Disukai
4
Dilihat
1747
Kota Mati 2066
Misteri

Aku tersesat di kota mati. Di kota mati lalu lintas tidak beroperasi, bangunan-bangunan lusuh terbengkalai bagaikan bangkai-bangkai raksasa yang tak pernah mengenal arus peradaban; papan-papan peracah yang telah berlumut dan catnya mengapuh tergerus cuaca menunjukkan bahwa bangunan-bangunan itu pernah menjadi gedung sekolah, kantor polisi, kantor kelurahan, klinik kesehatan, balai kota, dan lain sebagainya. Rumah-rumah juga masih utuh dan berderet dalam sebuah pemukiman di satu bagian kota; tak satu pun dari rumah-rumah itu menunjukkan tanda-tanda masih sedang dihuni. Hampir semua pintu depannya terkatup; ada yang tidak terkatup karena daunnya memang telah copot dari engsel. Pernah aku mencoba mengetuk dan tak ada yang membukakan pintu. Saat aku memutar handel, aku tak berharap banyak; jika daun pintu itu tak berkutik, maka aku tidak akan begitu kaget. Namun aku terpukau mendapati pintu-pintu itu ternyata tidak terkunci. Di situlah aku merasa agak ngeri.

Selain rumah-rumah itu kosong melompong tanpa penghuni, juga tak ada satu pun perabotan. Namun aku bisa merasa bahwa sebenarnya rumah-rumah itu dulu pernah ditinggali. Aku tahu itu dari langit-langitnya yang telah aus, dinding-dindingnya sudah pudar dengan jejak coretan, dan aroma masa lalu yang tertinggal di sudut-sudut ruangan—jika aku memejamkan mata, lamat-lamat dapat kudengar suara gelak tawa kanak-kanak. Di salah satu rumah yang kumasuki, aku mendapati sebuah tungku api yang masih ada sisa baranya. Bara-bara itu serta merta menerbitkan harapan di hati bahwa aku bukan satu-satunya manusia di kota mati ini. Maka aku keluar dan berdiri di tengah ruas jalan yang lengang selengang tempat pemakaman umum. Di sana aku menunggu kalau-kalau akan tampak ubun-ubun seseorang dari ujung jalan di kejauhan. Tentu saja hingga hari memudar tak ada yang datang atau muncul dari ujung jalan itu dan sekali lagi aku berakhir sendirian.

Pada malam hari nyaris tiada bedanya berbaring di luar ataupun di dalam salah satu rumah. Aku tak memiliki apapun untuk menyanggahkan kepala. Mustahil bisa bermimpi indah dengan tidur seperti ini. Kenyataannya aku nyaris tak bisa tidur. Tak jarang bila malam sedang cerah, aku memilih berbaring di luar. Memandangi bulan dan bintang-bintang yang menaungiku, aku merasa tak sendirian—meskipun aku tahu ini hanya ilusi. Kutatap bintang-bintang itu hingga pelupuk mata terasa berat. Tak jarang aku membayangkan ketika terjaga nanti, aku telah berpindah tempat—di gudang bawah tanah seorang penculik, misalnya—tapi tidak, aku selalu terjaga di tengah situasi dan kondisi yang sama dan sendirian.

Pada siang hari aku akan berjalan dan terus berjalan menyusuri trotoar; meskipun ruas jalan kosong melompong, aku tetap memilih berjalan di trotoar. Aku berjalan hingga tampak olehku bangunan bekas pertokoan yang bisa dimasuki. Ada beberapa minimarket yang masih menyimpan botol-botol air mineral di rak-rak paling bawah. Aku membayangkan memergoki seseorang sedang menenggak sebotol air di antara rak-rak kosong itu. Orang yang mungkin sempat menyulut kayu bakar yang baranya aku temukan beberapa waktu berselang. Aku membayangkan ia menatapku dengan penuh kengerian, menjauhkan botol airnya dengan sikap terancam, mengira aku akan merampasnya, tapi alih-alih aku akan mengulurkan botol-botol air mineralku untuknya dan berkata, “Kamu boleh hidup lebih lama. Aku tidak ingin sendirian di tempat terkutuk ini.” Dan sebagai gantinya, kamulah yang nantinya sendirian.

 

Lama berjalan menyusuri jalanan kota mati, suatu hari tibalah aku di sebuah jembatan diapit tajuk-tajuk pohon jati yang dari kejauhan terlihat membentuk dua bagian hutan. Dari sisi jembatan aku melongok tapi tak dapat kulihat tanah atau lembah di bawah sana. Rasa ingin tahu menggaungkan pertanyaan adakah kehidupan lain di balik tajuk-tajuk pohon ini? Akhirnya setelah mencapai ujung jembatan, aku memberanikan diri untuk turun. Rumput dan semak belukar nyaris setinggi pundakku. Aku mengulurkan kedua kaki ke depan lalu memerosotkan tubuh ke bawah seperti bila berada di atas perosotan. Saat tiba di dasar lembah, bokongku terasa perih tertusuk duri-duri kecil. Di dasar lembah, atmosfer udara terasa sama sekali berbeda; rasanya seolah sedang bernapas dari dalam perut makhluk raksasa yang baru saja menelanku. Cahaya matahari tersaring di antara helai-helai daun, menerangi jalan berliku di depanku dengan sinarnya yang lemah. Bila aku tak berhasil kembali ke jalan raya sebelum senja, aku pasti terperangkap kegelapan di tengah hutan ini sebab di sini hari memudar lebih cepat. Suara jangkrik, atau entah apa, mengepungku dari setiap sisi. Seperti berada di ruangan kedap udara dan hanya suara itu yang dapat kudengar. Untungnya semakin jauh berjalan jarak antara pepohonan semakin rumpang, memungkinkan lebih banyak cahaya matahari menyorot langsung ke atas tanah.

Setelah melewati pohon terakhir, aku tiba di sebuah tanah terbuka yang membentang luas seperti tanpa batas. Tidak ada satu pun pohon atau serumpun semak tumbuh di sana. Jika bukan karena pusara-pusara putih yang menandai setiap gundukan tanah, aku bisa mengira tempat ini adalah lahan bukaan baru yang sedang dipersiapkan untuk ditanami. Seperti berjalan dalam tidur, aku terus melangkah tapi tak memercayai pandanganku. Semua pusara dari kayu itu tampak mirip satu sama lain dan tak ada satu pun keterangan tentang siapa yang dimakamkan di bawahnya. Kesenyapan total melingkupiku dan bila aku memejamkan mata, terasa ada relung yang berdenyut tanpa akhir. Pandemi yang dimulai 2020 silam telah menelan korban ribuan hingga ratusan ribu nyawa dan menciptakan kuburan-kuburan masal di setiap daerah. Sekarang 2066 dan kemungkinan ini kuburan masal terakhir yang dibuat sebelum tak ada lagi yang tersisa. Aku tak bisa berjalan lebih jauh. Tempat ini tak akan membawaku ke mana-mana. Sejauh mata memandang hanya ada makam dan makam dan makam, merentang hingga ke titik kaki-kakiku tak sanggup lagi melangkah.

Aku berlari saat kembali ke jembatan. Aku berlari seolah semua jasad di bawah makam-makam itu bangkit dan mengejarku. Saat tiba di jembatan itu lagi, tak ada yang berubah. Saat itu aku nyaris tak dapat merasakan kedua kaki dan tungkaiku karena memanjat landaian penuh onak dan duri. Deru napasku memburu. Setelah menenangkan diri aku melanjutkan berjalan ke arah berlawanan dari mana aku tadi datang. Sembari berjalan terpikir olehku bahwa mungkinkah diriku ini arwah penasaran dari salah satu makam tak beridentitas di tempat pemakaman masal tadi? Mungkinkah aku salah satu korban pandemi? Mungkinkah ayah dan ibu serta saudara-saudaraku juga dimakamkan di sana—dan di manakah arwah mereka sekarang?

Tetapi aku menyentuh punggung tanganku dan tak ada yang terasa aneh. Aku menepuk pipiku dengan keras dan dapat merasakan sakit.

Kini pemandangan di sisi kiri dan kanan ruas jalan adalah hutan semata. Aku merasa agak paranoid. Aku merasa sewaktu-waktu ada yang akan muncul dari hutan dan menyergapku. Lambat laun hutan yang mengapit ruas jalan pun digantikan dengan bentangan tanah yang luas berbukit-bukit dan berselimutkan rumput ilalang. Sambil menikmati pemandangan, aku berpikir untungnya lahan tersebut belum berubah menjadi kuburan masal. Di daerah bagian ini, tak ada satu pun bangunan pertokoan, perkantoran, ataupun rumah-rumah warga, setidaknya yang tampak dalam jarak pandangku.

Aku ingin berjalan lebih jauh tapi khawatir bila aku justru membawa diriku semakin jauh dari kemungkinan keberadaan manusia lain. Di sisi lain, aku tak dapat mengenyahkan rasa penasaran tentang apa gerangan yang sedang menantiku di ujung jalan sana. Akhirnya aku pun terus berjalan hingga tampak olehku sebuah bangunan—lebih tepat disebut pondok—berdiri di atas bukit. Aku meninggalkan ruas jalan dan tanpa ragu menyeberangi padang ilalang menuju pondok di atas bukit itu.

Gelombang semangat merayapiku mendapati pintu depan pondok itu terbuka. Pintu-pintu di rumah warga yang kulihat sebelumnya semua dalam keadaan terkatup—dan tak ada penghuni. Kuharap pintu pondok yang terbuka ini menandakan bahwa di dalam ada manusia lain. Ketika aku mencapai bukti, aku menyadari pondok yang dari jauh tadi terlihat kecil, ternyata dari dekat tak ubahnya sebuah rumah. Namun aku tetap ingin menyebutnya pondok, karena letaknya yang terpencil di tengah bukit ini.

Aku melangkah melewati pintu depan dan berkata, Halo? dengan ragu-ragu. Di dalam sunyi dan muram. Meskipun hanya sebuah pondok, perabotan-perabotan di dalamnya cukup lengkap. Ada satu set meja-kursi rotan dengan bantalan busa, lemari pojok berisi hiasan porselen, rak, dan gantungan dingin. Tidak ada sakelar dan di langit-langit tak ada bohlam lampu. Namun terdapat lampu minyak yang ditempel di dinding, masing-masing satu di setiap ruangan. Aku menyasar ruang demi ruang, menyingkap korden demi korden di depan pintu-pintu kamar.

Di salah satu kamar aku mendapati seseorang sedang berbaring. Aku terpaku di ambang pintu, mendadak tidak berani lagi membuat gerakan sekecil apapun, takut kalau-kalau dapat mengganggu dan membangunkan tidur orang itu. Sekujur tubuhnya tertutup selimut dari dada hingga ujung kaki. Wajahnya tersamarkan bayangan yang jatuh di atas tempat tidur. Namun dapat kulihat seutas selang dari hidungnya terhubung dengan sebuah tabung oksigen yang terdapat di sisi tempat tidur. Aku beringsut mendekat. Orang ini masih bernapas dan suara napasnya sangat tenang bahkan nyaris tak terdengar. Ia pasti tidak sendirian di pondok ini; kalau tidak, siapa yang mengurusnya? Lalu sebuah kesadaran menghentakku. Bila orang ini menderita karena virus, seperti orang-orang yang telah menghuni kuburan masal itu, tentu saja aku tidak seharusnya berada di sini. Aku bahkan tidak seharusnya berdiri sedekat ini di sisi tempat tidurnya. Jadi aku mundur kembali ke ambang pintu. Meskipun begitu, aku begitu enggan untuk segera meninggalkan pondok. Aku ingin menunggu siapapun datang, lalu menanyakan apa penyakit orang dengan tabung oksigen ini.

Aku menunggu di ruangan depan hingga hari senja namun tak ada yang datang. Aku menunggu hingga malam turun dan tetap tak ada yang datang. Saat itu aku sudah pindah ke dapur, mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutku. Aku menemukan sekerat roti yang sudah berjamur, mentega, dan minum dari keran yang untungnya masih mengalirkan air. Aku tidak meninggalkan pondok ini malam harinya. Kenyataannya aku tidak meninggalkan pondok ini keesokan hari dan keesokan harinya lagi. Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang dapat kulakukan di kota mati; jadi bertahan di sini mungkin tak ada salahnya. Setidaknya aku tidak sendirian.

Entah kapan aku menyadari orang itu sebenarnya telah berhenti bernapas. Berhari-hari aku membohongi diriku karena aku takut kehilangan harapan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di sini bila aku sendirian; aku tidak tahu ke mana lagi aku harus pergi. Entah apa yang harus kulakukan dengan jasadnya. Aku tidak sanggup menyeretnya keluar dan mengurus pemakaman. Lagipula tidak ada sekop atau cangkul atau semacamnya. Aku tidak tahu orang ini siapa, tapi aku menangis di sisi tempat tidur seolah-olah aku baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. Butuh beberapa menit hingga aku menyadari bahwa sebenarnya aku sedang menangisi diriku sendiri. Selamat tinggal, bisikku di atas jasad asing tersebut. Lalu aku meninggalkan pondok, melintasi padang ilalang, kembali ke kota mati.

Di kota mati aku bertahan menggasak dedaunan. Jika beruntung aku menemukan makanan dan air mineral dari minimarket yang terbengkalai. Bila bisa lebih beruntung, aku akan bertemu orang yang pernah menyulut kayu api di salah satu rumah warga. Bila aku bisa lebih beruntung lagi, barangkali keesokan harinya aku sudah mampus dan berhenti meratapi diri. Namun aku ingin mencari jalan keluar. Sebab aku hanya tersesat di kota mati; sebab di suatu tempat di luar kota ini barangkali masih ada kehidupan lain yang menanti.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@marydice : Makasih 🥰
@darmalooooo : Sudah bisa dibaca 😁
ceritanya sangat menarik serasa berada disana
Terkunci😓
Rekomendasi