Di ruang yang hanya tersekat selembar dinding, samar suara mereka menembus pori-pori semen.
Ada gebrak meja, ada parau. Barangkali teriak yang tertahan di kerongkongan. Saya bergelung di bawah selimut seperti trenggiling kedinginan. Tak sepenuhnya mampu saya tangkap apa yang mereka bicarakan, atau perdebatkan, atau pertaruhkan, atau perebutkan. Pukul satu dini hari. Lidah saya kering. Pengantar air galon baru akan mengetuk pintu kos besok siang. Kecuali air keran yang sepat dan berbau biji besi, meski sudah dimasak mendidih, tak ada yang dapat melegakan dahaga kecuali saya terlelap.
Kokok ayam terakhir. Pagi seperti terlalu cepat datang.
Ada gurun sahara di tenggorokan saya. Kedua mata minus ini terlalu payah untuk menatap benda-benda lebih dari semenit. Memburam. Kunang-kunang merubungi bola mata sebelum saya alihkan menatap objek lain di dalam kamar: meja kayu sengon berpelitur coklat wajit, laptop tergeletak di atasnya, tumpukan buku, tumpukan kertas-kertas, di samping meja teronggok kursi reot yang warna peraknya digerogoti karat. Di balik pintu tergantung tak berdaya jaket parka hijau rumput musim hujan, lusuh tersampir celana jeans warna hitam dashboard kijang kapsul, serta kaos-kaos apak yang menjadi terminal tengger serombongan nyamuk.
Telepon genggam berbunyi. Sebuah, atau dua buah, atau entah berapa pesan we-a masuk. Ini hari Minggu, hari libur yang seharusnya bisa saya pakai untuk bangun siang tanpa perlu diteror sejawat kantor; diteror headline berupa angka kematian akibat virus yang bertambah di tiap harinya. Sabtu ini bisa saya gunakan untuk tetap bergelung di bawah selimut sampai seseorang mengetuk pintu kosan. Sampai Ninis mengetuk pintu kosan, membuka mulutnya untuk beberapa menit, dan hanya kembali mengatup oleh sumbatan sebatang rokok.
“Buruan bangun!” ia menggedor sambil mengoyak daun pintu.
“Baru jam tujuh,” jawab saya sambil meluruskan kedua kaki.
“Oke, bakwan dan teh manisnya kuhabiskan sendiri saja.”
“Wait!”
Ia masuk dan menyimpan piring. Gundukan bakwan goreng mengepul hangat, menyusul kemudian teh manis yang kantung tehnya mengambang di permukaan cangkir. Barang-barang berharga itu ia taruh seperti melayangkan satu sak beras bulog dari atas truk. Syukur tak sepercik pun air teh loncat dari cangkirnya. Saya mematung sesaat dan bergegas ke kamar mandi.
“Tarji masuk?” suara saya bergema, terbungkus merdunya kucuran air.
“Masuk. Hari Minggu bukannya libur, eh malah sengaja masuk kantor. Kan sudah disuruh kerja di rumah. We-ef-ha. Memangnya dia mau ngapain di kantor? Apa ada kerjaan mendadak? Kan gak mungkin lah, kan dia bisa suruh anak buah untuk kerja. Memangnya dia gak punya anak buah? Katanya anak buahnya banyak, kok kerjanya masih sibuk? Seperti gak ada yang membantu?”
Perut terasa agak longgar setelah beberapa keping emas terhempas. Sambil berjongkok saya nyalakan sebatang kretek dan menghisapnya.
“Soalnya aneh, masak kerja pakai parfum seember, rambutnya dipoles krim mengkilat, kumisnya dicukur habis, sepatunya disemir sampai bayangannya sendiri mantul di solnya. Buat apa lagi kalau bukan buat mejeng? Dia pikir saya gak tahu ya kelakuannya? Ooo... jangan anggap enteng.”
“Nis, kalau ada tukang galon air, tolong ambilkan uang saya di saku jaket, dua puluh ribu.”
“Coba lihat saja nanti sore. Dia pulang ke rumah seperti pulang dari liburan, dia pulang sambil senyam-senyum, dan semua orang di gang sini dia sapa. Pot bunga pun dia sapa! Memang begitu tuh kalau orang lagi kasmaran.”
“Nis, kalau ada tukan—”
“Orang-orang sedang berhati-hati, mereka cegah bepergian. Eh, ini malah sengaja keluar. Mau malam mingguan? Huh, brengsek! Biar sekalian ditangkap patroli, biar sekalian jadi ODP dan dikarantina!”
“Nis...”
“Orang bebal macam begitu biar tahu rasa, soalnya percuma saya—”
“Nis...”
“Iya, iya. Saya gak budek.”
Air di bak meluap seiring ritual buang hajat selesai. Saya jentikkan puntung rokok ke lubang jamban, menyiduk air dari bak ke ember dan mematikan keran. Tak ada lagi tetes yang terbuang. Hening, mungkin ia sudah menemukan letak kretek yang saya simpan. Jika tak salah, masih tersisa empat batang dan saya taruh di samping laptop. Atau ia kembali ke kamarnya, menyetel lagu-lagu lawas Pance F. Pondaag dari pelantam nirkabel minus bass, yang dibawakan kembali oleh seorang pria muda, dan si pria menjadi tenar dan orang-orang masih tak tahu gerangan lagu itu berasal, dan sepertinya semua orang hari ini bisa mendadak tenar—atau viral?—di saat ponsel menjadi milik semua orang.
Aku masih seperti yang dulu
Menunggumu sampai akhir hidupku
Kesetiaanku tak luntur
Hati pun rela berkorban
Demi keutuhan kau dan aku.
Vokal bariton itu mulai menyusup dari celah atap kamar mandi. Terdengar jelas apabila Tarji sedang mandi di pagi dan sore hari. Ia sesekali bersenandung dan bersiul, lengkap dengan kecipak dan byar-byurnya yang deras. Bukan hanya di kamar mandi, jejeran kamar kos ini saling berbagi suara penghuninya. Meski disekat tembok, atap dan langit-langit kami masih lah sama. Ada rongga piramida yang luas tempat menampung ragam bunyi dari kanan dan kiri kamar. Syukur saya menempati kamar paling pojok, hanya mencuri dengar suara Ninis dan suaminya itu.
Misalkan di malam tenggat, bila bukan langkah berdebam dan gebrak meja, kadang telinga saya menangkap jeritan kecil Ninis seperti decit rem mobil. Terkadang batuk kering Tarji, terkadang tawa keduanya, dan di akhir pekan seperti ini tentu saja giliran si Pance F. Pondaag itu. Lalu saya membayangkan hal-hal yang kerap keduanya lakukan. Semacam rutinitas, atau ritual harian. Sang suami pergi bekerja, entah langsung menuju ke kantor atau ke lain tempat, lalu istrinya tinggal dan membereskan rumah, mencuci, mengepel, melap meja dan lemari, menyetrika pakaian, menjemur pakaian, dan menonton video sampai matahari tepat di atas kepala, lalu tidur siang, berangkat ke warung dan pulang memasak untuk suaminya yang sore hari entah langsung pulang atau mampir ke lain tempat.
Malam ini tak ingin aku sendiri
Kucari damai bersama bayangamu
Hangat pelukan yang masih kurasa
Kau kasih, kau sayang
Ninis tengah mengaduk-leburkan sambal di blendernya dengan suara yang berdenging nyaring. Biasanya, sambil menunggu rebusan kaldu matang, ia merajang kentang dan wortel, memotong daging ayam sebesar dadu, menuangkan bumbu, dan memasukkan bahan-bahan ke dalam panci yang tanak menguarkan wangi rempah. Lalu ia mencuci baju, dengung mesin cuci manualnya seperti goncangan bus kota ringkih yang dipaksa terus berjalan. Selesai mengeringkannya ia jemur seember pakaian itu di halaman. Ia kembali ke kamarnya, menanggalkan pakaian yang lepek oleh keringat dan bersijingkat ke kamar mandi. Ia tak bersenandung, dengan sabun beraroma jeruk yang melekat di tubuh, rambutnya yang masih kuyup itu ia keringkan dengan hairdryer.
Tak menunggu lama, Ninis mengoyak daun pintu kamar saya lagi. Bayangannya di kepala saya, sama seperti akhir pekan lalu: kaos putih ukuran XL yang lengannya dilipat-lipat, celana yoga pendek di atas dengkul, harum jeruk dan gerai rambut beraroma menthol. Ninis akan menggambarkan sesosok Tarji yang gempal dan berdahi lebar. Ia tukang serong, ia pendusta, ia semacam suami yang tak tahu diuntung, pembual bukan main, playboy, fakboy, keladi, gombal, kroto, kecoak, sotong, tapir. Seperti akhir pekan yang sudah-sudah, saya asongkan lagi sebungkus kretek, ia sulut sebatang dan mengembuskan asapnya dengan takzim. Kedua matanya menerawang, kepalanya tersender ke tembok, ia terlihat tenang, pasrah, dan cantik tanpa pulasan kosmetik.
Di guyuran terakhir saya tersadar handuk tertinggal dan masih tersampir di tali jemuran. Apa si Ninis mau mengantarnya? Hening, lagu itu berhenti mengalun. Hanya suara riak air yang nyaring, mengaliri pipa paralon pembuangan, seperti suara bambu kopong yang tertiup sepoi angin. Tak terdengar suara blender, debam langkah, dan mesin cuci.
Saya kenakan celana yang langsung basah seketika menyerap tebalnya air di badan. Perlahan saya melangkah keluar dari kamar mandi. Di atas kasur, Ninis tengah bergelung dengan selimut melilit pahanya.
“Saya lupa membawa handuk.”
“Dasar pelupa.”
“Baru kali ini kok. Gara-gara kamu, pagi-pagi membangunkan saya.”
“Huh...”
“Mau lihat saya pakai baju?”
“Pakai baju ya pakai baju saja, ngapain harus bawa-bawa saya.”
“Kamu gak akan mengintip?”
Ia menyelipkan kedua lengannya ke bawah bantal dan tidur menghadap tembok, menghadap kamarnya.
Saya kembali ke kamar mandi dan keluar setelah benar-benar kering. Tak ada yang dapat saya kenakan sebagai bawahan selain celana jeans yang warna hitamnya telah lama luntur. Setelah mengoleskan deodoran, saya bongkar tumpukan baju di keranjang dan menemukan kaos polos yang nyaman. Ninis akan naik pitam jika saya membongkar, mengais-ngais seperti kucing mengubur kotorannya, tumpukan baju dan kaos yang telah ia cuci dan rapi tersetrika itu. Dengan mudah akan ia samakan Tarji dengan saya yang serba teledor dan konon pelupa.
Ponsel saya berdering, benda itu tertindih bantal. Saya julurkan lengan mencoba meraihnya. Rambut hitam Ninis yang terurai perlahan tersibak. Wangi mentholnya merasuk, tampak tengkuknya yang putih dan jenjang. Sempurna, tak ada bekas jerawat, bintik lahir, tak ada bekas koyo. “Coba minggir,” pinta saya “ponsel saya tertindih sepertinya mau meledak.” Badannya hanya menggeliat, lalu membalikkan punggungnya dan merentangkan lengan.
“Nis...”
“Ya...”
“Apa tukang galon sudah ke sini?”
“Gak tahu.”
“Nis...”
“Yah...”
Ponsel berhasil saya raih, mengetuknya dua kali dan tampak lusinan pesan belum terbaca. Pukul sebelas siang. Udara panas mulai merambati dinding kamar. Entah kenapa, di masa yang serba tak menentu ini, saya hanya ingin mendengar lebih banyak Ninis bercerita, mengoceh tentang Tarji, tentang kebodohan-kebodohannya, tentang apa pun. Desakan mendengar suaranya begitu tak tertahankan; tapi ia hanya tergolek di situ, di atas semrawutnya kasur bujang lapuk, sementara saya melongo dengan dahaga di tenggorokan yang belum juga dapat timpas.