Disukai
0
Dilihat
248
Perhatikan Rani (Part 2)
Slice of Life

"Oke. Satu ... Dua ... Tiga!" Gerry mengomando, siap dengan kameranya. 

Musik mengalun. 

"Terimalah lagu ini dari orang biasa

Tapi cintaku padamu luar biasa. 

Aku tak punya bunga.

Aku tak punya harta.

Yang kupunya hanyalah hati yang setia.

Tulus padamu."

Figo menyanyikan lagu Cinta Luar Biasa - Andmesh sambil bermain gitar dengan sendu dan sedikit malu-malu. 

"Stop." Gerry menyimpan video yang baru saja dia rekam.

Kenapa kurang greget? Aku lantas berkata, "Yang nge-Rock!"

"Hah? Rock?" ulang Figo yang memerankan karakter Aji, vokalis band dadakan ini. Figo, Arman, dan Damar adalah pegawai toko Bu Clarissa. Musiknya lumayan bagus karena Arman bisa bermain gitar, suara Figo tidak terlalu buruk, dan Damar, entah bagaimana bisa berekspresi seperti bassis betulan—tapi tentu saja dia asal petik dan geleng-geleng penuh hikmad. Arjuna sendiri bisa membuat iringan drum yang tidak sakit didengar telinga. Pasti dia merendah bilang tidak bisa main drum! Meski faktanya, dia memang asal. 

Aku mengiyakan pertanyaan Figo. Figo mengangguk, meneruskan kata-kataku pada yang lain. Untuk beberapa saat, mereka mencoba dengan musik yang lebih menghentak. 

Gerry mengomando lagi. "Satu ... Dua ... Tiga!" 

"Teremalah lagoo ennee dare orang beassaa.

Tape centakoo padamoo loar beassa.

Akoo tak ponya bongaa.

Akoo tak ponya hartaa.

Yang koponya hanyalah hate yang seetea.

Tolos padamoo!"

Figo akhirnya bernyanyi layaknya bintang rock.

"Sip," celetukku sambil memegangi lampu untuk syuting. 

*****

 "Pak Faizal apa kabar?" tanyaku lewat WhatsApp sore itu, mencoba berbasa-basi meski faktanya aku tidak bisa berbasa-basi. Pak Faizal adalah seorang sutradara yang pernah kutawari skenario film. Dan karena berbeda generasi, mengaku tidak bisa nyambung dengan apa yang kutulis. 

"Tahu nomorku dari mana?" tanyanya waktu itu. Aku bilang dari Facebook—karena memang begitu kenyataannya. Pak Faizal punya bisnis lain dan mencantumkan nomornya di Facebook. 

Setelah berkenalan—meski sampai saat ini tidak pernah bertemu secara langsung, aku baru tahu Pak Faizal jarang menangani film. Lebih banyak reality show di TV. Tapi untuk itu, beliau memberiku kesempatan menulis konsep reality show. Meski tidak goal, aku tetap berharap kelak ada kabar baik untuk skenarioku—aku terus berharap meski selalu kecewa. Sebelumnya, aku menawarkan naskah pada seorang sutradara saat masih berada di Malang. Sutradara itu mengatakan dalam email-nya, seharusnya aku menjadi penulis professional dan tinggal di Jakarta. Beliau juga akan mempelajari naskahku. Lama berselang, tak ada satu pun kabar. Kegembiraanku lenyap tak bersisa. Belakangan aku tahu, akan lebih baik jika kau menghubungi produser, bukannya sutradara. 

Ponselku berdenting. 

Pesanku dibalas dengan sebuah foto di mana Pak Faizal berada di samping seorang scriptwriter lulusan IKJ.

Maka aku membalas dengan foto juga. Salah satu scene series yang kami kerjakan di sini—foto Hera dan Dika di studio musik.

Ponselku berdenting lagi.

"Wah. Ajak-ajak dong!" Bunyi pesan itu.

Aku tertawa kecil. Tidak mengira reaksinya seperti itu. Sebenarnya, aku yang berharap banyak belajar dari Pak Faizal. Entah jika memungkinkan, sekedar main ke lokasi syuting. Siapa tahu ada yang merekrut!

Percakapan kami berlanjut meski tak pernah lama. Bagaimanapun aku tidak suka berkirim pesan, apalagi menelepon. Masa-masa menelepon hampir satu jam sudah pernah kulewati. Di usiaku yang menginjak dua puluh lima tahun ini, aku tidak tahu apa gunanya berbicara di telepon selama berjam-jam. 

IKJ. Institut Kesenian Just For You. Begitu aku menyebutnya dulu, saat memutuskan mencoba menulis skenario pertamaku. 

IKJ, gumamku dalam hati saat berkesempatan mengunjungi kampus itu dalam sebuah seminar untuk lomba pitching ide film. Dengan keadaanku yang sangat terbatas, aku pergi ke sana sendirian. Aku yang tidak pernah menjadi mahasiswa di manapun itu, hanya bisa memasuki kampus-kampus seperti itu lewat acara-acara seperti ini. 

Jalan impian adalah jalan yang sepi. Sebab tidak semua orang sependapat denganmu. 

Kini, aku merasakan sepi itu. 

Aku yakin sudah jauh mendaki.

Sebab kata orang, dalam pendakian, jalur yang ada di bawah lah yang paling ramai. Semakin tinggi, akan semakin sedikit yang bertahan. Sehingga sepi menjadi tak terhindarkan. 

Sepi. Tapi anehnya aku merasa bebas di sini. 

Entah ke mana suara-suara misterius yang menggangguku itu pergi. Halusinasi auditori yang disebabkan banyaknya omongan tetangga—apa mungkin karena di sini aku tidak perlu mengenal tetangga Sasha? Apalagi mengizinkan mereka untuk membahas keburukanku?

Entahlah. 

Semakin banyak pekerjaan, justru aku semakin tenggelam dalam ketenangan itu. 

Tenang tak berarti segalanya menyenangkan. Tapi tenang karena kau tahu, seburuk apapun yang terjadi, pasti berlalu.

Hasil lomba itu sendiri membuatku menangis tanpa suara di warnet tempatku melihat daftar nama pemenang yang berkesempatan mendapatkan mentoring. Bagaimana tidak? Aku bahkan sudah percaya diri akan terpilih sepuluh besar, sehingga memutuskan untuk kos di dekat hotel tempat pertemuan para pemenang. Di sisi lain, aku memang butuh tempat kos mingguan. Jadi, sekalian saja!

"Aku akan pulang kalau lombanya selesai," kataku pada ibu lewat telepon waktu itu. 

Sebenarnya, aku tidak pernah beruntung dalam perlombaan. Bahkan lomba makan kerupuk saat 17 Agustus saja aku tidak pernah menang. Satu-satunya penghargaan yang kuterima adalah sewaktu sekolah, di mana aku tidak menang melawan orang lain, melainkan melawan diriku sendiri yang malas belajar. 

Salah satu syarat dalam perlombaan film itu adalah mengirimkan video teaser. Dari sinilah aku belajar mengedit video. 

Ayahku sendiri sudah mengancam sebelumnya. Kalau aku tidak segera pulang, maka ayah akan pergi mencariku ke Jakarta. Aku merinding membayangkan ayah mencariku di kota sebesar ini. Aku tahu ayah sering ke ibu kota untuk mengirim barang dari pabrik tempatnya bekerja. Ayah seorang sopir dan tahu arah. Tapi itu dulu. Entah kenapa waktu itu aku cemas memikirkan, bagaimana kalau berujung dengan aku yang mencari ayah? Di kota sebesar ini, orang-orang kampung seperti kami kalau tidak tersesat, masalah lainnya hanya kehabisan uang. Dan aku sudah mengalami keduanya. 

Maka tak urung dalam perjalanan pulang ke kos, aku melanjutkan menangis di bus. Meski sedang galau, aku sudah memastikan tidak akan ada yang melihatku menangis, karena aku duduk di kursi yang tidak menghadap penumpang lain, tepat di dekat jendela. 

Beruntung, tetangga kosku menawarkan sebuah pekerjaan di rumah Sasha. Benar-benar keberuntungan yang tidak bisa kulihat seketika. Aku bahkan sudah mencoretnya dari hal yang harus kulakukan, dan memilih membeli tiket kereta api seharga seratus ribu. Tapi sebelum pulang, aku merasa harus mengambil buku tabungan di Jakarta. Semenjak dicetak, buku itu belum sempat kubawa pulang. Untuk itu, aku harus menempuh dua jam perjalanan dengan bus. 

Di dalam bus aku memikirkan, apa benar aku sudah gila? Jika tidak, kenapa tidak ada yang bisa memahami pemikiranku? Aku sudah tidak ingin menangis lagi. Hanya mengantuk karena bosan.

Tapi segalanya menjadi jelas saat aku berganti bus, melewati kota. Awalnya, aku hanya menunduk seperti biasa, berpegangan pada bus karena tidak mendapatkan tempat duduk. Lalu seperti ada keajaiban yang terjadi saat aku melihat ke sekitar. Itu pertama kalinya aku melihat Bundaran HI. Dan saat itu, air mancurnya seperti menderaikan permata. Kemilau di bawah cahaya matahari. Dijaga gedung-gedung pencakar langit. Aku benar-benar terpana, lalu berkata dalam hati, "Aku tidak ingin pulang. Aku masih mau di sini. Aku mau cari kerja lagi. Apapun itu. Asal tetap di kota ini." 

Mendadak aku bersemangat. Meski faktanya, aku pasti mengecewakan orang tuaku lagi. Aku satu-satunya anak mereka. Tapi jika aku sudah yakin, biasanya mereka tidak akan menahanku—atau mungkin tidak bisa. 

Aku bahkan mengagumi halte tujuanku yang memiliki jembatan penyeberangan dengan arsitektur unik. 

"Pasti bagus kalau buat film di sini," kataku dalam hati waktu itu. Aku tidak bisa memotret karena ponsel bututku mati. Yang bisa kulakukan hanya merekam segalanya dalam ingatan. Aku tidak pernah tahu waktu itu, dua bulan berikutnya, aku benar-benar kembali ke sana bersama Sasha dan tim untuk membuat film—karena memang aku yang mengusulkan tempat itu. 

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi