Di malam yang sahdu ini aku tidak bisa terlalu banyak berkata-kata. Hujan turun perlahan, mengetuk atap rumah seperti jemari yang ragu mengetuk pintu lama. Udara dingin menyusup ke celah jendela, membawa bau tanah basah dan kenangan yang belum selesai. Dalam sunyi seperti ini, kata-kata terasa berat, seolah setiap kalimat memiliki konsekuensi yang tak sanggup lagi kutanggung.
Aku kehilangan kepekaan yang sebenarnya. Entah bahasaku yang terlalu vulgar, entah imajinasiku tentangmu yang begitu arogan, atau barangkali cinta ini sendiri yang terlalu terburu-buru menghakimi sesuatu yang bahkan pikiranku tak sempat memilahnya. Aku berbicara terlalu cepat, terlalu yakin, seolah setiap kata adalah kebenaran yang tak boleh dibantah. Padahal, kata-kataku melesat bagai anak panah yang dilepaskan dari busur tanpa perhitungan arah. Saat anak panah itu menancap, aku baru sadar bahwa sasaran yang kutuju adalah ulu hatimu sendiri.
Sayang, aku tahu ini menyakitimu. Aku tahu amarahmu sempat membuncah, seperti gunung yang memuntahkan api dari perutnya setelah lama dipendam. Tatapanmu berubah, suaramu bergetar, dan aku memilih diam bukan karena bijak, tetapi karena pengecut. Aku tahu itu. Aku mengerti itu. Namun pemahaman sering datang terlambat, setelah luka lebih dulu menganga dan tak bisa lagi disembunyikan.
Aku membebanimu dengan bahasa-bahasa yang barangkali lebih tajam daripada anak panah itu. Kata-kata yang kusebut jujur ternyata hanyalah dalih bagi egoku untuk merasa paling benar. Aku lupa bahwa kejujuran tanpa empati hanyalah kekerasan yang disamarkan. Di hadapanmu, aku menjadi laki-laki yang terlalu bangga pada pikirannya sendiri, tetapi rapuh ketika diminta bertanggung jawab atas perasaan orang lain.
Berapa banyak sesal yang bisa dilahirkan oleh satu sarkas? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku seperti roda yang tak menemukan jalan pulang. Berapa banyak hujatan yang dilontarkan manusia justru karena ia kehilangan pelukan? Aku adalah contoh paling telanjang dari itu. Aku, yang mengaku mencintaimu, justru melukai dengan kata-kata. Aku, yang merasa dewasa, justru gagal menjadi manusia seutuhnya.
Aku meminta maaf, meski aku tahu kata itu sering terdengar murahan setelah begitu banyak luapan emosi. Maaf sering datang sebagai sisa, bukan sebagai niat awal. Kata-kataku bergeming sia-sia di udara, jatuh satu per satu seperti daun kering, sementara detak nadiku terus memanggil namamu. Katanya cinta itu tulus, tapi mengapa ketulusanku menjelma pisau yang kaurasakan di punggung?
Bodohnya, aku tidak pernah membayangkan akibatnya. Aku terlalu sibuk mempertahankan citra sebagai laki-laki yang kuat, yang tak ingin terlihat salah. Aku mencoba memosisikan diriku sebagai seseorang yang lebih memilih menderita dalam diam daripada mengakui kesalahan secara terbuka. Egois, memang. Bahkan mungkin sangat egois di matamu. Namun percayalah, aku melakukannya karena aku mencintai diriku yang ada dalam dirimu. Aku menyayangi nafasku yang mengalir lewat darah segarmu. Tanpamu, aku hanyalah tubuh yang berjalan tanpa arah.
Aku sering berpikir, barangkali cinta memang tak pernah benar-benar mengajarkan cara berbicara. Ia hanya memberi kita keberanian untuk membuka mulut, sementara kebijaksanaan harus kita cari sendiri. Dan aku gagal mencarinya. Aku lebih sering berbicara daripada mendengar, lebih sibuk membela diri daripada merangkul perasaanmu.
Sayang, semoga engkau tetap memberiku pelukan hangat, meski hanya dalam ingatan. Pelukan yang dulu sederhana kini terasa seperti kemewahan yang tak semua orang pantas memilikinya. Aku berharap suatu hari nanti kau bisa melampiaskan amarahmu atas ulahku dengan cara apa pun. Kau bebas melontarkan makian, kau bebas menampar egoku, bahkan jika kau memilih pergi, aku takkan menahanmu dengan dalih apa pun. Pergimu, jika itu terjadi, adalah konsekuensi yang harus kuterima.
Aku siap digunjingkan. Aku siap diarak-arakkan oleh rasa bersalahku sendiri. Aku siap menderita jika suatu hari aku benar-benar kehilangan gadis cantik sepertimu. Sebab kehilanganmu bukan hanya soal perpisahan, melainkan hukuman yang paling masuk akal bagi seorang laki-laki yang berani menyakiti kekasihnya dengan kata-kata.
Jika semua itu terjadi, aku tak bisa membayangkan seperti apa diriku tanpamu. Apakah aku masih bisa berdiri tegak seperti laki-laki ketika dihadapkan pada kesendirian yang panjang? Atau justru aku akan runtuh, menyalahkan dunia, padahal akulah penyebabnya? Hukuman apa yang pantas bagi laki-laki kurus kerempeng sepertiku, yang sok berani bermain kata, tetapi gemetar saat harus menanggung akibatnya?
Terima kasih atas semua yang pernah kau beri. Atas sabarmu, atas diam yang panjang, atas usahamu memahami seseorang yang bahkan tak sepenuhnya memahami dirinya sendiri. Perlu kau tahu, kepulangan sejati bagiku selain rumah asalku adalah bertemu denganmu. Hidup seatap denganmu mungkin terdengar konyol bagi siapa pun yang mendengarnya, tetapi bagiku itulah doa paling jujur yang pernah kupanjatkan.
Mungkin karena tidak semua orang seberuntung aku. Banyak yang dicampakkan, dikucilkan, atau dikhianati oleh orang yang mereka sebut kekasih. Aku tidak ingin menjadi bagian dari kisah-kisah itu, tetapi tindakanku justru membawaku mendekati jurang yang sama. Ironi itu sering membuatku tertawa pahit di tengah malam.
Aku berharap hal-hal baik yang tak pernah kuduga sebelumnya bisa datang tiba-tiba, seperti senyummu yang selalu muncul tanpa aba-aba. Seperti caramu memanggil namaku dengan nada yang selalu berhasil menenangkanku. Kata orang, sehina-hinanya manusia adalah ketika ia tak memiliki prinsip dan patokan moral. Aku tak ingin menjadi bagian dari itu. Bagiku, tidak ada hidup yang paling berarti selain saling menyayangi dan mengasihi dengan cara yang benar.
Terlalu banyak orang salah mengartikan cinta. Mereka memaksakan sesuatu yang bahkan melampaui batas kewajaran sebagai manusia seutuhnya. Mereka menyebut posesif sebagai peduli, amarah sebagai ketulusan, dan luka sebagai bukti cinta. Aku tak ingin menjadi seperti mereka. Aku selalu bilang padamu, aku bukan seseorang yang mengemis perasaan. Sebab segala sesuatu yang lahir dari keterpaksaan akan selalu berbelok arah, selalu salah sasaran.
Seorang tentara memastikan pelurunya tepat sasaran. Seorang polisi mengatur napas sebelum menarik pelatuk. Aku pun seharusnya begitu. Setiap kata yang kulepaskan semestinya telah kupikirkan matang-matang. Namun aku gagal. Peluruku melayang sia-sia di udara keabadian, melukai orang yang seharusnya kulindungi, orang yang seharusnya kupeluk tanpa syarat.
Setiap orang, termasuk engkau dan aku, memiliki tanggung jawab moral atas pilihan. Bahkan sebelum benar-benar terbangun dari tempat tidur sekalipun, kita telah dipaksa untuk memutuskan pilihan: diam atau bicara, jujur atau menyakiti, bertahan atau pergi. Dan aku, dengan segala kesadaranku, memilihmu. Meski bagimu pilihanku mungkin terdengar seperti ucapan pemanis di meja kopi atau lelucon yang diselipkan di antara tawa.
Demikianlah hidup ini, kekasihku. Terkadang pilihan harus ditunaikan seperti utang lama. Kesalahan harus diakui tanpa syarat, tanpa pembenaran. Jika kelak kau membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tak lagi berdiri di sampingmu. Namun ketahuilah, di antara sarkas dan pelukan, aku akhirnya belajar bahwa cinta bukan soal memenangkan perdebatan, melainkan keberanian untuk mengalah demi tidak kehilangan.
Dan jika aku masih diberi kesempatan, aku ingin belajar mencintaimu dengan lebih sedikit kata, lebih banyak jeda, dan pelukan yang tak lagi diselingi luka. Aku ingin mencintaimu dengan cara-cara yang wajar, dengan lebih bertanggung jawab sebagaimana janji kita pada semesta harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Semoga kita selamanya tumbuh tanpa keberpalingan dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun itu "Komitmen Berjuang"
_SE_