Disukai
1
Dilihat
4,832
Rehat Sejenak
Romantis

Saya melihat kalender hape untuk mengecek sudah berapa lama tinggal di rumah Kakek. Ternyata enam bulan dan sekarang awal Desember. Sejak pandemi Covid 19, saya bekerja di rumah, dan sempat terkena juga. Asma saya yang sudah lama tidak kambuh, jadi kambuh lagi. Terpaksa saya harus menjalani penyembuhan yang lama dan menyakitkan, di dalam kamar, sendirian saja. Mau menelpon mantan kok enggak genah, ya. Meski bukan lagi kekasih, hubungan saya dengan Linda baik-baik saja, jadi kalau saya menelpon, pasti dia datang dan memasakkan bubur asin, seperti di drama-drama Korea yang disukainya—dia suka sekali merawat orang sakit. Syukurlah ada Gojek, soal makan bukan masalah. Kata bos, pekerjaan enggak sebanyak biasanya, jadi enggak apa istirahat agak lamaan. Oh, yo wes kalau gitu. Thank you, Bos, jawab saya. Bos saya itu perempuan, agak keibuan. Beda dengan Pak Rudi yang kalau mau libur kudu syarat macam-macam. Lalu, saat kondisi badan saya sudah enak lagi, tidak ada sesak napas, tidak ada merampang di sana-sini, terdengar kabar, Kakek di kampung sakit. Aduh. Awalnya cemas, tapi untuk pulang kok rasanya tenan ya. Gara-gara Covid, prosedurnya enggak mudah. Tapi kata si Bos pulang saja. Tapi — kita WFH 'kan cuma sebulan, ya, siapa tahu nanti kamu dibutuhkan untuk hadir (siapa sangka, hingga lebih dari lima bulan dan entah berapa lama lagi, kita tetap WFH), kudu hadir, ya. Saya juga harus memenuhi syarat ini dan itu, yang saya turuti dengan janji. Saya berpikir untuk membawa mobil, tapi karena Kakek tidak punya garasi, dan parkir di jalan, selain penuh risiko, juga menyalahi aturan, saya memilih pulang dengan kereta api—setelah dicucuk hidung untuk memastikan saya negatif Covid, tentunya, enggak enak banget. Dengan membawa laptop dan baju ganti seadanya, serta beberapa buah buku, saya pun berangkat.

Kakek satu-satunya keluarga saya yang masih tersisa, dan sudah lama saya tidak menjenguknya, hanya sesekali menelepon saat mentransfer sejumlah uang. Kakek tidak mau, tapi saya merasa wajib. Toh saya masih jomlo, enggak punya tanggungan apa-apa, dan satu-satunya kebutuhan sekunder saya hanya buku, tersier juga buku. Makan seadanya. Baju—terakhir beli baju kapan, ya? Karena Kakek tidak punya ponsel, hanya telepon rumah, beliau jadi ikut kena cash kalau saya nelpon. Jadi enggak bisa lama-lama, sekadar apa kabar, kabar baik, gimana di sana, aloha. Ada rasa bersalah juga, tapi apa boleh buat, kalau mau sukses 'kan butuh pengorbanan. Susah juga mencari waktu untuk mudik, bahkan Lebaran dan tahun baru pun saya habiskan di apartemen. Padahal Kakek dan saya tidak ada masalah, hubungan kami baik dan cair. Hanya karena Kakek tidak menagih, saya berasumsi tidak apa tidak pulang. Tahu-tahu sudah genap empat tahun. Jadi, sepertinya ini saat yang tepat untuk balik, sekalian merawat Kakek, dan bekerja secara online di rumahnya. Itulah yang saya pikirkan ketika duduk di bangku kereta api Jaguar Ekspres—saya lupa nomor bangkunya. Sepanjang perjalanan, sambil melihat-lihat kaca jendela yang menghampar pemandangan hijau ladang, saya menyumpal telinga dan mendengarkan Spotify, suara merdu Hata Motohiro dan gitar akustiknya membuat pikiran saya mengelana dan hati saya nelangsa. Di stasiun kecil entah di mana, saya membeli nasi kuning dan Le Mineralé yang rasanya aneh sebab dijemur di bawah terik matahari. Saya masih mendengar Hata Motohiro, mengulang-ulang outro Metro Film.

Sesampainya di kampung, ternyata Kakek tidak parah-parah amat, hanya perlu obat dokter. Beberapa hari kemudian, dia sudah baik seperti sedia kala. Siapa sangka, jaringan di kampung ini cepat juga, pekerjaan saya dapat diselesaikan hanya bermodal laptop dan modem. Si Bos pun puas. Kolega saya juga. Karena tidak ada perjalanan pergi pulang kantor—bahkan tanpa perlu turun dari kasur—tiba-tiba saja saya punya enam jam tambahan yang biasanya dihabiskan di jalan. Saya pun memainkan piano di ruang tamu, piano peninggalan Nenek. Rupanya sama seperti mengendarai mobil, sekalipun sudah lama tidak menginjak pedal rem dan gas, saat duduk di belakang setir, kita kembali lincah bermanuver. Sudah lama sekali saya tidak menekan tuts hitam dan putih yang terpampang megah di hadapan saya ini, tapi begitu duduk di depannya, jari-jari saya dengan lincah memainkan Fur Elise—lengkap dengan bagian sulitnya.

Desa Kalayangan ini enak sekali, suasananya beda dengan Jakarta yang sumpek. Di mana-mana ada saja pemandangan hijau yang terlihat, membangkitkan jiwa puiris saya—kalau memang ada. Saya tidak tahu ternyata dunia punya begitu banyak warna, bukan hanya kelabu. Ada hijau, biru, putih, merah, ungu. Bahkan malamnya pun mewah, walau dengan cahaya yang sedikit—atau karena itu, justru? Saya jadi ingat, sebelum bekerja di belakang komputer, berjibaku dengan angka dan data, diri saya yang masih naif pernah bercita-cita menjadi penulis, seolah itu hal yang mudah. Kamu tinggal menulis, menamatkannya, lalu mengirimkannya kepada penerbit. Entah kapan saya melupakannya dan menggantung pena di sudut terdalam jiwa. Tapi, karena sekarang sudah ingat lagi, setelah menghabiskan enam jam waktu luang yang tiba-tiba ada dengan berlatih piano, saya menulis juga, setidaknya sampai WFH selesai—dan ternyata tidak selesai-selesai. Tulisan ini salah satunya, yang jauh berbeda dengan tulisan-tulisan saya pada masa muda dulu. Saat itu, saya menulis dengan penuh pertimbangan, memikirkan kata per kata, seolah menggambar gunung dengan mistar, harus sempurna, tapi hasilnya malah luar biasa kaku, sekarang saya menuangkan saja yang ada di kepala, bagus atau jelek, membiarkan jempol (saya nulis di hape sambil rebahan) menuangkan apa saja. Ternyata mengabadikan hari-hari biasa yang nyaris tidak berarti menyenangkan juga, ya.

Setelah satu bulan di rumah Kakek, dan WFH ditambah, saya memasang Wifi—soalnya saya tidak tahu kapan harus berangkat kerja lagi. Akibatnya, banyak anak yang menumpang Internet di teras. Saya bertanya, apa enggak apa? Tapi ternyata Kakek suka, malah berpikir kenapa enggak dari dulu-dulu. Lagipula, kamu toh jarang pulang, Kakek kadang kesepian, pungkasnya. Saya terkejut, baru kali itu Kakek menuangkan isi hatinya.

"Bukan, Kek, maksud saya, apa enggak apa, 'kan Covid?"

"Kayanya enggak apa, deh."

Kok gegabah sekali.

Kakek membeli banyak sekali roti dan camilan untuk dibagi-bagi kepada anak-anak. Kakek tidak memungut biaya sedikit pun, camilannya pun tidak pernah habis. Saat anak-anak pulang ke rumah, di teras sudah ada gorengan atau buah-buahan yang ditinggalkan tetangga. Itu sudah jadi kebiasaan di sini. Setiap hari ada saja yang menerima dan mengantarkan makanan. Di dapur, selalu tersedia lauk. Entah pemberian siapa—atau tetangga yang mana. Kadang, kami hanya perlu menanak nasi, kadang kamilah yang memberi.

Pada Sabtu sore yang rindang, beberapa bulan lalu, seorang perempuan datang ke rumah Kakek. Umurnya beberapa tahun di bawah saya. Mungkin 25 tahun. Dia datang tepat ketika saya memainkan piano Nenek—menekan tuts asal saja, hanya mempertahankan melodi agar tidak sumbang. Karena piano ada di ruang depan, dan pintu tidak ditutup, perempuan itu masuk. Dia memandang saya sekilas, dan tak menyembunyikan wajah kecewanya.

"Oh, Nak Farah, baru kelihatan."

"Selamat sore, Kek."

"Sore."

Lalu, perempuan yang sepertinya bernama Farah itu memandang saya dengan gugup, sebelum akhirnya Kakek memecah kesunyian. "Kenalkan, dia Gilang Bhiena, cucu Kakek. Sudah sebulan tinggal di sini. WFH, katanya. Nak Gilang, kenalkan, ini Farah, dulunya belajar piano di sini, murid Nenek."

"Halo."

"Halo."

"Saat mendengar suara piano, saya kira Nenek hidup lagi. Tapi yang saya temukan malah pemuda gondrong entah siapa. Ternyata cucu Kakek. Tapi Gilang mukanya sastrawi sekali, ya, Kek."

"Karena gondrong?"

"Enggak. Gondrongnya enggak terlalu. Masih dikit."

"Karena ganteng?"

"Ya—iya, sih. Gantengnya itu seperti Chairil Anwar."

"Padahal kerja kantoran."

"Kok? Enggak cocok." Farah tertawa.

Saya tertegun. Rasanya sudah lama tidak melihat, atau mendengar, tawa yang seindah itu — tawa yang benar-benar tawa, tanpa sedikit pun terkesan palsu.

"Maaf, kalau mau ngomongin saya, bisa enggak di belakang saja?"

"Gibah, dong?

"Kamu sudah makan, Lang? Farah jago masak, lo."

"Sudah."

"Lo, kapan? Kakek enggak lihat kamu makan."

"Makan buku, Kek."

"Buku kok dimakan?"

"Pondasi saya kata-kata, sumber energi saya aliena."

"Halah."

"Betul, 'kan? Anaknya sastra sekali." Farah melirik Kakek dan tertawa, lalu berjalan mendekati saya. "Mas kayaknya jago main piano, ya? Tadi lagu apa? Enak."

"Enggak tahu."

"Lo?"

"Tadi asal tekan saja. Tahu-tahu jadi lagu." Saya mencoba mengingat kembali nada-nada yang baru saja saya mainkan, tapi sepertinya mustahil—dan malah memulai lagu lain yang entah apa. Ternyata Farah menyukainya. Saat mendengar piano, Farah langsung anteng, tidak ceriwis seperti tadi. Seolah tak mau kehilangan satu momen pun, dia memejamkan matanya pula.

Setelah lima bulan berlalu, Farah dan saya menjadi sahabat dekat. Dia menyukai musik dan ingin belajar piano di bawah bimbingan saya. Sebab saya cucu Nenek, katanya. Dia sangat mencintai Nenek. Dia pula yang mengantar saya ke makam Nenek—saya sudah lupa letaknya. Tapi ternyata kemampuan berpianonya jauh di atas saya—maka sayalah yang harus belajar kepadanya. Kami akhirnya meneruskan kursus piano Nenek dan melestarikan peninggalannya. Rumah Kakek yang dulunya sepi makin ramai saja. Ruang tamunya yang sarat buku menjadi perpustakaan umum. Terasnya menjadi markas anak-anak. Karena butuh ketenangan, kami memindahkan piano ke kamar belakang. Saat Farah tidak bekerja di restoran Malam Kudus—dia puteri pemilik restoran sekaligus koki—kami bergantian mengelesi murid. Awalnya hanya sedikit, tapi lama-lama kualahan juga. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, saya hanya bisa mengelesi selewat jam enam sore. Farah tergantung sif. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika WFH berakhir. Rasanya enggan kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, saya takut menjalin hubungan serius. Jadi, kalaupun punya pacar, saya tidak pernah berpikir untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan—mungkin itu penyebab hubungan saya tidak pernah bertahan lama. Saya tak bisa membayangkan punya anak—betapa merepotkan!—atau berbagi atap dengan orang lain sepanjang sisa usia. Tapi di Kalayangan, di desa kecil pelosok gunung ini, saya rasa itu bukan ide yang buruk. Entah kenapa, saat memandang Farah, pikiran itu muncul begitu saja.

Cirebon, 7 Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi