Disukai
0
Dilihat
2,135
Gubuk Kecil di Kota Kuning
Slice of Life

Sudah tiga hari kedai yang kaukelola tak lagi dikunjungi pembeli. Kauketuk ujung pensilmu berkali-kali. Tak tahu mau menulis apa di buku harianmu. Sekarang tak ada bedanya dengan kemarin. Hari ini tak ada bedanya dengan esok. Kadang hanya satu-dua pengunjung yang datang. Paling banyak lima. Sepuluh hampir mustahil. Kautopang dagu di meja konter. Aroma teh mengendap di udara, membuatmu mengantuk. Daun-daun di trotoar menyelinap masuk sebab jendela kaubiarkan terbuka. Sunyi sekali.

Kau menimbang-nimbang kotak cokelat yang sejak tadi mengusik perhatianmu. Kau memutar tutupnya, lalu mengulum isinya sebuah. Isinya tinggal sedikit. Aku harus menghematnya—satu cokelat per hari, misalnya—setidaknya sampai bulan depan, saat kau mengunjungi kota untuk membeli persediaan teh yang baru, mungkin satu atau dua minggu lagi. Saat terakhir berbelanja di toko Malam Kudus, dengan dua kali berganti bus, di kota yang penuh lalu lalang, ada tiga orang yang menyapamu—betapa kau rindu mendengar namamu disebut! Erlyna, di sini. Hai, Erlyna. Nana, apa kabar?

Saat legit cokelat lumer di mulutmu, kau memandang jendela. Hanya ada panorama daun-daun gugur tertiup angin dan gedung perpustakaan yang catnya mengelupas dikelotok cuaca. Seketika saja perasaan tanpa nama menyelimutimu.

Kauraih buku di sebelah kipas angin listrik yang tak lagi mampu menoleh itu. Selalu Carl Sagan, antara Cosmos, Contact, atau Pale Blue Dot. Sudah empat hari kau meminjamnya, sebentar lagi harus dikembalikan. Tak masalah, kau toh bisa meminjamnya lagi kapan pun kau mau. Sementara tekun kauselami barisan kata di permukaan kertas, di luar jendela, pohon-pohon mulai mengersikkan daunnya dan angin meniup awan-awan yang mengadang matahari. Pemutar musik menggetarkan koleksi Beethoven, dan berhenti pada nomor Archduke Trio.

Kausandarkan kepala pada salah satu bangku di samping jendelaAda satu paragraf pada buku Pale Blue Dot yang sangat kausuka, dan kau selalu ingin mengucapkannya dengan nada seolah mendeklamasikan puisi. Tidak ada yang mendengar. Syukurlah tidak ada yang mendengar. Kecuali Bumi, barangkali. Bumi tua yang setia hingga saat penghabisan tiba.

Kauhidu aroma teh yang baru saja kauseduh.

Akhirnya, peradaban telah memasuki usia senja. Bumi sepi semata, bukan hanya di sini, melainkan juga di seluruh dunia. Kabut senja menaiki angkasa, menyatu dengan awan dan cerlangnya lembayung. Daun-daun berguguran di trotoar. Apa pun yang terjadi, waktu terus berlalu dan hidup harus tumbuh.

Kausesap teh pelan-pelan dan membiarkan setiap teguk mengenyahkan beban pikiran yang menyarat. Jam masih menunjukkan pukul empat sore ketika teh habis dan hanya menyisakan daun-daun di ceruk cangkir. Enak, kau berbisik, lalu mengangkat tangan sebagai peregangan. Langit sudah temaram ketika kau mengambil sepeda yang diparkir di depan pintu. Ada satu tempat yang ingin kaudatangi. Segera setelah membalik papan ‘Buka’ di pintu menjadi ‘Tutup’, kaukayuh sadel sepeda onthelmu. Dengan lincah kaulewati jalan beraspal yang berlubang di sana-sini.

Beberapa jenis bunga mulai bertunas di sela-sela retakan, kelopaknya berkilauan dibasuh hujan siang tadi. Pohon-pohon yew yang tumbuh tanpa mengenal tempat, apalagi musim, merintangi jalan, bersebelahan dengan pohon yang-liu yang dahan-dahannya melambai-lambai tertiup angin. Kadang, batang-batang yew yang nyaris selalu kering itu menembus genting dan menghancurkan dinding-dinding bangunan yang tak berpenghuni, kadang pula bergeming di tengah jalan. Jumlahnya sangat banyak, entah berapa pastinya, di mana-mana. Di balik daun-daunnya yang lebat, berkicau berbagai burung (barangkali Goldcrest, Blackbirds, Thrushes, Fieldfare, dan Greenfinches), dan di dahannya tikus dan tupai saling berbagi perlindungan. Entah ada berapa banyak kisah alam, sejarah musim dingin, dan dongeng yang tersembunyi dalam usianya yang panjang.

Selain yew dan yang-liu, ada pula pohon kamper dan beringin, serta azalea yang berderet-deret sampai jauh—membaur dengan pohon ramping yang tak ada pada peradaban lalu, yakni sejenis bunga yang besar sekali (tingginya sekitar lima atau enam meter) yang bentuknya meniru lampu kota dan entah bagaimana tumbuh berjajar dengan interval jarak yang sama di sepanjang jalan. Di putiknya yang menyerupai wadah lampu antik, terpancar cahaya hijau nan lembut yang murup hanya saat malam menyambut. Pendarnya hanya pias samar kehijauan, tidak mengganggu kunang-kunang yang hendak berbiak.

Di sana-sini, dalam jarak yang berdekatan, berdiri pabrik-pabrik terbengkalai yang dindingnya sudah diselimuti tanaman merambat. Konon, saat masih berfungsi, asap yang membumbung di cerobongnya membuat daerah ini dijuluki Kota Kuning. Bunga-bunga yang tumbuh di sela retakan dinding menciptakan pemandangan yang indah. Segalanya memantulkan warna alam yang lembut, tapi kau melewatinya hampir tanpa menoleh. Kau terlalu fokus menghindari lubang di jalan, pun air yang menggenang di sebagian besar laluan, yang entah bagaimana bertambah tinggi saja setiap harinya. Beberapa bulan lalu, kau masih menggunakan skuter — jenis yang masih membutuhkan bahan bakar. Namun, karena kualitas bensin semakin buruk, kau terpaksa menjualnya dan menukarnya dengan sepeda. Ternyata berbeda, pikirmu ketika pertama kali mengendarainya. Mengayuh benar-benar menguras tenaga. Namun, lama-lama kau terbiasa, bahkan mulai menyukainya.

Senja berlalu dengan lembut, seperti momen sunyi yang kaulalui setiap hari. Hampir setiap hari, tegasmu, setengah yakin. Kauseberangi jembatan yang menghubungkanmu dengan hutan pinus di ujung desa. Hanya ada sedikit pohon yew yang tersisa, lebih sedikit lagi pohon lampu senja, sementara yang-liu terakhir sudah kaulewati sejak tadi, tapi pohon kamper masih ada, lebih tua dibanding pohon-pohon yang tumbuh di desa. Aroma humus mengisi udara, bersama bau tanah sehabis hujan, dan kau menghidunya dalam-dalam. Kau selalu menyukai bau-bauan hutan — bahkan yang tajam sekalipun. Daun-daun yang berguguran di setapak berlumut tebal membuat jalanmu jadi sedikit licin. Masih ada sisa gerimis dalam garis-garis samar yang nyaris tak kasatmata — atau mungkin itu hanya air yang menetes di ujung daun. Kaukendurkan kayuhan di jalan menurun yang dikelilingi tebing curam, mantelmu berkibar melawan udara dingin berkabut. Kau merasa seperti berada di dasar jurang. Cahaya matahari terhalang daun-daun dan membuatmu sulit menghindari lubang-lubang.

Saat jalan mendatar kembali, ladang-ladang liar begitu saja muncul, menumbuhkan berbagai tanaman yang kau tidak tahu nama-namanya, tapi aromanya menenteramkanmu. Kabut mulai meruap dan suhu merabun cepat. Kaupelankan laju sebab matamu harus beradaptasi dengan redupnya hari. Ketika ladang berakhir, hutan lebat segera menggantikannya. Sekelebat hewan pengerat, entah tupai atau bajing, melompat dari satu dahan ke dahan yang lain.

Semakin dalam kau memasuki hutan, semakin pekat aroma kayu mati mengisi udara. Kayu-kayu tua yang tumbang merintangi laluan, dan sesekali membuatmu harus menuntun sepeda, alih-alih mengendarainya. Kau menahan napas ketika baunya bertambah pekat, tapi menyerah sesaat kemudian. Seketika saja, senja meremang menjadi petang. Suara tonggeret, jangkrik, dan serangga malam lain, berderik mengusik sunyi. Kau mendengar deras air terjun yang mencebur dalam buih-buih air, engkau memejamkan mata, engkau merasakan sejuknya di sampingmu, tapi di sekitarmu hanya ada pepohonan yang daun-daunnya meremang tertiup angin. Langit meredup dan sebentar lagi cahaya terakhir padam, lalu yang tersisa tinggal kegelapan. Kuak burung entah-apa mengisi senyap udara. Namun, kau menolak takut. Alam tak menakutkan, pikirmu, mengingat nukilan buku yang kaubaca.

Pohon-pohon randu di sela-sela semak anggur liar seolah muncul begitu saja. Begitupun jamur sebesar piring dan paku-pakuan. Batang pohon raksasa yang memutih membuat tanah menjadi sedikit cekung. Lambat laun, kelam tumbuh menjulang dan memanjangkan lengannya. Gelap turun dengan cepat dan, mau tidak mau, juga menyelimuti benakmu. Kaukayuh cepat sepeda, dengan harapan, semoga jalan akan terang kembali. Akhirnya kau sampai di padang terbuka yang meredup dibasuh cahaya magrib. Burung-burung mengepakkan sayapnya. Kabut-kabut tumbuh di ladang yang baru diairi—bukan oleh manusia, melainkan hujan sore tadi. Katak-katak bernyanyi lirih.

Di kejauhan, kaudapati sebuah pondok menguarkan asap bakaran. Aroma masakan tercium nikmat bahkan dari jarak sejauh ini. Ada berapa orang di sana? Barangkali sepasang suami istri dan gadis kecil bersenyum manis, lamunmu. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada tinggal di rumah sendiri, di antara keluarga yang saling mengasihi. Kaukayuh sepeda dengan pandangan hampa, tapi lalu lubang di jalan membuatmu awas. Kau berhenti sejenak untuk menyeimbangkan sepeda, lalu memetik beberapa buah anggur liar yang tumbuh di sisi setapak, tapi lantas melepehnya kembali sebab rasanya pahit. Kau juga memunguti bunga-bunga yang berguguran, lalu menyematkannya satu di belakang telinga—dan menyimpan sisanya di keranjang onthelnya, entah untuk apa. Musim panas hampir berakhir, dan sebentar lagi musim gugur tiba. Langit mulai merendah dan bintang-bintang terlihat dekat. Burung-burung mungil yang terbang di antara dahan memancarkan aneka rona. Bagaimana, ya, rasanya terbang? Kauperhatikan alam dengan separuh melamun. Seketika saja, ketika kau kembali menaiki sepeda, dunia meledak dalam senyap. Satu-satunya yang terdengar hanya rantai yang berputar seiring kayuhan. Angin masih berembus. Namun, entah kenapa, terasa sunya.

Syukurlah, sesaat kemudian, hutan kembali seperti biasa—penuh suara.

Suara tanpa wujud.

Sesuatu berlari, sesuatu terbang, sesuatu melompat, sesuatu menginjak daun-daun gugur. Namun, saat kaucari sumbernya, kau tidak mampu menemukan apa pun. Kunang-kunang mulai bermunculan, pertanda sebentar lagi petang datang. Lalu malam. Matahari hanya menyisakan pendar tipis di ujung ufuk. Kaulintasi kuburan yang bersembunyi di sela-sela batang pohon. Beberapa pusara sudah tertutup lumut dan beberapa lainnya rusak parah. Burung hantu hinggap di salah satu nisan — menatapmu dengan pandangan hampa.

Kau berhenti di depan mesin penjual otomatis yang sudah membuatmu penasaran sejak pertama kali melihatnya. Siapa yang menaruh vending machine di hutan sepi begini? Padahal yang lewat pun nyaris tiada? Kau mengingat-ingat, apakah di perjalanan tadi, kau menjumpai seseorang? Tidak. Rasanya tidak. Apalagi di sekitar tak terlihat satu pun rumah, hanya beberapa pondok petani di tengah ladang, itu pun sudah jauh di belakang. Bagaimana listriknya bisa menyala? Di dalam etalasenya, tersedia berbagai minuman kaleng, tetapi sepertinya sudah tidak segar lagi. Permukaan kalengnya berembun dan menetes di lantai. Terdengar dengung lembut nan statis di sisi-sisi mesin, menjadi satu-satunya suara yang terdengar di udara. Lima atau enam ekor ngengat dan segerumbul laron mengerubungi redup lampu yang terpantul di pintu kacanya. Kau harus berdiri beberapa jarak untuk menghindarinya. Kau melihat kaleng warna-warni yang didominasi warna tanah di dalam etalase, tapi tidak ada satu pun merek yang kautahu. Semuanya kopi, ada yang dengan cokelat, ada yang dengan susu. Dan hanya sepertiga rak yang terisi. Kautunjuk latte berkaleng cokelat terang di baris kanan atas. Dengung mesin semakin keras ketika tombol ditekan. Sejenak kemudian, terdengar dering klontang! yang membuatmu sedikit tersentak. Tampaknya ngengat dan laron yang sejak tadi mengawang-awangi lampu sama terkejutnya. Lampu mesin pun berkedip-kedip sebelum akhirnya stabil kembali. Kau, seraya menenangkan detak masai pada jantungmu, menyibak laron dan ngengat yang berterbangan di sekitar jalan keluar mesin, lalu mengambil kaleng kopi yang tidak terlalu dingin di dalamnya.

Matahari hanya menyisakan gurat samar di ufuk. Burung-burung terbang pulang. Angin berembus pelan menyentuh pucuk-pucuk pinus. Suaranya menyentuh lembut telinga. Kau duduk di samping mesin dan memandang bintang-gemintang yang muncul satu per satu di angkasa, lantas menggenggam erat kaleng kopi di tanganmu. Kau melamun memandang sekitar. Hanya ada lalang dan rumput gelagah yang tingginya melampaui ladang jagung jelang ranum.

Barisan lalang mengombak tertiup angin hingga mencapai pepohonan pinus di seberang sana.

Tunggu, kau menyadari sesuatu. Tersembunyi di antara rerumput, sebuah jalan setapak kecil. Kautinggalkan kaleng di bangku, lalu berjalan menyusurinya. Benar saja, ada sebuah bilik di ujung jalan. Di halaman belakangnya, seorang perempuan duduk seraya menyandarkan kepala di kusen pintu. Bantal besar melapisi pelipisnya. Matanya terpejam, napasnya tenang, dan bibirnya tersenyum samar. Parasnya lembut sekali, dan rambutnya tergerai panjang. Ada sebaris tipis rambut yang jatuh di pelipis. Di tangannya, tergenggam sehelai kertas berisi titik dan garis. Dia mengenakan gaun kimono putih gading dengan kerah biru yang sudah pudar terhisap cuaca. Kaupandangi lama wajahnya, lalu berpaling manakala merasakan pipimu merona merah jambu.

Kaupandang padang gelagah yang memantulkan warna-warni senja. Kaudengar air yang mengalir samar di kedalaman hutan. Kauperhatikan barisan pohon azalea berbunga putih yang dalam redup petang berkilau bagai batu olivin. Saat larut dalam suasana, suara selembut belai membuyarkan lamunan.

Indah, bukan?

Segera saja, kaupalingkan pandang dan mendapati dia yang sejak tadi terlelap di ambang pintu sudah terjaga. Sepasang matanya menatapmu teduh. Kau tak mampu melihatnya sebab petang memanjangkan bayang-bayang hingga segalanya menjadi pudar di matamu, tapi merasakannya sama sekali bukan hal yang sulit.

Aku menyukai tempat ini. Pemandangannya selalu sama dari hari ke hari. Ketika ada perubahan, sekecil apa pun—entah itu kicau burung yang berbeda dari biasanya, atau angin kelambu yang tiba-tiba berubah arah—aku langsung menyadarinya. Selebihnya, aku yakin waktu tidak beranjak di sini, sedikit pun tidak. Aku bahkan mulai percaya, tak ada yang namanya waktu. Sang Jiwa menciptakan segala sesuatu serentak. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan hanyalah bagian dari saat ini yang abadi.

Senyum merekah di bibirnya. Dia begitu indah seolah berasal dari mimpi panjang yang sunyi. Rambutnya hampir seputih salju dan bolamatanya berwarna kelabu tua. Di punggungnya, terlipat sepasang sayap kecil yang tidak jelas warnanya. Apakah putih, atau jingga? Wajahnya terlihat muda belia, tanpa kerut sedikit pun, tapi matanya yang tenang seolah menyimpan keabadian. Dia mengenakan busana yang menyerupai hanfu, hanya saja lebih sederhana, dengan kerah berwarna biru langit pada pukul tujuh pagi dan baju tanpa lengan bermotif bunga di balik jubah luarnya. Namun, keindahannya sama sekali tidak membuatmu merasa kecil. Keindahannya terasa alami, membuat segala yang ada di sekitarnya menjadi indah. Lalu, kau ingat belum menanggapi kata-katanya.

Benar, ini pemandangan yang menakjubkan, hampir seindah barisan bunga lampu jalan di dekat rumahku.

Dia menatapmu dengan mata berbinar. Sungguh? Ceritakan padaku.

Kau mengangguk. Mungkin karena aku sudah memandangnya sejak masih sangat kecil, aku menganggap tak ada yang lebih indah lagi jika dibandingkan dengan panorama itu. Aku masih ingat pada lembutnya dada ibuku saat beliau mengembanku di pelukan. Ibu sangat menyukai bunga-bunga lampu jalan, yang kerap disebutnya lampu senja, yang merekah di trotoar. Tidak seperti pohon-pohon yew yang tumbuh seenaknya, bunga lampu senja hanya rekah di sisi jalan dan menyala pada waktu yang hampir bersamaan. Dan jarak antara satu dengan yang lain pun sama.

Untuk sesaat, kau berhenti bicara. Benakmu berusaha meraih kata-kata yang berterbangan tak terkendali dalam benakmu, tapi kenangan lalu menyelimutimu, membuatmu mampu merengkuh kata-katamu lagi.

Saat langit mulai gelap, Ibu mengajakku melihat bunga-bunga yang serempak menyala. Seketika saja, cahaya hijau nan teduh berpendar bagai kunang-kunang. Kata Ibu, itu cara Bumi mengenang kita—manusia.

Beberapa saat kemudian, kau sudah duduk di sampingnya. Dia menjulurkan tangannya dan menyebutkan namanya.

Kau juga.

Lalu tak ada lagi yang memulai percakapan. Saat malam melebarkan sayapnya yang kelabu, senyap yang pekat mengisi udara. Kau mulai tak mampu memandang jauh. Bayang-bayang menyebar hingga padang gelagah, menelan barisan gunung dan pohon-pohon azalea di ujung saujana. Bayang-bayang yang sama menyentuh pergelangan kakimu. Malam menebal. Di sawah terdengar dengkuran katak. Kalian mengisi sunyi dengan roh. Dia menyalakan lampu minyak, lalu meletakkannya di teras, dekat dengan kakimu. Saat dia bersandar di bahumu, kauberanikan diri mengelus sepasang sayap mungil di punggungnya. Kau tertegun. Aku tidak pernah bertemu malaikat, tapi kau persis seperti yang aku bayangkan.

Dia tertawa, dan suara tawanya sejernih gemercing lonceng di pagi yang bening. Seraya menyentuh punggung tanganmu, dia berkata bahwa dirinya bukan malaikat.

Jika bukan, lalu apa? Kau benar-benar menyerupai malaikat, dengan sayap putih nan indah—kelabu, sanggahnya—dan rambut perak yang lembut. Kau juga memiliki sepasang mata yang menyimpan keabadian.

Dia ingin menjawab pertanyaanmu, tapi lalu mendengar suara perutmu. Kau belum makan sejak pukul dua belas siang, kecuali sepotong permen cokelat yang tak ada artinya, dan sekarang kupu-kupu di lambung menuntut sesuatu. Dia tertawa. Mau makan di sini? Kau tersenyum malu, lalu menyentuh pipimu yang merona merah.

Menginaplah saja.

Boleh?

Tentu, itulah yang aku harapkan.

Lagipula, ini bukan rumahku. Aku menemukannya telantar, lalu seenaknya meminjamnya. Dapurnya masih menyala dan ada persediaan kayu bakar di ruang keluarga. Pun ada kebun sarat sayur-mayur liar di dekat hutan. Pagi tadi aku memanen seikat bayam.

Kalau begitu—kau meminta izin padanya untuk mengambil kaleng setengah kosong yang kautinggalkan di bangku depan, juga sepeda onthel yang kauparkir di bawah tiang lampu. Karena malam sudah benar-benar datang, dia meminjamkanmu lampu minyaknya. Saat berangkat, kau mencari kedip cahaya yang dipancarkan mesin penjual otomatis. Saat kembali kau mengikuti lambaian lilin di jendela. Udara mendingin dengan cepat.

Kalian bersantap di teras depan rumahnya. Rembulan menyinari tanah lapang yang kosong — tapi cahayanya tidak sampai padamu. Kau memandang bayangan gunung yang mengintip di antara dua galah panjang dari bambu yang disangga dua galah vertikal — dan tergantung di masing-masing sudutnya, dua lampu minyak yang memendarkan berkas cahaya putih dan sehelai tirai yang menjuntai di antaranya.

Kau bertanya itu apa, tapi dia tidak tahu. Saat pertama kali aku datang, benda itu sudah ada di sana. Aku juga tak tahu siapa yang menyala dan memadamkannya.

Saat malam menjelang, tahu-tahu sudah ada cahaya samar di ujung sisi-sisinya, lalu padam tepat sebelum cahaya pertama terbit di timur. Jika udara benar-benar gelap, dapat kaulihat benda yang sama membentuk garis lurus menuju selatan, dan berujung di gunung Halimun, dia mengangkat tangannya, lalu menunjuk sebuah arah dengan jarinya. Ujung jubah panjangnya menjuntai turun dan menyibak betapa halus pergelangan tangannya.

Setelah membereskan peralatan makan, dia menyalakan obat nyamuk bakar, lalu memasukkannya dalam wadah berbentuk teko, tapi lubangnya ada di samping, bukan di atas. Seketika, asap meliuk samar di udara dan menyebarkan bau tajam yang tak nyaman, tapi nyamuk-nyamuk yang sejak tadi berdegung bising, langsung berhamburan pergi. Belum apa-apa, kau sudah merindukan aroma musim semi yang menguar dari tubuhnya — yang meredup begitu asap obat nyamuk menggantikan. Kau mendekat padanya untuk mengejar wangi itu kembali.

Apa yang ada di kalungmu?

Oh, ini—kau mengambil harmonika sebesar jari kelingkingmu, lalu memainkannya. Kau memilih nada-nada lembut yang mewakili suasana hatimu. Bertemu dengannya membuatmu begitu gembira, bahkan bahagia. Hampir seminggu penuh kau menjalani hari-hari sendiri tanpa bertemu seorang pun manusia — bahkan sekarang pun kau tak benar-benar yakin apa yang kaualami nyata adanya, bukan ilusi semata. Namun, di mana batas antara pengalaman dan kenangan, dan bagaimana melihatnya? Mana yang lebih pasti dan bagaimana menilainya? Seraya memandang pegunungan Halimun di selatan, kau mendekat padanya dan memainkan harmonikamu. Saat nada-nada yang kaumainkan mengisi udara, kabut basah mulai tumbuh dan menyelimuti seluruh panorama. Bayang-bayang pepohonan yang sejak tadi disinari rembulan lenyap dalam halimun. Kau memainkan satu lagu yang panjang dan sabar, dengan nada La dan Fa yang menghabiskan hampir seluruh napas. Kauhanyut dan memejamkan mata, melupakan segalanya selain lagu yang kaumainkan. Begitupun dia yang duduk di sampingmu dalam kegelapan — hanya sedikit cahaya bulan yang sampai kepada kalian. Ketika nada terakhir gugur, ketenangan yang sempurna mengusai udara. Tidak terdengar satu pun suara, kecuali air yang menceburkan diri ke dalam buih-buih air—air terjun di hilir sungai, nun jauh di ceruk gunung. Lalu lamat terdengar suara seruling membalas lagumu. Kau terkejut, tapi memutuskan diam, tidak bertanya.

Saat jumlah manusia berkurang, sunyi kembali menguasai dunia — seperti saat purba dahulu — dan membuat Sungai Jiwa yang selama ini tersembunyi nun jauh di ceruk Bumi, kembali muncul di permukaan. Hampir setiap malam, para arwah dan roh-awali berpesta di bantaran sungai, di sebelah aliran Air Jiwa yang menguarkan aroma teh panggang. Beberapa arwah menyesapnya langsung, tapi sebagian besar mengambilnya dengan mangkuk, lalu meminumnya dalam lingkaran. Sayangnya, hanya arwah dan roh-awali yang boleh meminumnya. Manusia tidak.

Kenapa?

Kau menyesap semangkuk teh yang dia seduh — teh hijau yang pahit, dengan aroma panggangan pada uapnya, tapi terasa begitu enak. Kau berhenti meneguk ketika mendengar jawabannya.

Sebenarnya tidak ada larangan. Hanya saja, jika manusia meminumnya, dia akan mengalami keterpisahan dengan jiwanya.

Kau terpana, lalu bertanya dengan degup cemas di dada, apakah teh ini—, tapi dia berkata dengan setitik tawa, bukan, tenang saja, itu teh hijau biasa yang dipanggang dalam porselen dengan arang. Karena dibakar dengan suhu tinggi, sekitar 150°C, teh hanya sedikit—atau tidak sama sekali—menyisakan rasa pahit. Enak, bukan? Kau mengangguk. Rasa lega yang menenteramkan muncul seketika kau mendengarnya. Kau bahkan ingin mempelajari cara membuatnya, dan berencana menjadikannya menu baru di kedai tehmu. Kau menambah tiga mangkuk, dan ingin menambah semangkuk lagi, perlahan-lahan perasaan hangat mengisi perutmu, lalu mengisi seluruh tubuhmu. Udara dingin di luar tak lagi membuatmu menggigil.

Karena tidak tahu apa yang dia maksud dengan roh-awali, dan apakah ada bedanya dengan arwah, kau menunggunya melanjutkan cerita. Namun, dia hanya diam, menghayati suara seruling yang sejak tadi lamban mengalun. Lagunya terdengar sedih, namun menyimpan harapan.

Dalam gelap, waktu terasa lebih luas, dan aura gaib, bahkan kudus, meliputi suara seruling yang sejak tadi menyesaki udara. Kau tak ingin melipatgandakan misteri dan hanya ingin menyederhanakannya, barangkali sebagai lagu yang indah, atau suara yang disiulkan Alam Semesta. Kau memejamkan mata dan berusaha menangkap nada apa yang dimainkan, berharap dapat menirunya dengan harmonikamu kelak. Ah, ia jarang meniupkan nada Fa dan La, tapi sering mengembuskan nada Mi yang panjang sebelum ditutup dengan Do yang juga panjang, tetapi melirih. Saat tetes pertama air mata jatuh di pipi, kau tidak langsung menyadarinya, dan ketika kau mengusapnya, kau tak mampu menghentikannya. Kau tidak tahu kenapa kau menangis, dan kenapa air mata mengalir deras, dan kenapa kaubiarkan saja tetesnya membasahi wajahmu. Kau hanya ingin menangis, sedih lirih, tanpa ingin mengusapnya, tanpa harus meraung dan berteriak, sejenis tangis yang menyerupai hujan samar-samar di musim kemarau — hujan yang hanya dapat kausadari keberadaan jika cahaya meneranginya. Lalu, lagi-lagi tanpa kausadari, senandung itu perlahan pupus, digantikan kesiup angin yang redup.

Dia sering berhenti berkata barang sejenak, seolah hendak menyusun kata-kata dan merangkainya sebaik mungkin. Namun, diamnya tidak menciptakan hening yang canggung. Kau memandang panorama di hadapanmu yang diputihkan manai purnama. Kau teringat lukisan-lukisan Gong Xian — seorang pelukis China yang hidup sekitar 1660-1700. Kau memiliki tiga duplikatnya di rumah dan semuanya dipajang di ruang teh.

Segalanya bagaikan mimpi di matamu. Kau berada di sebuah gubuk kecil terpencil di dunia tanpa manusia, di sampingmu duduklah makhluk khayali — perempuan bersayap kelabu dengan rambut seputih rembulan — yang seolah digunting dari kitab tua. Kau tidak terlalu yakin, tapi tubuhnya seperti memendarkan sedikit cahaya — nyaris tak kasatmata, persis gerimis tipis-tipis yang menyembunyikan dirinya dalam gelap.

Akhirnya, dia melanjutkan. Jika dia pernah hidup dalam tubuh ragawi, kita menyebutnya arwah. Jika tidak, roh-awali. Roh-awali hidup dengan meminum Air Jiwa. Wujud roh-awali menyerupai getaran cahaya yang melayang-layang di udara. Roh-awali sudah ada sejak permulaan waktu dan masih ada saat jantung waktu tak sanggup lagi berdenyut. Dia jauh, jauh lebih tua dibanding segala yang purba.

Kau juga mampu melihatnya.

Benarkah.

Dia mengangguk. Saat kau memejamkan mata, ada kilatan cahaya warna-warni yang melayang-layang di udara gelap, bukan?

Lalu kau mengatup kelopak mata. Benar. Kau melihat benang dan gumpalan dan noktah dan bercak melayang-layang dalam gelapnya pejam. Jadi, begitukah rupa roh-awali?

Roh-awali ada di mana-mana — bahkan sekarang pun dia ada, mengisi udara yang kita hirup.

Pada zaman dahulu, Roh-awali membuat Bumi sarat warna, penuh cahaya dengan berbagai rona. Namun, semenjak manusia berhasil menaklukkan api, lalu mengurung cahaya dalam bola-bola lampu, roh-awali mulai memudarkan pijar. Hanya sedikit manusia yang mampu melihatnya kecuali dalam pejam. Akan tetapi, sekarang, saat dunia kembali senyap dan mendekati kepurbaan, tabir yang sempat menutupi Bumi perlahan terbuka. Kau mau melihatnya secara langsung?

Dia tersenyum.

Kau mengangguk pelan.

Maka, pejamkanlah matamu.

Kau memejamkan mata. Sesaat kemudian, kaurasakan bibirnya menyentuh kelopak matamu — begitu lembut, bagai kecupan hujan yang sejuk. Kiri terlebih dahulu, kemudian kanan. Aroma parfumnya lembut. Jubahnya yang sehalus sutra jatuh perlahan di pergelangan tanganmu. Kau menyukai sentuhannya — pun kehangatan saat napasnya menyentuh cuping hidungmu. Kau tersenyum. Dan ketika kau membuka mata, apa yang ada di hadapanmu membuatmu terperenyak.

Begitu banyak cahaya dengan berbagai warna — yang bukan merah, kuning, biru, atau apa pun yang kau tahu — bermunculan satu per satu. Kau mencoba menyentuh salah satu roh-awali yang terbang di dekatmu, yang bentuknya menyerupai kepangan, tapi kau tak merasakan apa pun, bahkan ketika dia melayang menembus telapak tanganmu. Lalu kau meraih satu lagi yang berwujud menyerupai kancing baju, dan lagi-lagi dia melayang begitu saja menembus jari-jemarimu. Aku membayangkan pemandangan riuh sarat cahaya — dan barangkali ganjil, tapi nampaknya kau samasekali tidak keberatan.

Perlahan-lahan, warna-warni itu redup dan yang tersisa tinggal kegelapan. Seperti sediakala. Kausadari hanya ada satu suara napas, di rumah ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi