Disukai
0
Dilihat
316
Biru Akan Selamanya Tetap Biru
Romantis

Aku lahir di tanah Jawa Barat, yang orang-orangnya percaya: menjadi Sunda berarti mencintai Persib. Tidak ada pertanyaan, tidak ada alasan. Cinta itu seperti warisan yang turun dari langit, lalu meresap ke nadi begitu kita menghirup udara pertama di bumi Parahyangan. Cinta itu menyebar dan berpendar di dalam hati para masyarakat, tahun ke tahun sampai layaknya dongeng, cinta itu di tanam sebelum waktu tidur sampai waktu tidur kembali. 

Namaku Kaye. Sejak kecil, hidupku tak jauh dari nuansa biru. Dinding kamar dicat biru, seprai biru, bahkan gelas yang kupakai minum pun bergambar logo Persib. Ayahku sering berkata, “Kalau hatimu tidak biru, berarti kamu belum benar-benar hidup.” Aku mengangguk waktu itu, belum mengerti apa maksudnya.

Sama seperti anak kecil pada umumnya. Aku gemar bermain sepakbola. KAYE bernomor punggung 7. Begitulah baju yang sering kupakai. Selepas sekolah aku langsung berlari —melempar tas dan menaruh seragam sekolah dengan asal asal-asalan. Meliuk liuk di lapangan berbecek dan langsung melompat bergaya “Siuuuuu…..”

Malamnya, aku ikut dengan Ayah menatap TV tabung berukuran 25 inci yang layarnya sesekali memunculkan garis-garis. Berteriak “GOALLLLL” saat Atep mencetak goal ke gawang Persipura malam itu. Ayah pun demikian. Bahkan Ibu seringkali terbangun dan memarahi kami berdua. “Udah malem heii….kecilin suaranya” jawab ibu marah sembari membujuk melas. Kami hanya acuh, sambil cengegesan satu sama lain.

Ya begitulah keseharian kami. Ayah pagi sampai sore bekerja. Aku sekolah. Malamnya kami begadang menonton sepakbola. Ayah benar-benar tak melarangku begadang. Asal aku tetap belajar.

Pun demikian dengan Ibu, meskipun selalu berpasrah berat saat menilai aku susah disuruh mengaji dan lebih memilih bermain sepakbola. Tapi tetap, Ibu berpesan “Tetap jaga nama baik kebanggaan kita ya, Nak…”

Kehidupan seperti itu lah yang kemudian aku pahami saat ini. Ternyata, sepakbola bukan hanya sekedar pertandingan 45x2 menit saja. 

Ada hal lain yang tak bisa ungkapkan.

**

Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa sekolah menengah akan menyambutku

Ayah mendapatkan panggilan dari atasan, mengabarkan kalo dirinya akan di Mutasi ke Jakarta. Apa boleh buat. Keputusan itu diambil demi  keberlangsungan keluarga kami juga.

Jakarta memang kota metropolitan. Rasanya semua orang pun akan menginginkan kerja di gedung besar dengan fasilitas kemewahan lainnya. Belum ditambah akses nya mudah. Tapi tetap saja, Jakarta bukan sekadar kota baru. Ia adalah tanah musuh, rumah dari rival abadi: Persija. 

Di Bandung, kami menyebut mereka “si Oranye” dengan nada sinis. Kini, dengan darah parahyangan yang menempel di diriku, aku harus tinggal di antara mereka. Ironisnya, rumah kami yang baru hanya berjarak 500 meter dari stadion mereka. “Ah sialan” keluhku setiap menjelang pertandingan Macan Kemayoran. 

Hari pertama sekolah, aku datang dengan jaket kulit hitam dan motor custom yang aku bawa dari Bandung. Celana skinny abu-abu, juga dengan buff yang menempel di mulut, ditambah helm tanpa kaca, menghiasi kedatangan ku di sekolah.

Sontak, perhatian para murid tertuju padaku. Disertai dengan bisikan-bisikan yang menambah kesan kental sebagai anak Bandung gaul yang sering terlihat di sosial media. 

“Lo anak Bandung ya” ucap lelaki dengan rambut sedikit ikal

Enya bang…eh iya bang” jawabku kikuk 

“Hahaha wah anak viking kan lo” ujar temannya yang lebih pendek

“Hahaha yoi atuh. Salawasna” balas ku sembari menepuk dada

Percakapan hari itu membuatku di cap sebagai anak Persib sejati. Maklum, jika bicara tentang sepakbola di Jakarta, rasanya banyak yang langsung mencerca orang-orang berbahasa sunda dengan sebutan “Anak Persib” dan faktanya memang demikian adanya.

“Najis. Anak viking najis”

“Fakyu Persib”

“Persib Anjing”

Ah rasanya ucapan-ucapan tersebut yang sering aku dapatkan sehabis aku bertanding atau nongkrong. Entah itu sebatas canda tawa ataupun memang ejekan, bagiku hal tersebut membuat hatiku sedikit geram.

Pasalnya, bagiku biru bukan hanya sekedar warna. Ia adalah kebanggaan kami. Jiwa raga kami

**

Kuliah pun datang. Kali ini aku lulus dengan almet kuning kebanggaan. Beruntung, selain aku akhirnya diterima di kampus favorit yang di idam-idamkan mahasiswa di Indonesia, aku juga bisa mengekos jauh dari kota Jakarta. 

Meskipun demikian, biru masih tetap melekat di jiwaku. Aku bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sepakbola. Bernomor punggung 7 dengan label pemain PON tingkat Jawa Barat, semakin membuat diriku di kenal banyak orang. Bersyukur nya, teman ku jadi sangat banyak. Terutama, teman seper-sepakbolaan.

Selain berkuliah, gabung UKM, aku juga ikut komunitas PERSIB JAKARTA. Tempat bagiku untuk melepas penat di sela-sela kesibukan tugas numpuk dan tanggung jawab lainnya. 

“Saha nu dek away poe sabtu isukan euy….” ucap kang Soleh, seniorku di komunitas tersebut. 

Semua sontak akan mengangguk setuju. 

Wajar, setiap kali laga pertandingan Persib datang, kami selalu antusias menunggu kabar “Open Tour Bandung”. Bahkan jika komunitas kami tidak mengadakannya pun, aku bersama teman-teman yang lain akan berangkat sendiri —entah menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum.

Di kampus, aku termasuk anak yang cukup berbakat dan berprestasi. Beberapa kali tim kami juara lomba sepakbola antar kampus, 4 medali aku raih sebagai pemain terbaik maupun topskor. Selain itu, aku juga dilirik oleh tim-tim Liga 2. Bahkan, selain keterampilan tersebut aku juga sering kalo menjadi pembicara di forum-forum mahasiswa lainnya. Meskipun demikian, nilaiku malah anjlok. 

Dosen pembimbing ku pernah berkata, “Kamu tuh sebenarnya anak yang cerdas, Kaye. Tapi kamu malah gabung sama anak-anak berandalan lainnya. Sayang, kamu malah ngikut jalan yang salah.” 

Bukannya di turuti, aku malah acuh tak acuh terhadap perkataan beliau. Bagiku, aku bukan salah memilih jalan, tapi inilah jalan hidupku. 

Teman-temanku pun ikut terheran-heran. Bahkan, beberapa mencemooh. 

“Apa sih untungnya? Nonton bola doang sampai segitunya?”

Aku cuma senyum.

“Persib melumpuhkan logika” begitulah ucapan kami di tongkrongan jika berbicara mengenai cinta dan persib. Ya, lagi-lagi aku katakan bahwa Persib bukan hanya sekedar tim sepakbola belaka. Meskipun terdengar hipokrit, bahkan aku pun seringkali mendapatkan kesedihan dan kemarahan, tapi begitulah cinta. Ia tak kenal ruang dan waktu, tak butuh alasan dan tak butuh jawaban. 

Apa yang lebih indah dari itu?

**

Mungkin aku pernah gagal mengukir nilai-nilai tinggi di atas kertas, pernah mengorbankan malam-malam panjang yang seharusnya jadi waktu istirahat, atau kehilangan sebagian rezeki demi sesuatu yang tak semua orang mengerti.

Namun, satu hal yang tak pernah hilang, tak pernah tergoyahkan, adalah arah—arah yang selalu membawaku pulang, ke satu warna: biru.

Selama mentari masih setia terbit dari timur, selama napas ini masih mengalir pelan dalam dada, selama langkah ini masih bisa menapak bumi, aku tahu ke mana hatiku tertambat.

Tak peduli sejauh apa jarak memisahkan, tak peduli seberat apa musim mengguncang, tak peduli dunia berubah secepat badai menerjang—cinta ini tetap utuh, tetap menyala. 

Di stadion penuh sorak dan peluh, atau di balik layar kaca yang redup di tengah malam, namamu selalu kusebut dalam diam. 

Persib, bukan sekadar klub—engkau adalah rumah, engkau adalah nadi yang berdetak di balik ribuan doa.

Selamanya, Persib adalah jiwa dan ragaku.

Dan selamanya, biru akan tetap biru.

Tak luntur oleh waktu, tak pudar oleh musim

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi