Disukai
1
Dilihat
1,364
Kisah Masa Orientasi Sekolah
Slice of Life

“Revia! Buruan turun! Lo mau telat di hari pertama lo?”

Revia yang masih menguncir rambutnya langsung buru-buru turun ke bawah. “Iya sabar kek, elah.” Revia duduk di kursi meja makan. Alvaro Raditya, kakak tertuanya tertawa melihat penampilan adiknya. “Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” ujar Revia sambil mengoleskan selai nanas ke rotinya. “Gapapa kok, gue cuma ketawa doang, emang gaboleh?” Alvaro membalas sambil menaikkan kedua alisnya. “Gila lo. Mama sama papa mana?” tanya Revia. “Gausah pura-pura lupa, mereka pasti udah berangkat dari pagi buta tadi.” Alvaro mengambil tasnya lalu melangkah ke arah pintu.

           “Eh, lo udah mau jalan? Tungguin gue!” Revia menyambar tasnya dan segera berlari menyusul Alvaro yang sudah berdiri di samping mobilnya. “Gue ada urusan Rev, jadi buat hari ini lo naik busway aja ya, pulangnya baru gue jemput.” Kata Alvaro. Revia membulatkan mulutnya. “Kak! Lo tega ngebiarin gue naik busway dengan penampilan begini? Nanti kalo gue jadi pusat perhatian terus di malu-maluin gimana? Gamau tau, pokoknya gue bareng lo!” dumel Revia. Dia menghentakkan kakinya. “Nanti call gue ya kalo udah kelar, semangat MOS hari ini! Dadah..” Alvaro membuka pintu mobilnya dan langsung mengendarainya keluar rumah. Revia hanya bisa mendengus sebal sambil menghentakkan kakinya, lagi.

           ‘Anka. Revia tiba-tiba teringat Anka. Anka itu teman dekat Revia sejak SMP. Sekarang mereka bersekolah di sekolah yang sama lagi. ‘Kenapa gue gak telfon Anka aja ya? Siapa tau gue bisa bareng dia,’ pikir Revia. Revia pun mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau di nomor Anka. Tetapi, ponsel Anka sedang tidak aktif. Revia pun memutuskan untuk menaiki busway seperti yang diperintahkan oleh kakaknya.

           Di dalam busway, dugaan Revia tepat. Dia menjadi pusat perhatian oleh penumpang lain. Penampilannya yang mencolok, dengan pita di sisi kanan dan kiri rambut, kaus kaki neon, sepatu pantofel berwarna hitam, juga kacamata gaya, menjadi bahan tontonan. Revia tidak mempedulikan keadaan sekitarnya, dia hanya mendengarkan lagu lewat earphone dengan kepala menunduk. Tanpa Revia sadari, seorang anak laki-laki berpostur tinggi dengan headset yang bertengger di lehernya, duduk di sebelah Revia. Dia mengenakan seragam yang sama dengan Revia.

Revia turun dari busway bersamaan dengan anak laki-laki yang duduk bersebelahan dengannya tadi. Revia menengok ke laki-laki itu, dan mendapati laki-laki itu tersenyum sekaligus mengedipkan sebelah matanya ke arahnya. Revia langsung memalingkan mukanya. ‘Tuh cowok ngapain lagi senyum-senyum ke gue, geli,’ ujar Revia dalam hati. Revia berjalan memasuki gedung yang besar, dia menuju papan pengumuman yang terpampang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di papan itu, ada nama-nama kelompok untuk MOS nanti. Revia menemukan namanya diantara banyaknya nama. Dia masuk di kelompok lima, dan nama mentornya, Adzka Nathaniel.

           ‘Anka mana sih? Kok belom keliatan juga? Kan gue jadi gak punya temen di sini,’ Revia bertanya di dalam hati.

           BRUK!                                   

           Revia terjatuh. Seseorang menabraknya. Dilihat dari kaus kakinya, orang yang menabraknya itu pasti teman barunya. Orang itu menjulurkan tangannya pada Revia, Revia menyambutnya, lalu ia ditarik berdiri. Revia mengangkat kepalanya. “Sorry, gue gak sengaja. Lo gapapa?” ujar seorang anak perempuan yang juga memakai atribut MOS seperti Revia. “Gue gapapa kok. Lo juga anak baru?” tanya Revia. “Lo bisa liat dari penampilan gue,” tangannya membuat pose seolah menunjukkan atribut yang dikenakannya tidak jauh berbeda dari Revia. “Oh iya, hehehe. Nama gue Revia, lo?” Revia terkekeh lalu menjulurkan tangannya. “Kenalin, gue Agatha, Agatha Riana.” Gadis itu menyambut uluran tangan Revia. “Agatha Riana? Nama lo bagus.” Agatha tersenyum. Revia pun menemukan satu teman baru di sekolah barunya.

           “Lo kelompok berapa?”

           “Gue kelompok satu, lo?”

           “Gue kelompok lima.”

           Tiba-tiba, terdengar pengumuman dari speaker sekolah bahwa untuk seluruh peserta juga panitia MOS agar segera berkumpul di lapangan utama sekolah, karena akan ada pembukaan.

#

Anjir, baru juga hari pertama gue udah telat,’ batin seorang gadis yang sedang berjalan mengendap-ngendap. Gadis itu adalah Ankavia, teman lama Revia. Anka berjalan perlahan menuju barisan, namun takdir baik sedang tidak berpihak kepadanya. Dia ketahuan. “Woy! Berhenti di situ.” Anka berhenti. Seorang senior laki-laki dan seorang senior perempuan menghampiri Anka yang gemetar ketakutan. Anka melihat name tag yang di pakai dua senior itu, Arsyabia Regan dan Megan Novita.

           “Lo mau kemana? Ngendap-ngendap kayak teroris gitu.” Kata Arsya.

           “Mau… itu kak, mm…. ikut…”

           “Ikut apa?!”

           “M…mm…MOS?”

           “Udah di kasihtau kan jadwalnya? Mesti dateng jam berapa dan nanti bakal pulang jam berapa? Udah di kasihtau juga kan atribut yang wajib di pakai? Kenapa masih telat? Kenapa masih salah pake? Lo baca gak info-nya? Lo niat gak sih?” kali ini Megan yang angkat bicara. Anka terdiam. “Tadi…itu kak, bangunnya…kesiangan, terus…” Anka masih berusaha menjawab walaupun terbata-bata, ia terlihat ketakutan ditatap tajam oleh kedua seniornya itu. “Emangnya lo gak pasang alarm? Kalo gitu caranya mah, itu bener-bener ketahuan banget kalo misalnya lo gak niat! Mending lo pulang aja deh sekarang,” kata Arsya dengan muka serius. “Hah? Jangan kak, jangan… hukuman apa aja deh, tapi jangan suruh gue pulang sekarang, please kak, nanti gue bisa di marahin sama bunda,” Anka memohon pada seniornya. “Anak manja lo, najis. Udahlah, gabung ke barisan cepet.” Usir Megan. Anka pun langsung berlari ke barisan teman-temannya. Sayangnya, tepat sekali ketika Anka masuk barisan, upacara pembukaan sudah selesai di laksanakan. Anka hanya bisa menghela nafas. Sampai akhirnya, Anka melihat sosok Revia di antara banyaknya orang.

           “Revia!”

           Revia menoleh. Setelah tahu siapa yang memanggilnya, Revia langsung berlari menghampiri Anka dan langsung memeluknya. “Ankaaa..”

           “Kok lo baru keliatan sih? Lo kemana aja dari tadi?” tanya Revia setelah melepas pelukannya. Raut muka Anka berubah jadi bete. “Biasa, gue bangun kesiangan dan gue lupa masang alarm pula, jadinya ya telat deh.” Jawab Anka. Revia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

           “Eh, lo udah liat kelompok belom?”

           “Kelompok apaan? Gue aja baru dateng, elah.”

           “Hahaha. Kelompok apalagi selain kelompok MOS? Udah ah, ayo gue anterin liat,” Revia menarik tangan Anka menuju papan pengumuman.

           “Yah… kita gak sekelompok,” kata Revia.

           “Emangnya lo kelompok berapa Rev?”

           “Gue kelompok lima, sedangkan lo kelompok dua. Btw, mentor kelompok lo siapa?” Anka kembali melihat papan pengumuman dan melihat nama mentor di kelompoknya. “Arsyabia Regan?!”

#

“Jadi, acara MOS yang pertama itu, kalian harus membuat surat cinta. Surat cinta itu dibuat harus untuk salah satu dari kita, panitia MOS, kalian pilih satu. Nanti, kalo udah selesai, semua kertasnya dikumpulin dan nanti bakal di kocok, surat yang keluar bakalan di bacain sama pembuatnya di depan orang yang dituju langsung. Oh iya, jangan lupa tulis nama kalian di surat itu. Ngerti?” jelas Ketua MOS yang bernama Alfiano Putra. Anka dan Revia tertegun. Surat cinta?

“Eh, lo bikin surat buat siapa?” tanya Revia sambil memutar-mutar pulpennya. Anka yang sudah mulai menulis, menoleh ke Revia. “Gue? Buat ketuanya,” jawab Anka tanpa menoleh ke arah Revia. “Yaelah, gue bingung nih mau nulis buat siapa,” Revia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekolah. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang tadi di lihatnya ketika turun dari busway. Laki-laki itu sedang mengobrol bersama teman-temannya. Revia menyenggol bahu Anka. “Eh, senior yang itu namanya siapa sih?” tanya Revia sambil menunjuk ke arah laki-laki tadi. Anka hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Revia menghentakkan kakinya. Baru saat Revia ingin bertanya lagi pada Anka, seseorang sudah menjawabnya lebih dulu, “Adzka.” Secara spontan, Revia juga Anka menoleh ke arah suara. Seorang gadis berdiri di belakang mereka, lalu dia duduk di samping Revia. Anehnya, Revia merasa tidak asing dengan wajah gadis tersebut. “Apa?” tanya Revia dengan muka datar. “Nama senior yang tadi lo tanyain itu Adzka, Adzka Nathaniel.” Jawab gadis itu. Gadis itu menoleh pada Anka. “Hey, nama lo siapa?” Anka menoleh singkat, “Anka.” Revia mengingat-ingat wajah gadis itu. Sampai akhirnya dia teringat, kalau gadis itu adalah gadis yang menabraknya tadi pagi. Agatha. “Lo Agatha kan ya?” tanya Revia untuk memastikan. Agatha mengangguk antusias. “Tunggu, tadi lo bilang nama senior itu Adzka Nathaniel?” tanya Revia pada Agatha untuk memastikan. Agatha mengangguk.

           “Berarti… dia mentor kelompok gue?”

           “Apa?”

           “Enggak,”

#

 “Oke, waktunya udah habis. Semuanya udah gak ada yang nulis lagi, jadi atau gak jadi, kumpulin semuanya ke depan. Taruh kertas kalian di kotak yang ada di samping gue. Mulai dari sekarang.” Alfi menunjuk kotak yang ada di sampingnya. Seluruh peserta MOS langsung berhamburan maju ke depan untuk menaruh kertas surat cintanya di dalam kotak yang ada di samping Alfi. Revia, Anka dan Agatha ikut berbaur dengan yang lain lalu bertemu lagi. “Lo nulis buat siapa?” tanya Revia pada Agatha. Agatha nyengir. “Rahasia!” Revia mendecak kesal.

           “Ini udah kekumpul semua kan? Kita mulai kocok sekarang ya,” Alfi memberikan mic yang tadi di pakainya pada temannya. Alfi mengambil kotak berisi surat cinta lalu mengocoknya berkali-kali. Setelah dikocok, Alfi menaruh kotak itu kembali ke sampingnya. Alfi mengambil mic-nya lagi. “Gue ambil satu ya,” Alfi memasukkan tangannya ke dalam kotak lalu menarik satu kertas keluar. Alfi memanggil temannya untuk menghampirinya. “Rafa, coba lo buka kertas ini, terus lo panggil orang yang namanya kecantum disitu.” Kata Alfi pada temannya yang dipanggilnya tadi, Rafa. Rafa mengangguk tanda mengerti, lalu dia mengambil kertas yang di tangan Alfi lalu membukanya. Rafa tersenyum miring. “Yap, gue udah ngeliat nama yang ada di sini. Di sini, tertulis, namanya adalah…. Agatha.” Kata Rafa. Matanya berkeliling.

           Agatha tersedak. “Hah? Seriusan?” Revia dan Anka menyenggol-nyenggol Agatha. Agatha masih terdiam di tempat. “Buruan maju,” kata Revia pelan. Agatha menggeleng pelan. Setelah di desak oleh dua teman barunya, Agatha pun maju ke depan. Sesampainya Agatha di depan, lebih tepatnya, di depan Rafa, Agatha hendak mengambil surat yang ada di tangan Rafa, tetapi, kertas itu malah ditarik lagi oleh Rafa. Agatha mengernyitkan alisnya. Dia menoleh ke arah Rafa. Rafa tertawa melihat Agatha yang blushing karena malu. “Anjir… muka dia merah masa, liat dah!” Rafa mengangkat dagu Agatha lalu menghadapkannya ke arah peserta MOS yang lain. Pipi Agatha makin merah, dia baru pertama kalinya dipermalukan seperti itu. Agatha menepis tangan Rafa dari dagunya. Rafa tertawa kecil, lalu berkata, “Sebenernya, nama yang ada di surat ini bukan lo, Agatha, gue cuma iseng aja manggil nama Agatha,” Rafa mengacak rambut Agatha. “Nama yang ada di surat ini adalah … Revia. Revia silahkan maju ke depan,” lanjut Rafa. Agatha menyeringai. Revia yang baru selesai menertawakan Agatha langsung tersedak. Anka mendorong-dorong Revia sambil tertawa mengejek. “Elah, apaan sih lo dorong-dorong,” dumel Revia. “Lo gak denger nama lo disebut? Udah ah, buruan maju ke depan, ditungguin tuh,” ujar Anka masih dengan tawanya. Revia mendengus sebal. Revia melihat di depan Agatha sedang melambaikan tangan padanya dengan senyum mengejek, sama dengan Anka. Lagi-lagi Revia mendengus, dia melirik ke arah Adzka yang sedari tadi senyum-senyum ke Revia. Revia pun melangkahkan kakinya ke depan.

           Sesampainya Revia di depan, Rafa langsung memberikan surat yang dipegangnya ke Revia. Revia mengambilnya dengan kasar lalu cemberut. Agatha yang berada di sampingnya menyenggol lengan Revia. Revia menarik panjang nafasnya, lalu membacanya.

           Oh, Adzka…

Rupamu bagai malaikat cinta penebar pesona. Aku selaku juniormu yang bahkan lebih rendah dari sebutir debu yang hilang oleh angin kencang. Ketika menatap matamu yang bagai bola kaca itu, aku tenggelam olehnya. Aku terhanyut oleh pesonamu. Bahkan aku rela menjadi udara, agar kau hidup selamanya. Aku ingin menciummu, dan tenggelam bersama wajah tampanmu yang telah menjerat hatiku.

-Revia-

Tidak sampai tiga menit, Revia telah selesai membacakan surat cinta yang dibuatnya untuk Adzka. Seluruh panitia maupun peserta MOS bertepuk tangan. Revia tersipu. Alfi yang melihat Revia tersipu memerintahkan Adzka agar berdiri di samping Revia. Adzka menurut. Kini, Adzka berdiri di samping Revia. “Revia, sekarang lo harus nyium pipinya Adzka,” tutur Alfi. Revia tertegun. Mana mungkin dia mencium pipi salah seorang seniornya yang belum dikenalnya sama sekali? Alfi menatap Revia tajam, sedangkan Adzka menatap Revia dengan tatapan yang tidak dapat ditebak. Revia menelan ludahnya, perlahan, dia mendekatkan bibirnya di pipi Adzka, dan … cup! Lagi-lagi semuanya bertepuk tangan dan bersorak. Revia blushing. Adzka merangkul Revia. Semua bersorak. Termasuk Agatha dan Anka. Ketika Adzka tertawa, Revia menoleh pada Adzka lalu tertawa kecil.

           Deg. Revia melihatnya. Revia melihat sosok yang selama ini dicarinya. Sosok yang menjadi pahlawannya. Sosok yang menjadi tujuannya masuk ke sekolah ini. Sosok yang menarik perhatiannya saat pertama kali bertemu. Cinta pertamanya. Revia melambaikan tangannya pada lelaki tersebut, akan tetapi, tanpa diduga oleh Revia, lelaki itu hanya menatap sekilas pada Revia dan menghilang dari pandangannya.

           Revia yang baru sadar kalau dia masih berada dalam rangkulan Adzka, langsung melepaskannya. ‘Kenapa dia pura-pura gak kenal sama gue? Revia bertanya dalam hati.

#

Di hari yang sama, di sisi lain, Revan bersemangat. Dia sengaja bangun pagi hari ini walaupun sebenarnya libur. Revan ingin pergi ke sekolah, menemui seseorang yang sedang mengikuti MOS di sekolahnya. Berhubung rumah Revan tidak jauh dari sekolahnya, Revan memutuskan untuk berjalan kaki dari rumahnya. Hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit, Revan telah sampai di depan pintu gerbang sekolahnya.

           “Nak Revan, ada apa kesini? Bukannya masih libur ya?” sapa salah satu satpam yang terkenal ramah pada Revan. Revan tersenyum. “Iya nih pak, saya masih libur. Tapi gak tau kenapa mau main aja tiba-tiba, hehe..” jawabnya. “Oh, begitu toh. Ya sudah, masuk nak,” satpam yang bernama Pak Dimas mempersilahkan Revan masuk. Revan tersenyum lagi dan melangkahkan kakinya ke dalam sekolah.

           Keadaan sekolah ketika Revan memasukinya tidak terlalu ramai tidak juga terlalu sepi. Hanya ada beberapa anak yang mengenakan atribut MOS yang berlalu lalang. Revan pikir, mungkin sekarang sedang jam istirahat, rata-rata dari mereka pergi ke kantin. Mata Revan mulai berkeliling. Ia mencari sosok itu. Namun, sampai detik ini Revan tak kunjung menemukannya. Saat Revan sedang melewati lorong di gedung kelas sepuluh, ia ditabrak oleh seorang perempuan. Dia terjatuh bersama perempuan itu. Refleks, perempuan itu berdiri lalu menundukkan kepalanya. Revan ikut berdiri lalu membersihkan bajunya. “Maaf, gue gak sengaja. Lo gapapa kan?” tanya perempuan tersebut masih menundukkan kepalanya. Revan tidak dapat melihat wajah perempuan tersebut. “Iya gue gapapa kok. Tapi maaf, lo bisa angkat kepala lo gak?” perempuan yang ada di hadapan Revan menggeleng cepat lalu pamit pergi. Revan mengernyitkan alisnya dan menaikkan kedua bahunya. Revan pun berjalan kembali tanpa memedulikan kejadian yang baru saja terjadi.

           Revan menyerah. Dia benar-benar tidak menemukan sosok yang dicarinya. Di antara banyaknya perempuan ataupun laki-laki yang ditemuinya bukanlah sosok tersebut. Revan enggan menanyakan tentang sosok itu ke teman-temannya yang kebetulan menjadi panitia MOS tahun ini. Revan baru sadar, dari tadi dia belum melewati lapangan basket sekolahnya. Akhirnya, dia melangkahkan kakinya menuju lapangan basket.

           Tepat saat Revan baru tiba di lapangan basket sekolahnya, dia mendengar, “Revia, sekarang lo harus nyium pipinya Adzka,Deg. Jantung Revan serasa berhenti berdetak. Dia memastikan apakah pendengarannya barusan salah atau tidak. Revan memasuki lapangan. Ramai. Banyak orang disana. Di atas panggung, ada teman-temannya juga dua orang gadis. Di bawah panggung banyak peserta MOS yang sedang menonton. Revan menemukan-nya. Sosok yang dicari-nya. Dia sedang berdiri di atas panggung, di antara teman-temannya, dengan pipi yang memerah. Adzka berdiri di hadapan-nya. Adzka, ya, Adzka teman baik Revan.

           Cup!

           Dia melakukannya. Dia mengecup pipi Adzka. Dia tersipu. Adzka merangkul-nya. Seluruh peserta bersorak dan memberikan tepuk tangan. Revan terpaku. Pandangannya tidak lepas dari dia. Revan terus menatap-nya. Menatap dia yang sedang tertawa karena malu. Sampai akhirnya, dia menyadari keberadaan Revan, lalu tersenyum bahagia. Dia melambaikan tangan pada Revan. Revan memalingkan mukanya. Revan melangkahkan kakinya. Pergi meninggalkan lapangan basket.

           ‘Sial.

#

“Acara untuk hari ini udah selesai. Tapi, masih ada acara untuk besok, dan lusa. Jadi, habis ini kalian pulang terus langsung istirahat. Acara buat besok itu bakalan dilaksanain outdoor. Acaranya bakal dijelasin sama PJ-nya, Justin Vander.” Kata Alfi. Alfi memberikan mic-nya pada Justin. Justin mengambil mic yang disodorkan Alfi lalu menghadap ke para peserta. Dia tersenyum miring, dan memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana.

           “Oke, disini gue mau jelasin buat acara besok. Besok, kalian datang ke sini jam tujuh malam, oke? Acara besok itu, biasa kita sebut dengan ‘camping’. Tapi, camping disini, kalian gak bisa seneng-seneng, banyak tantangan yang harus kalian lewatin. Camping-nya gak jauh kok, deket, deket banget malah, camping bakal dilakuin di belakang sekolah. Jadi, di belakang sekolah kita itu hutan, iya sih, hutannya emang gak lebat, tapi banyak jurang di dalem hutan itu, hutan itu masih tanah milik sekolah, jadi jangan banyak tanya kenapa kita milih tempatnya di situ. Kalo kita milih tempatnya di luar, kita mesti ngeluarin uang lagi, rugi yang ada kitanya. Ngerti gak?” jelas Justin. Seluruh peserta MOS mengangguk. “Kalian udah liat kelompok yang ditempel di mading kan? Itu kelompok yang bakalan satu tenda sama kalian besok, terus mentor yang kecantum namanya bakalan nemenin kalian, waktu jurit malem.” Lanjut Justin.

           “Yaudah, sekarang kalian boleh pulang.”

           Tiba-tiba, salah satu peserta MOS mengangkat tangannya hendak bertanya. “Ya? Ada yang mau lo tanya?” tanya Justin. “Barang apa aja yang wajib dibawa buat besok kak?”

           “Gak ada barang yang diwajibin buat dibawa, kalian kira-kira sendiri aja barang apa yang mesti dibawa. Masih ada pertanyaan?” jawab Justin. Merasa sudah mengerti, seluruh peserta MOS menggeleng. Tidak ada pertanyaan lagi. Sekali lagi, Justin membubarkan semuanya. Seluruh peserta MOS juga panitia MOS pun bubar dari aula sekolah. Revia, Anka dan Agatha berjalan bersama.

           “Kok gue baru tau ya, di belakang sekolah ada hutan?” ujar Anka. “Lo anak baru, bego. Mana tau seluk-beluk sekolah ini?” tukas Revia. Dia bersedekap, memperhatikan sekelilingnya. Dia menunggu kakaknya menjemput. Anka mencibir. “Eh, masa ya, katanya, hutan di sekolah ini tuh, banyak cerita seremnya!” Revia tercengang. Seketika dia merinding. Maklum, Revia memang sangat anti dengan hal-hal yang berbau serem, setan, horror, dan sebagainya. Revia menatap Agatha tajam. “Lo jangan bercanda,” ucapnya. “Gue serius. Tetangga gue ada yang sekolah disini, dia udah kelas dua belas, udah tiga tahun dia disini. Dia sering cerita sama gue, terus dia nyeritain tentang itu deh. Kata dia, yang paling banyak kejadian itu, ya di hutan belakang sekolah,” ucap Agatha. Mata Revia membulat. “Gak, gue gak percaya sama lo. Silahkan lanjutin bualan lo, gue gak peduli,”

           “Dibilangin gue serius juga, elah,”

           “Kita buktiin aja besok! Mau gak lo?”

           “Oke,”

           “Pokoknya, kalo besok gak terjadi apa-apa, lo mesti traktir gue,”

           “Tapi kalo ternyata besok ada apa-apa, lo yang harus traktir gue, gimana?” Revia mengacungkan jempolnya dan bersedekap. Anka yang sedari tadi hanya mendengarkan Revia dan Agatha, menggelengkan kepala. “Udahlah, kita jalan aja yuk, kita nunggu dijemput di pintu gerbang aja,” ajak Anka. Revia dan Agatha mengangguk setuju. Mereka pun berjalan menuju ke depan pintu gerbang.

           Tin! Tin!

           “What the fuck!” umpat Revia.

           Sebuah mobil Lamborghini berwarna abu-abu yang terlihat mengkilap membunyikan klaksonnya tiba-tiba. Mobil tersebut terparkir di depan pintu gerbang sekolah. Revia, Agatha dan juga Anka terlonjak. Revia yang sangat tidak suka dibuat kaget, langsung memukul bagian depan mobil tersebut lalu berkacak pinggang. “Heh! Mobil sialan! Siapa sih yang duduk di bangku kemudi lo? Udah tau ada orang lewat malah nge-klakson tiba-tiba! Untung aja gue gak jantungan! Kalo misalnya gue sampe jantungan gimana?! Lo mau tanggung jawab? Hah?!” Revia berteriak sendiri di depan mobil. Tiba-tiba, pintu mobil terbuka. Memperlihatkan sosok yang sangat tidak asing bagi Revia. Alvaro. Alvaro berkacak pinggang, menatap Revia dengan tatapan membunuh. Sedangkan Revia shock, mobil yang tadi dipukulnya ternyata milik kakaknya. Tapi, bukannya mobil kakaknya itu Ferrari? Revia tidak memedulikan itu sekarang, yang Revia pedulikan adalah harga dirinya, dia sangat malu dengan kejadian ini. Wajahnya memerah, lalu dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, perlahan dia berjalan menghindari tatapan mematikan Alvaro. Namun, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, Alvaro berhasil menarik tangan Revia. “Mau kemana lo?” tanya Alvaro. “Gue? Mau kemana? Ya… ya mau… pulanglah! Gimana sih lo?” Revia menjawab pertanyaan kakaknya dengan terbata-bata. “Mobilnya disini, kenapa lo malah jalan kesana?”

           “Gue mau pulang sendiri,”

           “Lo gak tau kan? Gue nungguin lo setengah jam disini, dan ternyata lo mau pulang sendiri? Hebat. Harusnya lo hargain gue dong! Cepet naik ke mobil!” bentak Alvaro. Revia menunduk lebih dalam. Dia pun mendekati mobil yang tadi dipukulnya lalu masuk ke bagian depan, di samping kemudi. Alvaro duduk di sampingnya, dan menancapkan gas. Anka dan Agatha terdiam. “Itu tadi siapanya Revia?” tanya Agatha. “Itu kakaknya.”

“Maksud lo apa tadi mukul-mukul mobil gue?” tanya Alvaro gusar. “Mana gue tau kalo ini mobil lo. Mobil lo kan ferrari, bukan Lamborghini,” ungkap Revia. Dia menoleh ke arah Alvaro. “Mobil ini baru dikasih sama temen gue. Temen gue pindah ke London, akhirnya mobil dia yang ini dikasih ke gue. Lumayanlah, gue juga bosen pake ferrari terus, sekali-kali gitu pake mobil yang lebih berkelas,” kata Alvaro. Dia tertawa kecil. Revia menjitak kepala Alvaro. Alvaro meringis pelan. “Sakit.”

#

“Semuanya udah kumpul sama kelompoknya kan? Barangnya udah siap semua kan?” tanya Justin memastikan. Seluruh peserta mengangguk. “Mentornya gimana? Kelompoknya udah siap?” seluruh mentor yang berdiri di barisan paling depan mengangguk antusias.

           “Ya, karena semuanya udah siap, kita langsung mulai aja acaranya. Jadi, nanti tiap kelompok maju, jalannya gaboleh sampingan, harus baris kebelakang, waktu udah mulai masuk ke hutan, mentor pindah ke barisan yang paling belakang, yang di barisan paling depan itu ketua kelompoknya, yang boleh megang senter cuma ketua kelompoknya doang. Kalian itu mungkin bakalan jalan kurang lebih selama dua puluh menit buat sampai ke tempat camping-nya. Seperti yang gue bilang kemaren, banyak jurang disana, walaupun jurangnya gak dalem banget, tetap kalian harus hati-hati, kalian juga harus saling peduli sesama teman sekelompoknya, jangan sampai ada yang tertinggal. Paham?”

           “Paham!”

           “Oke, kita mulai ya, dari kelompok…”

#

Kelompok Arsya.

           Arsya sudah pindah ke barisan paling belakang. Ketua kelompoknya memimpin barisan. Dia memimpin yang lain tanpa ada rasa takut. Anka berjalan di depan Arsya. Anka berjalan tanpa ketenangan. Dari tadi tangan maupun kakinya di hampiri oleh nyamuk. Tidak jarang dia berhenti hanya untuk memukul nyamuk dan menggaruk bagian badannya yang gatal. Plak. “Bisa jalan yang bener? Dari tadi berhenti-berhenti terus.” Anka menoleh ke belakang. Dilihatnya Arsya bersedekap menghadapnya. Anka mengernyitkan alis. “Banyak nyamuk,” Anka berdiri lalu melanjutkan jalannya. Arsya sempat terdiam sejenak ketika mendengar Anka bicara seperti itu. Arsya hanya menghela nafas lalu mengekor kelompok yang dimentorinya. Saat Arsya baru berada di belakang Anka, Arsya tersenyum miring, lalu memisahkan diri dari kelompok.

Kelompok Alfi.

           Agatha pusing. Pusing mendengar ocehan dari mentornya, Alfiano Putra. Semenjak mereka baru memasuki hutan, Alfi selalu bercerita tentang masa kecilnya. Alfi yang saat ini bukanlah sosok yang menyeramkan ketika baru pertama bertemu, melainkan sosok yang humoris dan senang tertawa. Walaupun begitu, tetap saja Agatha tidak menyukainya. Dia terlalu cerewet, sama seperti perempuan, begitu yang ada di pikiran Agatha. Kali ini, Alfi sedang mengoceh tentang adiknya yang pernah tenggelam di tengah lautan. Oke, itu tidak lucu dan tidak penting. Agatha mendengus. Agatha memperlambat jalannya hingga ia berada di barisan yang paling belakang.

           “HAA!”

           “Aaaah!” Agatha menjerit ketakutan setelah melihat sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Agatha yang memang paling benci di kagetkan seperti tadi pun memejamkan matanya lalu memukul-mukul sosok tersebut. “Sialan! Heh makhluk aneh! Lo gak usah ngagetin gue segala, ya! Lo kira gue takut sama lo?! Pergi lo dari hadapan gue sekarang juga! Pergi!” teriak Agatha sambil memukul sosok yang muncul tiba-tiba tadi. Namun tiba-tiba, pukulan Agatha terhenti saat mendengar suatu rintihan. “Aww… udah udah, sakit woy!” Sosok menyeramkan yang tadi dipukul oleh Agatha melepas kepalanya. Oh, tadi ternyata hanya topeng. Topeng?! Lalu siapa manusia yang ada di balik topeng tersebut? Agatha memperjelas penglihatannya. Tunggu… bukannya itu… Rafa?? “Apa?! Jadi barusan itu ulah lo?! Lo nyaris bikin gue jantungan tau gak? Untung aja—” belum selesai Agatha berbicara, Rafa sudah terlebih dahulu menarik lengan Agatha. Rafa menarik Agatha mendekat ke arahnya, dan tidak sadar kalau ternyata di belakangnya ada jurang, Rafa tergelincir bersama Agatha yang masih dalam pegangannya.

“Aw…”

           Agatha meringis. Dia berusaha membuka matanya. Gadis itu merasakan perih di bagian pergelangan tangan kirinya dan merintih sekali lagi. Agatha pun duduk dengan susah payah. Dia melirik ke arah sekitarnya, dan tatapannya berhenti pada sosok yang tergeletak di hadapannya. “Kak? Kak Rafa?! Ya ampun! Aw..” Agatha berjalan menghampiri Rafa dengan tertatih-tatih. Ia berlutut di samping tubuh Rafa. Agatha dapat melihat darah segar yang mengalir di beberapa bagian tubuh Rafa. Gadis itu panik, ia hendak meminta pertolongan, namun apa daya, ia sendiri tak dapat melakukan banyak. Luka di pergelangan tangannya cukup parah. Agatha pun hanya dapat duduk di samping Rafa sambil menunduk. Tanpa disadari, air matanya menetes begitu saja. Agatha sesenggukan. “A…ga...tha?” Agatha terbelalak. “Kak Rafa? Kakak sadar? Tunggu tunggu, jangan banyak gerak dulu, nanti malah tambah sakit,” ucap Agatha sambil menahan Rafa yang hendak mendudukkan badannya. Rafa merintih, ia menatap Agatha dalam. “Lo sendiri… banyak… luka. Lo… gapapa?” Rafa bertanya. “Luka gue gak separah lo kak. Tenang aja, tapi yang gue pikirin sekarang, apa nasib kita selanjutnya?”

#

Gotcha.”

           Arsya menutup mata Anka dan menarik tangannya menuju ke dalam semak-semak. Anka terkejut dan berusaha melepas tangan kekar yang menutup matanya. “Lepasin!” teriaknya. “Ssstt…” Arsya berbisik pelan di telinga Anka. Tubuh Anka menegang seketika. Arsya melepaskan tangannya. Anka menoleh, dan matanya pun membelalak. “Lo lagi?!” Anka menghela nafasnya. “Ngapain lo bawa gue kesini? Gue mau balik ke barisan kelompok gue,” Anka berdiri namun tangannya ditarik oleh Arsya sehingga dia terduduk di pangkuan Arsya. Arsya menarik pinggang Anka lalu mendekatkan wajahnya ke pipi sebelah kiri Anka, lalu berbisik, “Gue mentor kelompok lo. Gausah macem-macem. Ikut gue.” Arsya melepas Anka lalu beranjak dari duduknya. Anka mengikuti Arsya dari belakang.

Arsya membawa Anka ke sebuah tempat yang menakjubkan. Lembah berhamparan dengan bunga di atasnya, di tambah langit yang penuh bintang berkilauan bak intan berlian. Arsya mendudukkan dirinya di atas hamparan rumput. Anka yang sejak tadi hanya diam sambil membuntutinya mendekati Arsya ragu-ragu. “Lo ngapain sih bawa gue ke tempat kayak gini?” tanya Anka sambil memperhatikan sekelilingnya. “Gak usah banyak tanya. Duduk aja di samping gue. Nikmatin pemandangannya. Jangan sampe lo nyesel.” Arsya berkata tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Anka duduk di samping Arsya.

           BRUK!

           Sepintas, Anka mendengar suara debuman. Ia menoleh ke arah Arsya yang ternyata sedang menoleh ke arahnya. Arsya mengernyitkan alisnya. “Lo denger itu?” tanyanya. Dengan cepat Anka mengangguk. “Itu suara apaan?” suara Anka terdengar sedikit gemetar karena takut. Arsya yang menyadari hal itu langsung merangkul Anka dan menyenderkan kepala Anka di bahunya. “Gak usah mikir macem-macem, paling itu cuma suara orang jatuh.” Ucap Arsya dengan santainya. “Jatuh? Kalo emang bener itu suara orang jatuh, pasti dia dari sekolah kita kan?” Anka terdengar khawatir, ia mencoba meyakinkan Arsya. “Bener juga. Mau coba cek?” Anka terlihat ragu, namun akhirnya dia mengangguk. Arsya pun berdiri disusul dengan Anka. Mereka berjalan mendekati sumber suara.

Kelompok Alfi.

           “Tunggu sebentar. Udah sepuluh menit kita jalan. Gue mau absen kalian dulu,” David—ketua kelompok yang di mentori oleh Alfi, memberhentikan jalan kelompoknya. Satu persatu nama anggota kelompok pun disebutkan oleh David. Namun, ketika nama Agatha disebutkan, sunyi langsung melanda. David panik. “Agatha? Mana Agatha?!” Seluruh anggota kelompok pun panik dan mulai mencari ke sekitar mereka. “Gimana bisa ilang deh? Emangnya dia gak ngikutin barisan apa?” pikir Alfi. “Tadi Agatha di belakang gue kok, sumpah! Dan gue bener-bener gak sadar kalo misalnya tiba-tiba dia udah ngilang gitu aja!” ujar Rayne, gadis berambut blonde. “Bentar, coba gue telfon temen-temen gue.” Alfi mengeluarkan ponselnya dari saku dan mencoba menghubungi teman-temannya satu persatu. Ia menanyakan kepada temannya, apakah Agatha ada bersama mereka. Wajah panik menyertai mereka malam ini.

#

Drrtt… drrtt…

           Ponsel Adzka bergetar. Alfi memanggilnya. Tanpa berpikir panjang, Adzka langsung mengangkatnya. “Halo?”

           “Adzka! Lo inget cewek yang tadi siang, kan? Agatha?

           “Agatha? Oh, ya, gue inget dia. Kenapa?”

           Mendengar nama Agatha, Revia langsung menghentikan langkahnya. Semua teman sekelompoknya pun ikut berhenti dan menatap bingung ke arah Revia. Revia menatap Adzka. Tapi yang di tatap tidak menyadari bahwa banyak pasang mata yang sedang menatapnya, ia terlalu serius berbicara di telfon. “Apa?! Jangan bercanda! Kok bisa?! Ini gak bisa di biarin, lo cepet telfon Justin dan suruh dia kontak semua panitia buat nyari dia. Tunda dulu acara ini sementara,” Revia mengernyit. “Oke.” Adzka memasukkan ponselnya ke saku lalu mengarahkan pandangan ke kelompoknya. “Agatha kenapa?” Revia memberanikan diri untuk bertanya. “Dia hilang. Ayo kita cari dia,”

#

“Pelan-pelan kak,” Agatha sedang membantu Rafa berdiri. Ia merangkulkan lengan Rafa di kedua bahunya. Perlahan, Agatha menuntun Rafa untuk berjalan kemana pun mereka bisa. Keadaan di sekitar mereka begitu gelap, sehingga Agatha tidak mampu melihat dengan jelas. Senter yang tadi ia bawa sudah rusak setelah jatuh dari atas tadi. Ia berjalan terseok-seok dengan Rafa yang berada di rangkulannya. Baru lima menit mereka berjalan, kaki Agatha tiba-tiba tersandung sesuatu. Agatha tidak bisa menahan keseimbangannya sehingga Rafa yang ada di rangkulannya terjatuh, disusul dengannya. Agatha jatuh menimpa Rafa. Wajah mereka berdekatan sampai Agatha bisa mendengar helaan nafas Rafa. Rafa menatap Agatha dan tersenyum kecil. “Lo cantik. Maafin gue. Harusnya lo gak dapet bencana kayak gini. Ini semua salah gue.” Agatha membelalak. Tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar. Dengan cepat ia menggelengkan kepala dan menoleh ke arah samping, ia blushing. “Bukan salah lo, kak. Ini udah takdir.” Ucap Agatha pelan.

           Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan mengganggu pandangan Agatha maupun Rafa. Agatha dengan sigap langsung menjauh dari Rafa dan menoleh ke arah sumber cahaya. “Agatha?” Samar, Agatha melihat seorang gadis yang sedang berjalan ke arahnya. Setelah gadis itu mendekat, ia menyadari, kalau gadis itu adalah Anka. “Ternyata bener lo Agatha! Oh my god! Lo gapapa kan? Gue panik waktu dapet kabar lo ngilang, ya ampun, muka lo jadi banyak luka gini, ayo sini gue bantu,” Anka menghambur ke pelukan Agatha. Agatha sampai menitikkan air mata dibuatnya. Ia pun berdiri dibantu oleh Anka. Akhirnya Agatha dan Rafa dibawa kembali ke sekolah dengan bantuan teman-temannya.

           “Lo tuh apa-apaan sih, pake acara guling-guling segala di jurang?! Gak tau apa gimana paniknya gue waktu tau lo ngilang?!” ketus Revia.

           Kejadian tadi malam sudah berlalu. Acara camping dan sebagainya dibatalkan karena adanya insiden ini. Sebenarnya, insiden ini bisa dibilang tidak terlalu serius. Tapi seluruh panitia MOS benar-benar panik, karena ini pertama kalinya terjadi di sekolah mereka. Tahun-tahun sebelumnya, belum ada yang pernah terperosok ke dalam salah satu jurang di hutan belakang sekolah. Baru kali ini. Agatha dan Rafa langsung dilarikan ke UKS sekolah. Rafa ditemani oleh Alfi dan Adzka. Sementara Agatha ditemani oleh dua sahabat barunya, Anka dan Revia. “Udah gak usah dibahas lagi Rev, lo tuh ya,” Anka menyodorkan satu gelas berisi air putih pada Agatha. Agatha menerimanya sambil tersenyum kecil. “Makasih,”

           “Permisi,”

           Ketiga gadis yang berada di dalam ruangan serempak menoleh ke arah pintu. Tampaklah dua orang laki-laki masuk dan menghampiri mereka bertiga. David dan Fikri. “Agatha, lo udah mendingan kan?” tanya David. Agatha mengangguk. “Maaf ya, gue emang gak becus jadi ketua kelompok. Gue bisa sampe gak sadar kalo ternyata ada satu anggota gue yang tiba-tiba ilang. Sekali lagi maaf ya,” David bahkan sampai membungkukkan setengah badannya karena merasa bersalah pada Agatha. “Haha, lo gak usah terlalu merasa bersalah gitu, Vid. Lagian bukan salah lo juga kali, anggap aja ini takdir.” Kata Agatha. “Agatha, cepet sembuh ya.” Fikri angkat bicara. Agatha tersenyum. Setelah berbincang sebentar, David dan Fikri pun pamit.

           “Masih anak baru aja udah punya banyak penggemar. Gak temen sebaya, gak kakak kelas. Beruntung banget sih lo. Coba itung deh, udah berapa coba anak cowok yang dateng kesini dari tadi?” gerutu Revia. Anka dan Agatha hanya tertawa mendengarnya. Sejenak selama beberapa menit, Revia, Anka, dan Agatha tidak berbicara dan hanya saling menatap satu sama lain. Tiba-tiba, Revia tertawa, disusul dengan Anka juga Agatha. Mereka merasa lucu, rasanya baru satu hari menjalani kehidupan baru di SMA, sudah begitu banyak kejadian yang mereka lalui. Kejadian-kejadian yang hanya akan menjadi sebuah kenangan untuk diceritakan kembali saat semua sudah tidak dapat diulang.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi