Penulis kita ini bukanlah tokoh rekaan, ia bisa saja tetangga Anda, paman Anda, ayah teman Anda, idola masa kanak, atau bahkan Anda sendiri, dan karena alasan itulah akan kurang berkenan bila menyebutkan namanya.
Dengan gaya yang kurang lazim penulis kita mengarahkan deras air seninya tepat ke tengah-tengah lubang jamban untuk menghasilkan suara “plurrrrrrrr” yang merdu. Genap tiga tahun ritualnya di pagi hari itu, sesaat setelah kedua matanya membelalak, ia lakoni sambil terhuyung dengan pandangan berkunang-kunang sembari mengendorkan celananya dan mengangkat kaki kanan sedikit ke atas undakan jamban.
Konon, Ratmi Rimbaud melakukan hal serupa di pagi hari dan penulis kita meyakininya sebagaimana ia mandah mendengar mentor menulis kreatif yang ia ikuti secara daring. Dalam tulis-menulis, ia adalah santri yang saleh. Sebagai manusia, ia adalah cobaan bagi sesamanya. Tentu dalam artian yang baik. Sebab kita semua mahfum, tanda Tuhan menyayangi umatnya adalah dengan memberi kita cobaan.
Maka, setelah keluar dari jamban, ia akan buru-buru duduk dan membuka laptop, lalu mengetik selama lima menit apapun yang berseliweran di kepalanya. Seringkali ia targetkan 300 kata dalam lima menit, namun lebih kerap tak melebihi 250 dan ia merasa senang. Bibirnya yang masih garing, perut berkukuruyuk menyaingi ayam jantan menjelang musim berahi; tombol-tombol huruf pada laptopnya ia gilas menghasilkan suara ‘tak-tik-tuk’ yang khas.
Pagi itu seperti pagi yang lumrah ditemui di perkampungan kota, atau perkotaan yang menjadi kampung. Pagi dari sepetak kontrakan dua kamar yang ia huni bersama kedua sahabatnya, seorang pegawai resto ayam geprek, dan seorang pegawai minimarket. Wangi parfum sudah menguar dari keduanya, meninggalkan penulis kita dalam pertapaan yang khidmat. Penulis kita dapat menyelami isi kepalanya tanpa gangguan atau interupsi yang acap ia terima. Penulis kita membutuhkan konsentrasi yang pol untuk pengembaraan imajinasi.
Pernah ia bayangkan betapa menyenangkan hidup bersama sesama penulis. Ia mungkin dapat berdiskusi tentang karya Bertolt Tuhkan, Dea Imut, Martin Surya Tenggelam, atau Ernest Hembing Way. Namun, yang ia dapati saban hari justru hal-hal yang tak lebih temeh dari remeh tepung tapioka. Sebut saja viralnya video syur mantan artis cilik, geger penampakan keranda terbang, sampai alamat dosa bila melewatkan percakapan antar youtuber yang silih susup dengan remix funkot dari sembarang video, menampilkan perempuan semlohay dan membuat kedua sahabatnya betah menelan liur sampai tengah malam.
“Sedikit menyentuh bayangan ideal dunia penulis pun tidak,” makinya, pada diri sendiri. Ia tak bisa berdiskusi dengan kedua sahabatnya itu. Posisinya saat ini kerap mengingatkannya pada tokoh kartun antagonis bertentakel di antara tokoh-tokoh komikal. Meski begitu, ia tak sampai hati menceramahi kedua sahabatnya menyoal masa muda yang sia-sia. Mereka telah bersama sejak garpit diketeng diisap bergilir. Seperti dikutuk untuk selalu bersama, mau ke mana pun kaki penulis kita melangkah, di ujung hari akan kembali dipertemukan oleh kedua sahabatnya.
Sang pegawai ayam geprek, sang pegawai minimarket, tak pernah risau menanggung biaya hidup penulis kita dan itu satu dari sekian perkara yang sudah sama-sama dimaklumi. Penulis kita hanya perlu menulis dan menulis, mendapat imbalan yang cukup dari ibadahnya itu, dan angkat kaki dari ratapan iba kedua sahabatnya. Untuk kali ini, memang belum terbit satu pun karya yang mendatangkan imbalan. Mungkin prosesnya memang demikian, dan tiga tahun adalah waktu yang terlalu dini buat menempa karya dan mentalnya. Ia menghibur diri dengan mengingat Knut Lapar, Cesar Valhala, Roberto Bagio, dan segambreng penulis melarat lainnya.
Untuk melatih insting kepenulisan, setiap hari ia menulis ragam gagasan dan sudut pandang. Sesekali ia tampilkan di dinding facebook, lebih sering ia tuangkan di blog pribadi. Dari telaah sederhana tentang situasi kekinian, sampai ulasan atau opini yang juga jamak ditemui di blog para penulis. Ia tak segan mengerjakan permintaan kenalan sesama penulis untuk menulis tentang buku-buku favorit mereka. Meski kerap kali pro bono, ia memaknainya sebagai kerja-kerja kebudayaan untuk keabadian.
Sekali waktu ia mengulas buku biografi seorang tokoh adat. “Alamat iseng,” katanya, sambil menjentikkan jemari di atas laptop “gak ada salahnya. Semua penulis berawal dari iseng.” Ia senang sebab tak lama kemudian ia diajak bergabung ke dalam grup whatsapp ormas kenamaan. Di dalam grup, tulisannya dipuji. Hatinya melambung. Anak muda berbakat, kata salah seorang. Penerus bangsa, kata yang lain. Sebulan mendekam ia masih betah. Bulan kedua ia keluar dari grup.
Sahabatnya yang bekerja di minimarket pernah mengajukan pertanyaan: apa yang sesungguhnya penulis kita ingini, menjadi kaya dari menulis, atau memang tak ada yang dapat dikerjakan selain melamun di depan laptop? Kurang lebih jawabannya serupa saat sahabat yang satunya melontarkan guyonan tentang apakah dengan menulis dan hanya menulis mampu meyakinkan calon mertua kelak. Apalagi sekarang pandemi, profesi itu –bila mungkin dikatakan sebagai pekerjaan formal—lebih mirip kisah kesatria kesepian dalam sebuah mitos kuno. Keberadaannya tak dijamin, tanpa asuransi kesehatan dan hari tua, tak mendapat bantuan tunai dari pemerintah sebagaimana yang kedua sahabatnya dapatkan.
“Tak semua kisah diakhiri dengan kesatria yang menunggang kudanya ke arah matahari terbenam,” katanya, pada diri sendiri.
Dalam beberapa hari penulis kita sempat merenung dan menutup laptop dua bulan. Tergerak oleh semangat kedua sahabatnya dalam bertahan hidup, ia pun melakoni protagonis lugu di tempat cuci mobil tak jauh dari kontrakan. Setiap hari lengannya berbusa, basah kuyup badannya tak lagi dapat dibedakan dari likat masin keringat dan deterjen pengilat bodi mini bus. Pukul tujuh pagi ia berangkat dan pukul delapan malam ia kembali ke kontrakan apak dengan kesepuluh jemari mengerut.
Ia memutuskan untuk berhenti dan kembali ke ritualnya sediakala. Bukannya tak tahan menanggung lelah, atau semata rasa malas akibat pengulangan yang setiap hari ia lakukan dengan busa-busa itu. Suatu hari, saat ia menyemir dashboar mobil pelanggan, sebuah novel tergeletak di jok depan dan langsung menarik mundur ingatannya ke suatu malam bertahun silam. Malam yang akhirnya ia putuskan untuk menjadi penulis, setuntasnya ia membaca novel Mengarang Itu Ambyar!.
Ia rasa itu adalah isyarat, suatu pertanda, yang tak dapat tidak untuk ia abaikan. Meski mendapat upah dari cuci steam, sekadar makan-minum dan menyenangkan kedua sahabatnya dengan martabak jagung keju, dunia kepenulisan rupanya kembali memanggil. Ia tahu, boleh jadi kedua sahabatnya bakal mencemooh sikapnya, meledeknya dari balik punggung. Di tengah keadaan yang lebih sulit dari tahun-tahun sebelum pandemi, keputusannya untuk kembali melamun di depan laptop bisa dikata tak tahu diri. Tapi, bukankah dalam kepenulisan membutuhkan kekeraskepalaan?
Itu yang ia simpulkan dari sebuah novel yang akhirnya menuntun pribadinya seperti yang kedua sahabatnya kenal. Novel karya Yasunari Kawat Baja berjudul “Negeri Salto”, menceritakan kehidupan para penduduk di sebuah negeri yang senantiasa salto. Saking lumrahnya sehingga tak ada yang aneh dengan perbuatan itu. Yang justru aneh dan kerap mengundang cibiran adalah mereka yang tak mampu salto. Karena kebiasaan ini kerap dilakukan menjelang petang, bagi mereka yang enggan salto akan bersembunyi di jamban atau pura-pura tidur.
Sungguh kekeraskepalaan yang menerbitkan ilham buat penulis kita.
Semuluk apapun dunia yang dibayangkan oleh kedua sahabatnya perihal karir kepenulisan, ia tak pernah menutup laptop, dan mungkin belum akan menutupnya dalam beberapa tahun ke depan. Tak pernah terpikirkan lagi cara lain untuk mengarungi dunia ini selain tetap menulis. Bila suatu hari nanti ia digiring ke semacam dilema sebagaimana yang pernah ia lakoni sebagai tukang cuci, ia akan mengingat lagi kadar kekeraskepalaan dan bila perlu menambahkan lebih banyak sampai dirasa tak lagi dilematik.
Maka, setelah menandaskan lima menit dan 250 kata pada secarik halaman, ia kembali membuka sebuah folder, membuka file-nya, melekatkan kembali kedua matanya pada layar seukuran kertas folio. Nama-nama besar hilir mudik di benaknya. Muhidin M. Dahlah, Eka Kurkuma Plus, Goenawan Menawan, dan ia membayangkan namanya bersanding dengan nama-nama itu, tertera pada sampul sebuah novel di perpustakaan dan rak toko buku, beredar di komunitas menulis dan klab baca, dikutip dan dibicarakan kalangan yang menaruh minat untuk mengutipnya.
Jemarinya menari-nari di atas keyboard selama beberapa menit lalu terhenti sebentar. Ia mereguk air putih dengan rasa yang payah di lidah masamnya—lalu mengetik lagi, merenung, pergi ke jamban, kembali mengetik, merenung lagi, mengetik, mengetik, dan mengetik. Ia melirik jam di pojok kanan bawah pada layar laptop. Menjelang pukul sembilan. Baru dua jam ia duduk dan tak menghasilkan apa-apa selain ketikan. Mario Vargas Llos Dol masuk ke kamar pukul tujuh pagi dan keluar pukul lima sore. Baru dua jam ia duduk, pantatnya keram dan ia butuh berganti posisi.
Setelah dirasa nyaman, ia tegakkan punggungnya dan meratapi layar putih di laptop. Sejauh ini penulis kita baru menorehkan sepatah dua patah kalimat pembuka bagi si bakal karya. Pada jam-jam krusial menjelang siang itulah perutnya mulai rajin berkukuruyuk. Kepalanya disambar donat kentang dan sekompi pisang goreng, lengkap dengan batalyon roti unyil aneka rasa. Godaan yang sungguh mengundang asam lambungnya meroket dan hanya mampu ia pungkasi dengan sendawa.
Ia mulai menyadari satu hal dan merasa perlu untuk mengumpat. Dua jam berlalu dan kalimat pembukanya seperti kambing tetangga yang mengembik kelaparan. Tak lebih baik dari surat anak SD kepada sang nenek di kampung halaman, jauh lebih buruk dari pesan berantai kiriman teman di grup whatsapp tentang azab bermasturbasi. Tentu ia perlu mereparasi sekujur paragraf dan terpekur untuk dua jam lagi membereskan yang dirasa ganjil. Mentor penulis kreatifnya selalu mewanti-wanti: kalimat pertama, kalimat pertama, kalimat pertama. Bagi sang mentor, kalimat pertama ibarat sesosok ibu ketika sahabat nabi bertanya siapakah yang harus kita sayangi lebih dahulu.
Meski terganjal perasaan ganjil dari kalimat pembuka yang buruk, ia harus menyelesaikan bakal karyanya yang satu itu sebab begitulah aturannya. Pertama kita mengetik, baru setelah itu menulis. Dengan bokong yang mulai menjalari panas, ia pun melanjutkan ketikannya: Genap tiga tahun ritualnya di pagi hari itu, sesaat setelah kedua matanya membelalak, yang ia lakoni sambil terhuyung dengan pandangan berkunang-kunang: mengendorkan celananya dan mengangkat kaki kanan sedikit ke atas undakan jamban.