Kerinduan

Rupanya kerinduan dirinya akan malam-malam seperti ini semakin dalam. Ya, malam dingin, gerimis sehabis hujan besar, kabut tipis, lampu-lampu kota, temaram, air hujan mengalir turun diterangi kemilau cahaya lampu, bulan tertutup awan, musik jazz. Yah... musik jazz... Kerinduannya semakin dalam. Larut dalam musik hujan, musik cahaya, musik jazz. Dia pejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Terbang melayang ke rindunya akan suasana itu.

Suasana temaram, dingin kabut, dengan musik jazz dan rintik hujan, malam tanpa bintang dengan bulan tertutup awan. Dia tak bisa melakukan apa-apa selain larut dalam kerinduannya, romantismenya, rindu yang amat dalam. Dia teringat akan pembicaraan tentang hidup, di suasana itu, diiringi musik jazz.

‘Apa tujuan utamamu dalam hidup?’

‘Apa arti kehidupan bagimu?’

‘Untuk apa kamu hidup?’

‘Apa rencanamu 5 tahun ke depan?’

‘Apa yang akan kaulakukan dengan hidupmu?’

Musik jazz…

Temaram malam..

Rintik hujan…

Air mengalir…

Denting piano…

Tes... testestetstetststetes…

Drum dengan beat lembut...

Alunan saksofon…

Haaaahh… nikmati malam, jazz dan hidup. Dia tak pernah berdansa diiringinya. Ingin, walau dingin, justru ingin, justru dingin, justru hangat. Haaahhh... jadi teringat. Dengan teman-teman terdekatnya 40 tahun lalu. Kemana mereka? Menikmati hidup? Seperti dirinya sekarang? Diiringi jazz dan rintik hujan. Masih hidup? Berjuang untuk hidup? Menjalani pembicaraan tentang hidup di waktu yang dirindukan? Menjawab pertanyaan tentang hidup? 

Kerinduannya akan 40 tahun lalu makin mendalam. Dalam. Dalam. Malam. Yah... akhirnya ia hubungi teman yang terdekat, berpesan melalui alamat terakhir yang ia catat, melalui pesan singkat, sebuah alat di otak.

‘Ky, aku memutar musik jazz di otakku. Aku jadi rindu malam hujan dingin seperti ini, lalu bicara hidup di kafe temaram. -teman lamamu, Dien-’

Tak berapa lama ternyata pesannya dibalas.

‘Wah, iya. Kapan-kapan formasi lama presidium malam mesti reuni lagi, tapi kalau ada topik sekarang boleh dibahas.

-Ky-’

Singkat, jelas, tanpa basa-basi, memang khas Ky, tak berubah sejak 40 tahun lalu. Dia tak juga heran, walau banyak pertanyaan yang ingin diajukan.

‘Bagaimana hidup?’

‘Sudah temukan arti hidupmu?’

‘Apa rencanamu terwujud dalam 40 tahun terakhir?’

‘Berapa cucumu?’

Dia bayangkan Ky sekarang, sudah pensiun, berkeluarga dengan 1 anak seperti dirinya, tapi wanita, berlawanan dengan dirinya. Lalu Ky juga punya cucu seperti dirinya. Tapi Ky temannya yang paling sulit ditebak. Mungkinkah ia masih suka musik jazz, seperti dirinya? Juga rindu akan malam temaram diiringi rintik hujan dan jazz, seperti dirinya? Banyak sekali yang ditanyakan, sehingga dia mengirim pesan selanjutnya.

‘Kamu sudah temukan arti hidupmu setelah 40 tahun? Aku sekarang sudah punya 1 cucu, laki-laki, baru saja lahir. Aku nikmati hidup dengan jazz. 

-Dien-‘

Semakin malam.

Semakin dalam.

Semakin dingin.

Semakin ingin.

Musik jazz terasa semakin keras, mendayu-dayu, mengantarkan kenangan lama. Dia merasa tua. Merasa muda. Sekaligus. Adalah jazz yang mengantarnya. Adalah suasana ini. Haaah... kemanakah teman-teman terdekatku? Aku rindu suasana itu.

Ky membalas pesannya.

‘Aku tidak tahu. Apa kita masih hidup 40 tahun lagi? Hidup memang sangat rumit. Sekaligus sangat gampang.-Ky-‘

Sangat khas Ky.

Penuh metafora, tak tertebak, tertulis tak terbaca.

Sehingga dia mengirim pesan selanjutnya.

‘Jelaskan sangat rumit & jelaskan sangat gampang... -Dien-‘

Jawabannya sangat singkat dan tentu saja jelas, khas Ky:

‘sangat rumit karena kita harus merencanakan, mencari arti tentang hidup dan percabangannya hari ini. Sangat mudah karena dengan gampangnya kita bisa mati besok.’

Dia jadi terhenyak dan teringat tentang mati. Yah kematian yang tidak mungkin jauh bagi dirinya dan tak juga dekat sehingga tertebak. Misteri hidup. Atau misteri mati. Mati dan hidup. Dan misteri di baliknya. Semakin dalam. Semakin malam. Ia lelah dan terkantuk. Bisakah dia tidur malam ini membayangkan kematian yang makin dekat? 

‘Orang yang akan meninggalkan dunia ini pasti sedikit banyak tahu ia akan pergi.’ Dia jadi teringat kata-kata yang terucap 40 tahun yang lalu pada dirinya. Sepertinya dia mulai merasakan gejala itu. Tapi siapa yang tahu selain Yang Maha Tahu. 

Dia ketakutan dibalik ketenangan musik jazz yang masih mengalun. Dia mulai kedinginan. Suaminya datang memberi kecupan malam, kecupan sebelum tidur. Dia peluk suaminya. Lama. Lalu suaminya menuju kamar tidur meninggalkan dirinya yang masih berkutat dengan otak, mendengar musik jazz, melihat foto-foto lama. Romantisme 40 tahun lalu. Lalu ia kirim pesan untuk Ky.

‘Ky, terima kasih banyak, tadi malam aku mimpi tentang kematian dan aku jadi takut sekali. Terima kasih karena sudah mengingatkanku tentang kematian. Kita memang harus reuni.

-Dien-‘

‘Iya nih, reuni.

Jangan sampai kita cuma bisa menjalani hidup -dan mati- tanpa berpikir dan berdiskusi tentang itu.

Atau sebaliknya. -Ky-‘

Ky langsung menjawab.

Semakin malam, matanya lelah, tubuhnya lelah. Ia pamit untuk mungkin berjumpa lagi dalam reuni itu kepada Ky. Ia pamit tidur. Ia pamit tidur. Selamanya. 

Merinding dalam malam, dengan kerinduan dalam, diiringi musik hujan, musik cahaya, musik jazz, yang sebentar lagi senyap.

Bandung, 21 Nov’04, 11.25 malam

3 disukai 2 komentar 2.9K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@donnymr : Hehehe... semoga menikmati. Makasih udah berkunjung, smg menghibur.
Pas lg denger black hole sun jazz rendition. 😅
Saran Flash Fiction