Disukai
0
Dilihat
2,091
KALAU ADA YANG SULIT, KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
Slice of Life

Bersinggungan langsung dengan bos bukan berarti karirmu gemilang dan tabunganmu bertambah. Melainkan, kamu akan lebih sering mengalami gejala-gejala psikosomatis. Seperti sesak napas, mual, muntah, dan parahnya asam lambung jadi naik. Itu gejala paling berat. Kalau kamu mau milih gejala paling ringan, rata-rata karyawan di sini pada mengalami migrain. Itu aja!

Perihal gaji. Gaji sebatas UMK Kabupaten Sleman kalau kamu masuk penuh tanpa pernah ijin. Kalau kamu pernah ijin, maka gaji bersih yang diterima bisa lebih sedikit karena jatah uang makanmu akan dipotong. Sehingga kamu hanya akan menerima Rp. 1,9 jutaan. Kalah dengan gaji SPG yang bekerja di mall-mall Yogyakarta.

Kalau aku ditanya suka nggak bekerja di institusi pendidikan? Jawabannya, suka-suka aja. Apalagi bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion. Bersyukur banget dapat rejeki seperti ini.

Tapi yang jadi masalah ketika kamu memiliki bos cowok yang baperan dan hal-hal sepele dibikin sulit atau bahasa gaulnya ‘njelimet’. Do you know ‘njelimet’? Ruwet. Eh, itu bukan bahasa gaul ya? Hehe maaf, maksudku Bahasa Jawa.

Seperti itulah bos ditempatku bekerja selama ini. Sampai-sampai aku dan teman-teman suka sekali melontarkan kalimat ‘kalau ada yang dipersulit, kenapa harus dipermudah?’ setiap kali menerima perintah yang tidak masuk akal dari bos atau apapun itu.

Aku bekerja sebagai Staf Publikasi di Sekolah Panutan. Lokasinya berada di Yogyakarta. Sekolah ini terdiri dari KB, TK, SD, dan SMP. Aku bertugas untuk membuat konten media sosial Instagram dan Facebook sekolah.

Tentu saja tidak cukup mengelola konten, aku juga mendapat job tambahan menjadi fotografer dadakan untuk mengisi konten yang dihandle sendiri. Aku yang membuat konsep karena ketidakjelasan job desk dan aku pula yang mengerjakannya. Oh iya, seumur hidupku, aku belum pernah megang kamera DSLR, tapi di sini semuanya bisa terjadi.

Sudah hampir 4 tahun aku bekerja dan belum ada jobdesk tertulis. Lebih tepatnya, setiap karyawan membuat jobdesknya sendiri-sendiri. Padahal sekolah ini sudah berdiri sekitar 6 tahun, tapi baik karyawan senior sampai junior ternyata sama-sama belum pernah mendapat jobdesk tertulis dari atasan mereka.

Sudah banyak teman seniorku yang resign. Tidak semuanya resign, ada yang sudah habis kontrak kerja. Bagi yang resign, alasan mereka bermacam-macam. Ada yang karena ikut suami, hamil, mau menikah, melahirkan, mau fokus mengurus anak, sakit yang butuh istirahat panjang, hingga mendapat pekerjaan yang lebih baik di luar sana.

Kalau aku boleh jujur, kebanyakan alasan mereka sudah tidak betah bekerja dengan Pak Saiful, bos kami. Ya gimana mau betah punya bos baperan, pelit, dan sifatnya yang superior gitu. Apalagi bos pernah bilang saat sarasehan, “Sekolah Panutan tidak bisa membuat kalian kaya. Kalau mau kaya, jangan di sini karena di sini fokusnya untuk beribadah. Niatkan dalam diri kalian untuk IBADAH!”

Bersinggungan langsung dengan bos bukan hal yang menyenangkan. Dengan karakter Pak Saiful yang menyebalkan, lebih baik menyehatkan mental diri sendiri daripada memaksakan diri untuk masuk ke zona stress berkepanjangan. Aku termasuk karyawan yang sering mendapat omelan dari Pak Saiful perihal kerjaan.

Aku tidak sendiri. Karyawan yang pekerjaannya bersinggungan langsung dengan bos pasti tidak luput dari omelan. Kami adalah orang-orang yang sering mengalami migrain setelah mendapat omelan.

Sebagai karyawan senior, teman-teman menilaiku sebagai orang yang supel, ramah, pendiam, dan loyal. Tidak sedikit teman-teman curhat langsung kepadaku. Dari situlah aku semakin yakin bahwa bos kami memang tidak beres dalam mengelola sekolah.

Terlepas dari buruknya sistem manajemen sekolah, aku menyukai pekerjaan ini. Passionku suka membuat konten-konten untuk media sosial. Sampai dengan detik ini, aku masih bisa dibilang betah bekerja di Sekolah Panutan.

Sekarang, coba deh sharing kekonyolan apa yang pernah bos kalian lakukan saat memberi perintah sama bawahannya? Kalau disuruh nyebutin, bisa-bisa jadi satu buah novel best seller.

Seperti waktu liburan kenaikan kelas yang berlangsung selama dua pekan. Biasanya, baik tim pendidik maupun tim operasional sepertiku ada jatah untuk libur. Tapi baru merasakan satu hari libur, tiba-tiba semua tim operasional diwajibkan untuk masuk kerja alias tidak ada jatah libur. Memiliki bos yang baperan sangat berpengaruh pada peraturan sekolah yang bisa berubah-ubah sesuka hatinya.

“Semua tim operasional wajib masuk kerja. Tidak ada yang aturannya tim operasional libur. Tim operasional itu bukan pendidik. BEDA! Enak sekali ada libur!” omel Pak Saiful melalui chat grup WA Tim Koordinator Operasional.

Dari omelannya itu membuat tim operasional semakin merasa tidak dihargai. Tanpa kami tim operasional, sekolah bukanlah apa-apa. Tanpa tim operasional, tim pendidik akan kerepotan mengurus ini dan itu. Kami pun juga membutuhkan tim pendidik. Kalau dalam pelajaran ilmu pengetahuan, kami adalah simbiosis mutualisme. Bisa-bisanya Pak Saiful bilang kami berbeda dan nggak dapat jatah libur.

“Pak, kami punya keluarga yang butuh kehadiran kita di hari libur, Pak,” kalau saja waktu itu aku punya kesempatan untuk ngomong langsung dengan Pak Saiful.

Sepertinya Pak Saiful masih terbawa baper dengan kejadian beberapa waktu lalu yang sempat memanas antara dirinya dengan Pak Ade. Setelah mendengar cerita langsung dari Pak Ade, aku bisa menyimpulkan kalau Pak Saiful salah persepsi. Kejadian itu bermula saat Pak Ade menanyakan perihal anggota tim operasional yang diharuskan masuk pada hari Minggu karena ada acara di sekolah.

“Saya itu bukan membahas perihal uang lembur, Nad. Pak Saiful mengira saya minta uang lembur,” curhat Pak Ade saat aku berada di ruangannya. “Saya itu mau memastikan apakah anggota operasional yang besok masuk kerja di hari Minggu bisa dapat ganti libur di hari Senin.”

“Padahal kalaupun lembur, seharusnya kita juga berhak dapat uang lembur lho, Pak,” tegasku waktu itu.

“Ya iya, itu juga. Tapi Pak Saiful udah ketok palu kalau tidak ada uang lembur atau transaksional semacam itu di sini. Katanya kalau mau dapat uang lembur, jadi kuli aja,” kata Pak Ade dengan wajah kusut.

Aku mengiyakan perkataan Pak Ade karena kalimat itu adalah bahasa chat Pak Saiful yang disampaikan langsung melalui grup WA Tim Koordinator Operasional. Kebetulan aku berada di dalam grup tersebut. Entah dianggap sebagai koordinator apa, mungkin Koordinator Publikasi. Anggap saja begitu.

Dampak dari tidak ada libur dan tidak ada uang lembur ternyata berbuntut panjang. Aku jadi merasa kasihan dengan teman-teman operasional. Bagaimana tidak? Setiap tanggal merah mau itu hari Minggu, hari nasional, atau hari apapun itu, perwakilan tim operasional wajib masuk kerja. Tentu saja termasuk Pak Ade dengan jam kerja yang lebih kondisional.

Staf SDM rajin mengirimkan scan surat tugas melalui grup WA Tim Operasional dalam format PDF yang sudah ditanda tangani oleh Pak Saiful. PNS saja ada libur, masa teman-temanku nggak? Kalau takut sekolahnya hilang, masukin kantong aja. Kalau alasannya nggak ada yang jaga, lalu tugas satpam sekolah apa dong?

Perlu kalian tahu kalau kondisi kami di sini lebih banyak tertekan karena sistem manajemen yang tidak jelas. Pak Saiful adalah bos yang baperan, bahkan lebih baper dibanding cewek-cewek pada umumnya. Itu mungkin yang membuatnya melihat segala sesuatu kalau ada yang sulit, kenapa harus dipermudah? Padahal kalau cowok seharusnya berdasarkan logika dan praktis. Tapi ini nggak!

***

“Gimana ini? Kenapa IG dan FBnya nggak update? Gimana Nadia?” – chat WA Pak Saiful.

Sarapan pagiku adalah omelan yang dikirimkan Pak Saiful melalui grup WA Tim Publikasi. Notifikasi itu aku baca selepas sholat Shubuh. Chat WA itu belum aku buka. Biarlah nanti saja kalau udah di kantor. Tapi karena jantungku berdebar nggak karuan, aku pastikan dengan membuka IG sekolah. Sebagai admin media sosial sekolah, aku bisa melakukan pengontrolan dengan lebih mudah.

Jemari tangan kananku sibuk melihat feed-feed di IG sekolah. Postingan terakhir yang aku share sehari yang lalu. Otomatis postingan di IG akan sama dengan di FB sekolah.

“Darimana nggak updatenya, Pak?” batinku.

Selama ini aku berdiskusi dengan tim pendidik terkait konten-konten media sosial sekolah. Termasuk penjadwalan postingan di media sosial sekolah. Kok bisa-bisanya Pak Saiful bilang aku nggak update?

Sesampainya di ruang IT, aku menghempaskan tubuhku di kursi. Desahan panjang membuat teman seruanganku melihat dengan heran.

“Pagi-pagi udah bikin sebel. Bikin nggak nafsu makan,” omelku.

“Kenapa?” tanya Hasbi yang tempatnya bersebelahan denganku.

“Pak Saiful lagi banyak masalah ya? Pagi-pagi udah ngomel aja. Sekarang aku juga ketularan ngomel nih! Masa aku dibilangin nggak update posting di IG sama FB?” ceritaku sambil menyalakan laptop.

“Ya udah, jawab aja kalau kamu update,” suruh Hasbi.

“Baru mau aku bales,” jawabku singkat.

Aku segera menjelaskan dengan singkat. Intinya, aku baru posting sehari yang lalu. Dari jawabanku itu, biasanya baru tahu apa keinginan Pak Saiful sebenarnya. Apakah baru saja mendapat komplain dari seseorang yang hendak menjatuhkanku atau sedang ada ide dadakan darinya yang harus segera dipenuhi.

Beberapa menit kemudian, bunyi notif grup WA dari hpku berbunyi.

“Mana? Nggak ada kegiatan anak-anak. Cuma ucapan hari besar … Kamu harus update. Belajar dari sekolah lain yang kontennya bagus-bagus … Ada Sekolah Pelangi, Sekolah Budi Pekerti, kamu harusnya bisa diskusi sama orang-orang yang ahli di bidang medsos. Bisa-bisa sekolah kita ketinggalan jauh.” – chat WA Pak Saiful.

“Postingan terakhir desain ucapan Hari Pahlawan, Pak. Baik, terima kasih untuk sarannya.” – balasku.

Aku hanya membalas sebatas itu. Malas juga memberikan penjelasan panjang kali lebar. Selama ini, aku ingin mengikuti pelatihan atau seminar yang rata-rata berbayar. Nyatanya sekolah tidak memberikan kemudahan akses untuk itu.

Aku pernah ikut seminar yang berbayar satu kali. Surat ijin aku sampaikan kepada pihak sekolah. Maksud hati biar paham gitu mengganti biaya seminar atau minimal dukungan, tapi ternyata nggak ada respon apa-apa.

Aku nggak masalah uang seminar pakai uangku sendiri, ilmunya juga buat aku sendiri dong. Nggak bakal buat sekolah ini. Berbeda jika aku ikut seminar yang gratis. Kalau ikut seminar gratis, rata-rata yang disampaikan ilmu dasar yang sudah aku pahami dan kuasai.

Aku pikir setelah membalas WA, tidak akan ada pembahasan lanjutan. Malamnya, Pak Saiful mengirim chat lagi di grup WA Tim Publikasi. Rupanya bosku itu meminta feed-feed di media sosial harus ada desainnya. Dari situ aku baru paham kalau Pak Saiful ingin postinganku tidak polosan atau foto saja. Tapi diberi desain atau bahasanya template agar kelihatan lebih menjual.

“Ya elah Pak, kenapa nggak langsung to the point aja dari tadi. Bilang aja kalau mau minta tampilan feed di medsos ada templatenya. Ribet amat harus diawali pakai omelan segala. Itu kan nyebelin,” omelku pada diri sendiri saat membaca chat itu sambil rebahan di kamar.

Ya begitulah. Kudu sabar menghadapi bos seperti Pak Saiful. Kalau ada yang sulit, kenapa harus dipermudah? Kalau bisa dibikin muter-muter dulu obrolannya, kenapa harus to the point?

***

Seperti biasa, aku membeli sarapan di warung makan depan sekolah. Sekarang sudah jam 08.10, driver Sekolah Panutan juga biasa sarapan di sana. Tentunya mereka sambil mengobrol. Tahulah kalau udah ngobrol, pasti pembahasannya nggak jauh-jauh dari Pak Saiful.

“Pagi-pagi udah dapat kiriman dari Pak Ade. Seluruh driver harus kerja bakti besok Sabtu. Pasang karpet rumput di playground TK, ngecat bangku TK, nyapu lantai gedung serba guna bagi yang luang, ngatur parkir …,”

Aku yang mendengarkan perkataan Pak Yanuar, salah satu driver Sekolah Panutan, hanya bisa menahan tawa. Ingin sekali ikut nimbrung bersama mereka. Tapi itu tidak mungkin karena meja warung itu sudah penuh dengan cowok-cowok tim operasional.

Aku mengambil lauk lambat-lambat sambil tetap stand by untuk menguping obrolan itu.

“Sebenarnya tugas driver itu apa sih? Nyupir?” lanjut Pak Yanuar. “Job desk kok nggak jelas!”

“Romusha,” batinku menahan geli.

“Masalah lem kemarin aja belum kelar. Terus gimana itu karpet rumput di lapangan sepak bola SD?” sambung Pak Darmawan yang juga driver Sekolah Panutan.

Aku jadi teringat chat di grup Tim Operasional belum lama ini. Para driver sedang memanas. Sepertinya ada yang melaporkan ke Pak Saiful perihal pemasangan karpet rumput di lapangan sepak bola SD yang sempat mengelupas.

Aku tidak tahu pasti permasalahannya. Hanya saja Pak Yanuar menyampaikan permintaan tolong di grup WA Tim Operasional agar dibantu mencarikan cat paling kuat untuk mengelem karpet rumput itu. Lem-lem yang dipakai selama ini tidak bisa merekat dengan kuat di ubin. Sepertinya melihat karpet rumput yang belum tertata sempurna membuat Pak Saiful menyimpulkan kerja driver kurang maksimal.

Bisa kalian ketahui seperti apa tekanan batin dan psikis kami bekerja di Sekolah Panutan. Tim operasional yang lebih sering bersinggungan dengan Pak Saiful, maka lebih sering masuk ke zona-zona yang tidak aman. Salah satunya seperti teman-teman driverku yang bekerja di luar job desk utama mereka. Bukan nyupir, tapi nguli!

***

Mungkin dalam benak kalian bertanya-tanya, kenapa aku atau teman-temanku tidak menyampaikan keluh-kesah langsung kepada Pak Saiful. Tidak banyak yang berani menjadi karyawan ‘vokal’ di sini. Aku termasuk yang ‘belum’ memutuskan untuk berubah menjadi karyawan seperti itu. Konsekuensinya sangat berat. Lebih tepatnya, teramat sangat berat.

Pak Ade termasuk orang yang apes. Baru bergabung satu tahun sebagai karyawan baru di Sekolah Panutan, jabatannya sudah diturunkan menjadi staf. Entah staf apa aku kurang paham karena dia tidak menjelaskan dengan detail.

Tadinya, Pak Ade adalah Koordinator Operasional. Gajinya pun dipotong. Kalau aku jadi Pak Ade, saat dia disidang Pak Saiful perihal ‘upah lembur’ itu, lebih baik memilih resign. Jelas-jelas Pak Saiful nggak menghargai Pak Ade.

Apakah Pak Saiful menanyakan langsung alasan Pak Ade waktu itu? Tidak sama sekali! Tahu-tahu Pak Ade mendapat omelan dan mendapat bonus turun jabatan.

Sidang? Kalian pasti bertanya-tanya apa yang aku maksud dengan sidang. Iya sidang. Tapi bukan sidang dalam arti sebenarnya. Bukan sidang yang menghadirkan hakim, panitera, jaksa penuntut umum, terdakwa, apalagi Pak Saiful sebagai korban. Bukan, bukan seperti itu. Malahan karyawan Pak Saiful yang menjadi korban sebenarnya dari sistem manajemen sekolah yang nggak pernah beres.

Bukan juga sidang skripsi. Mana mungkin Pak Saiful tiba-tiba berubah wujud jadi dosen yang killer. Sidang di sini adalah sebutan yang kami buat setiap kali ada karyawan Sekolah Panutan yang baru saja dipanggil ke ruangan Pak Saiful dan mendapat omelan plus bonus. Bonusnya bisa apa saja, entah itu dipaksa untuk resign, potong gaji, turun jabatan, SP 1, SP 2, suka-suka Pak Saiful deh pokoknya.

Para korban yang sudah pernah di sidang, semuanya tidaklah bersalah. Mereka hanya menyampaikan saran dan kritik yang sebenarnya untuk kebaikan sekolah itu sendiri. Namanya juga punya bos yang baperan dan nggak pernah mau membuka hati untuk tabayun. Pak Saiful lebih suka mencari-cari kesalahan dan memanipulasi pikiran si korban.

Biasanya Pak Saiful tidak sendirian saat menyidang. Dia biasa ditemani oleh Pak Waskito yang mengaku sebagai konsultan SDM Sekolah Panutan. Padahal mengenal kami, para karyawan, secara baik saja belum pernah sama sekali. Tanpa banyak bicara, hari itu juga si korban biasanya langsung dieksekusi. Sekolah yang berjalan dengan sistem manajemen keluarga memang tidak bisa diharapkan lebih. Kekuasaan penuh ada di Pak Saiful sebagai bos alias Ketua Yayasan Sekolah Panutan di Yogyakarta.

Padahal kalau dilogika itu simpel lho. Nggak perlu sampai sidang segala. Tinggal panggil aja yang bersangkutan. Ngobrol baik-baik apa yang diinginkan. Kalau bisa dipenuhi syukur, kalau belum bisa kasih penjelasan. Simpel. Oh sori-sori, aku lupa … kalau ada yang dipersulit, kenapa harus dipermudah? Ini harus kita ingat bersama!

Maka dari itu, aku dan teman-temanku lebih memilih bermain aman. Rata-rata dari mereka adalah orang-orang yang BU alias Butuh Uang untuk keluarganya. Aku bisa memaklumi itu. Meskipun dari lubuk hati paling dalam kasihan juga harus bekerja di tempat yang toxic seperti ini. Sepertinya aku juga mengasihani diriku sendiri.

***

Sebentar lagi persiapan wisuda untuk TK B dan kelas 6. Beruntung SMP masih sampai kelas 8. Hasbi sudah senewen sejak tiga hari lalu. Beruntung aku tidak terlibat dalam panitia inti yang harus sibuk rapat setiap hari.

“Semua wali siswa hadir. Ngapain juga harus pakai live streaming. Siapa yang mau nonton? Apa iya wali siswa yang hadir disuruh pegang hpnya masing-masing dan lihat secara daring? Kurang kerjaan,”

Aku menghela napas. “Ya udah bilang aja langsung ke Pak Saiful. Apa susahnya sih, Bi.” Aku mengomelinya.

Hasbi menggeleng. “Percuma. Itu udah permintaan Pak Saiful. Mana ada yang berani membantah.”

Aku pun tidak menimpalinya lagi. Aku juga tidak memarahi temanku ini karena mengeluh. Keluhan antarkaryawan Sekolah Panutan adalah hal biasa dan tidak boleh dilarang. Kalau dilarang, entah bakal seperti apa jadinya kita. Keluhan membuat perasaan kami menjadi lebih lega, meski tidak ada solusi. Jelas tidak ada solusi karena semua keputusan ada di tangan Pak Saiful.

Acara wisuda pun tiba. Aku tidak ikut merasakan hiruk-pikuk di gedung serbaguna Sekolah Panutan. Berdiam diri di ruang IT seorang diri. Hasbi sibuk sebagai panitia inti. Tugasku cukup duduk manis mempersiapkan konten untuk media sosial sekolah.

Selang tiga jam sejak acara wisuda berlangsung, ada notif WA masuk di hpku. Link live streaming YouTube Sekolah Panutan membuatku gatal untuk melihatnya. Padahal sebelumnya aku sudah memutuskan untuk tidak mau melihatnya. Biasanya jumlah penontonnya cuma dua, aku dan Hasbi.

Belum sempat aku buka chat tersebut, sudah muncul lanjutan notif dari pengirim yang sama. Dalam kalimat itu aku diminta untuk menyaksikan menit ke-17. Aku pun jadi semakin penasaran dan segera mengikuti live streaming wisuda Sekolah Panutan.

Setelah mendengarkan hampir tiga menit, ingin sekali aku tertawa. Tapi yang hanya bisa aku lakukan adalah menahan geli. Ada seorang bapak paruh baya yang menyebutkan dirinya sebagai wali siswa dari salah satu anak yang di wisuda hari ini. Bapak itu bernama Pak Komarudin.

“Saya hendak menyampaikan keganjalan sejak tadi pagi tiba di gedung serbaguna yang mewah ini. Saya tidak tahu bagaimana kerja panitia wisuda. Tapi yang saya terima, undangan wisuda dimulai pada pukul 08.00 pagi. Saya lihat jam tangan, sudah jam 08.00 tepat. Saya tiba di sini sudah sejak pukul 07.45 karena tidak ingin terlambat. Tapi ternyata pukul 08.30 acara juga belum dimulai. Tamu undangan juga masih banyak yang belum datang. Saya dan para wali siswa lainnya yang berusaha keras datang secara on time saling bertanya. Sejak tadi, saya dan Bapak-Ibu wali siswa di sini bertanya-tanya kenapa acaranya belum juga dimulai. Tahu gitu tadi tidak buru-buru di jalan. Ternyata acara baru dimulai pukul 09.00 lebih berapa … saya tidak lihat jam lagi karena sudah bosan menunggu …,” kata Pak Komarudin dalam sesi tanya-jawab.

“sebagai sekolah yang memiliki nama baik. Sekolah Panutan. Seharusnya benar-benar bisa menjadi panutan, Bapak-Ibu sekalian. Menjadi contoh! Bukan seperti ini, melanggar peraturan yang dibuat sendiri. Katanya acara dimulai pukul 08.00 tapi molor jadi satu jam sendiri. Mohon menjadi perhatian ya, Bapak dan Ibu guru, direktur, ketua yayasan, sebab secara tidak langsung akan diikuti oleh anak-anak didiknya. ‘Oh, guruku nggak on time kok ternyata[,” lanjut Pak Komarudin.

Dari situ, aku tidak menonton kelanjutan live streaming tersebut. Aku sudah tahu maksud Wirya, temanku yang sudah nggak kerja di sini, menyuruhku untuk menyaksikan pada menit ke-17. Semoga ini menjadi salah satu teguran dari Allah untuk Pak Saiful. Semoga …

***

“Pak Ade barusan dipanggil lagi. Mbak Faiza, Kepala Dapur juga,” Leta memulai ceritanya saat kami sedang makan siang.

Aku belum menjawab. Menunggu kelanjutan cerita dari teman kerjaku itu.

“Emang kenapa lagi?” Hasbi memancing.

“Kotoran cicak,” jawab Leta singkat.

Aku mengernyitkan dahi. “Kotoran cicak … ?”

Leta terkekeh. “Iya Nad, padahal cuma sebutir, lho. Kasihan Pak Ade kena omel lagi. Kemarin mereka berdua di sidang, tuh. Nggak tahu hasilnya kayak apa.”

“Terus?” Hasbi nggak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.

“Ya gitu,” ucap Leta sambil menyendok mie gorengnya.

“Maksudku siapa yang lihat kotoran cicak?” Hasbi masih penasaran. Begitu juga dengan aku. Tapi kalau aku lebih ke silent dulu.

“Kemarin sore Pak Saiful ke dapur. Nggak tahu kok tiba-tiba main ke sana waktu tim dapur udah pada pulang. Ya iyalah udah pulang udah jam 04.00 sore juga. Terus Pak Saiful lihat ada kotoran cicak di meja dapur. Satu butir doang,” cerita Leta yang masih menahan geli.

“Kamu diceritain siapa, Ta?” tanyaku kemudian.

“Pak Saiful sendiri yang cerita waktu kami rapat tadi pagi. Bukan bahas evaluasi, malah banyak cerita dan menyalahkan orang,” jawabnya.

Aku lihat mie goreng di piring Leta udah hampir habis. Siang ini aku kurang nafsu makan. Aku udah kenyang mendengarkan berita kekonyolan terbaru Pak Saiful dari Leta.

“Emang gitu kan bos kita. Judulnya aja rapat, tapi lebih banyak ngomongin orang. Misal nih, rapat satu jam, lima puluh menit untuk ghibah dan sepuluh menit untuk bahas rapatnya,” celetuk Hasbi sambil memainkan garpunya di atas piring.

Aku dan Leta tertawa karenanya. Memang benar yang dikatakan Hasbi. Itu juga terjadi padaku saat Pak Saiful mengajak rapat. Udah datangnya telat karena ada tamu dadakan, masuk-masuk ruangan rapat cuma bahasa ngalor-ngidul ghibahin orang. Baru serius membahas materi rapat hanya sepersekian menit sebelum akhirnya adzan Dhuhur berkumandang.

“Kasihan tim dapur. Udah berkali-kali kena sidak dan omelan,” ucap Hasbi iba.

“Mereka dinilai nggak menjaga kebersihan. Pak Saiful menilai kalau tim dapur nggak tuntas dalam bekerja. Terus Pak Ade dibilangin nggak becus mengawasi timnya,” Leta terlihat geleng-geleng kepala dengan ceritanya sendiri, “padahal cuma sebutir.” Jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ia satukan untuk menunjukkan seberapa kecil butiran kotoran cicak yang dilihat oleh Pak Saiful.

“Kamu dari tadi ngomong cuma sebutir … cuma sebutir terus, Ta,” celetuk Hasbi yang merasa jengkel.

Aku menengahi. “Bener kata Leta, cuma sebutir kenapa dipermasalahin. Jangan-jangan tuh cicak juga dicari dan mau di sidang?”

Mereka tertawa mendengar perkataanku.

“Menurutku itu cicak buang kotoran setelah meja dapur dibersihkan. Nggak mungkin tim dapur meninggalkan dapur dalam keadaan belum beres. Bisa-bisa kena omel lagi. Udah dibersihin aja masih kena omel karena kotoran cicak. Kita juga nggak bisa nyalahin cicaknya,” aku jengkel dengan sikap Pak Saiful yang nggak mau tabayun dulu. “Terserah cicaknya kan mau buang kotoran di mana dan kapan aja. Masa ya harus mikir dulu ‘eh itu kan meja dapur udah bersih, aku jangan buang kotoran di situ deh, kasihan tim dapur nanti kenal omel Pak Saiful’ nggak gitu juga kan konsepnya?”

Hasbi tertawa lebih keras. Merasa puas dengan ucapanku yang terkesan sarkas.

“Bener lho, Bi. Cicaknya juga nggak bisa nahan sakit perut. Kalau mau buang kotoran ya buang aja. Nggak bakal mikir kayak gitu juga kan?” lanjutku. “Simpel. Nggak usah dibesar-besarkan. Pak Saiful bisa ambil tisu, bersihin itu kotoran cicak, lalu buang. Beres.”

“Nad,” Hasbi memperingatkanku sambil berbisik, “kalau ada yang sulit, kenapa harus dipermudah?”

Spontan, aku menepuk dahiku. “Oh iya, sori-sori aku lupa. Makasih lho udah diingetin.”

Cerita Leta tentang Pak Ade dan tim dapur ini ternyata belum juga membuat Pak Saiful berubah menjadi lebih baik. Aku pikir sejak teguran dari Pak Komarudin waktu acara wisuda itu menyadarkan pemikiran Pak Saiful. Tapi ternyata … kekonyolannya malah lebih parah.

***

Melihat kondisi Sekolah Panutan semakin hari yang semakin tidak jelas sistem manajemennya membuatku ragu untuk terus berada di sini. Sayang sekali, dari segi pekerjaan, aku sudah sangat nyaman karena ini memang passionku. Selain tidak bisa berkembang dan tidak kunjung naik jabatan hanya sebagai staf publikasi, aku harus bekerja di tempat lain. Tempat yang membuatku bisa lebih berkembang dan waras. Sebab berhadapan dengan bos yang seperti itu, jika harus berada lebih lama lagi di Sekolah Panutan, bisa-bisa aku yang bakal masuk rumah sakit.

Aku berharap Pak Saiful bisa mendapatkan hidayah. Tapi apa iya bosku itu akan berubah dan menjadi sadar? Sepertinya tidak … aku ralat, sepertinya belum karena harus tetap husnudzon. Apakah aku hanya akan menunggu hingga masa kontrak PKWT berakhir atau sekalian membuat gebrakan yang akan membuat Pak Saiful tersadar, sebelum aku menyelesaiakn kewajibanku di sekolah ini? Apakah aku akan menjadi karyawan yang ‘vokal’?

“Sabar Nad, tinggal beberapa bulan lagi. Semangat!” ucapku pada diri sendiri.

*** END ***

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi