. Tak ingin bahagia? Takut terjatuh? Mungkin.

Ia juga tak tahu, diam-diam orang itu menyiapkan sebentuk hadiah bagi dirinya. Diam-diam orang itu menyusun rencana. Tapi orang itu tak tahu, bahwa orang itu tak akan pernah bertemu lagi dengan dirinya. Dan orang itu pun tak tahu kalau ia sudah menyerah, berusaha berhenti mencintai orang itu. Seperti biasa ia tak mau terlalu bahagia, ia menolak jatuh pada akhirnya.

‘Perasaan, penantian. Tak penting. Terus hidup, itu yang penting.’

Ia berjalan, langkahnya dipercepat. Lututnya sedikit nyeri, baru terjatuh.

Di tempat lain, orang itu menunggu kedatangannya. Sengaja orang itu duduk di kursi yang pasti ia lewati.

Dirinya setengah berlari, buru-buru, tak pedulikan nyeri di lututnya. Kini ia telah berada dalam taksi, lalu ia bilang tujuannya. Ia mengecek semua barang bawaannya. Ia tidak lupa tisu gulung kesayangan, ia tidak lupa walkman kesayangan. Ia tidak lupa kaus kaki kesayangan, ia tidak lupa celana jeans kesayangan, ia tidak lupa t-shirt hitam kesayangan. Ia tidak lupa korek gas, ia tidak lupa satu pak rokok putih, ia tidak lupa dompet, ia tidak lupa HP. Ia tidak lupa pena dan buku tulis, ia tidak lupa tiket. Ia tidak lupa passport dan masa lalu.

Ia tak dapat memperlambat debar jantungnya. Ia tak dapat menahan senyumnya. Ia akan pergi meninggalkan semua ini. Meninggalkan gedung-gedung, halte, rumah kumuh, pasar, gang-gang sempit yang ramai. Pemandangan yang terus berganti di luar sana, di balik kaca, di dalam taksi.

Orang itu masih menunggunya, duduk di kursi, di suatu tempat. Orang itu mengeluarkan hadiah kecil dari kantongnya. Sebuah cincin, emas putih 22 karat, dengan mata zirkon, dan Arika, ukiran nama dirinya. Orang itu juga tak dapat memperlambat debar jantungnya. Orang itu juga tak dapat menahan senyumnya. Orang itu masih menunggu. Orang itu menunggu sahabat remajanya. Orang itu menunggu dia, yang selalu ia tepuk punggungnya dan selalu dia menoleh dengan senyum bahagia setiap kali, ketika itu. Setiap kali. Seakan kebahagiaannya murni ketika bertemu orang itu. Seakan senyum lebarnya tulus. Seakan dia aman karena orang itu selalu ada, tersenyum lebar, melihatnya senyum. Orang itu tersenyum kecil mengingat.

Ia pegang nyeri lututnya. Ia kaget sendiri karena sakit. Walkman ia pasang di telinga. Pemandangan bercampur di luar sana. Pemandangan yang akan ia tinggalkan.

Ia sampai di airport. Tak lama, ia sudah berada di atas baja bersayap.

‘Jepang’, ia bergumam, ’lalu... Korea, Filipina, lalu... Thailand, Australia, lalu... Singapore, Vietnam, lalu... Cina, India, lalu... Arab, Mesir, lalu... Afrika Selatan, Austria, lalu Perancis, Jerman, lalu Inggris. Kalau masih cukup uang, Irlandia, lalu... Eslandia, Alaska, lalu... Kanada, Meksiko, lalu... Hawaii.’

Dirinya tersenyum, lalu tertidur dan bermimpi. 

Pesawatnya terguncang hebat, penumpang panik, berteriak-teriak.

Pesawatnya jatuh, penumpang diam, menangis, tenggelam dalam.

Dirinya di dasar Laut Kuning, sebelum ke Jepang, sebelum ke Korea, sebelum Thailand, Inggris, India, Arab, Kanada, Austria, Meksiko. Dirinya di Laut Kuning, terjebak di sana selamanya.

Terjebak bersama 200 penumpang lain dan 10 awak, ubur-ubur, karang, ikan pari, biru gelap, dan mimpi-mimpi.

Orang itu masih menunggu, lalu memandang hadiah kecil. Membayangkan senyum tulus dia, setiap kali. Setiap kali bertatap wajah. Membayangkan kebahagiaan yang murni.

Orang itu masih menunggu, lalu memandang hitam malam dengan bintang jarang.

Orang itu masih menunggu, lalu memandang kerlap kota menghilangkan bintang.

Orang itu masih menunggu.

‘Saya tidak murni, maka saya terjatuh...

Saya tidak tulus...

Saya tidak mau tidak tulus tidak murni...

Saya ingin murni dan tulus...’

Diselesaikan, Selasa, 250303

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi