Gerimis mulai melanda kota Jambi. Langit yang awalnya terlihat begitu cerah, sekarang mendadak gelap seolah sedang berduka. Dengan segera aku membentangkan payung hitam milikku dan bergegas meninggalkan teras toko buah yang baru saja aku singgahi. Beberapa orang terlihat tidak menggunakan payung. Mereka berlarian dengan panik saat gerimis berubah menjadi hujan yang begitu deras.
Rasanya aku ingin segera tiba di rumah. Karena ada Kala yang menungguku dengan setia. Sepanjang jalan menuju rumah aku berpikiran sedang apa Kala dirumah? Apakah sedang menikmati waktunya? Atau sedang menonton serial televisi kesukaannya? Memikirkan Kala membuat perasaanku yang memburuk menjadi lebih baik. Seberat apa pun beban yang aku pikul, ada Kala yang membuatku lupa akan semua keadaan sulit ini.
“Kala, Kakak pulang!”
Aku berjalan masuk kedalam rumah. Ku lihat Kala sedang fokus menonton serial televisi kesukaannya. Hm, sudah ku duga. Aku tersenyum lantas menghampiri anak lelaki yang berusia 7 tahun itu. Kala sama sekali tidak terusik dengan kedatanganku. Ia memang seperti itu.
“Kala udah makan belum?” tanyaku seraya mengusap kepalanya dengan lembut. “Kakak beliin kamu buah apel. Buah kesukaan kamu,”
“Kala masih mau nonton, kak,”
“Oke. Tapi nanti Kala harus makan siang ya. Kakak siapin dulu makanannya buat kamu,”
“Terima kasih, kak – Tapi, kakak gak mau ikut nonton sama Kala?” pertanyaannya membuatku berhenti sejenak. Tumben sekali ia mengajakku untuk menonton bersama.
Aku tersenyum lantas mengangguk. Aku kembali kearah Kala yang ikut tersenyum saat melihatku sudah menjatuhkan tubuh disampingnya. Ia terlihat begitu bersemangat. Bahkan ia tak segan-segan memelukku dari samping dan berceloteh menceritakan serial televisi yang ia tonton sedari tadi.
Senyumku tidak pudar sedikit pun. Melihatnya bercerita membuatku sadar betapa bersyukurnya aku karena masih memiliki Kala. Saat serial televisinya selesai, aku memutuskan untuk beranjak dari posisi, berjalan kearah dapur. Hari ini tidak begitu sibuk menurutku. Oleh sebab itu aku bisa kembali dari kantor dengan cepat dan menikmati makan siang bersama Kala. Entah sudah berapa lama aku tidak menikmati hari-hari indah bersama Kala. Padahal Kala selalu menantiku di rumah, namun aku selalu saja merasa kesepian.
*
Suara gemuruh hebat berhasil membangunkanku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali lalu menoleh ke arah sekitarku. Suasana temaram membuatku sadar jika aku tertidur pulas saat membaca novel di dalam kamarku. Dengan segera aku melirik ke arah jam dinding, sudah pukul 9 malam. Sudah waktunya makan malam. Namun aku hanya mendengar keheningan di dalam rumah ini. Biasanya akan ada suara televisi dari ruang tamu atau dentingan mainan milik Kala.
“Kala?” panggilku dari dalam kamar. Namun tidak ada sahutan sama sekali.
“Dek? Kamu dimana?” panggilku sekali lagi. Ingin memastikan jika ia masih berada di dalam rumah. Namun aku sama sekali tidak mendapat responnya.
Spontan aku beranjak dari ranjang tidur, dan berusaha mencari Kala di dalam rumah. Kala tidak mungkin meninggalkan rumah karena ia sama sekali tidak mengetahui lingkungan komplek perumahan ini. Biasanya Kala hanya akan duduk diam di depan televisi, atau makan di ruang makan. Tetapi di dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa berpikir jernih.
“Kala sayang kamu dimana?”
Keringat mulai bercucur dengan deras dari pelipisku. Padahal malam ini sedang hujan dengan derasnya. Belum lagi suara gemuruh yang terus menerus bersahutan satu sama lain. Aku masih belum menemukan letak Kala. Harusnya ia tidak akan pergi atau keluar dari rumah ini. Rasanya ingin menyerah namun Kala harus aku temukan sebelum ia menghilang bersama orang lain.
Aku berjalan dengan gontai, namun tatapan mataku terkunci pada sosok anak lelaki yang tengah bermain sendirian di halaman belakang rumah. Ia terlihat tenang dibawah derasnya hujan. Bahkan ia tidak menyadari bahwasanya aku melihat dari dalam ruang tengah. Anak lelaki itu adalah Kala. Kala sedang bermain sendirian. Ia sama sekali tidak takut dengan suara gemuruh yang masih bersahutan satu sama lain.
Dengan bergegas aku berlari membuka pintu kaca ruang keluarga yang mengarah ke halaman belakang. Aku tidak mempedulikan tubuhku yang basah kuyup atau suara gemuruh yang marah saat aku berlari keluar dari zona nyaman.
“Kala!” jeritku seraya berlari kearahnya. Lantas ku peluk ia dengan erat. Aku tidak ingin kehilangannya. Lagi.
“Kakak? Kakak kok disini?”
“Kamu yang kenapa disini? Ayo masuk ke rumah. Hujannya deras. Nanti kamu sakit,” kataku seraya mengajaknya untuk masuk kerumah.
Kala menggelengkan kepalanya. Aku tersentak. Ada apa?
“Kenapa Kala? Kamu mau main disini? Kakak ikut ya?”
“Rumah Kala bukan itu, Kak,”
Aku mengernyitkan dahiku. Kala kenapa?
“Kala ngomong apa sih? Ini kan rumah Kala sama Kakak. Ayo masuk. Hujannya gak akan berhenti kayaknya,”
“Kakak gak capek sama semua ini?”
Ku lihat Kala menggenggam erat tanganku. Aku masih berusaha mencerna dengan apa yang terjadi saat ini. Tidak biasanya Kala akan bertanya hal-hal aneh seperti itu. Kala menarik lenganku, mengajakku berjalan dibawah derasnya hujan. Hingga akhirnya aku menyadari satu hal yang penting.
“Ini rumah Kala, Kak. Kakak yang buat 1 tahun yang lalu. Kakak lupa?”
Aku terdiam beberapa saat ketika Kala menunjukkan sebuah makam indah yang terhias dengan sempurna. Ada beragam jenis bunga-bunga yang tidak bisa ku jelaskan satu per satu. Ingatanku mulai tersusun dengan rapi. Gemuruh sialan ini seakan ingin menghancurkanku sekali lagi. Aku tersenyum tipis. Rupanya selama ini aku hidup dibawah bayang-bayang Kala.
“Kakak. Ayo belajar melepas Kala. 1 tahun ini Kala nemenin Kakak karena Kala pikir Kakak akan belajar ngelepasin semua yang ada sangkut pautnya sama Kala,”
Aku tidak pernah menduga kalau hari seperti ini akan tiba dalam hidupku. Hari dimana aku akan kehilangan Kala untuk kedua kalinya. Aku mengusap air mata yang turun bersamaan dengan hujan. Seperti ada yang menikam jantungku namun tak terlihat. Seperti ada yang hancur berkeping-keping namun aku tidak bisa menemukan serpihan itu.
“Kala sudah tahu ya kalau Kakak belum bisa ngelepasin Kala?”
Kala mengangguk. Ia memang selalu tahu tentang diriku. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa dirinya. Entah itu hidupku terus berjalan atau tidak, aku harus melepas Kala. Melepaskan agar ia lebih bahagia dan tidak menderita. Tetapi di satu sisi aku hancur. Selama ini aku hidup bersamanya.
“Kala, Kakak gak bisa,” aku tersungkur tepat di hadapan makamnya. Badanku gemetar hebat. Aku tidak bisa melakukan hal ini.
“Kakak bisa. Kala percaya Kakak bisa ngelanjutin hidup tanpa Kala,”
“Gimana caranya?” tanyaku.
Ku lihat Kala memeluk tubuhku perlahan lahan, “Kala akan selalu hidup di dalam hati Kakak. Tugas Kala sudah selesai untuk nemenin Kakak. Mungkin raga Kala sudah gak ada, tapi Kala gak akan pernah ninggalin Kakak,”
Aku menangis tersedu-sedu. Pelukku semakin erat. Tidak pernah menyangka jika aku akan berada di posisi menyakitkan seperti ini. Namun aku lebih tidak tega melihat Kala yang harus merasakan sakitnya karena terus menerus berada disampingku.
“Kala sayang, terima kasih sudah menjadi adek Kakak yang penurut dan sopan. Terima kasih udah nemanin Kakak selama 1 tahun ini. Kakak ngerasa beruntung banget karena punya adek yang hebat kayak kamu. Dan hari ini, Kakak akan berusaha melepas kamu supaya kamu bahagia,”
Tepat setelah aku mengucapkan kalimat itu, Kala terlihat remang-remang dan berakhir menghilang. Hujan yang turun semakin deras, seolah mendengar seluruh isi hatiku saat ini. Aku mengusap nisan milik Kala dengan lembut. Harusnya ia tumbuh seperti anak-anak lainnya. Namun dikarenakan kelalaianku akhirnya ia harus meninggalkanku. Aku menatap nanar nisan milik Kala. Ternyata, hari ini adalah hari peringatan 1 tahun kepergiannya.