SIPIR

      Itu terlihat agak berantakan tapi entah kenapa aku menyukainya, goresan merah itu benar-benar indah dan yang paling bagus dari semuanya adalah itu berhasil membuat sipirnya diam.

           Hampir setahun setelah aku lulus dari perguruan tinggi, aku pulang untuk kembali tinggal dipenjara hingga saat ini. Penjara ini sebenarnya tidak banyak berubah, aku bahkan hampir tidak menemukan perbedaannya, orang-orangnya hanya menjadi lebih tua dan lebih sakit-sakitan.

           Aku pikir aku melarikan diri untuk mengurangi masa tahanan dengan agenda melajutkan pendidikan, semakin jauh akan semakin bagus, uang menghentikan langkahku, sipir penjara tidak ingin mengirimiku uang lagi. Salah satu dari mereka bahkan terus menerus menerorku saat mengetahui bahwa orang lain yang seusiaku menyelesaikan masa studinya lebih cepat. Aku hanya terlambat beberapa bulan, hubunganku dengan pembimbing akademik tidak begitu bagus, kami tidak mengerti satu sama lain, dia tidak ingin mendengar omong kosong dan aku hanya bisa mengatakan omong kosong.

           Sipir mengamuk diujung telpon, dia terdengar tidak sabaran, dia mungkin mulai menyadari angenda pelarianku atau mungkin hanya karena telinganya cukup memenas mendengar tahanan-tahanan penjara lain telah kembali lebih cepat. Egonya terluka, dia tidak tahanan lain lebih baik dari miliknya, dia menarik tali telpon dileherku, rasanya sangat sesak, sangat menyakitkan, rasa pedih memenuhi rongga dadaku bersamaan dengan menipisnya udara disana. Aku menutup telponnya, rasanya jauh lebih melegakan.

           “Kenapa kau tidak keluar menemui orang-orang? Kenapa kau tidak berpakaian bagus dan menarik perhatian orang lain lalu menikah? Kenapa tahanan lain mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus darimu?” para sipir mengatakan hal ini setelah beberapa bulan aku kembali dari tempat pelarian.

Aku tidak tahu kenapa sipir penjara sangat terobesi untuk terlihat jauh lebih baik dari pada orang lain, ego telah menelan jati diri meraka, mereka bahkan tak keberatan untuk menjilat ludahnya kembali. Tak akan jadi masalah besar jika mereka menyimpan semua hal buruk itu untuk mereka sendiri tapi mereka mengingkan aku ikut-ikutan dengan cara menarik tali dileherku, memasang besi dikakiku.

Ahh, aku hampir gila, harus sampai kapan lagi aku mendengar ocehan sampah. seperti itu. Aku tidak perduli bahwa orang-orang merasa iri padaku atau merasa kasihan padaku.

Dari pada malu karena tidak berdandan dengan baik dan tidak ada pria yang menyukaiku, aku malu pada diriku yang telah menggadaikan hidup dan mimpi-mimpuku pada para sipir penjara demi uang.

Sipir penjara masih melihatku sebagai barang yang disbanding-bandingkan, nilaiku tergantung pada perkataan orang diluar sana, apa yang kurasakan tidak penting, aku ini cuma boneka tahanan.

Sipir penjara yang memarahi dan mengejekku ketika aku belum lancer membaca di usia 5 tahun, sipir penjara yang memukul, mencubit dan memarahiku saat aku pulang dengan nilai berantakan dari sekolah, sipir penjara yang meneriakiku bahwa mereka malu akan diriku ketika aku berada di rangking ke-2 dikelas.Tuntutan mereka belum ada ujungnya, mereka seperti binatang buas yang tidak mempunyai perasaan puas, aku tidak akan pernah cukup.

Aku menjadi lelah.

Aku memecahkan kaca diruang sel lalu melempar serpihan-serpihan tajamnya pada sipir penjara, hidup tidak pernah semenyenangkan ini. Aku menggambarkan peta kode pelarianku berikutnya di dinding sel dengan warna merah, sipir penjara menutup mulutnya. Hari ini terasa sangat tenang dan damai.

 

 

       

1 disukai 1 komentar 4.5K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
relate banget sama kehidupan banyak orang. menurutku sipir itu orang tua atau keluarga. 😭
Saran Flash Fiction