Bulan menggelayut temaram. Aku mengendap-ngendap mendekati tembok istana.
“Ayo cepat, nanti keburu pagi” ujar seorang kawan yang mendampingi perjalananku.
“Iya, aku masih mengingat-ingat di mana celah tembok yang kutemukan beberapa hari lalu” jawabku. Aku kembali meraba-raba dalam kegelapan.
“Masih belum Kau temukan juga?”
“Berhentilah mengomel, aku juga sedang berusaha.”
Sambil mengendap-endap, aku meraba dinding istana yang kuyakini ada sebuah celah di sana.
“Kenapa tidak dititipkan saja pada penjaga istana?” tanya kawanku yang seolah enggan mengikuti jejakku.
“Tidak ini rahasia, tidak boleh ada yang tahu selain pangeran. Dia telah memberitahuku celah itu, untuk mengirimkan berita untuknya. Jika kutitipkan, aku khawatir berita penting ini akan bocor.”
“Memang isinya apa?”
“Rahasia. Ini menyangkut keamanan negara. Ada kaitannya dengan serangan dari negara tetangga.”
“Tapi kita bisa ditangkap kalau mengendap-endap seperti pencuri begini.”
“Diamlah, sebentar lagi aku akan menemukannya. Aku yakin tempatnya di sekitar sini.”
Tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki menuju ke arah kami. Kulihat beberapa prajurit berlari menuju ke arah kami.
“Hei, siapa di situ? Jangan lari!” kudengar mereka berteriak.
Aku berusaha menghindar dan berlari sekuat tenaga. Tubuhku terseok-seok menerjang ilalang yang cukup tinggi. Beberapa batuan tajam mengenai kakiku, perih. Aku jatuh tersungkur.
“Ayo, ikut kami!” teriak salah satu dari mereka.
“Tidak! Aku tidak mau!”
“Ayo, ikut!” desaknya sambil menarik lenganku dan mengikatku dengan seutas tali. Aku menoleh mencari temanku. Hilang. Lalu kulihat perlahan orang-orang yang mengejarku. Kenapa ada ayahku?.
“Nak, ayo pulang. Minumlah obatmu. Besok waktunya bapak antar Kamu kontrol ke rumah sakit jiwa.” kata bapak perlahan sambil menggiringku pulang, diikuti beberapa penduduk desa.