Rumah

Awan bergelombang ia tampak putih seperti biasanya, berkolaborasi dengan langit yang biru. Aku akan pulang pada rumah yang selalu menunggu ku, rumah yang membisu dan menerima ku dalam semua kekosongan, tidak memandang aku siapa.

Kendaraan roda dua ku mulai ku hidupkan, bunyinya masih garang seperti sediakala. Ku bawakan sekotak hadiah untuk yang menunggu ku di rumah. Aku melaju melewati lapisan debu namun ku lihat awan tak lagi sama begitu pun dengan langit. Awan tak lagi bergelombang ia menjadi kelabu tebal, langit tak sebiru tadi ia tertutup awan tebal.

Aku harus tiba di rumah sebelum awan berubah menjadi hujan. Hujan tidak pernah dapat memilih pada siapa ia jatuh, namun aku boleh berharap kalau ia tak jatuh pada ku saat ini. Laju sepeda roda dua ku semakin kencang, aku mencoba menghindari dari pada hujan sesuai harapan ku. Tapi tidak begitu, hujan memilih aku menjadi perantara sebelum ia benar-benar jatuh.

Hujan semakin deras, gawai ku berbunyi aku ingin meraihnya namun rumah ingin ku sentuh lebih dulu. Aku menembus angin yang sedang beradu bersama hujan dan petir hadir diantaranya. Yang aku inginkan hanyalah menghindar dari petarungan angin, hujan dan petir, aku mengalah, aku mengaku kalah.

Ku lihat sepeda motor ku terbang ke udara bersama hujan terbawa angin, melayang di hadapan ku ikut berseteru dengan angin, dan petir lalu turut turun bersama hujan. Ku merasakan seseorang membawa ku, berteriak, aku tak dapat merasakan apapun beberapa orang ku dengar menyebut ayat-ayat suci.

Aku hanya ingin pulang saat ini! Tak lagi mencari gawai, tak lagi melihat angin dan petir bertarung, aku sudah kalah. Seseorang mengucapkan kalimat yang ku enggan dan ku elak mengikutinya, ia tetap menuntun ku, aku mengelak namun akhirnya aku mengikuti aku pulang ke rumah.

8 disukai 8.9K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction