Disukai
0
Dilihat
640
Tujuh Belasan di Desa Dukun
Komedi

Saat masih kecil, saya tinggal di desa Dukun yang sebagian besar masyarakatnya, hampir 98%, adalah dukun. Sayangnya, saya bukan salah satunya. Karena tidak punya bakat dukun, saya pun disebut Mugghal. Hanya ada sedikit Mugghal di desa ini, salah tiganya adalah teman saya, Harmoni, yang pandai dan selalu membawa buku—bertumpuk-tumpuk buku—Roni, sahabat pertama saya, dan saya sendiri, Hari. Hari Poltak. Saat tahu putera semata wayangnya bukan dukun, orang tua saya sangat kecewa, itu berarti saya tidak dapat bersekolah di almameter mereka, Hogawat. Tapi itu cerita lain. Kali ini, saya tak hendak menulis tentang petualangan kami, Harmoni, Roni, dan saya, mengalahkan Dukun Jahat Kau-Tahu-Siapa—itu rencananya akan saya tulis dalam tujuh jilid buku. Juga tidak tentang Hogawat, sekolah Dukun yang tidak boleh kami masuki, tapi setelah mata ketiga kami terbuka—hasil belajar secara intensif di DukunKilat, instansi pendidikan untuk para Mugghal kelahiran darah murni yang kemungkinan besar punya bakat dukun, hanya saja terpendam di bawah DNA, kami pun mendapat surat yang dikirim oleh raksasa bernama Hagrid (kesamaan nama hanya kebetulan). Agar selalu diingat, meskipun gede bongsor, Hagrid bukan buto ijo. Tidak, sekali lagi, saya tidak hendak menceritakan itu. Alih-alih, saya akan menceritakan pengalaman tujuh belasan di desa Dukun, yang sangat berbeda dengan desa lainnya. Berhubung momennya pas.

Perayaan tujuh belasan di desa Dukun, selain mengundang yang hidup, juga melibatkan yang mati, seperti pocong, kuntilanak, buto ijo, kakek cangkul, nenek gayung, suster ngesot, babi ngepet, Ibu di film Pengabdi Setan, naga dan rajawali yang CGI-nya keliatan banget, Valak, dan hantu kepala buntung. Duduk di meja juri adalah PDI-P (Persekutuan Demit Indonesia — Perjuangan) yang mewakili para demit; dan P4D (Perserikatan Dukun-Dukun di Desa Dukun) yang anggotanya adalah dukun-dukun paling berbakat di desa ini, yakni Dumpal Dori Si-Janggut-Lebat, Sugenap spesialis ilmu gelap, Hagrid (kesamaan nama hanya kebetulan) pengawas hewan liar di Hogawat, dan beberapa dukun lain yang sakti mandraguna, yang saking saktinya seolah tidak bisa lebih sakti lagi.

Ada sedikit kesalahpahaman di benak khalayak, bahwa untuk mengundang para demit, yang kita butuhkan adalah bunga-bungaan atau bakar-bakaran yang harum bau asapnya. Tidak. Sebaliknya, justru. Para demit suka bau-bauan busuk. Daging yang sudah belatungan, jamur-jamur yang berjamur, ikan asin yang terfermentasi, susu kedaluwarsa, bau jigong anggota dewan, dan lain-lain. Semakin busuk semakin asyik, kata Sari, kuntilanak yang tahun lalu menjadi juara umum lomba tujuh belasan. Intinya, kalau mau acaramu didatangi demit, harus sediakan banyak sajen bau. Makin bau makin banyak demit yang datang. Apa sebab? Itu karena mereka tidak punya indra penciuman, tapi berharap bau-bauan yang tajam itu tercium; itu menyenangkan mereka. Bahkan, beberapa demit mengaku bisa merasakannya juga; yang kemudian jadi polemik. Para demit yang iri meneriaki demit itu pembohong, tapi langsung dipungkas, "Namanya juga demit," oleh demit yang mengaku bisa merasakan makanan itu. Karena para demit tidak bisa makan, mereka selalu merindukan rasa makanan. Busuk pun tak apa, lah, kata mereka, asal bisa terindrai. Mereka tidak suka wewangian karena mengingatkan mereka kepada malaikat.

Jadi, jangan heran kalau acara tujuh belasan di desa Dukun luar biasa bau. Di mana-mana tercium kebusukan, terutama dari meja PDI-P yang serbamerah dengan logo banteng bertanduk iblis. Mereka adalah demit terhebat di antara yang terhebat, karena itu sajennya harus yang paling busuk di antara yang terbusuk.

