Hari Minggu waktunya beristirahat. Melepas penat dari kegiatan menjaga tiga orang anak laki-laki majikanku. Karena ayah anak-anak itu berprofesi sebagai TNI, tidak jarang dan tidak heran jika kutemukan Joe, Fabian, dan Zul tahu-tahu sudah berada di atas pagar tembok depan rumah, atau sekedar bergelantungan di pagar besi di sampingnya. Tapi menyuruh mereka turun adalah tugasku.
Joe harus kugendong paksa karena usianya masih empat tahun. Dan barangkali karena paling kecil, badannya jadi jauh lebih ringan. Gerakannya saat memanjat pagar sudah seperti ada anjing galak yang mengejarnya.
Sekali waktu setelah menemukan posisi yang pas di pagar itu dia tersenyum, lalu berkata, "Bang!"
Penjual bakso celingukan mencari asal suara.
"Woy! Di sini woy!" lanjutnya, lalu saat penjual bakso melihatnya, dia tertawa kecil. "Halo ...."
Sementara Fabian yang berumur enam tahun akan membuat drama tidak mau mandi setiap pagi.
Entahlah. Dia sudah seperti alergi air. Tapi anehnya alergi itu sembuh setiap sore hari di saat ketiga anak itu memutuskan mandi bersama. Kalau sudah begini aku yang kelimpungan menyuruh mereka segera keluar dari kamar mandi.
Tapi sekali keluar, si bungsu biasanya malah berlarian dengan cara yang mengkhawatirkan. Membuat air menetes di mana-mana.
Suaraku sampai serak meneriakinya. Menyuruh berhenti sembari mengejarnya. Takut aku dia terpeleset. Tapi dia malah tertawa kegirangan seperti sedang bermain di waterpark.
Sementara Zul yang berusia tujuh tahun tak kalah memusingkan. Dia suka membuat drama minggat jika kedua adiknya tidak mau diajak kompromi. Tentunya setelah marah-marah dan menggebrak pintu, atau merusak barang apa pun yang ada di sekitarnya.
Di luar gerimis baru saja turun. Tapi kubiarkan dia berlari menjauhi rumah. Tidak ingin aku ikut dalam Telenovela ini. Maka kutahan dua anak lainnya agar mengikuti. Dan Zul pun berhenti. Barangkali karena tidak ada yang mengejar.
Tapi kemudian Joe dengan tampang bersalah bergegas menyusul, "Zul!" teriaknya dramatis.
Zul menampilkan wajah tidak mau dibujuk. Lalu Fabian pun lepas dari tanganku, ikut menyusul. Alhasil aku pun pergi juga. Tapi mereka sudah dalam perjalanan kembali. Suasana sudah jauh lebih baik. Mungkin aku memang tidak mengerti jalan pemikiran mereka. Aku sendiri belum menikah, apalagi punya anak. Tentu saja aku shock menghadapi tingkah mereka yang begitu meledak-ledak.
Terlepas dari pekerjaan, aku tidak mengira di rumah kos yang sepi ini juga bisa terjadi drama.
Awalnya, penghuni rumah kos ini hanya ada tiga orang. Mey, seorang penyanyi di aplikasi, Fina, seorang karyawan minimarket, dan aku, seorang asisten rumah tangga sekaligus pengasuh anak.
Drama pertama muncul saat ada anak kos baru bernama Indira yang menghuni salah satu kamar di lantai satu. Sebab dia ingin dekat dengan dapur jika sewaktu-waktu ingin memasak.
Indira membawa serta kucing berwarna hitam-putih yang kupikir bentuk kepalanya mirip sekali dengan Tom dalam serial kartun Tom and Jerry. Kucing itu bernama Mio.
Kehadiran Mio menjadi hiburan baru tersendiri bagi kami. Fina juga punya kucing di rumahnya. Maka dengan cepat Mio sudah nyaman berada di sekitarnya. Tapi Mey tidak suka kucing. Lebih tepatnya tidak suka bulunya. Diusirnya kucing itu kalau ketahuan menyelinap ke dalam kamarnya. Sementara aku meski tidak pernah punya kucing, lumayan suka dengan hewan itu. Maka kubiarakan saja jika dia tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Apalagi kalau semua tetangga kosku itu sedang pergi bekerja atau entah ke mana. Kehadiran Mio membuatku merasa tidak sendirian lagi—karena memang aku tidak sendirian.
Sebelum ada Indira, kadang aku harus sendirian sampai tengah malam jika kebetulan Mey sedang pergi dan Fina masuk shift dua. Karena gerbang hanya bisa dibuka dari dalam, kami harus sukarela membukanya—sebenarnya ini agak mengganggu. Karena Fina pulang jam sebelas, bahkan sampai jam dua belas malam.
Sekarang setidaknya ada Mio yang mengeong-ngeong di lantai satu, jika sedang tidak bisa lepas dari kamarnya.
Suatu ketika, Indira mengirim pesan minta tolong memeriksa Mio di kamarnya. Karena dia takut kucing itu kabur. Saat itu hanya aku yang ada di dalam rumah kos. Aku pun memeriksanya lewat jendela yang setengah terbuka. Kusibakkan tirai di dibaliknya. Aku pun tersentak parah.
Kamar Indira benar-benar seperti kapal pecah! Baju dan barang-barang berserakan di mana-mana.
Astaga, Indira! Jorok sekali!
Lalu pikiran itu pun sirna saat aku melihat kandang kucing tepat di bawah jendela di dalam kamar.
Ah iya. Ini pasti ulah Mio.
Tapi, di mana kucing itu sekarang?
Kulihat kandangnya kosong.
"Mio!" panggilku.
Hening. Sepertinya di kamar mandi juga tidak ada.
"Miooo!"
Tidak ada yang terjadi.
Aku pun memutuskan kucing itu memang kabur. Pasalnya, pernah saat aku pergi ke dapur, Mio mengeong-ngeong, mengintip dari celah jendela yang sedikit terbuka. Kepalanya berusaha keras menekan kaca jendela. Kali ini sepertinya dia berhasil lolos.
Maka terjawablah firasat sang pemilik. Mungkin memang sudah terjalin ikatan batin antara keduanya.
Aku pun mencari kucing itu ke dapur. Kini, samar-samar terdengar suaranya. Tapi dari atap!
Itu artinya mungkin dia ada di lantai dua.
Tapi saat memeriksa lantai dua, aku tidak menemukan apapun.
Tak lama kemudian, Fina pulang. Dan kami pun mencari bersama-sama di sekitaran kos. Tidak ada. Seorang nenek-nenek di luar bilang melihatnya pergi ke arah selatan.
Setelah kucari, tidak ada.
Kami akhirnya duduk di dekat gerbang yang setengah terbuka, dekat tangga menuju lantai dua. Membicarakan promo ojek online.
Lalu tiba-tiba sudut mataku menangkap sekelebat bayangan di luar.
Aku bergegas memeriksa.
"Ketemu?" tanya Fina ikut keluar.
"Nggak ada. Duh! Tapi kayaknya emang barusan lewat." Aku bersikeras mencari di tanah lapang di samping kos, di antara tumpukan kayu bekas.
"Haa. Itu!" teriak Fina. Aku bergegas melihat ke arah yang dia tunjuk.
Kucing hitam-putih itu melangkah pelan di kegelapan, melewati semak.
Perlahan aku mengikutinya, hendak menangkap.
Sudah serius sekali aku hingga nyaris sampai di pagar tetangga saat teringat bagaimana Fina mencarinya tadi. Sementara aku lebih banyak diam dan bertindak, Fina memanggil-manggil kucing itu ke sana kemari. Aku pun segera menirukannya.
"Pus ...."
Kucing di depanku berhenti untuk melihat, lalu menghampiriku. "Meoow."
Aku nyaris tertawa saat menggendongnya. Kupikir dia akan kabur kalau aku bersuara. Tapi ternyata sebaliknya. Mungkin karena sudah mengenal suara atau bahkan aku sendiri. Bagaimana tidak? Dia pernah tiba-tiba melesat masuk ke kamarku, lalu berhenti di ujung kamar yang kuhiasi batu-batu koral hitam dan lampu tumblr hanya untuk pipis.
Aku kalah cepat untuk menangkapnya. Mungkin dikiranya batu-batu itu tempat yang strategis untuk melancarkan aksinya.