Uhuk!
Aku tersedak!
Aku membuka mataku, dan kini kulihat sepanjang jalan aspal yang terbentang di depanku.
Jalananan yang lengah dan sepi. Matahari tampak terik menyinari. Aku kembali menelaah apa yang baru saja terjadi.
Mataku melirik ke atas, terlihat beberapa plang jalanan yang menunjukkan beberapa kota di Jakarta.
Aku mengerti kenapa aku di sini. Aku terjatuh di aspal jalan dan tak sadarkan diri.
Aku mengembuskan nafas, tak lega. Nafas sesak yang masih aku tahan karena kekhawatiran.
Drap! Drap! Drap!
Suara langkah kaki mulai berbunyi. Dan kini aku melihat kaki jenjang perempuan berambut panjang.
Kemejanya berlumur darah, Matanya mengerjap-ngerjap kemerahan, tanpa lensa berwarna cokelat tua yang biasanya terlihat.
Dia mulai mengendus-endus sekitar. Aku kembali menahan nafasku.
Aku cukup takut sekarang. Aku mengenalnya. Dia, Siska seorang detektif muda yang sangat cekatan.
“Gra!! Gra!!”
Shit!
Di belakangku, sepertinya salah satu zombie laki-laki menyadari keberadaan darah segarku.
Aku melirikan mataku ke sekitar, terdapat sebuah kayu yang sebelumnya aku gunakan untuk menyerang. Dan satu lagi sebuah kaleng bekas minuman yang entah dari mana.
Sampai akhirpun negara ini masih banyak sampah berserakan.
Aku berhati-hati untuk mengambil kaleng itu lalu segera melemparnya.
Klontang!
“Gra! Gra! Gra!” suara beberapa zombie yang mulai menuju ke arah sumber suara.
Aku mulai mengambil tongkat perlahan. Aku membalikan kepalaku dan melihat jalanan aspal di samping kananku.
Kosong!
Aku segera bangkit. Aku kembali menuju tempat yang aku tinggalkan sebelumnya.
Sebuah minimarket.
Aku melihat Fiona yang meringkuk ketakutan di pojok sana. Meskipun matanya diperban aku bisa melihat bagaimana dia telah menangis sebanyak itu, hingga kini perbannya telah kuyup oleh air mata.
Aku segera datang memeluknya. Dia berusaha mendorongku ketakutan.
“Ini aku... Nandera!”
Dia memelukku erat. Kedua jantung kami beradu kecepatan. Begitu juga nafas kami yang saling berkejaran.
“Bagaimana kondisi adikku?”
Aku terdiam. Fiona jelas menunggu jawabanku.
“Dia menungguku! Aku harus menemuinya sekarang! Aku harus pergi!” teriaknya seraya berdiri.
Aku segera mencegahnya. Dia menghempaskan tanganku dan berlari keluar.
“kakak!” teriak Lita, tepat di tengah jalan tempatku tadi.
Lita lari menuju Fiona. Namun di belakang Siska mulai mengejarnya.
Aku segera berlari dan memukul Siska dengan tongkat. Namun dia justru menyerangku. Ia berusaha menggigitku.
Aku mencegahnya dengan tongkat yang kini ia gigit. Lita berusaha mengambil pistol tepat di pinggulnya.
Dia berhasil mengambilnya. Namun Siska justru menggigit tangannya.
Lita meneteskan air matanya. Ia mulai mengangkat pistolnya dan menembak Siska.
Fiona menangis dan berusaha memeluk Lita. Aku berusaha mencegahnya namun Fiona justru mendorongku. Aku segera mengambil pistol di tangan Lita.
Fiona berhasil memeluk Lita. Hingga mata Lota mulai memerah, lensa matanya mulai mengerjap ke atas hingga tak terlihat. Ia mulai membuka mulutnya.
Aku segera menarik pelatuk.
Dor!
Tepat saat gigi Lita mengenai pundak Fiona. Lita terjatuh, bersimbah darah.
Aku segera menarik Fiona.
“Apa yang kamu lakukan! Kamu membunuh adikku! Kamu menembaknya! Kamu jahat! Kamu jahat!” teriaknya seraya memukulku.
Aku segera memeluknya. Air matanya mulai menetes terjatuh dari balik perban di matanya. Kini aku tidak tahu apakah matanya sudah memerah?
Kulihat bibirbya yang gemetar.
Cup!
Aku segera mengecupnya. Tak peduli, jika nanti aku jadi zombie.