Nah, perayaan tujuh belasan kali itu berbeda. Karena mata ketiga saya sudah terbuka, saya bisa melihat demit-demit yang diundang, meski dalam bayang-bayang kebiruan yang tidak terlalu jelas. Ada barisan tuyul yang akan dijadikan pengganti bebek di perlombaan Kejar Tuyul, ada para kuntilanak yang akan disuapi kerupuk oleh peserta lomba kerupuk, ada pocong-pocong yang siap berlomba dengan para peserta balap karung, juga ada setoples kelereng yang akan dimakan oleh pemilik ilmu kebal. Dengan dilatari suara merdu biduan yang menyanyikan Ojo Dibandingke sebanyak empat belas kali—tiga kali dengan nada minor—tentu saja semua dengan irama metal (namanya juga desa dukun, dekat dengan setan), acara pun dimulai.

Di antara semua lomba, menurut saya, yang paling menarik adalah Lomba Menempel Kepala yang dimeriahkan Hantu Kepala Buntung.

Cara mainnya sederhana saja: kepala para hantu diletakkan di atas meja, lalu peserta (yang masih hidup) berlomba memasangkan kepala-kepala itu ke masing-masing tubuh yang berdiri di seberang meja. Yang menang adalah siapa yang paling banyak menempelkan kepala ke tubuh yang tepat. Masing-masing kepala akan memberi petunjuk di mana pasangannya berdiri. Tapi, karena mereka demit, besar kemungkinan petunjuk itu menyesatkan.

Sayangnya, di antara Hantu Kepala Buntung, ada Mukidin yang setiap tahun hanya bisa menonton penuh damba, sebab kepalanya hanya nyaris buntung. Saat masih hidup, Mukidin dibacok enam belas kali di leher dengan golok tumpul, tapi nahas, dia meninggal saat kepalanya masih tergantung satu senti dari lehernya, dan itu membuatnya tidak bisa bergabung dengan hantu-hantu yang kepalanya buntung sempurna. Mukidin penasaran ingin memburu pembunuhnya. Dia dendam kenapa pembunuh itu tidak membacok kepalanya sampai putus? Jadi algojo yang bener apa susahnya, sih? keluhnya, selalu. Kepala Mukidin yang hanya nyaris buntung menjadi bulan-bulanan Hantu Buntung karena—yah—kepalanya cuma nyaris buntung. Dia sudah berkali-kali memohon kepada Hantu Jeruk Purut selaku ketua perhimpunan hantu buntung, tapi selalu ditolak. Dia ingin membuat perhimpunan sendiri, tapi sepanjang hidupnya—atau matinya lebih tepatnya?—Mukidin tidak pernah menemukan hantu separuh buntung sepertinya. Alhasil, Mukidin menjadi hantu kesepian yang setiap malam menulis sajak di depan api lilin yang dinyalakan para dukun saban senja.

Mukidin dibunuh di Hutan Keramat, bertahun-tahun yang lalu. Dia dituduh pengikut partai Merah yang berusaha diberangus hingga tak bersisa oleh pemerintah. Sebenarnya, sudah sejak lama para malaikat dan makhluk suci, seperti kuda bersayap dan roh pohon, menghuni Hutan Keramat, dan itu pula yang membuat para dukun enggan memasukinya—bisa-bisa mereka disucikan! Tapi, ternyata itu sama sekali tidak menghalangi negara untuk membantai rakyatnya, bahkan tanpa sebab yang jelas, di hutan itu. Jika kamu tidak menyukai tetanggamu, tuduh saja dia Merah, esoknya mayatnya akan mengambang di sungai yang memerah karena darah, tanpa kepala—itulah sebabnya populasi Hantu Buntung di desa ini banyak sekali. Sekarang, hutan itu sudah kembali tenang, para malaikat mengumpulkan mayat-mayat di satu tempat, lalu menguburkan mereka dengan layak. Tapi kesucian Hutan sukar untuk dikembalikan. Manusia-manusia tanpa-nama yang mati di hutan itu, menjadi hantu penasaran yang berkeliaran di antara pepohonan. Hidup berdampingan dengan malaikat dan para makhluk suci. Penghuni Hutan tidak mengusir mereka, sebab mereka tidak punya tempat lain untuk pulang.

Memang, saat itu keadaan benar-benar kacau, ujar Mukidin. Para tentara, dengan parang dan senapan, membantai pengikut Merah dengan beringas laiknya hewan buas—tidak, bahkan hewan buas lebih berbelas. Tentara-tentara itu tak hanya memberantas, tapi juga membumihanguskan segala yang dianggap berhubungan dengan Partai Merah, dan juga yang sama sekali tidak. Tidak ada lagi tempat aman, bahkan di pelosok. Desa Dukun, yang semula tenang dan damai, bukan kekecualian. Sungai kami menjadi sungai darah. Hutan kami menjadi hutan darah. Kabut kami menjadi kabut darah.

Semenjak mayat-mayat Tragedi Merah menghuni Hutan Keramat, tempat itu jadi betulan angker, dan sarat hantu. Jenazah-jenazah yang dibiarkan begitu saja tanpa disemayamkan, tergeletak di balik semak, menyatu dengan tanah sekitar, dan tak dikenal lagi. Kadang, kau hanya perlu mengandalkan kupu-kupu Lethe Diana untuk menemukan tubuh-tubuh nirbentuk dengan wajah dan badan hancur. Dengan segera, seluruh Hutan jadi berbau anyir, begitu pun seluruh desa.

Tapi itu sebelum penghuni hutan bahu membahu menguburkan para jenazah, tutup Mukidin.

Setelah mendengar curahan hati Mukidin, perlombaan-perlombaan di desa itu jadi kurang menarik lagi—tapi saya sempat ikut Kejar Tuyul, dan rekamannya saya upload di TikTok. Video itu dapat respons baik, meski ada juga komentar miring seperti, "Tuyulnya pasti efek CGI." Video itu langsung dihapus oleh Dewan Dukun karena melanggar Kode Etik Perdukunan. Kalau dunia luar tahu keberadaan desa Dukun, bisa-bisa kami diberangus Front Pembela Agama.

"Nah, Hari, maukah kau membantuku untuk menjadi Hantu Buntung sempurna?"

"Tapi bagaimana caranya?"

"Aku akan mengantarmu ke tempat jenazahku dikubur, lalu kau bisa memisahkan tengkorak kepalaku dari leherku. Atau, taruh saja kepala itu di tanganku yang tinggal rangka. Aku tidak bisa melakukannya sendiri dan tidak ada yang mau melakukannya untukku. Bahkan bagi para dukun, membongkar kuburan adalah tabu yang besar."

Dan begitulah awal cerita bagaimana Mukidin dan saya mengundurkan diri dari keramaian untuk memasuki Hutan Keramat. Karena para hantu sedang tujuh belasan di desa, hutan itu sepi, tidak ada satu pun demit yang terlihat, sementara para malaikat dan makhluk suci lebih suka bersembunyi jika tidak diperlukan. Meski hari masih siang, jalan yang kami lalui hampir tanpa cahaya. Aroma kayu tua menguar di sekeliling kami, tapi sama sekali tidak menyesakkan. Kabut meruap memudarkan panorama. Mukidin, dengan kepalanya yang sesekali melompat-lompat lepas dari lehernya, berjalan beberapa langkah di depan saya. Saya mengikuti dengan terengah-engah, sambil sesekali menyerukan tunggu.

Singkat cerita, kami sampai di lapangan berumput hijau yang membentang di ujung jalan setapak dan dikelilingi pohon-pohon muda—itu terlihat dari pepagannya yang belum memutih, tidak setua pohon-pohon lain yang saya lihat di dalam hutan. Kata Mukidin, di sinilah bersemayam makam saya dan teman-teman saya. Padang itu tak terlhat seperti kuburan. Tak ada nisan atau gundukan. Tak ada kembang ziarah. Hanya rerumputan yang beberapa bagiannya sudah disesaki semak gelagah dan ilalang. Tapi suasananya terasa berbeda. Terasa seperti ... makam.

Ketika melewati tanah itu, duka menindih dada saya. Mungkin itu sisa-sisa penyesalan, atau dendam, yang menguar dari jiwa-jiwa yang tertindas.

Tidak mudah berjalan di padang pembantaian itu. Semakin dalam saya memasukinya, semakin pekat udara yang saya hirup, seolah-olah setiap tarikan napas mengandung sejarah biadap yang tak terungkap. Tapi Mukidin hampir tidak peduli, atau begitulah yang terlihat. Dia lebih diam daripada biasanya.

Saya melihatnya berdiri termangu di satu titik yang ditumbuhi lalang-ilalang setinggi lutut. Saya, yang ketika itu memejamkan mata untuk mendengar suara jangkerik dan tonggeret, yang berderik nyaring di cuaca yang bening itu, tanpa sengaja meneteskan air mata. Mukidin menyadarkan lamunan saya dengan berkata, "Di sini." Suaranya sepucat es dan membuat kuduk saya meremang, tapi saya juga takjub, dia masih ingat di mana jasadnya dikubur—atau barangkali di sinilah rumahnya.

Tanah itu terlihat keras dan mustahil digali tanpa alat apa pun—bodohnya saya tidak membawa sekop atau garu. Tapi, dengan air mata berlinang, saya memutuskan untuk tidak memedulikan rintangan. Saya menggali dengan kedua tangan hingga kuku jari patah dan berdarah.


***


Kisah ini terjadi delapan tahun yang lalu, sebelum Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut, alias Tomi Marcopolo Raider, bangkit dari kematiannya. Entah bagaimana saya berhasil menggali makam itu, lalu memisahkan kepala Mukidin dari tangkainya. Saat ini, Mukidin sedang bermain lempar tangkap kepala dengan teman-teman yang sangat dicintainya.

Di sudut tak terlihat, Hantu Jeruk Purut, seraya menenteng kepala buntungnya, tersenyum bijak melihat rekan-rekan hantunya bermain dengan gembira.


Selasa, 15 Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi