Disukai
0
Dilihat
760
Pesawat Kertas "Surat Kasih Untuk Ayah"
Slice of Life

Purnama diatas sana kembali hadir, menemani pekatnya malam bersamaan dengan sisa-sisa hujan yang masih merintikikkan airnya, membasahi daun-daun hijau, atap rumah, jalanan dan masih banyak hal lainnya yang ada dimuka bumi ini.

Ini adalah purnama yang kedua, namun entah mengapa saat memandang begitu eloknya keindahan sang rembulan justru malah membuat hati semakin teriris sepi, bergejolak mengenai kekosongan jiwa yang meminta sendiri, walau tahu kesendirian nya hanya akan mengingatkannya pada luka diri.

Malam ini memang begitu indah, rembulan membentuk lingkarannya yang begitu menawan ditemani dengan kerlap-kerlip bintang yang bertebaran disisi-sisinya. Namun ternyata demikian, keelokan purnama tak mampu memberikan sebuah penawar bagi jiwa yang sedang terluka. Memandang malam dengan begitu khusyuknya, malah menciptakan sebuah reaksi yang tak terduga mengenai konflik batin yang tak berkesudahan.

Seperti halnya Alayza saat ini, duduk di balkon berniat untuk mencari sebuah ketenangan diri, namun yang ia dapatkan hanyalah kebisingan hakiki didalam jiwa dan pikirannya. Alayza duduk selonjoran ditemani dengan sebuah notebook coklat yang berada ditangannya, sembari menatap langit malam yang mana melihat keindahannya membuat dirinya terbawa pada arus kesedihan yang tak berkesudahan. Ia termenung, merutuki dirinya yang sendiri yang sedang terpenjara pada sebuah ruang kosong.

Sorot matanya begitu memperlihatkan sebuah kepiluan mengenai sebuah luka yang kian enggan untuk menghilang. Bahkan sekalipun dukanya telah pergi, tetap saja luka itu masih berdiam diri didalam hatinya. Alayza tak menangis, hanya merasakan kesesakan dan sakit yang luar biasa didadanya. Raut wajahnya tak menampakkan luka, hanya ada raut wajah seperti biasanya. Hal itulah yang menjadi sebab dukanya yang begitu mendalam. Ia tak lagi mampu menangis bahkan sekalipun ia menginginkannya.

Pelan pelan Alayza menggerakkan jari tangannya, mencipta sebuah kata didalam buku diarynya, menggoreskan sebuah suara hatinya yang enggan untuk ia lontarkan dengan mulutnya.

Surat Kasih Untuk Ayah

Begitulah kalimat itu tercipta, menggambarkan sebuah kalimat apik yang begitu menakjubkan. Sebuah keajaiban untuk seorang Alayza dan juga sebuah penyesalan yang tak akan pernah terobati sekaligus luka mendalam yang entah akan bisa sembuh atau tidak, ia tak begitu yakin

Hal ini bermula sebelum tragedi tersebut terjadi.

***

Alayza menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Semua usahanya telah ia lakukan, mengunci pintu kamarnya, memakai earphone dan memutar lagu dengan volume full, ditambah headphone yang ia pakai ditelinga ternyata sama sekali tak membuahkan hasil.

"Pahami dong mas, aku juga capek kerja. Jangan cuma masalah sepele kamu besar-besarin, masalah aku tuh udah banyak," ujar ibu Alayza menahan amarahnya, jikalau tak ia kendalikan akan meledak, menghancurkan segalanya yang selama ini ia bangun.

"Masalah sepele? Sepele katamu? Sadar diri dong, nggak tahu diri banget."

Deg, sungguh bagaimana tidak terluka mendengar seorang suami berkata demikian kepada istrinya sendiri. Hati ibu Alayza benar-benar teriris mendengar perkataan seseorang yang begitu dicintainya mampu berkata demikian. Namun memilih diam saat dirinya dihina adalah suatu bentuk bakti kepada suaminya. Hal itu membuat Alayza benar-benar heran dengan hati ibunya yang berkali-kali disakiti namun tetap saja mencintai.

Lalu dengan perasaan muak yang sangat membuncah, Alayza melepas semua aksesoris ditelinganya itu. Membuka pintu kamarnya, membantingnya secara kasar sehingga membuat kedua orang yang sedang tengah berdebat itu kaget, menatap Alayza yang sedang berkacak pinggang dengan raut wajah tidak karuannya.

"Ayah nggak usah cari perkara kenapa sih, nggak bisa ya? biarin hidup ibu tuh tenang, damai gitu sekali-kali," ujarnya begitu lancang, tak mengingat bahwa seseeorang yang sedang berada dihadapannya adalah ayahnya sendiri.

Sang laki-laki yang dipanggil ayah itu memicingkan mata, mulai menatap tajam Alayza dengan pandangan tidak terima. Sedang sang ibu yang dibelanya itu, menatap tajam Alayza dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan kalimat yang terlontar dari mulutnya.

"Begitu caranya ngomong sama ayah sendiri? Bagus ya Alayza, ini nih hasil didikan dari ibu kamu? Diajari ngelawan sama orangtua?" jawabnya membuat emosi Alayza semakin menggebu-gebu. Ia tidak terima didikan sang ibu dipersalahkan sedang didikan dari sang ayah pun sangat dipertanyakan

"Emang didikan dari ayah mana? Bukankah ini merupakan bagian dari didikanmu bapak Wahid yang terhormat? Bukankah aku meniru perilakumu?"

"Alayza!"

Plakk

Suara ibunya serta tamparan itu bergema menjadi satu kesatuan. Alayza benar-benar tak menyangka bahwa ayahnya benar-benar sangat keterlaluan. Sungguh, hal itu menciptakan luka yang sangat perih bagi Alayza, amat begitu perih. Bukan luka fisik lagi yang begitu menyakitkan, namun luka dihatinya yang amat sangat memprihatinkan. Alayza menunduk sembari mengusap pipinya yang memanas, dengan perasaan benci yang kembali meluap. Ia kemudian mendongak, menatap tajam sang ayah yang sama sekali tak merasa bersalah, kemudian memasuki kamarnya sembari membanting pintunya dengan keras-keras.

Sedang ibunya yang melihat hal tersebut tak mampu untuk berbuat apa-apa, sudah sangat sering sekali ia beradu mulut dengan sang suami namun sikap angkuh dan keras kepalanya membuat dirinya kewalahan dan memilih untuk mengalah agar kericuhan tersebut segera selesai.

Sungguh, bukannya ibunya tak menyanyangi anak semata wayangnya itu, hanya saja ia sedang berusaha agar permasalahan tidak semakin memanas dan membesar, sabar merupakan salah satu usaha yang sedang ia jalankan

"Dasar kurang ajar!!" makinya dan pergi begitu saja entah kemana keluar melewati pintu depan.

Didalam kamarnya yang terkunci, Alayza menangis dengan diam. Rasa perih dipipinya memang begitu menyakitkan, namun tak sesakit luka dihatinya. Rasanya ia benar-benar ingin menyerah, Alayza tak ingin hidup lagi. Kematian mungkin akan lebih baik baginya daripada hidup seperti ini. Namun mengingat ibunya yang sangat ia cintai, rasa putus asa itu terkalahkan. Alayza harus bertahan demi ibunya. Ia harus berjuang untuk sosok pahlawannya, Alayza tak mau mengecewakan hati sang ibu tercintanya.

Sejak dari itu, berhari-hari Alayza mogok berbicara dengan ayahnya. Ia sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun, diam adalah rasa amarah yang terbesar bagi Alayza. Rasa bencinya semakin hari semakin membesar, ia tak lagi perduli jikalau dirinya adalah anaknya. Alayza hanya akan mengakui kalau ia hanya memiliki ibunya bukan ayahnya.

Sudah cukup ayahnya membuat ibu dan dirinya menderita, bahkan sejak dari Alayza yang belum tahu apa-apa. Drama rumah tangga itu selalu ada didepan matanya, Alayza selalu menjadi saksi bagaimana pertengkaran itu dimulai dan diakhiri tanpa sebuah penyelesaian. Maka tak lagi heran jikalau didalam jiwanya ada beberapa trauma dan sebuah ketakutan-ketakutan yang tak beralasan singgah didalam jiwanya.

***

"Aku pergi dulu ya, hati-hati dirumah," pamit Wahid kepada istrinya, sedang Alayza yang mendengar dan melihat hal tersebut dari dalam rumah hanya bisa memicingkan mata acuh tak acuh.

Ia tak sudi lagi untuk menghormati ayahnya, Alayza tak peduli jikalau ia dikatakan anak durhaka. Ingat! Tidak semua anak yang bisa durhaka kepada orangtuanya, namun seorang orangtua pun juga bisa durhaka kepada anaknya.

Setelah melakukan kesalahan besar, sang ayah akan selalu secepat mungkin melupakan segalanya tanpa ada kata permintaan maaf terlebih dahulu. Hal itulah yang sangat Alayza tidak sukai dari ayahnya. Bagaimana bisa seorang laki-laki yang katanya menjadi panutan bagi keluarganya memiliki sifat yang sangat tidak mencerminkan dari kata panutan tersebut.

"Alayza, sini dong,” panggil ibunya

Alayza menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia berjalan malas-malasan menghampiri ibunya yang berada didepan pintu rumah, Ia benar-benar heran dengan hati ibunya. Sangat mulia, singkat saja ia mampu memanfaatkan suaminya yang selalu mendzolimi dirinya bahkan tak melaksanakan kewajibannya.

"Alayza sama ibuk jaga baik-baik dirumah ya,” ujarnya dengan senyum yang mengembang.

Alayza hanya berdehem tidak jelas, pandangannya bahkan tak menatap ayahnya yang akan segera pergi bekerja. Matanya malah bergerak kesana-kemari tidak jelas, asalkan tidak menatap wajah ayahnya yang membuat dirinya merasa kesal. Tak lama kemudian, ayahnya pun melaju dengan motor bututnya menuju Yogyakarta, tempat dimana ia bekerja. Biasanya ia akan pulang per minggu untuk menghemat ongkos bensin.

"Hati ibuk tuh, terbuat dari apa sih. Sampe-sampe perbuatan ayah kayak gitu dimaafin. Kalau aku jadi ibuk mah, langsung minta pisah," gerutu Alayza

Mendengar hal tersebut sang ibu malah terkekeh membuat dahi Alayza mengernyit, benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran ibunya.

"Alayza, Alayza. Ayahmu emang kadang kasar, galak. Tapi dia juga sayang kamu kan?" jawabnya

"Bodo amat," gumamnya tidak jelas sembari kembali berkutik dengan aktivitasnya saat ini, yaitu menonton televisi.

Alayza tidak mau tahu, hatinya sudah dipenuhi dengan perasaan benci. Memang ia akui bahwa tak seluruhnya ayahnya bersikap buruk, ia sangat menyayangi dirinya. Alayza tahu itu, tapi ia tidak suka dengan caranya yang semena-mena dan tak menghargai dirinya. Tak memungkiri bahwa ayahnya sangat mencintai istri dan Alayza, namun cara didikannya yang salah membuat Alayza menolak. Ia tidak suka dengan jalan kekasaran, bukankah ada cara lain selain dengan sikap kekasaran untuk memberikan didikan kepada anaknya agar patuh? Bukankah kelemah-lembutan itu lebih baik dan memberikan hasil yang positif pula jikalau dilaksanakan dengan baik? Alayza benar-benar tidak mengerti jalan pikiran ayahnya.

Beberapa hari kemudian pun telah terlewati, satu minggu, dua minggu kemudian hingga genaplah satu bulan. Sebuah tragedi telah terjadi, sang Ayah tidak dapat dihubungi bahkan tak ada kabar selama satu bulan ini. Membuat kekhawatiran yang begitu luar biasa untuk Rania-istrinya

Alayza sudah berusaha menghubungi nomornya berkali, bahkan nomor telepon teman-temannya ayahnya, namun usahanya tak membuahkan hasil. Hal tersebut membuat ibu Alayza benar-benar tertekan. Bahkan berhari-hari ibunya tidak makan, hanya meminum air putih yang mana tak mampu membuat energinya bertambah membuat Alayza mencemaskan keadaan ibunya.

Melihat hal tersebut, Alayza benar-benar terpuruk. Ia tak sanggup melihat kondisi ibunya yang sangat begitu memprihatinkan, bahkan setiap malam ibunya selalu menunggu ayahnya didepan pintu rumah sembari berjalan mondar-mandir tidak jelas hingga sampai tengah malam tanpa memperdulikan lagi kondisi kesehatannya.

Tetangga-tetangganya pun juga sudah berusaha menghibur Rania sebisa mungkin, namun tetap sama saja. Bukannya membaik, justru ibu Alayza malah semakin memburuk. Dua hari ibu Alayza terkena demam, ia tak makan juga tak minum, bahkan dalam sakitnya ia sempat-sempatnya menyebut nama suaminya yang begitu ia cintai dikala dan hargai dikala tidurnya, bahkan walaupun balasan yang diberikan kepada istrinya hanyalah luka semata sepertinya ibu Alayza tidak peduli.

"Udah dong buk, ibuk makan dulu. Ayah pasti baik-baik aja kok. Kemarin kan kata pak Wiran ayah baik-baik aja." Wiran adalah teman satu kerjaan Wahid

"Tapi nggak biasanya ayahmu nggak ngabarin lho Alayza, ibuk khawatir," ujarnya dengan raut wajah memelas, bibirnya begitu memucat. Melihat kesehatannya yang belum sepenuhnya membaik mata Alayza berkaca-kaca, ia tidak boleh menangis. Ia harus kuat demi ibunya.

Beberapa hari kemudian, Alayza dan ibunya berusaha mencari ayahnya ditempat kerjanya, namun sesampainya disana mereka tak menemukan dan mendapatkan apapun selain hanya kekecewaan semata.

Dengan langkah yang mulai tertatih, Rania terduduk dibangku usang yang mulai keropos. Matanya berkaca-kaca, sebegitukah Rania mencintai suaminya hingga semua perlakuan buruk yang dilakukan Wahid sama sekali tak mengurangi kadar cintanya.

Melihat hal tersebut Alayza terdiam, tangannya mengepal begitu erat. Amarahnya tiba-tiba saja mendidih, ada satu hal yang membuat dirinya begitu ingin membunuh ayahnya saat nanti ia bertemu. Sungguh, perasaan bencinya semakin menggebu-gebu, Alayza benar-benar tidak mengerti bagaimana ibunya begitu mencintai dan menghargai suaminya sedang diluar sana, sang suami tidak jelas bagaimana perangainya. Terkadang Alayza sempat kesal dengan ibunya karena terlalu membela ayahnya dan mengabaikan semua perilakunya selama ini. Namun Alayza tetaplah Alayza yang tak akan pernah mampu marah kepada ibu yang dicintainya.

Satu jam kemudian, Alayza dan Rania pun kembali kerumah, dengan kekecewaan yang begitu luar biasa. Rania telah menyerah, ia mengaku kalah dengan keadaan. Ia telah pasrah.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat siang pemirsa.

Telah terjadi sebuah kecelakaan tunggal yang cukup hebat kemarin malam, di jalan Tol Cipali pada tanggal 12 September 2017. Satu mobil mewah yang di kendarai oleh seorang laki-laki berusia sekitar 45 tahun yang mana nama dari pengemudi tersebut masih dalam pencarian karena tak ditemukan identitas apapun ......

Alayza berdecak, ia tak sengaja memencet remote tv sehingga membuatnya menyala. Membuat dirinya benar-benar sangat terganggu. Tak bisa mngertikah bahwa keadaan dirinya sedang rumit dan juga berduka? Ah ya, Alayza baru sadar bahwa televisi itu benda mati, tidak akan pernah bisa ia memahami perasaan manusia. Dengan kesal, ia pun mengambil remote yang mana tak jauh dari jangkauannya kemudian mematikan televisi tersebut, mengingat suasananya sedang tidak baik-baik saja.

***

Ya, sebuah tragedi hilangnya sang ayah menciptakan luka tersendiri baginya. Apalagi untuk ibunya, setelah kemudian berusaha menyusul ke Yogyakarta namun tak ada hasil yang diperoleh. Ayahnya menghilang, benar-benar menghilang begitu saja. Membuat Alayza merasakan sesaknya didada namun ia tak mampu untuk menangis.

Kesehatan sang ibu pun menurun dengan drastis, ibu Alayza tak seceria lagi saat suaminya masih ada. Hal tersebut membuat Alayza benar-benar terpuruk melihat kondisi ibunya yang sangat memprihatinkan.

Ayah,

Aku tak tahu kamu dimana untuk saat ini. Namun satu hal yang pasti ketika aku bertemu lagi denganmu. Aku akan sangat marah besar dan rasanya ingin sekali membunuhmu. Kau tahu alasannya apa? Karena saat aku dan ibu pergi ke Yogya mencarimu. Aku melihatmu, tak hanya seorang diri namun bersama perempuan cantik dan anak kecil berusia sekitar 5 tahun sedang bergandengan mesra menuju sebuah restoran.

Aku melihatmu begitu bahagia, bahkan senyummu terlalu riang untuk senyumanmu saat bersamaku dan ibu. Ayah menghianati ibu dan juga aku Diwaktu itu, rasanya aku benar-benar hancur. Kebencianku kepadamu semakin membumbung tinggi. Alayza benar-benar sangat kecewa. Apalagi saat dirimu menghilang tanpa kabar, ingin sekali aku mengatakan kepada ibu bahwa ayah telah pergi bersama orang yang baru. Ingin sekali aku mengucap bahwa ayah meninggalkan kami. Tapi tidak kulakukan, karena aku tak ingin kehilangan ibu hanya gara-gara ayah. Aku memilih bungkam dan tak membiarkan sesiapun mengicip begitu perihnya hatiku ini. Bahkan termasuk ibu

Lalu, tak tahan dengan keputusan asaan ibu. Aku berusaha mencarimu diam-diam, seorang diri aku kembali ke Yogyakarta. Menyusuri setiap inci wilayah Yogyakarta yang tak terlalu luas, bahkan hujan deras, panas matahari yang begitu terik aku terjang hanya untuk menemukanmu. Hanya untuk seorang ayah yang begitu baj*ngan

Kemudian, akhirnya aku berhasil mendapatkan alamat rumahmu dan wanita itu, namun ketika kukunjungi tak ada siapapun dirumah itu. Kosong, nihil. Lagi-lagi aku gagal dalam memberikan sebuah kecerian untuk ibu.

Padahal, aku telah terlalu menaruh harap akan bertemu denganmu dan membuat ibu kembali riang. Bahkan demi kebahagiaan ibu, aku rela untuk berusaha menerimamu kembali. Tapi aku tak menemukanmu, rumahmu kosong tak berpenghuni bahkan saat ku tanya tetangga sebelah. Mereka membuat diriku terkejut bukan main, mereka berkata tidak mengenalmu. Sebegitu privasinya keluarga barumu ternyata ya yah, sampai-sampai tetanggamu mengatakan tak mengenal dirimu.

Ayah menghilang, bagai angin yang selalu ada namun tak pernah menampakkan wujudnya. Ayah benar-benar menghilang, meninggalkan ibu dan aku. Hilangmu masih menjadi misteri, sedangkan lukaku mengabadi. Begitu tidak adil bukan? Satu-satunya sosok yang katanya menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya telah tiada tanpa kejelasan, bahkan sebelum benar-benar merasakan cinta itu sendiri hadirmu tiadaa pernah kurasa, kasih sayangmu hanya sebatas ego yang tak akan pernah mencapai titik kesempurnaan kasih sayang.

Kau tahu, aku menamakan ini adalah surat kasih untuk ayah. Mengapa bukan cinta? Karena aku tak dapat lagi merasakan cinta setelah kepergianmu yang membubuhkan luka, ini hanyalah sedikit rasa kasih untukmu tidak lebih. Karena aku memang tak ingin melewati batasan dari ego yang saat ini sedang mengendalikanku.

Satu pesanku untukmu Ayah, Jangan kembali

Kini aku sudah terbiasa hidup tanpa dirimu, bahkan sekalipun kamu masih ada. Aku tak yakin jikalau keberadaanmu benar-benar bisa kuterima dihidupku ini. Namun, andaikan ayah berharap kembali, aku akan mengizinkan. Tapi setidaknya bawalah kebahagiaan setelah kepergianmu yang menyisakan luka, bawalah beribu-ribu keyakinan agar kepercayaanku kembali dengan utuh.

02 November 2022

Magelang

Begitulah surat tersebut tertulis dengan rapi, berurutan dan tersistematis. Ternyata memang benar, ketika mulutmu tak mampu untuk bersua, salah satu jalan terbaik untuk mengungkapkan sebuah perasaan adalah melalui tulisan dan hal tersebut membuat hati Alayza sedikit lega. Lalu, ia merobek kertas tersebut dengan rapi, dibuatnya pesawat kertas yang begitu cantik dan dihiasi dengan warna-warna yang menambah eloknya pesawat kertas tersebut. Alayza kemudian menerbangkannya dengan asal, berharap surat tersebut akan sampai kepada ayahnya.

Dan benar saja, seperti mengerti perasaan Alayza. Pesawat kertas itu terus terbang, berhembus dengan dorongan angin malam yang begitu kuat. Pesawat kertas tersebut terombang-ambing, terbang berkelok sesuai dengan arah angin membawanya, satu hari, dua hari. Ia terbang tanpa membawa rasa lelah, ia begitu terlihat pasrah dan juga menggebu-gebu seakan-akan tidak sabar ingin segera menjumpai sosok yang Alayza harapkan. Kemudian, lambat laun, dorongan angin semakin menipis, pesawat kertas mulai terjungkal, ia mulai kehilangan energinya, tak lagi terbang melainkan turun kebawah setelah tadi telah berjuang sendiri melawan kegelapan dan dinginnya malam. Ia telah sampai pada titik pengharapan, pesawat kertas itu berhenti terjatuh. Tepat disebuah nisan kayu usang yang namanya telah pudar termakan oleh waktu. Disanalah ia berhenti, diatara rimbunnya pohon kamboja dan beberapa nisan dengan nama.

- SELESAI -

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar