Mata Matarri
6. Bagian #6

31  EXT. JALANAN 2 – DESA – SIANG

FADE IN

Matarri berjalan perlahan dibantu tongkatnya. Satu tangannya nampak membawa kresek berisi makanan.

Ketika melewati sebuah rumah, pemilik rumah Bapak Projo yang duduk di atas roda mendekatinya, sementara di belakangnya Ibu Projo mendorong kursi rodanya.

BAPAK PROJO
Sepertinya kamu cucu Nenek Dadali ya?


Matarri mengangguk.

IBU PROJO
Kami Keluarga Projo, tetangga Nenek Wanda. Kami juga orang tua Upis.

MATARRI
Oooh, Upis.
(Matarri tersenyum)

PAK PROJO
Siang ini dia belum pulang sekolah.

MATARRI
Maaf, sepertinya tadi saya dengar kursi roda Bapak, sepertinya ada mur yang lepas. Bunyi putarannya jadi terdengar aneh.

BAPAK PROJO
Begitukah?
(Menunduk melihat kursi rodanya, bagian kiri dan kanan)


Ibu Projo juga ikut memeriksa kursi rodanya.

BAPAK PROJO
Nanti akan kuperiksa saja.

MATARRI
Kalau begitu saya pulang dulu, Pak, Bu!

IBU PROJO
Kapan-kapan mampir ya. Nanti Ibu buatin makanan enak untukmu.

MATARRI
Makasih Bu.

CUT


32  INT. RUANG TENGAH - RUMAH NENEK DADALI – MALAM

Matarri sedang menyiapkan makan. Ia manata meja dengan teliti. Memasukkan lauk-lauk ke piring, dan membuang plastiknya di tempat sampah.

Tak lama kemudian, Nenek Dadali keluar dari kamarnya.

MATARRI
Tadi Nenek Wanda membawakan banyak makanan. Semuanya sudah kupanaskan.


Nenek Dadali hanya melihat apa yang ada di meja.

CLOSE UP

Meja penuh makanan, ada ikan goreng, ayam goreng, sayur sop, sosis bakar, dan lainnya.

NENEK DADALI
Tak baik menerima makanan begitu saja.

MATARRI
(Mengangguk)
Sudah kutolak berkali-kali, tapi Nenek Wanda memaksa.

NENEK DADALI
Huh, ia nampaknya sedang merindukan cucu-cucunya. Kamu tahu, anaknya sejak pergi ke Amerika 15 tahun lalu, tak lagi pernah pulang ke sini.


Matarri terdiam.

Nenek Dadali kemudian duduk di meja.

NENEK DADALI
Sebenarnya tak cukup baik memanfaatkan kerinduan nenek tua itu. Tapi kalau makanannya sudah ada begini, kita bisa apa?


Nenek Dadali langsung memakan makanan di depannya.

CUT


33  EXT. WARUNG KOH SOLEHAN – PAGI

Warung sederhana. Di depan rumah dipasang tenda biru. Di depan halaman terlihat sebuah papan nama bertulis:

WARUNG

KOH HADI

MBAK SOLEHAN

CUT


34  INT. WARUNG KOH SOLEHAH – PAGI

Nenek Asih dan Kakek Udin sedang makan di salah satu kursi.

Koh Hadi dan istrinya Mbak Solehah sedang mangatur lauk-lauk di rak makan mereka yang tak seberapa.

KAKEK UDIN
Aku sudah lama tak makan bubur candil.

NENEK ASIH
Apa gigimu masih kuat?

KAKEK UDIN
Ya masih, kan cuma bubur, bisa langsung ditelan juga. Leb.


Nenek Asih tertawa.

Mbak Solehan hanya mengangguk.

SOLEHAH
Besok kami buatkan bubur candil buat Kakek Udin.

NENEK ASIH
Nanti Nenek Wanda dikabarin juga. Aku ndak enak kalau kamu bikin banyak-banyak, aku belinya cuma satu mangkok.

SOLEHAH
Gak papa, Nek. Kan bisa dimakan sendiri. Momoa juga suka kog.


Jadi Nenek Wanda gak usah dikabarin. Kan tiap hari juga lewat di sini. Kemarin saja baru mborong banyak sekali makanan.

NENEK ASIH
Mborong? Buat siapa? Jangan-jangan... anak dan cucunya datang ya?

SOLEHAH
Bukan, bukan!
(Menggeleng)
Ada tamu. Itu cucunya Nek Dadali. Katanya seharian di sana.

NENEK ASIH
Ah, si Mata... Mata...

KAKEK UDIN
Matarri! 

NENEK ASIH
Ya, Matarri. Ah, ia benar-benar mengingatkan pada Elok. Waktu pertama kali kami melihatnya, kami sampai kaget.

KAKEK UDIN
Sudah! Sudah! Jangan diingat-ingat yang sudah-sudah!   


Gak lama Nenek Wanda datang.

NENEK ASIH
(Tertawa)
Baru saja dirasani, sudah ke sini saja!


Nenek Wanda duduk di depan Nenek Asih dan Kakek Udin.

NENEK WANDA
Ada apa?

NENEK ASIH
Katanya kau sudah bertemu cucu si Dadali?


Nenek Wanda mengangguk dengan raut gembira.

NENEK ASIH
Anaknya memang manis ya... Sayang ia tak akan lama di sini...

NENEK WANDA
(Agak kaget)
Loh kenapa?

NENEK ASIH
Loh kau gak tahu? Katanya kemarin kau seharian ngobrol dnegannya? Si Dadali itu, tak mau menampungnya, dan malah berniat menitipkannya di panti asuhan!


Nenek Wanda nampak kaget.

Saat itulah Padra datang. Ia mendekati etalase warung di mana lauk-lauk tersedia.

PADRA
Nasih rames ekstra ayam yang dada! Kalau bisa yang dadanya masih menyimpan arti cinta... hehe...

SOLEHAH
Duh, yang jomblo, bisa aja.
(Tersenyum)
Siap, Mas Padra.

KOH HADI
Minum?

PADRA
Es teh manis saja!


Padra duduk di meja di dekat Nenek Wanda dan Nenek Asih duduk.

Tak lama, Koh Hadi mengantar makanan pesanannya.

Padra makan dengan semangat

NENEK WANDA
Kamu kog semangat sekali?

PADRA
(Sambil mengunyah)
Semangat karena baru nyelesain banyak tugas, Nek.
Pasang pipa bocor Pak RT, nangkepin bebek hilang Haji Boris, dan yang terakhir sudah nemuin Panti Asuhan buat cucu Nenek Dadali.

NENEK WANDA
(Melotot)
Panti asuhan?

NENEK ASIH
Dengar! Apa tadi kubilang!


Padra mengangguk dengan mantap.  

NENEK WANDA
Jadi beneran anak malang itu mau dimasukin panti asuhan?

PADRA
(Mengangguk)
Ya, sampai ayahnya datang menjemput nanti.

NENEK WANDA
Kurang ajar si Dadali itu! Dengan cucu sendiri begitu ya!

NENEK ASIH
Sudah! Sudah! Kamu jangan ikut marah begitu!

KAKEK UDIN
Dia memang jutek, tapi kita tahu ia gak jahat. Mungkin, memang ada alasannya...

NENEK ASIH
Mungkin menyangkut dengan anaknya itu... Anak yang tinggal satu-satunya itu... yang pernah bertengkar hebat itu...


Nenek Wanda terdiam

NENEK WANDA
Tapi membayangkan panti asuhan di sekitar sini... Aku tentu merasa sedih. Aku yakin pasti tempatnya seadanya. Bahkan dari rumah lama mungkin. Petugasnya biasanya galak, dan anak-anak di situ biasanya nakal-nakal... Aku gak bisa membayangkan Matarri yang buta ada di situ.
(Langsung menatap Padra)
Jadi kamu kularang menyampaikan berita itu pada Si Dadali!

PADRA
Loh nanti saya ndak dibayar? Apalagi kalau orang-orang dengar saya gagal melakukan tugas, di mana muka saya? Reputasi saya?

NENEK WANDA
Halah, bilang saja kamu belum menemukannya. Masih dalam proses pencarian.

PADRA
Tapi...

NENEK WANDA
Kalau kamu mengabarinya, aku gak akan menugasi kamu apa-apa lagi. Aku akan minta tolong Pak RT saja!

NENEK ASIH
Aku juga.

KAKEK UDIN
Aku juga.

PADRA
(Menggeleng-geleng)
Duh, duh, persekutuan kakek-nenek galak memang gak bisa dilawan.


CUT


35  INT. RUANG TAMU - RUMAH MANJARI – MALAM

Manjari sedang melihat di layar komputernya daftar nama penulis yang diterima Residensi.

Ia menggerakkan mousenya turun pelan-pelan, memunculkan nama peserta yang lolos satu demi satu, hingga ke nama terakhir. Tapi tak ditemukan namanya.

Agusta yang ada di belakangnya nampak menunggu.

AGUSTA
Gimana?
Manjari menjawab dengan tarikan napas panjangnya. Ia menyenderkan tubuhnya dengan raut kecewa.


Agusta mengambil alih mouse dan menggerakkannya.

AGUSTA
Gila, sebagian nama-namanya gak kukenali. Kayaknya penulis-penulis baru.


Manjari hanya diam dan memejamkan matanya.

AGUSTA
Keparat komite buku itu! Beberapa penulis muda baru memiliki satu buku saja, penerbitnya pun gak jelas. Ya Tuhan!


Agusta melirik Manjari yang menundukan kepalanya dalam-dalam.

Agusta tak bis aberkata apa-apa lagi.

CUT


36  INT. KAMAR - RUMAH MANJARI – PAGI

Suara ponsel Manjari terdengar. Manjari yang baru bangun tidur, langsung mengangkatnya.

MANJARI
Halo...

CUT

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar