Hai, perkenalkan namaku Anastasya. Biasa dipanggil Tasya. Usiaku hampir kepala tiga. Namun aku masih nyaman dengan status single yang melekat pada diriku sejak 5 tahun lalu. Lebih tepatnya … saat aku gagal menikah dengan laki-laki jodoh orang yang aku jaga selama 7 tahun lamanya. Cukup tragis dan sesak jika harus diingat lagi masa itu. Masa dimana duniaku seakan runtuh. Menanggung rasa sakit hati serta malu pada semua orang yang menatapku, membuatku menyalahkan Tuhan karena memberiku nasib buruk.
Aku sadar sikapku keterlaluan. Tapi aku yakin jika kalian ada di posisiku, pasti kalian juga akan melakukan hal yang sama.
Dan untungnya waktu itu aku berkesempatan bekerja di Singapura. Tanpa banyak berpikir, aku mengiyakan saat salah satu teman baikku mengajakku bergabung bersamanya bekerja di sebuah coffee shop. Tabungan yang selama ini berhasil aku kumpulkan mati-matian untuk mewujudkan pernikahan impian, akhirnya aku habiskan sebagai jalan kepergianku ke Singapura mencari uang dan tentunya melupakan dia.
Satu tahun aku akui masih begitu sulit melupakan dia, apalagi dia baik. Tahun berikutnya aku mulai belajar menerima semua masa lalu dan berdamai dengan diri sendiri. Alhasil aku berhasil! Aku tidak lagi menangis di pojokan dapur saat jam istirahat tiba. Tidak lagi terus menyalahkan takdir membuang waktu cukup lama bersama jodoh orang. Intinya proses move on berhasil ku jalani selama 3 tahun.
Melangkah tahun keempat, ibu memintaku pulang. Aku pun sudah sangat merindukan kampung halaman. Merindukan masakan ibu dan bercanda dengan ayah yang memang suka sekali menggodaku. Masih jelas dalam ingatanku saat dia memutuskan hubungan kami dan meminta maaf di depan ayahku langsung. Wajah ayahku begitu terluka. Namun beliau hanya diam dan terlihat tegar, beliau malah memeluk dan menenangkan aku yang hanya bisa menangis tersedu di samping ayah dan ibu. Benar yang dikatakan orang, tidak ada laki-laki sesayang itu sama anak perempuannya kecuali sosok ayah. Dan aku merasakannya.
Baiklah, lupakan mantan pada tempat dan waktunya. Aku move on dan hidup bahagia lagi seperti dulu. Selain itu bisa aku katakan, aku cukup sukses hidup di negara orang selama 3 tahun. Punya tabungan 3x lipat dari jumlah uang tabungan sebelumnya. Bisa merenovasi rumah di kampung, membelikan kendaraan ayah yang sejak dulu ingin sekali dimilikinya. Membuatkan ibu toko kelontong di depan rumah. Apalagi yang bisa aku katakan selain bersyukur atas karunia Tuhan setelah badai besar yang menghantam aku dan keluargaku, akhirnya ada pelangi datang setelahnya.
"Sya, kamu kapan pulang, Nak?" tanya ibu di telepon.
"Secepatnya, Bu. Ibu dan ayah sabar dulu, ya? Tasya sudah mengajukan cuti sama boss Tasya disini. Dan sekarang Tasya harus menyelesaikan tugas Tasya dengan baik sebelum pergi," jelasku pada ibu yang menjadi Malaikat serta sumber kekuatanku selama ini menjalani kerasnya hidup.
"Baiklah, Nak. Kamu baik-baik disana, jangan lupa makan, kabari Ibu dan ayah jika kamu sempat." Pesan ibu sebelum kami mengakhiri telepon.
Aku kembali bekerja setelah itu karena jam istirahat telah usai. Mengajukan cuti cukup lama tidak semudah itu dilakukan di Singapura. Apalagi boss sangatlah disiplin. Untungnya selama bekerja disana, aku hampir tidak pernah absen. Sakit pun tetap aku usahakan masuk. Mungkin hanya bertukar jadwal saja dengan salah satu rekan kerjaku yang kebetulan sama-sama masuk hari itu.
Satu Minggu kemudian aku sudah bersiap pulang. Rasanya tidak sabar untuk bertemu ayah dan ibu. Memeluknya lalu bermanja-manja di pangkuan mereka. Ah… andai ku miliki kantong Doraemon sekarang ini.
Beberapa menit kemudian pesawat yang aku tumpangi take off. Aku segera terbang bersamanya menuju negara tercinta. Indonesia.
Rencananya aku akan tinggal di rumah selama dua bulan. Itu juga lumayan membuatku sedikit tidak enak pada William pemilik coffee shop. Tapi bagaimana lagi, ayah dan ibu meminta lebih lagi bersamaku. Maka aku bisa apa selain mengabulkannya.
Perjalanan dia setengah jam berlalu. Singapura dan Surabaya cukup membuat pantatku rasanya mengembang akibat kelamaan duduk. Sehari hari aku dituntut berdiri dan menghadap meja kasir. Duduk sedikit lebih lama tentu tidak nyaman.
Keluar dari pintu setelah selesai mengambil koper milikku dari mesin conveyor bagasi bandara. Ada 2 koper berukuran 24 inch yang kubawa sebagai tempat barang pribadiku serta oleh-oleh untuk ayah dan ibu. Beberapa juga oleh-oleh yang akan aku berikan pada Sanak saudara juga tetangga kanan dan kiri. Kebiasaan di kampung halaman yang kebanyakan masih melekat sampai sekarang.
"Ayah! Ibu!" Seruku setelah melihat dua orang yang berarti dalam hidupku berdiri tepat di luar pintu keluar bandara.
Ayah dan ibu menungguku dengan wajah bahagia mereka. Sungguh aku pun lebih bahagia. Tanpa berpikir lagi aku berlari meninggalkan koper-koperku untuk segera memeluk tubuh mereka. Rasa haru kian mendera saat aku berada dalam pelukannya. Begitu juga ayah dan ibu yang tak malu meneteskan air mata di depan puluhan bahkan ratusan orang yang ada di sana.
"Kamu sehat, Nak?" tanya Ayah setelah melepas pelukannya padaku.
"Sehat, Yah. Sangat sehat malah. Ayah sendiri bagaimana?" tanyaku sambil memegang kedua tangannya.
"Ayah sehat, Sya. Syukur Alhamdulillah kamu terlihat cantik dan lebih berisi. Tidak seperti dulu saat Ayah dan Ibu mengantarmu pergi," kata Ayah kembali mengingat 3 tahun lalu saat mengantarku ke Bandara.
Aku tersenyum puas. Sementara ibu terus saja menyandarkan kepalanya di lenganku sambil memeluk tubuhku yang katanya berisi. Setelah melepas rindu yang sedikit terobati, kami bertiga segera meninggalkan Bandara dan bergegas menuju rumah bersama taksi yang kami sewa.
"Hari ini Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu loh, Sya!" ujar Ibu di mobil.
"Wah… Tasya sudah tidak sabar jadinya segera sampai rumah!" Jawabku senang.
"Ayah juga sudah merapikan kamar kamu sejak sejak seminggu lalu. Tadi pagi sampai bingung ganti sprei," kata ibu lagi.
Aku tertawa mendengar bagaimana kedua orang tuaku begitu bersemangat menyambut kepulangan ku ini.
"Kami sudah sepakat kalau nanti Ayah yang akan suapin kamu makan setelah sampai rumah," sahut Ayah menyuarakan keinginannya.
Aku melongo mendengar ucapan ayah yang terkesan berlebihan.
"Tasya rasa tidak perlu sampai segitunya, Yah, Bu. Tasya ini sudah 29 tahun. Masa makan harus disuapi kalian. Tasya mau makan sendiri. Ayah dan Ibu cukup temani Tasya, oke?" tawarku pada mereka berdua
Meski ku tahu mereka sedikit kecewa, tapi akhirnya mereka setuju dengan tawaranku tadi.
Memasuki halaman rumah, alangkah terkejutnya aku melihat beberapa orang berkumpul di depan rumah. Mereka semua tentu saja para tetangga yang nampak sengaja berbondong-bondong datang untuk ikut menyambut kepulanganku. Aku merasa seperti artis yang tengah berkunjung ke desa.
***
"Selamat siang semua…." sapaku pada para ibu-ibu disana.
"Wah… Tasya sekarang cantik, ya? Lebih berisi dari Tasya yang dulu." Puji salah satu kerumunan ibu-ibu itu pada ibu yang lain.
"Alhamdulillah. Terima Kasih atas pujiannya," jawabku menanggapi.
"Sya, mana oleh-olehnya dari Singapura?" celetuk ibu dibelakang.
Aku cukup terkejut mendengar ucapan itu. Maklum saja, selama tinggal di Singapura tidak sekalipun ada tetangga tempatku tinggal yang berkata begitu padaku meski aku membawa beberapa kantong penuh makanan di depan mereka. Aku hampir saja melupakan kebiasaan para tetangga yang sudah mendarah daging menagih oleh-oleh jika ada tetangga mereka yang pulang dari bepergian. Kini tak bisa ku salahkan ucapan ibu itu yang memintaku memberikan oleh-oleh untuk mereka semua. Meski ingin rasanya aku mencari tahu siapa pencetus adat kebiasaan ini.
"Tunggu sebentar ya, ibu-ibu. Saya masuk dulu. Nanti pasti akan dibagikan oleh-olehnya. Saya harus bongkar koper soalnya," jelas ku pada mereka dengan sopan agar mereka tidak naik pitam dan melancipkan bibirnya padaku.
Untungnya situasi dan mood ibu-ibu itu baik sehingga mereka dapat mengerti apa yang baru saja aku sampaikan.
"Sya, di Singapura jadi apa kamu?"
"Bagaimana disana? Enak?"
"Sudah punya calon suami belum, Saya?"
"Sya … Sya …."
Ingin rasanya kepalaku pecah seketika mendengar ibu-ibu saling bersahutan menghujaniku berbagai macam pertanyaan. Ingin rasanya berteriak, 'bisa tidak diam dulu!' tapi itu tidak mungkin aku lakukan meski hati menginginkannya.
"Em… maaf sebelumnya. Saya sangat lelah. Saya ingin istirahat dulu. Nanti saja kita ngobrol gimana?" tawarku mencari akal agar mulut mereka tidak lagi ada pertanyaan yang keluar.
"Oh… silahkan. Kamu istirahat saja dulu, kami semua siap menunggu cerita kamu. Benar, kan, ibu-ibu…." jawab salah satu tetangga mewakili semua.
Anggukan kepala pun bisa ku lihat. Aku menghela nafas panjang. Setidaknya sampai sore nanti, karena ku yakin mereka akan kembali menagih janji.
Ayah dan ibu yang sudah kembali dari dalam rumah segera menghampiriku. Mereka tadinya masuk lebih dulu untuk membawa barang-barang bawaanku dari bagasi taksi.
"Ibu-ibu sudah pulang, Sya?" tanya Ibu padaku melihat halaman sepi.
"Sudah, Bu. Tasya minta waktu buat istirahat. Tapi nanti juga mereka balik lagi," kataku penuh keyakinan.
Ibu dan ayah tersenyum. Mereka lalu mengajakku masuk ke dalam rumah. Aku melihat tidak ada yang berubah. Kecuali bangunan toko di depan rumah dan atap yang diperbaiki karena bocor. Selebihnya semua nampak sama seperti tiga tahun lalu.
"Sya, ayo duduk sini. Kamu harus makan sebelum istirahat." Ibu memanggilku di meja makan.
Aku berjalan ke arah ibu dan ayah yang sudah duduk manis disana. Ku lihat di atas meja makan sudah tersedia aneka hidangan lezat buatan ibu yang lama aku rindukan. Tak butuh waktu lama, segera saja aku mencicipi semua yang disuguhkan.
"Enak!" kataku memuji masakan ibu yang memang benar-benar enak. Tidak kalah dari masakan rumah makan di Singapura. Ibu dan ayah saling berpandangan. Lalu kembali melihat ke arahku yang lahap menyantap makanan.
Setelah semua selesai, aku diminta beristirahat di kamarku yang penuh kenangan. Kamar saksi bisu apa saja yang aku rasakan. Cukup lama aku bernostalgia tentang kamar ini. Aku pun tidur terlelap dalam pelukan tempat tidur.
Angin sore bertiup kencang menerpa wajahku saat aku berdiri di depan jendela kamar. Lama sekali aku larut dalam mimpi indah akan kenangan masa lalu di kamar ini membuatku merasa lebih segar lagi.
Tiba-tiba ibu datang ke kamar dan memintaku untuk membagi oleh-oleh pada tetangga sekitar rumah sendiri sekaligus menyapa mereka yang lama tidak bertemu. Meski niat ibu baik, tapi aku tidak begitu menyukainya. Namun demi menjaga kehormatan ibu, aku pun menuruti perintah. Satu persatu bingkisan oleh-oleh dibagikan tiap rumah warga. Ada 35 rumah yang masuk dalam satu Rukun Tetangga di tempatku. Dan itu membuatku kepayahan. Ditambah lagi tiap kali datang menyapa mereka selalu mengajukan pertanyaan aneh-aneh yang sungguh tak ingin ku dengar apalagi ku jawab. Salah satunya pertanyaan kapan menikah!
"Sya, kamu ini sudah tidak muda lagi. Sudah mau kepala tiga. Tidak baik sendiri di usia segini. Kamu bisa-bisa jadi perawan tua!"
"Sya, apa kamu masih belum bisa membuka hati buat pria manapun sampai kamu tidak ingin menikah."
"Sya, anak Tante saja sudah menjkah dan punya anak 2. Tante ini sudah dipanggil Oma. Masa kamu tidak kasihan sama ibu dan ayah kamu yang pasti pengen punya cucu kaya Tante ini."
"Sya, cari laki-laki model apalagi kamu. Jangan pilih-pilih. Yang penting punya pekerjaan beres."
Semua omongan mereka tadi membuat kepalaku pecah! Sungguh budaya macam apa ini, Tuhan?! Mereka pikir aku tidak ingin menikah? Itu salah! Aku ingin menikah, hanya saja tidak sekarang. Dan lagi, mereka menganggapku belum bisa move on dari mantan kekasihku dulu. ITU JUGA SALAH BESAR! Aku malah sudah jauh lebih bahagia dengan keadaan ku sekarang. Hanya saja tidak mungkin aku menjelaskan semua itu pada mereka semua. Buang-buang waktu dan tenaga lebih tepatnya. Heran saja, belum sehari aku di rumah, sudah ada saja yang membuatku tidak nyaman.
Wajah kesal ku tak bisa aku tutupi dari ibu dan ayah. Mereka memandangku dengan tatapan penasaran setelah pulang ke rumah.
"Kamu kenapa, Sya? Kok wajahnya begitu? Tidak enak dilihat," tanya Ibu menghampiri.
Aku hanya menggeleng malas. Tidak ingin aku bercerita pada ibu tentang apa saja yang aku dapat dari rumah warga tadi. Sudah pasti ibu dan ayah jauh lebih sedih daripada aku. Mereka selama ini sudah kuat dan sabar menanggung malu atas kegagalanku menikah. Aib keluarga yang telah aku beri dulu tidak bisa hilang begitu saja bukan? Apalagi hidup di sebuah desa yang mayoritas sumber daya manusianya tidak semua berpikiran maju.
"Ayo cerita sama Ayah dan Ibu. Jangan dipendam sendiri," imbuh Ayah memintaku bercerita.
"Tidak ada apa-apa, Yah, Bu. Tasya cuma lelah. Berjalan ke rumah warga bikin betis Tasya seperti pukulan es batu!" Kelak ku mencari alasan.
"Benar hanya itu? Tidak ada yang lain?" tanya ibu menyelidik curiga.
Aku mengangguk yakin agar mereka berdua percaya. Tak pernah ingin ku berbohong pada mereka berdua, tapi kebohonganku kali ini demi menjaga perasaan mereka. Aku tidak ingin melukai hati ayah dan ibu lagi dengan membuka masa lalu.
"Sini peluk Ibu. Tadi Ayah bukannya sudah menawarkan diri mengantar kamu? Kenapa kamu tolak, Nak? Sekarang lihat, kamu menangis seperti anak kecil saja," kata ibu mengingatkan sembari memberi pelukan hangat padaku. Ayah dan ibu lalu tersenyum melihatku yang memang bertingkah manja layaknya anak Balita.
Aku hanya diam menikmati pelukan ibu yang sangat nyaman dan menenangkan. Bagiku, itu adalah obat penyembuh luka ucapan jahat tadi.
***
Dua Minggu berlalu. Aku sudah cukup kebal dengan pertanyaan serta ucapan pedas ibu-ibu setempat. Tidak lagi aku merasa sakit hati atau ambil pusing dengan apa yang ingin mereka ucapkan. Yang ada dalam pikiranku adalah, aku hanya ingin menikmati waktu bersama ayah dan ibu dengan baik.
"Tasya, tolong antar pesanan ibu-ibu ini, ya? Dalam kantong plastik sudah ibu kasih nama dan rincian harga dari barang-barang belanjaan yang mereka pesan. Kamu hanya perlu bantu cek lagi dan memastikan semua sudah tepat."
"Baik, Bu. Kalau begitu Tasya pergi dulu."
Aku pun berlalu meninggalkan rumah dan mengendarai sepeda motor yang sudah dimodifikasi ayah sebaik mungkin dengan menambahkan kotak cukup besar di bagian belakang untuk tempat belanjaan.
Alhamdulillah usaha toko kelontong Ibu sudah besar, para warga sekitar hanya perlu mengirimkan pesan apa saja kebutuhan belanjaan mereka pada ibu dan ibu akan menyiapkan semuanya. Sementara ayah yang biasanya bertugas mengantarkan belanjaan mereka sampai ke rumah.
Rasanya senang sekaligus bangga pada diri sendiri, berkat ide yang aku sampaikan beberapa tahun lalu pada ayah dan ibu sebelum membuka toko berhasil. Aku berharap kelak toko ini akan membawa kebahagiaan serta keberkahan untuk keluargaku.
"Permisi … Bu Kasih…!" Panggilku tepat di depan pintu rumah salah satu warga yang memesan belanjaan pada ibu. Rumahnya tepat di sebelah rumahku.
"Iya … siapa, ya?" Jawab pemilik rumah begitu kencangnya. Sampai-sampai pintu dan kaca jendela ikut bergetar. Lumayan horor pikirku saat ini. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang ibu lansia namun masih berperawakan kuat berdiri tegak di depanku. Aku tersenyum ramah padanya.
"Permisi, Ibu kasih, ya? Saya Tasya anaknya ibu Rosmala mau antar belanjaan," jelasku pada ibu itu sambil memberikan kantong plastik berisi belanjaannya.
"Oh… kamu ini anaknya Rosmala yang bekerja di Singapura itu? Cantik juga, ya? Tapi masih cantikan saya waktu muda," ucap ibu itu dengan percaya diri. Sebenarnya lebih tepat disebut Oma. Aku pun hanya bisa tersenyum menanggapi sambil beberapa kali menelan ludah mendengar betapa percaya dirinya beliau.
"Coba Oma cek dulu belanjaannya sudah sesuai atau belum," pintaku sopan. Tapi … tiba-tiba saja wajah Oma itu berubah seketika. Kedua bola matanya menatap tajam kepadaku dibalik kacamata yang dikenakannya. Tentu saja aku terkejut dan tidak mengerti alasannya.
"Hei, Nak. Apa kamu bilang tadi? Oma? Enak saja! Panggil saya Madam Kasih! Meski sudah berumur, kamu juga harus melihat saya masih kuat. Masih oke!" ujar Oma itu sambil berputar badan lalu berkacak pinggang di depanku.
Mimpi buruk apa semalam aku bisa berhadapan langsung dengan Oma ini. Batinku dalam hati.
"Ma-maaf, Oma. Eh, maksud saya Madam Kasih. Saya tidak bermaksud tidak sopan, sekali lagi saya minta maaf."
"Tidak apa-apa, kali ini saya maafkan karena saya tahu kamu juga baru tahu. Kalau ayah kamu sudah hafal memanggil saya dengan sebutan apa," terang Oma itu lagi padaku.
Tak ingin lama-lama berurusan dengan Oma satu ini, aku pun pamit undur diri dari rumahnya.
Di rumah aku bertanya pada ibu siapa gerangan Oma Kasih itu. Ibu pun menceritakan bahwa Oma kasih adalah warga baru di tempat kami. Penghuni rumah sebenarnya telah pindah ke luar kota. Dan Oma Kasih membeli rumah itu untuk ia tempati bersama dua orang temannya yang seumuran.
Hari menjelang malam, aku lelah ingin segera beristirahat. Saat hendak menutup mata, tiba -tiba suara ramai-ramai terdengar dari sebelah rumahku. Suara itu dari rumah Oma Kasih. Ku pasang telingaku baik-baik memastikan ada apa disana. Rupanya Oma Kasih tengah karaokean. Alunan musik ikut tertangkap pendengaranku. Aku masih bisa memakluminya. Sebab malam-malam sebelumnya aman-aman saja.
Namun hari-hari selanjutnya aku mulai terganggu dengan suara itu. Ibu dan ayah tahu apa yang aku pikirkan. Karena itu mereka kembali menjelaskan tentang kebiasaan Oma Kasih yang gemar melantunkan lagu-lagu bersama teman-temannya kapanpun mereka suka. Karena rumah kita jaraknya cukup dekat, jadi mau tidak mau, suka tidak suka kami harus menerimanya.
"Tapi kemarin aman-aman saja, Bu," tanyaku pada Ibu penasaran.
"Tentu saja, Oma Kasih baru kembali kemarin dari rumah anaknya. Jadi teman-temannya juga belum pada datang, Sya." Ayah menjawab rasa penasaranku.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya ini ujian lagi buatku pulang ke rumah. Benar saja, semenjak malam itu aku terus saja dipaksa mendengarkan suara mereka dan musik cukup memekakkan telinga dari rumah sebelah. Sungguh menguji emosi!
Esoknya saat aku lari pagi di sekitar rumah. Aku melihat Oma Kasih dan teman-temannya juga tengah melakukan persiapan senam dengan peregangan otot. Musik yang diputar luar biasa kencangnya. Anehnya semua warga sekitar bersikap biasa, hanya aku yang tidak nyaman dengan semua itu. Saat berniat kembali ke rumah, Oma kasih memanggilku dan memintaku untuk datang padanya. Dengan malas aku berjalan memenuhi panggilannya, lalu menyapa dengan sopan.
"Pagi, Oma. UPS! Madam Kasih…" sapaku pada beliau sedikit tidak enak karena keceplosan memanggil Oma.
"Ya, selamat pagi juga. Sedang olahraga juga kamu rupanya. Bagus! Jangan tidur seperti kebanyakan gadis muda lainnya," kata Oma Kasih memujiku.
"Berhenti dulu, guys! Ayo kesini semua. Kenalkan ini anaknya Rosmala yang punya toko sebelah." Oma Kasih memperkenalkan aku pada semua teman-temannya. Semuanya pun segera datang menghampiri kamu berdua.
Lagi-lagi aku mengernyit heran mendengar tingkah luar biasa Oma Oma ini setelah mereka mengajakku bicara dan bergabung olahraga bersama mereka semua. Aku merasa mereka ini salah tubuh. Bagaimana tidak, usia dan fisik mereka mungkin berumur, tapi cara pandang dan pengetahuan mereka terhadap segala sesuatu sangatlah maju.
Rupanya mereka tidak menutup diri untuk mengikuti perkembangan zaman meski mereka akui awalnya kesulitan. Mereka sadar bahwa mereka hidup di zaman milenial, karena itu mereka berusaha merubah cara pandang mereka yang kolot menjadi lebih terbuka seiring berjalannya waktu. Membuat kegiatan yang bermanfaat. Berbincang bersama mereka sebentar rasanya begitu menyenangkan. Karena hari sudah siang, aku pamit pulang lebih dulu karena harus membantu ibu.
Hari hari berikutnya, Oma kasih sering memintaku bergabung bersama beliau dan teman temannya di rumah untuk melakukan berbagai kegiatan. Salah satunya menyulam. Di tengah-tengah kegiatan mereka bersantai menikmati waktu dekat bernyanyi bersama sambil berjoget. Lagu tembang kenangan yang cukup hits di tahun mereka membuatku kesulitan untuk ikut melafalkan lirik saat memintaku bernyanyi. Kebanyakan mereka sudah tidak memiliki suami, karena itu mereka mencari kesibukan dan menikmati masa tua mereka penuh kesenangan dan melakukan hal-hal positif. Terlepas dari itu semua, kerasnya suara sound sistem yang mereka putar membuat gendang telingaku ingin pecah! Aku pun mengeluh dalam hati, "Sungguh Oma-Oma Meresahkan!"