Seorang Pendeta tengah bersiap-siap menuju ke dalam sel tahanan nomor 13. Ia Pendeta yang sangat berkarisma dan selalu dipercaya oleh para jemaatnya, dan sekarang, Pendeta itu memiliki tugas untuk mewawancarai seorang pembunuh yang telah menggemparkan publik dengan banyaknya kasus yang ia lakukan.
Ruangan isolasi tahanan itu dibuka. Di sana ia menemui seorang pemuda tengah duduk dengan posisi terikat di bagian pergelangan kakinya. Tangannya terikat pada pegangan kursi, dan wajahnya ditutupi oleh penutup wajah terbuat dari kain hitam, yang hanya memperlihatkan mata dan mulutnya
Pendeta itu duduk menghadap pemuda itu.
"Jadi, apakah kau siap membuat pengakuan dosa, Anakku?" mulai Pendeta itu.
"Aku lebih dari siap sekarang."
"Kalau begitu, mulailah."
"Baik! Ini adalah pengakuan dosaku. Dimulai dari ketika aku masih kecil, saat usiaku baru berumur delapan tahun. Sewaktu itu aku sangat nakal dan selalu membantah perkataan kedua orang tuaku. Mereka, kedua orangtuaku itu sangatlah religius, hanya saja aku selalu menolak jika harus diajak untuk beribadah. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk meninggalkan rumahku sendiri, aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mereka dan lebih memilih untuk tinggal di jalanan dengan teman-temanku.
"Sejak saat itu aku mulai bertahan hidup dengan jalan mencuri, aku menikmatinya, dikarenakan aku tak perlu susah payah untuk bekerja seperti orang kebanyakan. Suatu hari, saat umurku semakin dewasa, aku mulai melakukan pekerjaan yang lebih berat lagi dan tentu saja dengan penghasilan yang juga lebih besar lagi.
"Aku masuk ke dalam sebuah kelompok gangster yang pekerjaan mereka menjual barang terlarang, aku berkeliling ke semua kota untuk melakukan transaksi. Saat itu umurku sudah 16 tahun. Kami memulai petualangan dan kami melakukan penggelapan di pelabuhan. Sialnya, saat itu aku dan temanku tertangkap oleh polisi, dan itu adalah hari pertamaku masuk ke dalam penjara.
"Setelah lima tahun aku di dalam penjara, akhirnya aku bebas. Aku mencoba untuk datang dan kembali masuk menjadi anggota gangster di tempatku yang lama. Sayangnya mereka tidak mau lagi menerimaku di sana, mereka mengusirku, dan aku merasa patah hati karena satu-satunya rumah dan keluargaku tidak mau lagi mengakuiku. Alhasil aku terlunta-lunta menjadi gelandangan. Lantas, aku akhirnya melakukan pencurian kembali, kali ini aku mencuri harta benda yang ada di dalam rumah seseorang. Pertama kali aku berhasil tanpa kendala, lalu aku mencoba untuk kedua dan ketiga lalu seterusnya. Aku melakukan pencurian tanpa pernah tertangkap sedikitpun. Sampai suatu saat aku terpaksa membunuh penghuni rumah tersebut karena hendak menyelamatkan diri.
"Inilah pembunuhan pertamaku. Tetap saja aku berhasil menghindar dan lolos dari polisi, lalu aku putuskan untuk merampok di tengah jalanan sepi. Aku tak segan-segan membunuh waktu itu, dan aku merasa tak berdosa dan menganggap suatu pembunuhan adalah hal yang wajar. Di lain waktu aku juga tergiur dengan kabar tentang harga penjualan organ tubuh manusia, harga yang fantastis itu membuatku ingin melakukan penculikan terhadap anak kecil. Aku mencari tahu di mana aku bisa menjual organ itu. Ada rumor bahwa, ada pasar gelap yang bisa kugunakan untuk melakukan penjualan. Berhubung aku bukanlah seorang dokter bedah, maka aku mulai mencoba berkenalan ke sana-kemari dengan penjahat lain, hingga aku menemukan sebuah situs web di mana aku bertemu dengan seorang dokter kandungan yang selalu melakukan aborsi ilegal terhadap para pelacur.
"Aku bekerja sama dengannya. Aku juga mengurungkan niatku untuk menculik anak kecil, dikarenakan bahwa saat itu aku masih sedikit memiliki rasa iba kepada mereka. Bapak Pendeta! kau pasti mengetahui apa yang kami lakukan selanjutnya. Kami membunuh para pelacur itu untuk kami ambil organnya. Kami membakar mayatnya di ruang bawah tanah tempat praktik tersebut. Kami mengantongi banyak uang dari hasil penjualan tersebut, sampai kami berselisih paham mengenai pembagian hasilnya. Sebenarnya tugasku adalah mencari korban yang hendak melakukan aborsi, lalu menjebaknya. Aku merasa tidak puas dengan hasil yang kudapat, lalu kami cek-cok dan aku membunuh dokter itu.
"Saat itu keadaan juga sedang gawat, tempat praktik kami telah diawasi dan aku telah menjadi buron. Polisi mencariku, dan aku sibuk berpindah-pindah tempat untuk menghindari penangkapan diriku. Sampai akhirnya aku merasakan timah panas dari senjata mereka. Mereka menemukan persembunyianku dan menembakku saat tengah kabur dari kejaran mereka. Aku tertembak di bagian punggung sebelah kanan, beruntungnya aku tidak tersungkur dan masih dapat terus berlari. Aku berlari dalam kegelapan, dan kembali terlunta-lunta. Suatu hari aku memutuskan untuk kembali kerumah orang tuaku. Sangat disayangkan bahwa Ayahku menolak diriku mentah-mentah, ya, Ayah mengusirku. Dan aku juga mengetahui bahwa ibuku ternyata telah mati.
"Ayah tidak lagi mengakuiku sebagai anaknya. Ayah mengetahui kalau aku pernah dipenjara karena kasus penjualan narkoba dan penggelapan. Dia menghinaku dan membentak diriku, aku benar-benar sakit hati dan marah. Lalu aku pergi dengan menyimpan kebencian terhadapnya.Untuk bertahan hidup, aku sering melakukan pencurian dan pembunuhan. Aku benar-benar tidak bisa berhenti dan ketagihan untuk membunuh orang lain. Ditambah lagi kebencianku terhadap Ayahku, maka kulampiaskan dengan cara menyiksa hewan atau orang lain yang bisa kutemui di malam hari. Kadang, ketika birahiku memuncak, dikarenakan usiaku sudah mencapai 26 tahun, aku memperkosa anak-anak di bawah umur.
"Anak-anak, adalah mangsa yang paling mudah untuk kugapai demi nafsu birahiku. Kesehatan mentalku benar-benar telah rusak. Laki-laki atau perempuan, aku tidak pandang bulu, mereka semua ku iming-imingi dengan sesuatu agar mereka mau ikut bersamaku. Aku mencuri kostum badut beruang untuk mendekati mereka, lalu aku menculik mereka. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak terlantar.
"Itulah yang kulakukan dalam waktu singkat umurku, usia mudaku. Aku benar-benar benci, tetapi aku sadar bahwa semua ini awalnya adalah kesalahanku. Kalau saja aku menuruti perkataan orang tuaku, tapi semuanya terlambat. Aku minta maaf jika dirimu merasa terganggu, Bapak Pendeta. Namun itulah yang kulakukan dan tak bisa kubendung lagi, entah setan apa yang telah merasuki diriku ini.
"Sampai suatu saat, aku mulai merasa jenuh juga dan memilih untuk menjadi penadah barang curian. Bukannya aku tak ingin bekerja dengan normal, tetapi wajahku sudah menjadi buronan kepolisian, dan aku pasti akan dieksekusi mati karenanya. Aku sibuk menyamarkan diri dan jarang sekali keluar di siang hari. Untungnya para tetanggaku tidak terlalu peduli dengan tertutupnya kehidupanku di sana. Aku merasa tidak punya pilihan lain, selain tetap menjadi penjahat. Aku pernah mencoba untuk bunuh diri, tapi rasanya benar-benar tak sanggup. Aku takut akan mati.
"Lalu di sinilah aku Bapak Pendeta! Dalam penjara ini. Karena kebodohanku saat itu yang mulai ingin mencari kehidupan normal untuk berkeluarga. Aku bertemu dengan seorang wanita yang berpendidikan, dan bodohnya aku menyukai wanita itu. Aku terkejut bahwa dia menerimaku apa adanya, walaupun aku tak pernah sama sekali memberitahukan perihal kejahatanku. Aku merahasiakannya. Sampai aku tahu bahwa, orang tuanya adalah seorang pengacara. Mereka mengenali wajahku, dan menyuruh anaknya untuk menjebak diriku. Wanita itu setuju rupanya, sementara aku sendiri tidak menyadari jebakan tersebut. Pada akhirnya aku harus ditangkap karena hal sepele. Sekarang, aku hanya perlu menunggu eksekusi matiku. Entah kenapa ketika aku berada di dalam ruang isolasi ku ini, aku merasakan ketenangan. Aku banyak merenung, menangis dan melampiaskan kemarahanku. Dan aku mulai membaca sedikit ayat-ayat Alkitab, tetapi, itu semua tidak bisa meringankan hukuman matiku.
"Bapak! Apakah Tuhan di surga akan mengampuni dosaku? Apakah aku akan mendapatkan ketenangan di rumahnya? Jika iya, maka aku tidak akan menyesali hukuman mati ini."
"Ya!" ucap pendeta itu dengan singkat.
"Do'akan aku Bapak, sebentar lagi aku akan menghadapi hari-hari terakhirku."
"Aku akan mendoakanmu, Anakku, ya, aku berjanji akan selalu memohon ampunan untukmu. Setiap saat dan setiap waktuku." Mata Pendeta itu berkaca-kaca saat mengucapkannya. Ia menahan tangisnya.
Dua petugas masuk hendak membawa pemuda itu. Rantai pada kaki dan tangannya dilepas. Pemuda itu hanya diam saja melihat dua petugas yang mengangkat tubuhnya dari kedua sisi.
Saat pemuda itu berdiri, Pendeta itu meminta kepada petugas untuk mengizinkannya melepas penutup wajah si tahanan. Pendeta itu memohon. Dua petugas itu menurutinya dan pemuda itu pun tak keberatan karenanya.
Pendeta tua itu menatap lekat-lekat wajah si pemuda selama beberapa detik, sebelum akhirnya petugas itu membawa si tahanan keluar untuk menuju ke tiang gantung.
Tahanan itu sudah pergi, namun si Pendeta tetap duduk di kursinya menatap kursi si tahanan yang sudah kosong. Air mata pendeta itu keluar, dan ia mulai menangis.
"Anakku!.... Oh, anakku!... Maafkan Bapakmu ini!" ucap Pendeta itu dalam tangisnya.
Selesai....