Aku suka sepi pada keramaian.
Tidak terlalu merepotkan untuk tenggelam sendiri di tengah-tengah kerumunan banyak orang. Berjalan di antara banyak orang yang ramai bicara saat jam pulang kantor menuju halte terdekat. Bicara tentang bosnya yang menyebalkan. Bicara tentang gaji yang terlambat turun. Bicara mengenai cantiknya karyawati baru. Kemudian berjalan di bawah cahaya lampu gedung-gedung tinggi. Mendengarkan kota yang sibuk dengan suara kendaraan yang hilir mudik dan klakson yang tidak sabar ditekan.
Aku pun suka berdiam di sebuah café yang ramai pengunjung. Duduk di pojok sebelah jendela agar bisa memperhatikan keramaian pengunjung, juga lalu lalang orang di jalan. Cara mereka berjalan, cara mereka saling menyapa atau terlebih bila hujan turun. Semua orang akan berlarian. Katanya suka hujan tapi kenapa menghindarinya? Sebagian mengumpat kesal karena tidak membawa payung atau jas hujan, salah siapa. Sebagian tersenyum menikmati turunnya air yang membasahi ujung kaki hingga ujung kepala, berkah kata mereka.
Dari sini aku juga bisa melihat hujan yang turun membasahi atap café lalu airnya terus turun mengaliri hingga sampai di ujung genting untuk kemudian jatuh menetesi rumput-rumput di bawahnya. Udaranya menjadi dingin tapi menyegarkan, kadang tercium harum petrikor yang terangkat dan membuatku tenang.
Suara ramai orang-orang di dalam café serta hujan yang turun tidak menggangguku sama sekali. Sudah kukatakan aku suka sepi pada keramaian. Keramaian di dalam café yang khas. Suara denting sendok beradu dengan cangkir saat kopi atau cappuccino hangat itu diaduk. Suara gigitan dari roti garlic yang renyah dan seruputan krim sup panas. Suara orang-orang berbicara yang menghamburkan tawa atau sekadar bertegur sapa.
Memperhatikan sekelompok kawan di ujung meja sana yang saling melontarkan ejekan serta canda, betapa serunya masa remaja. Di seberang meja mereka, tampak beberapa perempuan dengan laptop di atas meja, sepertinya sibuk menentukan jadwal arisan berikutnya, atau sekadar meminta saran temannya untuk memilihkan model terbaru pakaian di portal belanja online. Di meja tidak jauh dariku, duduk pria-pria paruh baya bicara politik yang semakin memuakkan lalu bercerita soal perempuan simpanan yang tidak diketahui oleh istri-istri mereka dan mereka tertawa tak peduli.
Aku tersenyum menggeleng sendiri, aku pun tak peduli, lalu meneguk sedikit lemon tea yang hangat. Hingga mataku tertumbuk pada meja yang tepat berada di depan mejaku. Meja yang biasanya selalu kosong, atau aku yang tidak memperhatikan kemarin-kemarin kosong atau tidak? Kadang kita memperhatikan tempat yang jauh tapi yang di depan mata terlupa. Atau aku memang lupa? Tapi yang pasti sekarang di situ ada seorang pria yang duduk menghadap ke arahku. Matanya menatapku, sudah pasti kepadaku karena mejaku berada di pojok, tidak mungkin dia menatap tembok kosong di belakangku.
Dia tersenyum padaku sambil menyeruput kopinya. Sepertinya dia tahu aku sedang senyum-senyum sendiri memperhatikan semua keramaian ini. Aku mencoba tidak peduli padanya, tapi dia terus memberiku senyum. Lama-lama ini menggangguku. Aku suka memperhatikan tapi aku tidak suka diperhatikan curi-curi seperti itu.
Dia tersenyum lagi, lalu menuliskan sesuatu pada kertas tisu dan mengangkat lembaran tisu yang telah ditulisinya tadi. Aku mengerutkan keningku, tertulis nama sebuah halte busway. Apa maksudnya? Aku mendengus, untuk apa aku ambil peduli? Dia pasti pria iseng.
Aku kembali mengalihkan perhatianku pada hujan yang turun sudah tidak sederas tadi. Sepertinya sebentar lagi hujan akan mereda dan aku bisa pulang. Aku menatap sekilas meja di depanku tadi, ternyata sudah kosong. Tidak ada siapa pun yang duduk di situ. Hanya tinggal cangkir kopi dan selembar tisunya saja.
Aku merapatkan jaket parkaku, memakai hoodie-nya untuk menutupi kepala karena hujan masih merintik belum berhenti benar. Setelah menyelesaikan pembayaran, aku berjalan keluar café ke sebuah halte busway yang tak jauh dari situ. Terlihat bus yang datang sudah tidak sesesak tadi sore saat jam pulang kantor. Aku menghela nafas lega, karena bisa mendapatkan duduk kali ini. Aku pasang earphone, tak lama terdengar Harry Styles menyanyikan ”Sign Of The Times” di telingaku.
Just stop your crying, it’s a sign of the times. Welcome to the final show, I hope you’re wearing your best clothes.
***
Dari kaca jendela bus yang menyisakan butiran-butiran gerimis tersapu angin terlihat gemerlap pendaran lampu-lampu gedung-gedung metropolis. Lampu-lampu dari sebuah kota yang tak pernah tidur.
Di dalam bus mataku tertumbuk pada seorang pria yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Aku menajamkan mataku. Kini terlihat jelas. Itu pria yang tadi memperhatikanku di café! Aku terkesiap. Apa ini kebetulan? Atau karena dia memang memiliki tujuan yang sama sampai-sampai bisa satu bus? Atau dia memang mengikutiku? Siapa dia, penjahatkah? Aku menatapnya, kalau dari wajahnya seperti yang tak mungkin kalau pria itu penjahat, tapi, berprasangka buruk bagi seorang perempuan sepertiku itu lebih baik, apalagi di kota besar dengan angka kriminalitasnya yang tinggi ini. Terkadang, berprasangka buruk bisa menyelamatkanmu. Kalau dia terus mengikuti, fix, dia penjahat. Begitu kalimat-kalimat itu berkata dalam hatiku.
Aku membuang wajah menatap jalan, tapi entah kenapa mataku ingin melirik lagi ke arah pria yang sialnya memiliki wajah menarik ini. Ternyata pria itu masih menatapku. Dia tersenyum. Aku mengernyitkan dahi. “Saya?” aku menunjuk ke dadaku sendiri seperti yang bertanya apakah senyuman itu ditujukan buatku. Pria itu mengangguk lalu menunjuk papan penunjuk dengan nama halte yang tertera di dalamnya. Halte pemberhentian berikutnya.
Dia turun bersama beberapa penumpang lainnya begitu pun diriku. Aku heran, mengapa bisa bersamaan? Apakah ini sudah direncanakannya atau memang tujuan kita halte yang sama? Aku mencoba mengejar pria itu di antara banyaknya orang yang turun dari bus tetapi dia sudah menghilang. Aku mencoba berpikir siapa dia, wajahnya seperti yang pernah kuingat.
Aku mencoba lebih keras untuk mengingatnya, tetapi hanya ada riak-riak gambar yang buram dalam pikiranku tentang bayang seseorang.
Seorang supir ojek datang menghampiriku menawarkan jasanya. Aku mengangguk tapi aku sempat lupa akan kemana, lalu supir ojek itu menyebutkan, “Saya antar ke Apartemen Juanda Bu, ga jauh dari halte ini. Apartemen Juanda lantai lima, nomor lima kosong lima. Itu alamat Ibu ‘kan?” yang entah bagaimana mendapatkan persetujuan di dalam otakku bahwa itu adalah alamatku. “Iya betul, itu alamat saya Bang,” jawabku. Supir ojek itu tersenyum. Aku naik dan motor pun berjalan. Di tengah perjalanan, aku berpikir kenapa sekarang jadi banyak lupanya ya, lalu aku geleng-geleng sendiri.
***
Zedd Ft. Maren Morris dengan ‘The Middle’ mengiringi lari minggu pagiku ini.
Matahari bersinar cerah. Beat-beat lagunya membangkitkan semangat derap lariku. Lari pagi adalah olahraga favoritku. Menjaga kesehatan tubuh sekaligus cuci mata. Aku terus berlari sembari menikmati pagi hingga aku merasa di sebelahku ada seseorang yang juga terus mengikuti lariku sedari tadi.
Anehnya, bila aku melambatkan lariku, dia pun ikut melambat. Bila aku percepat lariku maka dia pun begitu. Apa maksudnya? Aku menoleh ingin tahu siapa orang ini dan aku melihat seorang pria bertubuh tinggi atletis. Seketika aku menghentikan lariku. Nafasku tersenggal karena menghentikan lari mendadak seperti ini. Aku berkacak pinggang, mencabut earphone-ku, menatap matanya dan membentaknya, “Heh, siapa kamu?!”
“Tenang, atur nafas kamu dulu, kamu masih ngos-ngosan tuh,” pria itu menjawab santai sambil tersenyum. Senyum yang aku ingat–ingat seperti pernah melihatnya. Setelah bisa mengatur nafas. Aku kembali menatapnya kali ini lebih tajam.
“Anda siapa ya? Maksud Anda apa dari tadi mengikuti saya terus?!” tanyaku galak.
Aku kesal tapi sialnya di pagi yang cerah ini, aku bisa melihat ketampanan wajah seorang pria dengan jelas. Seorang pria berhidung mancung dengan kumis tipis yang menyambung pada bulu-bulu lebat halus di rahang hingga jambangnya. Rambutnya hitam lebat serta mata yang lebar dengan bola mata bening dinaungi alis mata tebal yang rapih nan semut berbaris. Apakah dia Zayn Malik? Desis hatiku terpukau sesaat, lalu aku berdehem untuk mengusir keterpukauanku sendiri dan segera kembali fokus pada kesalku.
“Mengikuti? Kayaknya terbalik deh,” jawabnya tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang bersih. “Loh, dari pagi, dari awal saya berlari, Anda yang sudah mengikuti saya!” tukasku kesal. “Salah, malah kamu yang mengikuti saya, bukan dari pagi tadi aja, tapi dari semalam. Saat di café, bus, hingga ke cfd ini, itulah kenapa saya senyum-senyum sama kamu karena kamu mengikuti saya terus,” kata pria itu. “Hah?!” seruku tak percaya.
Matanya yang tajam seperti elang menatapku. Duh, meleleh sebetulnya ditatap pria model begini, tapi aku berprinsip, harus berprasangka buruk pada pria yang belum dikenal. Maka aku membuang wajahku, melanjutkan lari sambil bergumam, “Dasar orang gila.”
Kali ini dia tidak mengikutiku lari, dia hanya berdiri saja memandangiku. Aku menoleh, dia malah melambaikan tangannya sambil tersenyum. Kok aneh ya dalam hati aku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi aku segera menepis keinginan itu. Jangan murahan, jangan murahan, tahan, tahan, kata hatiku mengingatkan. Aku hapal pria-pria tampan seperti itu yang akan mengundang masalah atau mematahkan hatiku atau malah dia sudah banyak mematahkan hati banyak perempuan?
Sialnya, kenapa sekarang aku malah berlari memutar kembali dan berdiri lagi di hadapannya yang masih berdiri seperti menunggu. Jaga image, jaga image, jangan keliatan gatel pengen kenalan, jual mahal, jual mahal, aku mengingatkan diriku sendiri.
“Dengar dan inget ya, saya balik lagi kesini karena penasaran aja … begini kalau memang saya yang mengikuti Anda dari semalam, buktinya mana?” tanyaku menantang. Pria itu tersenyum. Brengsek itu loh senyumnya! Bikin hati ga menentu gini, hatiku jadi deg-degan. “Buktinya kita ada di sini bareng-bareng,” jawabnya enteng. Aku mendengus tak percaya, “Terus ngapain saya mengikuti Anda? Apa untungnya?”
Pria itu mengusap rambutnya yang hitam terawat dan sepertinya harum, lalu menatapku. ”Karena kamu mencintaiku dan aku pun mencintaimu,” jawabnya tanpa keraguan.
Seperti tersambar petir di siang bolong mendengar jawabannya itu. Mataku melotot tak percaya. Dih pede amat ini orang, oke dia memang tampan dan meluluhkan hati tapi ga kepedean kayak gitu juga kali, red flag banget ini cowok! Dasar playboy kelas cfd! umpat kesalku dalam hati. Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Cape dech! Gombalan Anda sudah tidak mempan buat saya,” cetusku lalu membalikkan badan bersiap berlari lagi.
Tiba-tiba tangannya memegangi tanganku. Aku menarik tanganku tapi dia tidak lepaskan. “Jangan macam–macam ya! Saya bisa teriak!” ancamku sembari melepas tangannya. “Ok, ok, sori aku tadi becanda, kamu ga ngikutin saya kok, tapi biar aku coba jelaskan dulu,” ucapnya. Aku menggeleng. Tangannya terus memegangi tanganku meski aku sudah menepis lebih keras. “Please, beri aku lima menit saja untuk jelaskan,” pintanya bersikukuh.
Tanpa banyak bicara aku tampar dia. Dia terkejut dan melepaskan tangannya. Sedang aku berlari secepat yang aku bisa untuk menjauhinya. Semua orang melihat kejadian itu. Aku yakin dia tidak akan berani mengejarku di bawah tatapan orang-orang dan di keramaian seperti ini.
***
Aku masih terengah-engah setelah melarikan diri dari pria gila tadi.
Lalu melihat ke sekelilingku, syukurlah dia tidak mengikutiku. Aku geleng-geleng sendiri, tidak percaya dia bisa nekat di pagi yang ramai seperti ini. Tapi anehnya, wajahnya itu terus membayangi pikiranku, wajahnya seperti yang pernah aku ingat. Aku menggeleng menghilangkan pikiran itu, lalu berjalan pelan untuk menenangkan nafasku yang memburu.
Enak saja nuduh aku mengikutinya sejak semalam! Huh! Kesalku dalam hati.
“Apartemen Juanda, lantai lima, nomor lima ratus kosong lima.”
Beberapa orang yang berpapasan denganku mengatakan itu dengan cukup keras tanpa berkata apa-apa lagi lalu berlalu. Aku menarik kepalaku tak mengerti, mengerutkan kening, mengapa mereka semua mengatakannya? Mengatakan kalimat yang sama berulang? Aku terus berjalan. Tak lama aku sudah berdiri di depan sebuah gedung. Aku melihat nama gedungnya, ‘Apartemen Juanda’ lalu aku menaiki tangganya. Seorang pria menyambutku, membuka pintu masuk lobi dengan senyum yang ramah, menyapa. “Halo Bu, saya Dindin, saya doorman apartemen ini.” Aku mengangguk begitu saja. “Mari, saya tunjukkan liftnya, Bu,” lanjutnya, aku mengikuti.
Pak Dindin membukakan pintu lift. “Lantai lima, nomor lima kosong lima, itu apartemen Ibu dan ini kuncinya yang tadi pagi Ibu titipkan sebelum lari,” senyum Pak Dindin seraya menyerahkan kunci padaku. Aku mengucapkan terima kasih, memijit lantai 5 dan lift membawaku naik. Setelah pintu lift terbuka, aku segera mencari nomor 505 itu nomor yang juga tertera di kunci. Setelah menemukannya, aku membuka pintunya dan melangkah masuk Di bawah pintu aku melihat sebuah kertas dengan lampiran sebuah foto seperti ada yang sengaja menyelipkannya tadi. Aku mengambil dan melihatnya.
Sebuah kertas bertuliskan, “Hai, maaf aku tidak memulainya dengan baik tadi, bagaimana kalau aku minta maaf dan mulai memperkenalkan diriku lagi? Satu jam lagi di lobi bawah? TTD, Aidan.
Hmm, ternyata nama pria itu Aidan.
Aku melihat fotonya dan tersentak kaget. Di foto itu tampak aku sedang bersama Aidan tertawa berdua di sebuah cafe. Apa-apaan ini?! Apakah ini editan? Seruku dalam hati. Aku mencek baik-baik fotonya lagi, tapi terlihat asli. Aku memegangi kepalaku yang mulai berdenyut-denyut. Aku meraih sebuah kursi lalu duduk untuk menenangkan pikiranku. Bagaimana bisa aku bersama pria itu? Kenal saja belum. Aku mencoba mengingat, wajahnya memang familiar tapi aku yakin belum pernah bertemu apalagi duduk berdua bersamanya seperti di foto itu. Aku menarik nafas kesal, dia pasti ingin mempermainkanku.
Aku bangkit dari duduk dan segera bersiap-siap. Ok, sejam lagi di lobi, lihat saja, aku akan menanyakan padanya, apa maksud foto ini!? geramku.
***
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku segera keluar kamar.
Tak sabar ingin menanyakan apa maksud dari semua itu. Aku masuk lift dan memijit tombol. Lift pun bergerak turun hingga sampai di lantai yang kutuju. Keluar lift aku langsung menuju lobi. Langkahku tegas, di dalam dadaku telah menyimpan segunung ketidaksabaran untuk meminta sebuah penjelasan. Mendengar langkahku, seorang pria yang sedang bicara dengan Pak Dindin membalikkan badannya. Ah itu Aidan, sial, tampan sekali dia dengan setelan kaos polo berwarna biru langit yang menonjolkan bisepnya plus jeans belel dan sepatu kets. Sporty juga menarik, batinku.
Aku telah berdiri dihadapannya. Harum segar dari Armani Cashmere menyerbak dari tubuhnya, enak sekali. Sesaat aku teringat pernah merasakan kedekatan dan kehangatan dengan harum ini. Senyum Aidan mengembang, alamak! Aku harus menguasai diri. Aku menatap matanya, aku harus kembali fokus pada maksud kedatanganku ke lobi ini. Aku berdehem sebentar, membasahi tenggorokanku agar tidak tercekat pada pesonanya.
“Pasti sudah terima pesanku ya?” tanyanya ramah.
“Yaiyalah, kalau engga ya ga akan ada di sini juga kali,” jawabku dingin.
Aidan masih tersenyum, “Pasti ada yang ingin ditanyakan ya.”
Aku menunjukkan fotonya, “Apa ini?”
Aidan tidak terlihat terkejut.
“Itu foto,” jawabnya santai.
Aku mendengus kesal. ”Iya tahu ini foto, yang bilang kobokan nasi padang siapa?! Maksudku apa maksudnya ini? Kenapa di foto ini ada kita berdua? Kamu edit ya?!” seruku dengan intonasi suara yang tinggi. Aidan tertawa, duh makin tampan saja. “Kita duduk dulu yuk, aku bisa jelaskan,” ucapnya sabar. Aku menghempaskan pantatku di sofa dengan wajah masam. Tak lama datang Pak Dindin mengantarkan dua gelas lemon tea dingin seraya menyerahkan sebuah tas pada Aidan. Pak Dindin tersenyum padaku lalu berdiri di samping kursi Aidan.
“Ada apa Pak Dindin berdiri di situ? Kalian sudah kenal ya?” tanyaku heran.
“Minum dulu, supaya tenang,” kata Aidan seraya menyeruput lemon tea dinginnya. Aidan terlihat kalem sekali tapi dia betul, aku sedikit lebih tenang setelah dinginnya lemon tea itu mengaliri tenggorokanku. “Sekarang coba jelaskan,” kataku dengan intonasi suara yang lebih rendah.
Aidan menarik menghela nafas sebelum memulai penjelasannnya. Matanya menatap mataku, lalu mulai menjelaskan. “Pertama-tama tentang foto itu, aku tidak mengeditnya, itu foto asli dan dengan sadar kita memang mengambil foto itu … dengan hapemu.” Aku melotot tak percaya. Segera aku keluarkan telepon genggamku dan memeriksa galeri foto. Aku terpekik kaget. Aidan benar, foto itu ada di telepon genggamku.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Apa ini? Kok bisa?
“Ok, katamu tadi itu yang pertama, pasti ada yang keduanya, lalu apa yang keduanya?” tanyaku dengan hati was-was. Aidan mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah album foto.
“Yang kedua, aku memiliki banyak foto seperti itu,” ujarnya.
Ia membuka halaman demi halaman album fotonya. Aku menatap tak berkedip. Foto-foto aku bersama Aidan memenuhi setiap halamannya. “Hah? Ta … tapi, bagaimana bisa? Kita kenal aja engga!” seruku gusar. “Tentu saja bisa, dan tentu saja kita kenal,” jawab Aidan. “Halah, kamu pasti memata-mataiku selama ini ya, lalu memotret setiap kegiatanku, trus kamu edit fotomu dengan fotoku! Kau psycho! Sakit jiwa!” pekikku. Aku berdiri bersiap pergi.
Aidan memegang tanganku menahanku.
“Lalu bagaimana bisa foto itu ada di hapemu coba? Kamu bisa jelaskan?” tanyanya pelan. Aku terdiam, dia benar juga. Aku menepis tangannya, mengusap wajahku, aku pun bingung, kok bisa?
“Pak Aidan mengatakan yang sejujurnya Bu,” sela Pak Dindin. Aidan bangkit dari duduknya, berdiri di depanku. “Percayalah, semua foto itu tidak ada yang diedit, tidak ada yang direkayasa, semua foto itu benar adanya, itu memang kita berfoto bersama,” katanya.
“Ta ... tapi kok bisa? Aku … aku ‘kan belum kenal sama kamu? Arrgh! Aku bingung,” ucapku mengacak-ngacak rambut, kepalaku mulai berputar.
“Tentu bisa, karena kita sudah mengenal lama,” kata Aidan dengan suara yang terdengar pelan, penuh kehati-hatian. Aku menatapnya. Aidan menatapku balik dengan lekat. Ada yang terasa bergetar di hati ini. “Kenal sudah lama? Ga mungkin, aku baru lihat kamu aja pagi ini,” sanggahku. Aidan menggeleng. “Tidak … kita sudah bersama sejak lama.” Kemudian ia menunduk sebentar.
Aku menunggu.
Waktu serasa berhenti.
Perlahan Aidan mendongak, wajahnya menatapku serius.
“Aku suamimu,” jawabnya pendek.
Aku terbelalak tak percaya.
“Apa? Apa-apaan ini, kamu jangan ngarang!” tukasku seraya mengatur nafas karena dada yang tiba-tiba bergemuruh dan berdetak cepat, gabungan antara terkejut, marah dan gusar. “Dengar ya Aidan atau siapa pun namamu, jangan coba-coba menipuku, aku tidak tahu permainan apa yang sedang kamu mainkan, settingan apa yang sedang kamu bikin bersama Pak Dindin dan foto-foto itu, tapi aku tidak tertarik, bukan begini caranya kalau kamu mau berkenalan dengan aku!” cecarku.
“Aku bicara jujur, aku memang suamimu, lalu bagaimana dengan bukti foto-foto itu? Itu foto-foto lama, bahkan aku bisa menunjukkan album foto pernikahan kita,” ungkap Aidan meyakinkan. “Halah, jaman sekarang semua sudah canggih, foto bisa diedit. Aku tidak percaya! Kita selesai, jangan ganggu aku lagi!” ketusku dan segera meninggalkannya.
Aidan tetap mencoba mencegahku tapi aku meronta, berlari masuk ke dalam lift.
Kepalaku sudah pusing berat. Semuanya berputar. Lift membawaku naik. Semua dinding menjadi bergoyang, mataku nanar, jalanku limbung. Susah payah aku mencari kamar apartemen nomor 505, aku berjuang agar tidak pingsan. Setelah pintu kamar aku buka, aku cepat-cepat masuk lalu mengunci pintunya kembali. Aku mencari pegangan pada kursi, meja dan lemari, merayap menuju kamar. Seluruh isi ruangan berputar cepat. Belum sampai kamar semua menjadi gelap, aku tidak kuat lagi.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Beberapa saat kemudian.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Yang pertama kulihat adalah langit-langit kamar. Kemudian aku meraba di mana aku berbaring, ternyata di atas tempat tidurku. Tapi bagaimana bisa aku berada di kamar dan di atas tempat tidur? Perlahan aku bangkit melangkah keluar kamar dengan kepala masih menyisakan pening. Aku mendengar suara dentingan sendok beradu dengan gelas sepertinya ada seseorang yang sedang mengaduk dari dapur. Aku menggerutkan dahi, melangkah menuju dapur. Aku terkesiap, di dapurku ada seorang pria!
Aku tahu siapa pria ini.
“Hey! Apa yang kau lakukan di sini?!” bentakku. Dengan tenang pria itu membalikkan badannya. “Aku sedang membuatkan lemon tea hangat buat kamu,” jawab Aidan kalem. “Bagaimana kamu bisa masuk? Kamu mendobrak pintunya ya?! Dan pasti kamu juga yang membawaku ke kamar tadi?!” tanyaku masih dengan nada tinggi dan aku segera memeriksa pakaianku. Thanks God, masih pakaian yang tadi kupakai sebelum pingsan.
“Mendobrak?” Aidan menggeleng pelan seraya menghela nafas. Aku melihat pada pintu apartemen yang masih berdiri kokoh. Aidan lalu menunjukkan kunci pintu kamar apartemen di depan hidungku. Aku jadi ingat kunciku, apakah dia mencurinya? Aku segera memeriksa kunciku ternyata kunci masih ada di dalam kantong celanaku.
“Kamu menduplikasinya ya?!”
“Hufffhhh, curiga terus, nuduh terus … tentu saja aku punya kunci kamar apartemen ini juga, kita tinggal di sini bersama, sudah kukatakan aku suami kamu ‘kan?” jawabnya. “Jangan main-main, jelaskan apa maksud kamu dengan semua ini?” kataku kini terdengar lemah. Entah kenapa aku sudah bingung sekali, dan aku butuh penjelasan, tapi saat Aidan menjelaskan aku tak percaya, bagaimana mau percaya, aku 'kan baru mengenalnya, bisa jadi dia bohong, tapi bisa jadi dia benar juga, ya Tuhan aku harus bagaimana? Semua itu berkecamuk di pikiranku.
Tak terasa air mata menetes dari mataku karena kekalutan yang begitu tinggi.
Melihatku menangis, Aidan mendekat, tangannya seakan ingin merengkuhku. “Jangan sentuh aku, please? Aku tidak kenal kamu,” ujarku memohon seraya mundur beberapa langkah. Aidan mengangguk. “Ok, ok … aku akan menjelaskan, tapi kamu harus tenang dan mendengarkan, jangan dibantah dulu ya.”
Akhirnya aku menurutinya dan duduk di kursi. Aidan menyodorkan teh lemon hangat itu padaku. Aku menyeruputnya, ada manis bercampur sedikit masam yang mengejutkan tapi menyegarkan hingga membuat peningku makin terasa berkurang dan ketenangan datang.
***
Pagi itu mendung.
Tetapi karena sudah kebiasaan, aku tetap berlari pagi. Tepat saat aku menyelesaikan putaran akhir lari pagiku, hujan turun. Aku segera berlari pulang. Hujan semakin deras membasahi jalanan dan trotoar. Aku mempercepat lariku menyeberangi jalan menuju Apartemen Juanda. Saat menaiki tangga, petir menggelegar membuatku terkejut, tidak diduga sepatuku terpeleset di atas tangga yang licin, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Kepala belakangku membentur aspal jalanan. Mataku berkunang-kunang. Aku memegang hidungku. Darah mengalir keluar. Semua mulai berputar, kepalaku berdenyut dan seketika banyak bayang yang berkelebat-kelebat, seperti lampu blitz yang bercahaya terang, lalu menjadi gelap. Terang gelap, terang gelap. Terus bergantian. Aku seperti linglung, kemudian dalam penglihatan yang buram aku melihat Pak Dindin berlari menolongku.
Cahaya terang berkelebat lalu gelap.
Aku berada di ambulan dan di sebelahku terlihat seorang pria yang cemas.
Cahaya terang berkelebat lalu gelap
Aku di rumah sakit, dibawa di atas ranjang ke dalam ruang periksa. Di sebelahku ada seorang pria yang terus menemani. “Kamu akan baik-baik saja Sayang, aku ada di sini.” Pria itu mengatakannya berulang. Aku tidak tahu siapa pria ini.
Cahaya terang berkelebat lalu gelap.
Seorang dokter sedang berbincang dengan pria itu di depan pintu kamar. Pria itu tampak terkejut, ia mengusap wajah dan rambutnya seperti yang terpukul. Dokter meninggalkannya, lalu pria itu menatapku, matanya berkaca-kaca.
***
Aidan mengusap wajah lalu mengacak rambutnya kesal.
Dia berteriak. “Argh! Seharusnya aku ikut lari bersamamu pagi itu, jadi aku bisa menjagamu, dan kamu ga perlu mengalami amnesia seperti ini!” Kemudian dia diam dengan kepalanya menunduk menyesali. Suasana hening. Ruang menjadi lengang tanpa suara. Aku menyeruput lagi teh lemon-nya yang sudah tak sehangat tadi. Mencoba mencerna cerita yang baru saja Aidan sampaikan. Mataku menatap nanar air teh lemon di dalam gelas. Berkali-kali aku bergumam sendiri, amnesia anterograde dan retrograde? Aidan sudah sampaikan sakitku. Sebuah trauma yang diakibatkan benturan keras pada kepala yang membuat si penderita mengalami lupa atas kejadian-kejadian masa lalu dan yang baru terjadi, serta untaian memori yang datang pergi.
“Apa buktinya?” aku bertanya lirih.
Aidan berjalan ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Ia membuka laci meja di kamar. Mengeluarkan sebuah map tebal. Ia meletakkan map itu di atas meja, membukanya. Aku terdiam melihatnya. Isi map adalah berkas-berkas hasil rontgen kepalaku, kuitansi rawat inap, hasil analisa dokter dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kecelakaanku. Hatiku bergemuruh, Aidan tidak berbohong soal kecelakaan itu.
“Masih perlu bukti lagi?” tanya Aidan, “sekarang siapa nama kamu?”
Aku tersentak kaget mencoba keras mengingat, tapi aku tidak tahu siapa namaku, aku tidak ingat ya Tuhan!
“Nama kamu Kalila,” lanjut Aidan.
“Kal … Kalila?” ucapku terbata.
Aidan mengangguk menunjukkan kartu identitasku yang tersimpan di dalam map. Aku terkesiap membaca statusnya yang tertulis menikah. Aidan menunjukkan juga kartu identitasnya. Alamatnya sama dengan alamat yang ada di kartu identitasku. Aku mulai gemetar. Cahaya terang berkelebat, aku mengerjap. Riak-riak bayang dalam pikiranku menjadi jernih, bayang itu menampakkan wajah Aidan.
“Kalau kamu masih butuh bukti yang lain, ini.” Aidan menunjukkan juga buku nikah kami. Aku gagap tak bisa berkata-kata lagi, yang dikatakan Aidan semuanya benar. Hatiku luruh, mataku berkaca-kaca. Aku bersimpuh lemas di lantai. Aidan memelukku. Aku merasakan aman dalam pelukkannya. Wajah Aidan dan aku begitu dekat. Tanganku gemetar menyentuh pipinya.
“Suamiku?” bisikku.
Aidan mengangguk memberikan senyumnya. Aku sudah bisa mengendalikan kekalutan dan kebingunganku, kini semua jadi lebih ringan seketika kenyamanan datang menyelubungi hati. Kita berpelukan erat.
“Jadi … jadi kamu mengikutiku untuk---”
“Untuk menjagamu dan mengingatkanmu jalan pulang.”
“Kamu yang siapkan semua? Supir ojek, orang-orang di jalan dan tentu saja Pak Dindin.”
“Ya, aku … aku takut kamu lupa jalan pulang.”
Aku langsung saja memeluknya erat.
Aidan berbisik, “Aku mencintaimu Sayang.”
“Aku lebih, lebih dari itu,” balasku.
Pantas saja aku seperti yang pernah melihat wajah-wajah mereka semua. Kesenanganku akan menikmati keramaian di café langganan beserta lari pagi, tentu saja Aidan yang tahu itu. Semua itu berulang setiap hari, dan Aidan tidak pernah lelah untuk terus mengingatkanku dan menjagaku, ia tidak pernah menyerah buatku. Betapa beruntungnya aku memiliki pria seperti ini. Aku semakin menenggelamkan tubuhku ke dalam pelukan Aidan. Membiarkan waktu larut dan hati menyatu dalam kerinduan yang terpotong-potong.
***
Malam menjelang.
Pemandangan kota di kejauhan yang bermandikan lampu warna-warni terlihat di batas horison sana. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Kita menikmati malam di balkon apartemen. Beberapa saat berlalu tanpa bicara, sebuah momen yang harus dinikmati tanpa kata-kata. Aku memejamkan mata sebentar mendengarkan detak jantung Aidan yang membuatku tenang. Harum parfumnya membuai indera penciumanku.
“Apakah aku bisa sembuh?” kemudian aku bertanya memecah keheningan.
“Hanya butuh waktu, kata Dokter paling lama tiga bulan, dengan catatan harus ada yang mengingatkanmu setiap hari, untuk mengembalikan lagi untaian memorimu.”
“Sekarang sudah bulan yang ke berapa?”
“Kita sudah masuk di bulan yang ketiga.”
“Itu artinya selama dua bulan kemarin, kamu setiap hari mengulang hal yang sama untuk mengembalikan ingatanku?” kagetku tak percaya.
“Ho’oh … kamu memang perempuan yang sulit untuk ditaklukkan,” cengir Aidan.
“Kenapa tidak langsung saja menunjukkan semua bukti itu sih?”
“Dan membuatmu syok? Itu akan memperlambat sembuhmu, semua harus perlahan,” jelas Aidan.
“Tapi bagaimana aku bisa tetap menjalankan rutinitasku? Seperti lari pagi? Ke café? Bukankah seharusnya aku lupa semua itu juga?”
“Rutinitas tidak tersimpan di memori, karena sudah kebiasaan, tanpa diingat, kamu pun melakukannya,” jelas Aidan lagi.
“Kalau begitu, kamu menginap saja di sini, supaya besok, kamu bisa mengingatkan aku.”
Aidan tertawa. “Bisa sih, tapi dengan resiko pagi-pagi aku diancam akan dihantam oleh tongkat golf seperti kemarin-kemarin? Karena kamu marah, melihat ada pria yang tak kamu kenal tidur di sebelahmu.”
“Benarkah?” seruku terkejut tak percaya.
“Kalila, percayalah aku sudah mencoba semuanya … bahkan meskipun besok aku ada, meskipun album foto, buku nikah dan bukti-bukti dari rumah sakit itu aku letakkan di sampingmu tetap saja esok paginya kamu akan lupa semuanya, karena setiap kamu pejamkan mata maka semua kejadian hari ini dan yang lalu akan terhapus,” ungkap Aidan.
“Aku tidak akan tidur saja kalau gitu,” jawabku yakin.
“Dan memperparah amnesiamu? Otakmu butuh istirahat.”
“Hufffh. Oh, aku ada ide, aku akan menuliskan di kertas mengenai hari ini, untuk besok mengingatkan aku apa yang terjadi di hari kemarin,” seruku bersemangat mendapat ide.
“Ide bagus, tapi kamu tahu? Kemarin kamu juga bilang gitu, tapi lihat tuh.” Aidan menunjuk keranjang sampah di pojok balkon yang dipenuhi kertas. “Pagi-pagi kertasnya sama kamu dibuang semua, karena kamu pikir itu sekadar curhatan yang ga tau dari mana asalnya, hehehe.”
Aku menggeram kesal, “Arrggh! Terus harus gimana?”
“Tenang Sayang, kamu bisa mengandalkan aku, aku yang akan membantu mengembalikan ingatanmu, aku akan datang setiap hari, mengikutimu, menjagamu kemana pun kamu pergi dan mengingatkanmu untuk kembali pulang. Pelan-pelan aku akan memperkenalkan diriku lagi, mengingatkan kamu lagi tentang semua, seiring lambat laun amnesiamu sembuh,” ucap Aidan lembut menenangkan hatiku.
“Kalau kamu tidak datang, gimana?” tanyaku khawatir.
“Maka kamu harus berjuang sendiri untuk mengembalikan ingatanmu itu,” jawab Aidan.
Aku menggeleng-geleng tidak mau, aku memilih opsi yang pertama saja. “Awas aja kalau kamu ga datang …” ancamku. Aidan tertawa mencium keningku, seraya bertanya, “Tapi kamu tahu ga apa baiknya dari kejadian ini? Apa hikmahnya?” Aku menggeleng, berkata sebal, “Hikmah? Perasaan, ini ga ada hikmah-hikmahnya deh, malah bikin repot saja.” Aidan tertawa mendengar jawabanku.
“Setiap kejadian pasti ada hikmahnya Sayang. Hikmahnya, kita bisa jatuh cinta setiap hari, karena aku harus berkenalan lagi sama kamu, berusaha membuatmu jatuh cinta lagi, mengatakan ’I love you’ lagi dan memulai lagi semuanya dari awal setiap hari,” ucap Aidan tersenyum.
Kini aku tertawa mendengarnya, betul juga. Besok Aidan akan datang lagi menemuiku dengan senyumnya, memperkenalkan dirinya lagi dan berusaha membuatku jatuh cinta lagi. Hingga aku sembuh dan tidak perlu diingatkan lagi betapa aku mencintainya. Aku semakin erat saja memeluknya, tidak mau melepaskan. “Sudah malam, sudah saatnya aku pergi, kamu harus beristirahat,” bisik Aidan mengusap rambutku.
Berat hatiku melepaskannya.
“Besok aku akan kesini lagi ya, ah diingetin juga besok kamu lupa lagi,” kata Aidan tertawa.
Aidan melepaskan pelukanku meski aku berusaha keras untuk tetap memeluknya. Aku bersikeras memeluknya, menempelnya lengket. Aidan tertawa seraya menggelitikku hingga aku melepaskan pelukannya. Kemudian Aidan melangkah keluar apartemen lalu dia menatapku, meninggalkan senyumnya sebelum aku menutup pintu apartemen. Setelah Aidan pergi, aku tercenung sendiri, apakah besok aku masih bisa mengingatnya atau tidak. Wajah Aidan terbayang di mataku, sedang aku meneteskan air mata.
Ya Tuhan, aku takut melupakannya, aku takut akan hari esok.
***
Aku duduk di café. Duduk sendiri di meja pojok memperhatikan keramaian di sini. Para pengunjung yang datang pergi. Orang-orang yang tertawa, bercerita seru. Denting sendok pada gelas dan piring. Semua ramai meski aku hanya duduk di sini sendirian. Sudah pernah kukatakan aku suka sepi pada keramaian. Aku menikmati kesendirian ini. Memperhatikan semua kesibukan dan keramaian. Aku tersenyum sendiri seraya mereguk lemon tea hangatku.
Hingga mataku tertumbuk pada sebuah meja. Sebuah meja kosong yang berada tepat di depan mejaku. Seketika berkelebat bayang-bayang, seperti film lama yang berkedap-kedip bercampur terang gelap, seperti lampu blitz yang menyala lalu mati.
Muncul perlahan dalam ingatanku seorang pria yang selalu duduk di situ tersenyum padaku. Aku ingat senyumnya lalu aku ingat apa yang ditulis di kertas tisunya. Untuk kemudian aku berjalan ke halte busway seperti yang tertulis di tisu itu dengan masih memikirkan siapakah pria yang muncul di otakku ini. Di dalam bus, aku pun teringat dalam ingatan yang masih berkedap-kedip. Aku memandangi pada ruang kosong di hadapanku. Aku yakin, pernah ada pria yang berdiri di situ menatapku. Aku ingat dia yang menunjukkan halte di mana aku harus turun.
Dan saat aku berlari pagi, aku melihat ke kanan ke kiri, entah kenapa, aku merasa ada yang hilang. Aku teringat kembali seorang pria yang biasanya berlari juga di sebelahku, tapi kini dia tidak ada. Kemana dia ya, aku jadi bertanya-tanya. Ah, aku ingat matanya. Senyumnya. Aku tidak mengenalnya tapi kenapa wajahnya selalu hadir di pikiranku?
Pagi itu di hari berikutnya.
Hujan turun dengan deras. Aku memandangi air hujan yang terbawa angin memercik ke jendela di balkon. Air yang turun seperti urat-urat kaca. Tiba-tiba dalam pikiranku berkedap-kedip kembali seperti film lama bersamaan blitz dalam otakku menyala terang lalu mati begitu terus berulang tapi kali ini semua lebih cepat. Ada apa ini, seperti bagian otakku yang menyimpan memori mencoba me-reboot ulang semuanya. Aku memegangi kepalaku memejamkan mata sesaat, lalu membukanya.
Dalam air hujan yang turun mengaliri jendela kini aku bisa melihat bayangannya. Pikiranku melayang. Aku berpikir keras, siapa pria ini? Kilatan-kilatan blitz itu membawa potongan-potongan pikiranku yang mencoba bersatu. Entah kenapa, keinginanku sangat kuat untuk ingin mengingat siapa dirinya. Aku berjuang sendiri menyatukan potongan-potongan yang berkelebat. Aku bertekad untuk ingat kembali.
Kepalaku menjadi sakit dan sakitnya terasa menjalar dari leher belakang hingga ke ubun-ubun. Aku jatuh ke lantai meringkuk kesakitan sambil memegangi kepalaku. Keringat membasahi dahi dan punggung. Mual menekan-nekan ulu hati. Aku tidak akan menyerah, aku harus mengingatnya. Aku mengerang-ngerang karena sakitnya tapi semua ingatan dalam kepalaku terlihat mulai bermunculan.
Aku bisa melihat masa kecil, masa remaja lalu tiba-tiba gelap, aku menggeliat melawan rasa sakitnya. Aku berteriak sekuat tenaga melepaskan rasa sakitnya. Lalu keajaiban! Terang menyala lagi dalam kepalaku, kini aku ingat namaku, ya aku ingat namaku!
Kalila!
Rasa sakitnya mulai memudar, meski masih meninggalkan denyut-denyut nyeri di ubun-ubun, tapi aku bisa mengingat kembali masa lalu. Belum, belum semua, aku masih menunggu masa-masa kemarin yang belum terlalu jauh. Sontak memoriku berkedap-kedip cepat dalam kepala. Masa beberapa tahun kemarin itu datang.
Kini aku mengingat namanya, Aidan.
Ya, aku ingat namanya!
Masa-masa itu tergambar jelas. Aku bisa mengingat saat jatuh cinta kemudian menikah, Ya Tuhan! Ternyata Aidan-lah yang membuatku jatuh cinta dan menikahiku. Ternyata pria itu adalah kekasihku juga suamiku!
Aku berlari ke kamar dengan tubuh sempoyongan, tak peduli meja dan kursi yang sempat kutabrak. Aku ingat Aidan pernah menunjukkan semuanya padaku. Aku membuka laci meja dan menemukan berkas-berkas rumah sakit dalam sebuah map tebal beserta buku nikah. Ya Tuhan, aku pernah terkena amnesia, ini menjelaskan kenapa aku banyak lupanya belakangan ini. Sekarang semua hari-hari kemarin aku bisa ingat kembali.
Tiba-tiba hatiku bergetar.
“Tidak … tidak ….” desisku panik.
Aku lari keluar kamar dengan bertelanjang kaki, masuk ke dalam lift dan turun ke lobi. Dalam lift tubuhku menegang teringat akan Pak Dindin dan pesannya di ponsel di beberapa hari lalu yang disampaikannya padaku, yang baru bisa aku ingat sekarang. Pintu lift terbuka, Pak Dindin melihatku berlari padanya. Ia terlihat menatapku sendu.
“Katakan padaku apa yang Bapak bilang kemarin di pesan itu tidak benar Pak!” jeritku tapi Pak Dindin mengangguk lemah dengan wajah sedih. Luruh sudah hatiku, ambruk sudah tubuhku. Ya Tuhan, ini tak mungkin! Aku berteriak dan berlutut di lantai lobi tidak peduli dengan tatapan orang-orang.
Semua penyesalan, kemarahan dan kesedihan datang merobek tubuhku berbarengan.
***
Menjelang sore dalam hujan gerimis yang turun, di sekitar sini begitu sepi.
Air hujan menetesi ranting-ranting pohon yang kering. Membasahi juga rumput-rumput yang kering menguning. Hujan bertambah deras. Aliran air hujan menggeser beberapa tanah merah dari gundukan. Airnya yang berwarna coklat mengalir melalui batu-batu, membuat becek jalan setapak. Langit membisu dan kelabu. Berderet-deret batu nisan basah dengan nama-nama yang terpahat, berdiri dingin dan membeku.
Di sini, hari ini, aku terisak dalam rasa sakit yang begitu terasa. Mengeluarkan segenap kebuncahan sedih dalam hatiku yang sudah tak tertahankan. Tidak kuhiraukan lagi air hujan yang turun membasahi tubuhku. Air mataku sudah turun bergulung-gulung.
Aku bersimpuh dan memeluk makam Aidan dalam hujan yang lebat.
Just stop crying, it’s a sign of the times. We gotta ge away from here. We gotta get away from here. Stop your crying, baby, it’ll be alright. They told me that the end is near. We gotta get away from here. (Sign Of The Times – Harry Styles).
TAMAT