Ketakutan terbesarku saat terpaksa pulang dari perantauan adalah tinggal di kampung halaman. Tempat di mana mimpi-mimpi besar tak diterima. Kecuali kau terima saja dianggap gila.
Orang-orang yang sanggup tinggal di kampung ini mesti memiliki hati berlapis baja. Semua tak lain karena banyaknya omongan tetangga. Tak karuan bunyinya. Juga bentuk orang-orang yang melontarkannya. Rupa-rupa. Tak usahlah kau tanyakan bagaimana persisnya rupa mereka. Tak peduli aku.
Sebab kini, hatiku mesti kulapisi baja. Kukuatkan niatnya. Apalagi apa pun yang kulakukan ditertawakannya. Sebenarnya siapa yang gila di sini?
Jika bermimpi besar dan takut bermimpi sama-sama gilanya. Lebih baik aku memilih yang pertama.
Sekarang, aku melihat diriku sendiri seperti halnya Takezo dalam novel Musashi. Takezo yang diburu warga kampungnya sendiri dan dituntut hukuman mati. Takezo akan tetap menjadi Takezo jika menyerah di pohon tempat warga kampung mengikatnya. Atau lebih tepatnya, mencoba membunuhnya. Seperti yang warga kampung ini lakukan setiap hari. Berusaha membunuh karakterku. Sedikit demi sedikit. Mengharapkanku tak sanggup melakukan hal-hal besar lagi.
Suatu saat, aku pun ingin pergi dari kampung ini. Seperti halnya Takezo yang meninggalkan Mimasaka untuk menjadi Musashi.