Disukai
1
Dilihat
846
Tetanggaku Alien
Slice of Life

Mataku menatap nanar bangunan kos yang berdiri megah di balik pintu gerbang tinggi warna coklat yang baru saja aku buka. Sorotan sinar matahari terbenam terlihat indah mengintip dari balik gedung.

Aku menghela napas ringan, menutup pagar, kemudian melirik ke arah ruang jaga mbak kos. Berharap ada orang yang bisa kusapa sore ini. Tapi tidak ada. Parkiran motor dan mobil yang biasa penuh, kini hanya tersisa beberapa saja yang sengaja dititipkan karena mereka pulang kampung.

Kakiku melangkah setengah berat. Pikiranku kosong. Kuulurkan jempol jari tanganku untuk membuka akses pintu ke gedung kos.

Menaiki tangga menuju lantai dua gedung kosku, aku berusaha menenangkan hati tanpa tahu apa alasannya. Semua kamar kosong tanpa penghuni.

Pandemi Covid-19 mau tak mau buat tempat kosku kosong. Sebagai budak korporat yang harus kerja tak kenal ‘apa itu Covid’ hanya aku yang tersisa di kos. Semua penghuni kos yang rata-rata mahasiswi STAN tentu saja pulang ke rumah masing-masing. Tak tahu kapan pandemi ini berakhir, membuat mereka memutuskan pulang, toh kuliah juga online.

Keramaian yang dulu terasa, mendadak sepi. Sebagai introvert, aku suka sepi, tapi ya setidaknya tahu ada manusia lain bisa membuatku lebih tenang, walaupun aku juga tak berinteraksi dengan mereka sebelumnya. Di sisi lain, sebagai seorang jomblo, kesepian juga sudah menjadi sahabat terbaikku sejauh ini. Sehingga ditinggal anak kosan mudik bukan masalah besar bagiku.

Aku, seorang wanita berusia 35 tahun yang sudah bekerja sejak usiaku masih 21 tahun. Aku sering berpindah tempat kerja, jadi tak heran karierku tak begitu cemerlang, begitu juga dengan gajiku. Tujuan hidupku saat ini hanya menjalani setiap hari dengan sebaik mungkin. Terlebih pandemi Covid-19 ini mengajarkanku untuk lebih menghargai hal sekecil apapun.

Hari-hari sepulang kerja kuhabiskan dengan hal sama yang membosankan. Tak bisa ngafe karena pandemi Covid, tak masalah. Minum kopi dari kafe kesayangan di balkon kos jadi hobi baruku untuk melepas penat usai kerja.

Duduk termenung di balkon sambil memikirkan masa depan yang sepertinya tak ada masa depan cerah bagiku jadi teman sepiku. Media sosial bahkan jadi hal membosankan bagiku yang setiap hari berkutat dengan berbagai aplikasi media sosial untuk bekerja. Aku hanya meneguk kopiku, memandang gelasnya, lalu memandang ke kejauhan.

Helaan napas pendek selalu jadi akhir waktu bengongku. “Yuk bisa yuk, semangat!” ucapku sendiri kemudian berjalan masuk lagi ke dalam kamar.

Akhir pekan pun dilalui dengan hal yang tak jauh berbeda. Kegiatanku hanya nonton drama Korea, berbaring dan menjauhi handphone. Ini karena setiap hari pekerjaanku tak pernah lepas dari handphone. Soal urusan bersih-bersih kamar, tak perlu dilakukan secara khusus, karena aku termasuk orang yang bersih dan senang saat semua benda tertata rapi di tempatnya.

Oh iya satu lagi, meskipun jomblo, aku punya satu teman cowok yang mungkin terasa sedikit seperti pacar. Kalau anak sekarang mungkin menyebutnya sebagai Friend with Benefit (FWB). Datang saat dia mau saja, jadi ya sudah lah, anggap dia sebagai pemeran ekstra dalam cerita hidupku yang membosankan ini.

Hari berganti bulan, tak terasa hampir satu tahun pandemi, aku tinggal sendiri di gedung kos ini. Kesibukan membuatku tak begitu merasakan bahwa aku di kos ini sendiri!

Hantu? Apa itu, hampir tiap malam aku mendengar suara-suara langkah kaki dari tangga yang kebetulan tepat berada di samping kamarku. Awalnya kupikir itu langkah kaki mbak penjaga kos, tapi apa iya jam setengah satu pagi? Bukan itu saja, saat menjemur baju, tiba-tiba saja tengkukku ditiup. Merinding? Tentu saja, terlebih saat sadar aku itu sedang menjemur baju setengah satu pagi.

Tapi sebagai orang yang berpikir positif, otakku hanya menjawab kejadian-kejadian aneh tiap malam itu sebagai ‘sapaan’. Jadi tentu saja itu bukan masalah buatku.

Rasa kesepian yang sudah terasa menjadi temanku itu mendadak berubah ketika aku tahu ada penghuni kos baru yang akan tinggal di depan kamarku. Sejujurnya informasi ini aku tahu dari penjaga kos. Sepertinya mbak penjaga kos mengasihaniku karena aku yang terlalu bersahabat dengan sepi dan sendiri selama ini. Jadi mbak penjaga kos begitu antusias saat bercerita akan ada teman kos baru.

"Mbak, bentar lagi enggak sendirian, ada anak kos baru mau nempatin kamar ini," ujar Mbak Ning, penjaga kosku sambil menunjuk kamar di depan kamarku.

Jujur, aku juga merasa bahagia, tapi aku berusaha mengatur ekspresiku sebiasa mungkin di depan mbak penjaga kos, ‘oh iya mbak?’ seperti itu kira-kira yang aku ucapkan saat tahu akan ada anak baru.

Otakku berpikir , ya setidaknya kos ini tidak akan begitu sepi seperti sebelumnya. Anggap saja kali ini pemeran ekstra dalam cerita hidupku bukan hanya mbak Ning penjaga kos, atau teman cowok FWB, si L yang aku ceritakan sebelumnya yang hanya mengajakku pergi sesekali.

Oke, fokus. Jadi, aku tidak pernah tahu kapan anak itu mulai masuk kos. Rasa kesepianku ternyata tetap sama. Tidak ada perubahan signifikan antara ada tak ada penghuni kos baru. Karena tak ada tanda-tanda kehidupan dari penghuni depan kamarku. Hanya pernah sekali aku mendengar suara pintu ditutup dengan keras. Dalam hati ‘oh ada orang’, tapi aku tak merasa terganggu.

Meskipun aku memiliki trauma tersendiri dengan suara-suara keras, teriakan, bantingan pintu karena masa laluku, tapi selama orang itu tak mengusikku secara terang-terangan, aku masih akan bertahan dan mencoba memakluminya, termasuk tingkah tetangga kamarku.

Oh iya aku baru ingat, meskipun tak sadar sejak kapan dia pindah ke kosku, tapi yang aku tahu beberapa minggu belakangan keberadaannya mulai bisa kurasakan. Dia mulai memperdengarkan aktivitasnya. Terutama saat dini hari.

Kamu tanya kenapa aku bisa tahu? Sebagai budak korporat dengan pekerjaan yang melibatkan kreativitas, aku merasa lebih sering terjaga dibanding tidur. Aku juga mengalami insomnia, sehingga setiap hari jam tidurku maksimal hanya 3 jam.  

Jadi ketika tetangga kamarku itu beraktivitas jam 2 hingga 3 pagi, aku pasti mendengarnya dengan jelas. Dari dia mandi kemudian keluar kamar, aku selalu mendengarnya. Sepertinya hanya itu aktivitas yang kudengar. Saat pagi, dia kembali hening, tak ada suara apapun terdengar dari kamarnya.

Pernah suatu ketika karena penasaran, aku yang mendengar dia mulai mengunci pintu tanda mau keluar di jam 3 pagi hari, segera bergegas mematikan lampu kamar. Berjinjit aku mengarah ke jendela kamarku yang kebetulan menghadap arah pagar kos.

Jarak dari gedung kos ke gerbang cukup jauh, karena parkiran yang luas, biasa dipakai untuk mobil, jadi bisa dibayangkan bukan, aku sebenarnya punya cukup banyak waktu untuk mengamati tetangga kosku selama dia berjalan meninggalkan gedung kos menuju gerbang.

Satu lagi, untuk membuka gerbang kos yang cukup besar itu, bagi seorang perempuan tentu saja butuh tenaga ekstra. Tapi pagi dini hari di pengintaian pertamaku, aku tak berhasil menemukan siapa tetangga kosku.

Masih ingat kan bagaimana aku berjinjit segera setelah mendengar dia mengunci pintu kamar. Seharusnya saat aku berjinjit, dia sedang menuruni tangga, membuka pintu, berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya terlihat berjalan melewati lapangan luas tempat parkir.

Tapi, saat aku sudah bersiap mengintai di jendela, membuka lebar-lebar tirainya, penantianku sia-sia. Berdiri selama 10 menit di ujung daun pintu tak membuahkan hasil. “Kemana anak itu? Apa dia alien?” tanyaku pada diri sendiri. Pengintaian pertama jelas gagal, aku kembali ke ranjang, berusaha memejamkan mata, mengingat besok harus kembali memainkan peranku sebagai budak korporat.

Namun sebagai orang yang pantang menyerah, hari ini aku bertekad untuk mengintai tetangga kosku lagi. Sambil menyelesaikan pekerjaan, kupasang telingaku. Di tempat yang sunyi karena hanya aku dan tetangga kosku yang tinggal, tentu saja hampir semua suara terdengar jelas. Seharusnya begitu bukan?

Sampai jam 06.00 sore, aku masih tak mendengar suara apapun. Pekerjaanku telah selesai, jadi aku mulai menyusun rencana mengintai kembali tetangga kosku. Rencanaku agar tak gagal lagi? Jangan ditanya, tentu saja tidak ada.

Aku tetap bermain handphone, mencari inspirasi untuk pekerjaanku. Akhirnya pukul 10.00 malam aku mulai mendengar suara gemericik air. Jangan ditanya lagi kenapa aku bisa mendengarnya padahal jelas-jelas kamar dia ada di depan kamarku. Mungkin bisa tanyakan hal ini pada anak teknik sipil atau teknik arsitektur atau mungkin aku punya kelebihan, entahlah.

Kutempelkan telingaku ke pintu kamarku. Tapi suara gemericik air menghilang. Aku kembali duduk di kursi depan mejaku, mataku berputar keheranan, ‘apa itu tadi yang kudengar?’. Sudut bibirku menaik, aku memicingkan mataku mencoba berpikir keras.

Sesaat kemudian, aku sudah berbaring di kasur sambil terus memasang telingaku. Kali ini aku bertekad harus bisa melihat siapa tetanggaku kosku. Benar saja, kali ini sedikit lebih awal dan mungkin keberuntungan sedang berpihak padaku, jam 12.00 dia terdengar mengunci pintu kamarnya. Aku pun bersiap mengintip lagi. Tak menunggu lagi seperti hari pertama pengintaian, sebelum dia selesai mengunci pintu, aku sudah berjinjit ke arah jendela, ‘kali ini enggak boleh terlewat lagi’ kataku berbisik sambil mengepalkan tangan ‘semangat’.

Lampu kamar sudah aku matikan, aku menunggu di balik jendela sambil mataku terus mengarah ke lapangan, tak berani kupejamkan mataku sedetik pun, aku tak mau melewatkan kesempatan ini lagi. Rasa penasaran sudah merasukiku. Anehnya, aku gagal lagi kali ini.

Karena penasaran, bagaimana bisa aku tak melihat anak itu lewat. Di tengah rasa bingung, penasaranku, aku memutuskan untuk menunggunya. Aku berpikir ‘masak iya dia enggak balik kos lagi, tidur di mana dia?’ Jadi aku menunggunya sambil bermain handphone.

Mataku tetap mengarah ke gerbang depan kosku. Sampai jam 03.00 dini hari aku menunggunya, tak ada tanda-tanda dia pulang. Pintu kamarnya juga tak terdengar dibuka. Aku menyerah, aku mamaksakan diri untuk tidur karena besok pagi harus bekerja lagi.

Aku masih tak berhasil mengintainya, dan kali ini aku memilih menjalani kehidupan membosankanku seperti biasa. Sesekali keluar dengan teman FWB ku, sekedar nonton atau berbincang di kafe. Entah jangan ditanya juga kenapa kami memilih tetap dekat seperti ini tanpa menaikkan status menjadi pacar.

Setelah berminggu-minggu aku mencoba mengabaikan tetangga kosku itu, hanya memandang pintu kamarnya yang tepat ada di depan kamarku, Dewi keberuntungan sedang berpihak padaku. Disaat aku tak begitu berniat, aku justru berhasil melihat anak itu dari jendela kamarku. Kali ini pukul 03.00, tepat sebelum aku tidur, iseng aku melihat ke arah luar jendela kamarku.

Anak perempuan yang jelas tak terlihat wajahnya itu berjalan menuju gerbang, dia hanya memakai hot pants dan jaket bertudung yang menutup kepalanya. Jalannya begitu santai tapi cepat.

Akhirnya aku menunggu anak itu, sampai jam 05.00 tidak juga ada tanda-tanda dia pulang. Ya sudah lah yang penting aku tahu anak yang di depan kamarku itu manusia bukan alien.

Kegiatan anak itu di malam hingga dini hari terus terjadi secara rutin. Aku bahkan tak paham apa pekerjaannya. Ya selama dia tak mengusikku, aku tak peduli.

Kehidupanku kembali seperti biasa lagi. Selama tiga bulan anak itu kos di sini aku tetap tak merasakan kehadirannya yang berarti. Hanya lama-lama aku menyadari bahwa mbak penjaga kos yang biasa membersihkan kamarku sekarang mulai sunyi saat beraktivitas, lebih tak bersuara saat melangkah maupun saat membuka pintu-pintu kamar kos lain untuk membersihkan kamar yang ditinggalkan penghuninya.

Awalnya aku yang menyadari perubahan itu berusaha mengabaikannya, dan kejadian itu suatu saat akan terkait dengan pengalamanku sendiri yang perlahan menguak teka-teki tentang tetangga kosku.

Suatu hari di hari liburku, aku membersihkan vacuum cleaner di balkon. Oh iya balkon ini tepat menempel dengan kamar tetangga kosku ya. Jadi posisi balkon ini tegak lurus dengan posisi tangga yang terletak di samping kamarku.

Aku mengetuk beberapa kali wadah debu vacuum cleaner untuk memastikannya bersih sempurna. Ini pukul 09.30 pagi. Tiba-tiba kudengar suara kunci pintu tetangga kosku diputar. Aku berpikir ‘oh ada orangnya, oh udah bangun, tumben’ demikian kira-kira yang terbesit dalam otakku. Sampai akhirnya aku dibuat terkejut dengan kehadirannya di depanku sambil bertolak pinggang dan berbicara dengan suara keras, dia membentakku.

“Heh, bisa enggak sih enggak bersuara, ganggu orang tidur,’ ujarnya dengan mata melotot ke arahku. Aku yang terkejut langsung spontan meminta maaf padanya ‘maaf kak, aku enggak tahu ada orang’. Kemudian dia menjawab lagi ‘halah, enggak mungkin kamu enggak tahu’.

Dalam hatiku agak merasa aneh dengan anak ini, tak pernah berkenalan, tak pernah menampakkan batang hidungnya, dia juga baru aktivitas malam menjelang dini hari, tapi dia kok bisa tahu kalau aku tahu ada tetangga baru.

Setelah membentakku seperti itu, dia kembali mengatakan kata-kata protes lainnya ‘lo tuh udah jalan berisik, turun tangga berisik, buka pintu berisik, berisik terus, ganggu,’ teriaknya masih kepadaku dengan nada penuh kemarahan dan kebencian.

Aku hanya mematung, terkejut dengan sikapnya. Tapi aku lebih merasa gemetar, ingin menangis. Bukan karena aku cengeng ya, seperti aku jelaskan sebelumnya, aku punya trauma khusus dengan suara kencang atau teriakan, hardikan.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, aku tak berani bersuara. Kehidupanku yang awalnya selalu kusebut tak banyak perubahan ada atau tanpa ada tetangga kos, akhirnya benar-benar berubah.

Aku mengunci pintu dengan perlahan, aku berjalan dengan berjinjit, menuruni tangga dengan berjinjit. Aku juga tak berani menyalakan vacuum cleanerku. Sementara dia, tetap malam masih sama saja, melakukan aktivitasnya seperti biasa.

Merasa tak adil, tentu saja, dia beraktivitas di jam-jam orang tidur. Coba seandainya aku orang normal yang tidur di jam normal, tentu aku juga terganggu dengan aktivitasnya. Tapi aku memilih diam.

Hidupku terasa seperti dalam lokasi syuting film A Quiet Place. Sedikit suara saja bisa membangunkan monster, alien, sebut saja. Ya begitu lah aku memanggilnya, karena hanya karakter itu yang bisa tepat menjelaskan seperti apa kehidupanku setelah dibentaknya.

Soal pengintaian, aku masih sesekali mengamatinya, tapi rasa penasaranku sudah tak sebesar sebelumnya. Suatu ketika ada kejadian yang membuatku bergidik ngeri. Aku menatapnya dari jendela, anak itu memang berjalan, tapi baru beberapa langkah dia memandang ke arah jendelaku. Sebagai informasi, jendela kamar di tempat kosku ini memang cenderung gelap.

Saat siang tak begitu menyerap panas, dan pada saat malam, tidak akan ada orang bisa melihat dari arah luar ke dalam. Dari segi keamanan, aku rasa bapak pemilik kos cukup memikirkan keamanan dan kenyamanan penyewa kosnya.

Kembali pada tetangga kosku yang menatapku dari arah bawah, rasanya dia tepat menatap ke arah mataku, tatapannya begitu dingin dan penuh rasa benci. Padahal jelas-jelas dia seharusnya tidak bisa melihatku. Terkejut dengan tatapan dinginnya, aku langsung bersembunyi di balik dinding. Jantungku tak berhenti berdebar, tubuhku beringsut. Ak terduduk lemah, menyandarkan tubuh dan kepalaku ke tembok.

Tanpa kusadari aku berjalan merangkak menuju tempat tidurku.

Sikap diamku ternyata tak dihargai, anak kos itu mengeluh pada bapak kos. Mengatakan yang tidak-tidak. Memfitnahku dengan mengatakan aku memasukkan pria ke dalam kamar, making love, mengancam bapak kos agar memindahkanku dari kos atau dia yang akan pindah. Bagaimana aku bisa tahu? Karena anak itu menghubungi bapak kos lewat handphone dan suaranya terdengar kencang sekali, aku tidak keluar kamar tapi aku yakin dia menelpon bapak kos dari depan kamarnya sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka.

Beruntung karena aku sudah lama kos di sini dan tidak pernah ada hal aneh, sehingga bapak kos tak langsung percaya dengan ucapan anak baru itu. Bapak kos keesokan harinya mengetuk pintu kamarku bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Aku ceritakan kembali kejadian yang menimpaku, bagaimana dia membentakku. Bapak kos sempat beralasan aku harus memahami anak itu, karena katanya anak itu mengaku punya penyakit jantung, sehingga tidak bisa jika mendengar suara-suara keras. Bapak kos berkata bahwa anak itu mengancam bisa mati di dalam kamar kalau sekali lagi mendengarku berisik.

Kali ini aku tak mau mengalah begitu saja. Dengan suara bergetar aku akhirnya cerita bagaimana aku menyimpan trauma akan suara, aku hampir menangis, tapi aku tahan air mataku. Aku tak ingin orang mengasihaniku.

“Loh kalau dia mau mati karena dengar langkah kaki saya karena jantungnya tak sehat, lantas bagaimana dengan trauma saya?” ucapku.

Bapak kos tampaknya tak tega melihatku, kemudian mengetuk kamar anak itu, menawarkan solusi agar dia pindah ke kamar lain yang masih kosong dan jauh dariku. Kalau alasannya jantung, bapak kos menyarankan agar dia menjauh dari tangga, karena bagaimanapun ketika anak-anak kuliah yang kos disitu kembali, kita tidak bisa mengatur agar mereka pelan-pelan untuk jalan.

Namun apa kata anak itu? Dia menolak, dia enggan diberi kamar baru. Hari itu tak ada solusi, selain semakin jelas kami memulai perang dingin.

Saat malam dia membanting pintu, aku bahkan tak tahu apa maksud tindakannya itu.

Ketika suatu saat dia pergi, mbak penjaga kos yang membersihkan kamarku datang. Sambil membersihkan kamar, mbak Ning menceritakan bagaimana dia kena omel anak tersebut hanya karena dia mengepel lantai.

Tahu dong alat pel lantai dari plastik yang tongkat pelnya ditekan-tekan agar bisa terperas seluruh airnya? Ya suara itu disebut buat anak itu merasa terganggu. Belum lagi ketika mbak Ning menyandarkan tongkat pel ke tembok dekat kamarnya, juga jadi protes yang diucapkan anak itu pada mbak Ning.

Akhirnya terjawab sudah kenapa mbak Ning mendadak berubah, tak lagi bersuara seperti dulu saat sedang bersih-bersih kamar.

Setelah perang dingin yang tak kalah dingin dengan Ukraina melawan Rusia, akhirnya bapak kos memutuskan untuk mengusir anak tersebut. Sudah selesai masalah? Tentu belum.

Tampaknya anak itu marah karena diusir dari kos. Dia membanting pintu begitu keras, sampai aku rasa kalau pintu itu tak terpasang dengan sempurna mungkin akan lepas dari engselnya. Saat aku tanya pertimbangan bapak kos memilih untuk mengusir anak itu adalah karena anak-anak kos lain yang masih kuliah, tentu akan menganggu anak itu, membuat jantungnya lemah, terlebih dia juga tidak mau dipindah ke kamar yang lebih sepi. Bapak kos lebih tepatnya tak ingin ambil risiko membiarkan satu anak yang tak bisa tahan dengan sedikit saja suara dan melepas anak-anak lain.

Dari sudut pandang pengusaha, tentu tak salah. Apalagi anak itu baru tiga bulan kos dan taka da jaminan dia akan kos dalam waktu lama. Sementara anak-anak lain sudah cukup lama kos di sana, mereka hanya sedang pulang ke rumah karena pandemi Covid-19.

Demi keamananku, sebelum anak itu keluar, bapak kos memindahkanku ke kamar kosong lain yang ada di lantai bawah. Aku hanya dinasihati untuk bertahan di bawah beberapa hari sebelum anak itu benar-benar pindah.

Kurang dari satu minggu, anak itu akhirnya keluar dari kos. Aku memulai kehidupanku lagi yang sepi, di kamarku. Kamar anak itu sudah bersih dan terkunci rapat.

Suatu ketika, mbak Ning menceritakan tentang bagaimana kamar kos anak tersebut yang ditinggalkan begitu saja tanpa pamit atau setidaknya menitipkan kunci kamar pada mbak Ning.

“Kamarnya bau obat banget, Mbak,” ujar Mbak Ning suatu ketika sambil membersihkan kamarku.

“Obat gimana mbak?” tanyaku.

“Ya bau obat gimana sih mbak, gitu deh enggak bisa dijelaskan dengan kata-kata,” tuturnya lagi.

“Hah? Terus udah dibersihin Mbak?” tanyaku lagi.

“Udah, tapi bau obatnya susah ilang,” ujar mbak Ning.

Tidak itu saja, mbak Ning rupanya juga tahu kalau anak kos itu sering keluar malam menjelang dini hari dan baru pulang sebelum jam 06.00 pagi.

Cerita lain tentang anak itu juga diungkap oleh Mbak Ning. Kali ini adalah soal beli barang online. Perlu diketahui, anak-anak ditempat kosku memang sudah biasa ketika mereka lupa titip uang saat memilih COD, akan mengirim WhatsApp meminta mbak Ning membayar dengan uangnya, baru kemudian mereka ganti. Selama ini tak pernah ada masalah, dan anak-anak sangat berterima kasih karena kesediaan mbak Ning.

Tapi lain cerita dengan anak ini. Aku lebih memilih menyebutnya unik dibanding aneh. Uniknya adalah, dia memesan barang, dia tidak mau menerima karena menurut dia harganya mahal. Tidak berhenti disitu, dia malah meminta mbak Ning untuk membayarnya dan mengatakan bahwa barang itu bisa diambil mbak Ning. Masalahnya adalah harga barang itu mencapai Rp 500.000 lebih, yang isinya apa saja mbak Ning tidak tahu, dan belum tentu dia butuh kan?

Masih ada cerita lain yang terungkap setelah kepergian anak itu. Ternyata selain selalu menolak bayar COD ketika barang pesanannya datang, anak itu juga sering bertengkar dengan kurir. Ada saja yang dia jadikan masalah untuk bertengkar. Tapi soal ini tak tahu pasti apa persoalannya, hanya saja mbak Ning memang sering mendengar anak itu ribut dengan kurir.

Anak itu juga sempat mengirimkan pesan WhatsApp untuk mbak Ning, meminta maaf atas sikapnya yang membentak mbak Ning. Saat mendengar cerita itu dari mbak Ning, aku sedikit memicingkan mata, berpikir kenapa dia tidak meminta maaf padaku? Tanpa aku tanya lebih lanjut, Mbak Ning tampaknya tahu dari ekspresiku, Mbak Ning mengaku anak itu sempat meminta nomor handphoneku pada Mbak Ning, tapi tak diberikan karena takut nanti terjadi sesuatu padaku.

Setelah kepergian anak itu, beberapa orang datang mencari kos, dan semuanya normal. Walaupun mereka kos dalam waktu singkat dan aku tetap dengan kehidupanku yang sepi, tak masalah asal aku tak perlu berjalan berjinjit di tangga lagi. Anak-anak kos STAN yang kemarin pulang juga mulai bermunculan di kos sejak pandemi Covid-19 lebih terkendali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi