-Bukankah setiap mimpi harus diterbangkan untuk mengetuk pintu langit?-
Mata Sowan berbinar. Sesaat setelah Bu Lestari, wali kelasnya itu menyampaikan sosialisasi tentang kegiatan lomba cerdas cermat antar SMP tingkat provinsi yang akan dilaksanakan satu bulan mendatang. Seluruh siswa yang hadir hari itu mendapatkan formulir pendaftaran, sebab sekolah akan mengadakan seleksi.
“Total hadiah 30 juta!” seru Bu Lestari.
Bagi Sowan, anak laki-laki yang sering menduduki peringkat pertama di kelas itu, lomba tersebut adalah kesempatan emas baginya. Hadiah yang ditawarkan akan sangat cukup untuk membantu menebus obat ibunya yang menderita TBC.
“Semangat belajar, ya! Tunjukkan kalau anak-anak Ibu semuanya hebat-hebat,” ujar Bu Lestari usai menginformasikan bahwa seleksi sekolah akan dilaksanakan lusa.
Tanpa pikir panjang, Sowan segera mengisi formulir pendaftaran dan menyerahkannya pada Bu Lestari keesokan harinya. Ternyata, hampir separuh siswa di kelasnya ikut mendaftar. Belum lagi siswa dari kelas dan angkatan lainnya. Namun, Sowan tidak pernah merasa takut ataupun gentar, meski hanya akan ada satu orang yang terpilih dari tiap kelasnya.
“Baca apa kamu, Nduk?” tanya Pak Darmaji, ayah Sowan, ketika melihat anaknya fokus membaca sebuah buku di bawah remang pelita di bilik kamarnya.
Memang beberapa hari sebelumnya, lampu 5 watt di sepetak rumah keluarga itu padam. Sudah habis masa hidupnya dan belum sempat diganti. Alhasil, Sowan harus menajamkan penglihatannya pada buku yang didapatnya dari pusat toko buku bekas. Toko yang menjual buku dengan harga lebih murah.
“Sowan harus baca banyak buku, Pak, biar terpilih mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat tingkat provinsi,” jawab Sowan jujur.
Tentu Pak Darmaji sangat senang mendengarnya. Begitupun Mak Asmi, ibu Sowan, yang mendengarnya dari balik bilik kamar lain usai melaksanakan sembahyang. Semenjak divonis mengidap TBC, Mak Asmi kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, walau sebelumnya ia pernah menjadi buruh pemetik kapulaga di kebun milik Pak Waslam, seorang yang dijuluki ‘juragan kapulaga’ karena memiliki tanah seluas 3 hektar yang khusus ditanami kapulaga untuk kemudian diekspor.
“Mungkin Emak istirahat dulu saja untuk saat ini,” ujar Pak Waslam kala itu yang memberhentikan Mak Asmi secara halus.
Begitulah Mak Asmi yang harus berhenti dan hanya mengandalkan pendapatan dari hasil berjualan gula merah yang dijajakan Pak Darmaji. Ia hanya membantu suaminya untuk memasak cairan legit bakal gula merah yang masih mentah.
“Emak yakin Sowan pasti mampu,” ucap Mak Asmi sembari mengelus puncak kepala Sowan.
Kata-kata yang keluar dari Mak Asmi itu seolah menjadi magnet doa yang segera dikabulkan oleh Tuhan untuk Sowan. Sebab benar saja, setelah mengikuti seleksi dari sekolah, Sowan berhasil mewakili kelasnya untuk lanjut mengikuti seleksi tingkat kabupaten bersama dengan teman-temannya dari kelas lain yang juga terpilih.
“Hebat kamu, Wan! Aku doain juga supaya kamu bisa lanjut ke tingkat provinsi!” puji salah satu sahabatnya, Bagyo, yang diaminkan oleh Sowan.
Selain Sowan harus membantu ayahnya menjual gula merah keliling kampung atau ke dekat jalan raya, ia juga mengimbanginya dengan membaca buku, koran, atau jenis bacaan apapun di sela-sela istirahatnya.
“Pak, kalau Sowan lolos seleksi tingkat kabupaten, Sowan bisa lanjut ke kota.”
“Bagus itu!”
“Kalo Sowan bisa menang di tingkat provinsi, Sowan bisa bantu tebus obat buat Emak, Pak,” lanjut Sowan antusias.
Dalam hati, Pak Darmaji terharu. Anak satu-satunya itu selalu berusaha dan membantu selagi ia mampu.
“Bapak ikut mendoakan yang terbaik,” ujar Pak Darmaji sambil mengipaskan topinya beberapa kali karena cuaca siang itu terasa sangat menyengat.
Tepat di depan toko tempat Pak Darmaji dan Sowan beristirahat, seorang remaja perempuan berusia sekitar 20 tahun, ikut beristirahat dan bersandar tidak terlalu jauh dari posisi Pak Darmaji.
“Mogok, Nduk?” tanya Pak Darmaji sopan.
Perempuan dengan wajah lelah itu mengangguk, “POM bensin masih jauh ya, Pak?”
“Di depan sana, Nduk,” tunjuk Pak Darmaji. “Mau Bapak bantu dorongkan?”
“Gak usah, Pak. Bapaknya lagi jualan.”
“Tidak apa-apa, Nduk. Ini bisa ditinggalkan dulu. Ada anak Bapak yang jaga.”
Pak Darmaji akhirnya membantu mendorong motor remaja tersebut sampai ke POM bensin. Tidak sampai di situ, lelaki penjual gula merah itu juga membantu membayar satu liter bensin untuknya karena Kiani lupa membawa dompet. Ya, Kiani namanya.
“Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga kita bisa bertemu lagi agar saya bisa membalas kebaikan Bapak,” ucap Kiani yang kemudian pamit pergi.
Begitulah, terkadang ada saja hal-hal yang dapat menjadi ladang kebaikan bagi Pak Darmaji. Sebab Pak Darmaji percaya, bahwa kebaikan sekecil apapun akan selalu mendatangkan kebaikan juga dalam kehidupannya.
***
“Alhamdulillah, Wan! Ini namamu lho, Wan!” seru Bagyo kegirangan saat melihat daftar nama siswa yang lolos seleksi tingkat kabupaten.
Beberapa teman Sowan juga turut memberikan selamat. Namun, ada juga yang bersikap seolah tidak suka terhadap pencapaian Sowan. Seperti halnya Rasti, anak Kepala Sekolah yang juga menjadi salah satu siswa yang lolos seleksi tingkat kabupaten bersama Sowan. Dari total enam siswa -termasuk Sowan- yang berhasil lolos untuk mengikuti lomba tingkat provinsi, hanya ada tiga siswa yang berhak maju mewakili sekolah.
“Jangan senang dulu, Sowan! Tetap saja, yang menentukan siapa yang layak dan berhak mewakili sekolah adalah Ayahku,” ucap Rasti dengan nada yang kurang enak didengar.
“Jangan sombong, Rasti! Siapa tahu skor Sowan lebih tinggi dari kamu!” bela Bagyo.
“Lagian anak penjual gula merah kayak kamu harusnya bantu jualan saja!”
Sowan hanya tersenyum dan menjauhkan Bagyo dari Rasti agar tidak terlibat adu mulut. Sudah biasa bagi Sowan mendapatkan perlakuan yang bersifat merendahkan seperti yang baru saja terjadi. Namun, seperti yang diajarkan ayahnya, bahwa tidak semua perlakuan buruk harus direspons.
Satu jam pelajaran kosong, karena seluruh guru sedang mendiskusikan perihal siapa yang harus diikutsertakan dalam lomba cerdas cermat tersebut. Hasilnya sangat mengecewakan bagi Bu Lestari sebagai wali kelas Sowan. Skor Sowan lebih tinggi di antara siswa lainnya, tetapi Pak Ringga sebagai Kepala Sekolah tidak setuju jika Sowan yang harus mewakili sekolah.
“Sekolah kita ini masih swasta. Kita tidak bisa membiayai begitu saja siswa yang bahkan belum membayar uang sekolahnya yang menunggak selama empat bulan. Biaya pergi ke kota tidak murah, lho,” jelas Pak Ringga yang terdengar sangat ganjil bagi Bu Lestari.
Begitupun wali kelas lain yang siswanya tidak disetujui oleh Pak Ringga. Bagi mereka, Pak Ringga hanya mencari alasan agar Rasti bisa maju mewakili sekolah dan menjadi ketua tim. Sekuat apapun Bu Lestari membela Sowan, tetap keputusan ada di tangan atasan. Mau tidak mau, Bu Lestari mengabarkan berita itu kepada Sowan. Tentu saja Sowan lebih kecewa mendengarnya meski Bu Lestari terlihat sangat berusaha untuk tidak membuat hati anak itu terluka.
“Ternyata Sowan hanya bisa maju ke tingkat provinsi kalau sudah melunasi uang bulanan, Mak, Pak,” cerita Sowan yang memaksakan senyumnya.
Pak Darmaji dan Mak Asmi pun sangat menyayangkan. Terlebih Pak Darmaji yang setiap malam melihat Sowan sangat tekun belajar untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi. Alhasil, Pak Darmaji sengaja mendatangi sekolah hanya untuk bertemu Pak Ringga dan memohon agar Sowan bisa diikutsertakan dalam lomba.
Tentu saja Pak Ringga menolaknya mentah-mentah dan mengeluarkan sindiran-sindiran yang begitu menyakitkan bagi Pak Darmaji. Bu Lestari yang menemani Pak Darmaji menghadap Pak Ringga hanya bisa mengingatkan pria paruh baya itu untuk bersabar.
“Pak? Pak Darmaji, ‘kan?”
Sapaan itu membuat Pak Darmaji menoleh. Ia merasa mengenali suara tersebut. Benar saja, suara itu adalah milik Kiani. Kiani mengajak Pak Darmaji untuk duduk dan makan bersama di kantin sekolah tersebut.
“Bapak sedang apa di sini?”
Pertanyaan dari Kiani itu membuat Pak Darmaji menceritakan tujuannya datang ke sekolah. Juga tentang Sowan yang semenjak mendapat informasi dari Bu Lestari, membuatnya kehilangan semangat untuk belajar.
“Saya bisa bantu Sowan, Pak,” ujar Kiani. “Kebetulan saya juga panitia di lomba itu. Nah, ini sekarang saya mau minta data ke sekolah terkait siapa-siapa saja yang akhirnya diikutsertakan.”
Pak Darmaji berbinar. Seolah menemukan kembali mimpi Sowan yang hampir saja terkubur. Kiani, remaja baik hati dan dermawan itu, membayar semua tunggakan uang sekolah Sowan. Bahkan, membayar lebih untuk keperluan Sowan selama satu semester. Bukan hanya karena Kiani hendak membalas kebaikan Pak Darmaji yang menolongnya kala itu, tetapi juga sebagai bentuk permohonan maaf untuk Mak Asmi karena ayah Kiani memberhentikannya sebagai buruh pemetik kapulaga. Ya, Pak Waslam adalah ayah Kiani.
Belakangan Kiani juga baru menyadari bahwa Mak Asmi adalah istri dari Pak Darmaji. Ia ingat, saat sebelum Kiani pergi kuliah di kota, Mak Asmi sering bercerita tentang suaminya yang merupakan seorang penjual gula merah dan memiliki satu anak laki-laki. Berkat bantuan Kiani, kini tidak ada alasan lagi bagi Pak Ringga untuk tidak mengikutsertakan Sowan. Akhirnya, Sowan dapat maju mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat tingkat provinsi.
Gemuruh tepuk tangan menggema saat SMP Tunas Pelita, sekolah Sowan, keluar sebagai juara pertama lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Para peserta lomba dan pendukung dari SMP Tunas Pelita pulang dengan wajah berseri. Selain karena mampu memenangkan hadiah utama, SMP Tunas Pelita mampu menunjukkan citra baik sekolah di hadapan sekolah-sekolah lainnya.
Berbagai pujian dan ucapan selamat datang untuk Sowan serta dua teman lainnya. Tentu bagi Sowan, pujian itu hanyalah sebuah bonus. Tanpa bantuan dan dukungan dari orang-orang yang mengasihinya, Sowan tidak akan mampu sampai di titik tersebut. Sowan berterima kasih pada Kiani yang ditemuinya setelah lomba selesai. Hadiah bagi Sowan adalah dapat membuat ibu dan ayahnya tersenyum bangga.
“Maaf Sowan baru bisa kasih ini untuk Emak,” ujar Sowan sembari menyerahkan bungkusan kecil berisikan obat yang seharusnya ditebus dari Rumah Sakit jauh-jauh hari.
***