Benang

"apa ini? Ah, aku lupa ini benang?" 

Seperti biasa, gelap yang dilapisi permata membuat kedua mataku harus terfokus pada satu pekerjaan yang membosankan. Dengan bahan dan benang yang sama aku berusaha menyatukan ingatan yang mulai pudar. 

Terlebih lagi pekerjaan ini harus segera diselesaikan, kalau tidak? Aku tidak bisa pergi. Dan juga, hal ini tidak akan datang dua kali dalam hidupku. Kalau pun ada kesempatan lagi rasanya pasti berbeda karena, orangnya juga berbeda. 

Beruntungnya, apa yang aku lakukan tidak begitu sulit hanya perlu menjahit dan terus menjahit sisanya tinggal mengingat kejadiannya saja. 

Sehelai demi sehelai benang mulai tersambung dengan lubang jarum. Meski rasanya sakit tapi, tidak apa karena ini adalah masa laluku ada saatnya kita mengenang kemudian melupakannya namun, kali ini aku tidak ingin melupakan masa laluku sama sekali bahkan sedetik pun aku tidak mau.

"Gubrak!" Suara pintu rumah yang terbuka gamblang. 

"BERHENTILAH, INI SUDAH KETERLALUAN!" 

Suara yang tegas itu membuat diriku berdiri dari tempat dudukku. 

"Tidak ada sopan-sopannya masuk ke rumah orang tanpa mengetuk pintu." balasku dengan nada santai. 

"INI SUDAH KETERLALUAN. SEHARUSNYA KAU MENGUBURNYA BUKAN MALAH MENGURASNYA." 

Benar-benar laki-laki yang tidak sopan. Aku segera meraih korek api yang berada di dekat tempat dudukku. Aku sudah muak dengan laki-laki yang berada di depanku saat ini. 

"Bajingan... Kau orang yang menyebabkan ini semua terjadi!" 

Ctik, Blar! Suara api yang langsung menyambar sekeliling dan langsung melahap semua yang berada di sekitarnya. 

Ini yang aku inginkan berada di dalam lingkaran api bersama kenangan yang aku jahit. Darah yang menempel di setiap helaiannya menyatu sempurna di kedua lenganku. 

"Darah putriku dan diriku menyatu dengan sempurna..." 

1 disukai 4.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction