Disukai
0
Dilihat
925
Seorang Bapak di Jembatan Penyeberangan
Slice of Life

/I/

Seorang Bapak di jembatan penyeberangan

menjajakan keringatnya untuk upah seharga materai

Tidak ada cerutu, puntung, atau gawai

sebab tidak ada kenikmatan lain selain

melihat senyum anaknya bersemai.

/II/

Seorang Bapak di jembatan penyeberangan

menduduki sandal jepitnya yang bolong

sambil tetap menjajakan keringat untuk upah seharga materai.

Bapak merogoh saku dan mengeluarkan sepucuk koran

Mulutnya mengeja nasib Indonesia,

kian dicekoki aturan-aturan yang bikin rakyat mual dan pingsan.

Lalu bagaimana senyum anaknya akan terus bersemai?

/III/

Kemudian,

seorang Bapak di jembatan penyeberangan

yang masih menjajakan keringat untuk upah seharga materai

mencari-cari alamat yang biasanya bersembunyi di pojok koran.

Bapak ingin pergi ke Istana.

Ingin mencari para peran yang sering mengotak-atik aturan dan membuang rasa kasihan.

Bapak ingin menawarkan keringat

yang selama ini dibuat dari keputusan-keputusan pemerintah yang bikin melarat

dan membuat senyum anak-anak tak lagi indah pada mirat.

[selesai disunting]

Rawamangun, 01/12/24

Bapak menyobek salah satu sisi bungkus permen yang ia keluarkan dari saku bajunya. Sebiji permen kopi dengan segera masuk ke dalam mulutnya yang sudah terasa pahit. Juga terkadang asam, sebab lidah dan bibirnya tidak lagi merasakan manisnya rokok yang bikin ketagihan.

Bapak kembali memasukkan bungkus permen itu ke saku bajunya. Dibenarkannya posisi sandal bolong yang sedari tadi ia jadikan sebagai alas untuk duduk. Sesekali ia merapikan barang dagangannya yang sebenarnya sudah rapi dan tidak bergeser sedikitpun. Itu hanya sekadar kegiatan agar ia tidak hanya duduk diam dan mengantuk, sembari menunggu dagangannya berkurang dan berganti dengan uang.

Para pejalan kaki, yang kian ramai melewati jembatan penyeberangan untuk pulang usai seharian bekerja, tampak acuh tak acuh dengan keberadaan Bapak dan barang-barangnya yang berjejer rapi itu. Sebagian hanya melihat-lihat sekilas, lalu kembali melanjutkan perjalanan tanpa berniat membeli.

"Orang beli pun sebetulnya bukan karena benar-benar ingin. Hanya kasihan, padahal saya tidak pernah menjualnya."

Begitu penilaian Bapak, sebab sebelumnya ia pernah melihat seorang pemuda yang membeli kerupuk kulit yang ia jajakan, tetapi di ujung jalan ia memberikannya kepada kucing-kucing liar. Bagi Bapak tidak apa, itu sudah biasa. Setidaknya itu lebih bagus ketimbang dibeli tapi dibuang.

Seseorang juga pernah hanya memberikan selembar uang pada Bapak, tetapi tidak mengambil barang dagangannya. Ia hanya menyelipkan uang pecahan lima puluh ribu ke dalam saku baju Bapak yang sudah bertambal, lalu pergi melenggang.

"Padahal saya tidak menjual rasa kasihan," ucap Bapak sekali lagi. "Apa karena baju saya yang tampak kumal dan bertambal? Padahal ini adalah baju terbaik yang saya punya."

Bapak pernah mengalami hari yang sial. Ia tertangkap Satpol PP yang tiba-tiba beroperasi di tempat biasanya ia mangkal. Pria itu digelandang ke dalam mobil sebab disangka pengemis. Padahal hari itu, dagangannya kebetulan baru saja habis dan di tangannya hanya tersisa karung kempes tak berisi.

"Katanya, pengemis tidak boleh ada di kawasan itu, meskipun sudah saya jelaskan bahwa saya bukanlah pengemis. Saya pedagang. Tapi mereka bilang, 'Apalagi pedagang! Pedagang dilarang berdagang di sini!'. Mengganggu fasilitas umum dan pejalan kaki katanya."

Bapak, dengan wajah keriput dan uban yang mulai memenuhi rambut itu menghela napasnya sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah kendaraan yang bebas berlalu lalang siang dan malam, ke arah gedung-gedung tinggi yang berisi tikus-tikus tak dermawan, lalu terakhir menatap dirinya yang masih mengadu nasib sebagai pedagang di jembatan penyeberangan.

"Lalu, pedagang seperti saya harus berdagang di mana? Sementara di sini saja tidak diterima karena dianggap mengganggu," keluh Bapak. "Kalau saja pemerintah paham, orang seperti kami berhak diberi bantuan yang layak."

Hanya saja pemerintah salah memaknai. Beberapa waktu lalu, Bapak mendapat sebuah bingkisan. Tidak hanya Bapak, tapi juga warga yang tinggal di lingkungan yang sama dengan Bapak. Sebuah bingkisan yang dibungkus kantong berwarna biru. Tertulis di sana "Bantuan dari Wakil Presiden". Isinya sembako.

Bukan. Padahal bukan bantuan seperti itu yang Bapak harapkan. Bapak berharap pemerintah dapat membantunya untuk membuka lapak pedagang jika memang tidak diizinkan untuk berdagang di jalanan atau di jembatan penyeberangan tempat ia mangkal.

Supaya baju yang Bapak kenakan tidak lagi mudah sobek karena memikul karung di pundak dan punggung, serta tidak lagi ditambal berulang dengan kain-kain perca. Biar Bapak tidak lagi disangka pengemis hanya karena pakaian yang tampak kumal seperti tidak pernah dicuci, padahal sering direndam dari malam hingga pagi. Sayangnya, pemerintah seolah tidak pernah mau belajar mengeja dan membaca situasi.

"Ibarat kata ingin makan ikan, lantas yang benar itu bukan diberi ikan, tapi berikan kail agar tidak hanya sekali makan lalu habis. Kalau keterusan diberi, siap-siap punya mental pengemis!"

Begitu nasihat Bapak. Lantas, Bapak mengeluarkan sepucuk koran yang ia bawa dari rumah. Bekal supaya tidak bosan menunggu pembeli datang. Namun, sebenarnya bukan hanya itu. Sekarang ini, setiap orang harus pintar dan tidak mudah dibodohi atau dimanipulasi. Modal mengeja dan tamatan SD, bukan menjadi alasan untuk orang tidak membaca.

Mata Bapak serius menatap aksara-aksara kecil yang mengajaknya mengeja nasib Indonesia. Utang negara yang menumpuk, praktik korupsi yang dinormalisasi, pemilu yang dicurangi, gaji guru yang sekadar wara-wiri, kasus Menteri Perdagangan yang dijadikan tersangka tanpa bukti, dan yang terbaru adalah kenaikan pajak 12 persen yang akan disahkan di tahun baru nanti.

Bapak geleng-geleng kepala. Betapa orang-orang berdasi yang duduk di kursi petinggi sembari bermain judi atau memuaskan berahi, hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka yang tidak berkepentingan, oposisi, atau berpotensi mengganggu hierarki, dipaksa mengundurkan diri. Bahkan, dengan tidak segan, mereka akan dibuat mati.

"Kalau begini, anak cucu kita sedang dirancang untuk menjadi generasi yang cacat," kata Bapak. "Mentalnya dihancurkan, fisiknya dilemahkan. Anak-anak tidak akan lagi bangga menjadi bagian negara yang mencederainya."

Bapak akhirnya melipat koran yang lama-lama membuat mual, sebab berita-berita yang disuguhkan begitu mengerikan sekalipun hanya sekadar untuk dibayangkan. Betapa negara ini sudah rusak oleh penguasa-penguasa yang haus akan harta, tahta, wanita, dan segalanya.

Aturan-aturan yang diberlakukan untuk 'menyejahterakan' rakyat kecil, ternyata tidak berlaku di negara yang penuh dengan keegoisan dan kepentingan golongan-golongan tertentu. Nyatanya, mereka tidak peduli dengan manusia-manusia melarat yang upahnya hanya seharga materai. "Menyejahterakan" hanya kedok dari "menyengsarakan" yang semakin hari semakin tidak masuk akal.

Pejalan-pejalan kaki mulai padat di jembatan penyeberangan menjelang Magrib. Bapak kembali bekerja menawarkan dagangannya hari ini. Membayar keringatnya yang dikikis sedari pagi. Benar kata Bapak. Beberapa pejalan kaki itu hanya mendatangi Bapak untuk menyelipkan uang di saku bajunya yang bertambal tanpa mengambil barang dagangannya. Bapak menolak dan meminta pembeli untuk mengambil barang dagangan senilai dengan uang yang ia bayarkan. Namun, mereka enggan.

Kata Bapak, penjual dan pembeli harus adil mendapatkan haknya. Penjual berhak mengambil upah, pembeli berhak mendapatkan sesuatu sesuai upah yang dibayarkan. Sebab sebuah keadilan dapat dibentuk dari hal-hal kecil seperti itu sekali pun.

"Ah iya! Bapak lupa!" serunya. "Negara ini kan sudah kehilangan sila kelimanya."

Aku menutup liputan.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi