Setiap anak mempunyai mimpi dan cita-cita. Begitu pula dengan Ira, anak jalanan yang mempunyai cita-cita besar. Setiap hari dia selalu mencari uang dengan alat musik yang terbuat dari bekas tutup botol minuman. Bermodal suaranya yang indah dia menyanyi dari satu mobil ke mobil yang lain ketika lampu merah menyala.
Di pinggir jalan tempat ia mengamen ada sebuah SD, di sana semua anak terlihat rapi dengan pakaian seragam merah putih.
Jauh berbeda dengan Ira yang memakai baju kumal dan rombeng. Kota besar yang macet membuat Ira mengais rezeki dengan mudah namun sengsara karena dihujani terik mentari dan bernafas menghirup polusi.
Setelah Ira mendapatkan beberapa uang ia selalu mencoba untuk mengintai dari jendela belakang SD ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Dengan koran bekas ia selalu belajar menulis dan menghitung secara diam-diam di belakang jendela.
Berusaha belajar sendiri di antara ramainya kerumunan anak jalanan, kumuhnya pemukiman dan kejamnya pengasuh anak jalanan.
Pernah suatu hari pengasuhnya itu melihat Ira belajar. Saat itu Ira dihukum mati-matian.
Ira pulang dengan kondisi kelaparan, hari itu tak sepeserpun uang ia dapatkan, sebagai gantinya ia hanya membawa koran bekas hasil hitung-hitungan matematik dari diam-diam mencuri pendidikan.
Ia pulang dengan tubuh gemetar dan berusaha menyembunyikan koran itu di dalam pakaiannya.
Ia melihat beberapa anak jalanan yang lain sedang dipukuli oleh pengasuhnya yang kini memegang leher botol miras. Tak segan ia memukulkan botol itu ke kepala anak-anak.
Ira hanya terdiam melihat semua itu, hingga tiba saatnya pengasuh itu melihay Ira. Ia datang sempoyongan menghampiri Ira.
“Dapat berapa, hah?” tanyanya.
Ira hanya menatapnya ketakutan sambil menggenggam kedua tangannya.
“Aku tanya dapat berapa?!” ia membentak, membuat Ira menangis ketakutan.
“Sini kamu! Sini!”
Ia membuka paksa kedua tangan Ira yang kosong. Ia memeriksa seluruh pakaian Ira. Namun hanya sebuah koran yang ia temukan dibalik pakaiannya.
Ia kalap. Ia segera mengambil koran itu dan membukanya. Semua tulisan Ira membuatnya semakin marah.
Ia memukul Ira. Lalu membakar koran itu, kemudian Ira disuruh memakan kertas bekas pembakaran.
“Kau mau makan dengan hasil hitungan ini, hah? Kamu pikir dengan belajar bisa bikin perut kenyang? Makan ini! Makan! Ilmu yang sudah kamu bawa! Makan biar pintar!” ucapnya seraya menjejalkan abu bekas pembakaran ke mulut Ira.
Ira berusaha menolak dan memberontak namun tak berdaya. Ia hanya menangis kesakitan.
Pagi harinya Ira tak menyerah, ia kembali ke sekolah. Sampai waktu istirahat tiba. Ira melihat seorang anak lelaki yang membuang buku pelajarannya di tong sampah. Ia mengambilnya dan memungutnya.
Nama : Rizal Sangki F.
Kelas : 3A
Begitulah yang tertulis di buku halaman pertama. Ira menggunakan buku itu sebagai media pembelajarannya.
Hingga akhirnya seorang satpam melihatnya dan segera ia menangkap Ira. Menyeretnya pergi dan sebelum itu ia dipermalukan di depan anak sekolah yang lain. Anak kecil bernama Rizal melihat bukunya yang kini digenggam Ira dengan erat. Ira pergi dari sekolah itu dengan deraian air mata.
“Hai, ini buku aku?” sapa Rizal di sebuah taman belakang sekolah.
“Kamu sudah membuangnya. Kamu tidak menghargai buku ini, yang sesungguhnya buku ini sangat berharga bagi orang seperti aku.”