DILATASI
9. Bersama

LOBI PENGINAPAN 2018 - JAM 02.40 MALAM

Mereka berlima terduduk di lobi dengan perasaan campur aduk. Tengkorak manusia dan linggis yang menjadi senjata mereka hilang.

[REMY] Kalo tengkoraknya hilang, berarti orang di masa lalu sudah berhasil keluar dari sini?

[HAYAN] Iya. Sepertinya begitu.

[LINA] Bagaimana cara dia lolos dari sini? Berdasarkan teori Ketua dan lu, harusnya pintu kamar di masa lalu ga bakal bisa kebuka sebelum kita kalahin setan penunggu di masa sekarang.

[NADIA] Karena itu, tadi kubilang sepertinya terjadi sesuatu di masa lalu.

[RIO] Orang di masa lalu lolos dengan membawa linggis yang seharusnya menjadi senjata untuk melawan setan penunggu di sini.

[HAYAN] Sepertinya omongan Remy barusan jadi karma ke kita semua. (Tertawa lirih)

[REMY] Iya, bener. Tadi gue ngatain kalo orang di masa lalu cuman ngerasain enaknya aja. Ternyata linggis yang dibawanya adalah kunci untuk lolos dari sini.

[HAYAN] Entah karma ato tidak. Kita terjebak di sini. Ga bisa keluar. Ga punya senjata. Semua kamar juga kekunci. Kita cuman nunggu waktu buat mati. Tak ada harapan lagi buat kita.

[HAYAN] Kita ditinggalkan sendirian.

Kelima terdiam tampak pasrah akan keadaan mereka.

[NADIA] Maaf ya, teman-teman. Ini semua salahku. Seandainya dari awal aku ga penasaran sama tempat ini. Pasti keadaan kita ga bakal jadi kek gini.

[RIO] Ga, Ketua. Ini salah gue. Seandainya gue ga panik dan tetap di mobil. Mungkin kita bisa pergi dari sini.

[LINA] Bukan. Ini juga salahku. Kalo aja gue ga lupa nyabut powerbank, pasti ga bakal ada korslet. Terus mobil pun ga bakal kebakar.

[REMY] Gue juga salah. Dari awal gue cuman bisa berisik. Ga bisa beri solusi ato tindakan nyata buat bantu kalian semua.

[HAYAN] Tidak, guys. Ini salah gue. Semuanya salah gue. Kalo aja gue ga nanya tentang desa yang hilang. Kita ga bakal jadi kek gini.

Nadia, Lina, Remy, dan Rio melihat kompak ke arah Hayan. Keempatnya pun kompak membalas perkataan Hayan.

[SEMUA] Iya. Benar. Ini semua gara-gara lu.

Hayan tampak kaget dengan respon keempat temannya. Kelimanya melihat satu sama lain. Dan, kemudian semuanya tertawa.

[REMY] (Tertawa terbahak-bahak) Anying. Anying. Bisa-bisanya kita ketawa di situasi begini.

[LINA] (Tertawa hingga meneteskan air mata) Bener. Bener. Kita semua mau mati, tapi malah ketawa ga jelas begini.

[HAYAN] (Tertawa memegang perut) Tapi, gue bersyukur berada di situasi ini bareng kalian. Menurut gue ga terlalu buruk.

[RIO] Gue juga sama. Setidaknya menunggu kematian bersama kalian akan menyenangkan. (Menarik nafas berhenti tertawa)

Nadia tersenyum senang bersama keempat temannya. Nadia melihat mereka dengan tatapan cinta. Nadia menemukan keluarga di tengah situasi yang mengancam hidup ini.

Tanpa sadar, air mata menetes dari kedua mata Nadia. Kebahagiaannya menemukan keluarga mengalahkan rasa takutnya dalam situasi ini.

[NADIA] Aku senang bertemu dengan kalian semua.

[LINA] Kenapa Ketua tiba-tiba ngomong gitu? Terus tumben Ketua nangis. Ini pertama kalinya kulihat Ketua nangis.

[REMY] Kenapa lu nangis, Ketua? Lu ga sendirian di situasi ini. Kami bersama lu di sini.

[RIO] Ketua yang biasanya cool dan kalem bisa nangis juga. (Tertawa)

[HAYAN] Kalo Ketua pengen curhat ato sesuatu yang pengen Ketua sampein, mungkin ini waktu yang tepat. Soalnya kita bentar lagi mati juga.

Nadia tertawa mendengar Hayan. Yang lain juga ikut tertawa bersama Nadia.

[NADIA] Well. Jujur, aku merasa senang bersama kalian. Walau kalian semua aneh. Tapi, dari lubuk hati yang paling dalam, aku nyaman bersama kalian semua.

[NADIA] Aku merasa kalianlah keluargaku yang sebenarnya.

[LINA] Emang kenapa dengan keluarga kamu, Ketua? Aku setiap main ke rumah kamu, papa sama mama kamu keliatan baik-baik aja. Ga keliatan ada masalah apa-apa.

[REMY] Papa sama mamanya Ketua bukannya terkenal, ya?

[RIO] Iya. Kalo ga salah, ayah Ketua itu psikiater handal. Ibu Ketua itu ahli psikologi. ayah sama ibu Ketua kalo ga salah juga anggota dewan.

[HAYAN] Dua orang kakak Ketua juga orang hebat. Ahli psikologi juga. Dari pandangan gue, keluarga Ketua itu keluarga yang harmonis dan perfect.

[NADIA] Di luar memang seperti itu, kami terlihat seperti keluarga yang harmonis. Tapi, sebenarnya ayah dan ibuku sangat menekan kami anak-anaknya.

[LINA] Gimana maksud Ketua?

Nadia menatap keempat temannya. Nadia menarik nafas dan mulai bercerita.

[NADIA] Mungkin kalian berempat adalah orang-orang yang bisa kupercaya sepenuhnya untuk menceritakan ini.

[NADIA] Dan, lagian kita juga akan mati di sini. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. (Tertawa)

[NADIA] Kalian pasti sudah tahu. Kalo aku suka dengan sains, terutama fisika. Aku sangat suka dengan fisika. Rumit tapi indah. Kompleks namun elegan.

[NADIA] Sejujurnya aku ingin menjadi fisikawan. Belajar fisika dan masuk ke fakultas sains.

[NADIA] Namun, kedua orang tuaku adalah tipe orang tua yang kolot dan keras kepala. Mereka sangat memaksa ketiga anaknya untuk melanjutkan karir mereka.

[REMY] Memaksa? Seriusan? Kejam banget orang tua lu, Ketua. Lu ga pernah ngajak ngobrol gitu? Ngebuat mereka ngerti tentang niatan lu?

[NADIA] Sudah. Bahkan berkali-kali. Namun, mereka tak mau mengerti. Mereka membantah semua perkataanku dan merendahkan passionku.

[NADIA] Kek aku bilang tadi. Mereka tipe yang kolot dan keras kepala. Mereka dengan sangat yakin menganggap bahwa takkan ada masa depan di luar bidang mereka.

[NADIA] Lalu, orang tuaku juga mengancam kami anak-anaknya. Kalo kami ga melanjutkan karir mereka, kami ga akan dianggap anak dan ditelantarkan.

Lina, Hayan, Remy, dan Rio tampak tertegun dengan cerita Nadia. Nadia pun tampak menahan kesedihan menceritakan kepada keempat temannya.

[NADIA] Aku dan kedua kakakku yang lain tak dapat melakukan apa-apa. Kami bertiga hanya bisa mematuhi kata-kata kedua orang tua kami.

[NADIA] Mereka tetap orang tua kami. Kami tak bisa melawan mereka. Dan, pada akhirnya aku dan kedua kakakku hanya bisa pasrah dan mengikuti semua perkataan orang tua kami.

[NADIA] Aku menyerah pada niatku. Aku menyerah pada passionku. Aku menyerah pada cita-citaku. Aku sudah putus asa.

Nadia tersenyum lirih. Lina, Hayan, Remy, dan Rio tak bisa berkata apa-apa. Mereka berempat tak bisa membayangkan perasaan Ketua mereka.

[REMY] (Menahan marah dan tangis) Orang tua sih orang tua. Tapi, kalo kek gitu ceritanya ga ada bedanya sama setan.

[LINA] (Menangis dan memeluk Nadia) Penderitaan Ketua pasti berat sekali. Seharusnya Ketua cerita lebih awal. Kalo tahu penderitaan Ketua seperti ini, kami pasti akan membantu Ketua.

[RIO] (Sangat marah) Orang tua Ketua bukan lagi manusia. Mereka hanya diktator tak punya hati. Kejam sekali mereka mematikan cita-cita Ketua.

[HAYAN] (Mengusap mata) Gue memang sering diejek karena hobi gue yang freak. Gue emang sering dicap aneh karena passion gue sama hal-hal gaib. Tapi, orang tua gue ga pernah merendahkan passion gue.

[HAYAN] Gue beruntung punya orang tua yang masih peduli terhadap keinginan anaknya. Penderitaan lu pasti berat, Ketua.

Nadia menangis di pelukan Lina. Beban beratnya seakan lepas semua. Lina mengusap dengan lembut kepala Nadia. Hayan, Remy, dan Rio melihat dengan perasaan yang campur aduk.

[RIO] (Berdiri) Sudah cukup dengan keputusasaan Ketua. Sudah cukup Ketua menderita. Kita harus membantu Ketua. Kita semua harus keluar dari tempat terkutuk ini.

[REMY] (Menatap serius) Betul! Ini bener-bener ga bisa dibiarkan! Jangan putus asa, Ketua! Kita akan keluar dari sini!

[HAYAN] Kita tak boleh mati di sini. Kita harus keluar hidup-hidup dari sini. Kita tak akan putus asa di sini!

[LINA] (Memegang dan menatap Nadia) Bener, Ketua. Ayo kita keluar dari sini.

Nadia melihat keempat temannya sangat serius dengan ucapan mereka. Nadia benar-benar menemukan keluarga di dalam situasi mencekam seperti ini.

Kini mereka punya motivasi kuat untuk lolos dari penginapan terkutuk ini. Demi Nadia.

LUAR PENGINAPAN 1977 - MALAM HARI

Radja sudah cukup jauh berjalan meninggalkan penginapan. Radja sudah sampai di gapura menuju keluar desa.

Radja terhenti dan melihat ke arah desa. Perlahan api mulai padam memperlihatkan warna hitam sisa terbakar. Kontras dengan warna hitam tersebut, terlihat jelas warna putih penginapan terkutuk itu.

Radja memikirkan kembali keputusannya.

[RADJA] (Menarik nafas dan memejamkan mata) Apakah keputusanku benar? Apa benar aku akan meninggalkan orang-orang dari masa depan itu?

[RADJA] (Membuka mata) Tidak. Tidak. Aku tidak bisa meninggalkan mereka. Aku tidak bisa pergi dari sini sebelum para makhluk laknat itu hilang seluruhnya.

[RADJA] (Berjalan lagi menuju penginapan) Aku harus masuk kembali ke dalam. Aku harus masuk lagi ke dalam!

[RADJA] Setelah tahu mereka juga terjebak di tempat yang sama. Aku tidak bisa meninggalkan mereka. Sudah cukup akan keputusasaan ini.

[RADJA] Bertahanlah. Orang-orang masa depan.

Radja pun berjalan kembali meuju penginapan. Dengan keinginan masuk kembali ke dalam dan mengakhiri semua ini.

LOBI PENGINAPAN 2018 - JAM 02.55 MALAM

Lina, Hayan, Rio, dan Remy menggenggam tangan Nadia. Di situasi demikian, mereka masih menunjukkan kekompakan kelompok mereka.

Kemudian Lina berpikir tentang sesuatu.

[LINA] (Melepaskan genggaman) Eh. Tadi gimana prediksi Ketua sama Hayan? Tentang tengkorak yang pindah sama kamar-kamar barusan?

[HAYAN] Setiap kamar terhubung ke masa lalu. Jika kita menghabisi setan penunggu di salah satu kamar, maka keberadaannya di masa lalu juga hilang.

[NADIA] (Mengusap mata yang berkaca-kaca) Memangnya kenapa, Lin?

[LINA] Aku kepikiran ini dari tadi. Setan penunggu di masing-masing kamar, apakah tahu apa yang terjadi di kamar yang lain?

Pertanyaan Lina membuat Nadia dan Hayan langsung menyerngitkan dahi.

[HAYAN] Pertanyaan bagus. Gue juga ga tahu. Kenapa bisa lu punya pemikiran kek gitu?

[LINA] Soalnya, tadi pas pertama. Si Kunti bilang kalo gue itu tumbal. Jadi gue mikirnya kalo setiap kamar disiapin tumbal sendiri-sendiri.

[RIO] Iya. Tadi setan yang baru gue kalahin juga bilang gitu. Dan, gue juga sempat merasa aneh. Keknya setan itu ga tahu kalo Kunti udah dihabisin.

[LINA] (Mengangguk dan menopang dagu) Berarti bener, kalo setan penunggu di kamar satu ga tahu apa yang terjadi di kamar lainnya.

[REMY] Memangnya kenapa, Lin? Lu dapat sesuatu?

[LINA] Gimana kalo selain terhubung ke masa lalu, penginapan ini juga memiliki algoritma? Kek algoritma di internet?

[NADIA] Maksud kamu gimana, Lin?

Gantian Lina yang sekarang didengarkan oleh yang lain. Lina menceritakan pemikirannya keempat temannya.

[LINA] Well. Kita semua pasti punya sosial media kan? Kita juga sering mencari hal-hal menarik di media sosial. Entah FB, IG, Line, Youtube, Twitter, macam-macam.

[LINA] Pencarian kita akan tersimpan yang kemudian diolah oleh algoritma media sosial tersebut. Lalu, barulah kita diberi rekomendasi sesuai history pencarian kita sebelumnya.

[NADIA] Iya. Algoritma media sosial memang begitu. Terus?

[LINA] Bagaimana kalo penginapan ini, terbukanya kamar-kamar di dalam sini juga mengikuti algoritma barusan.

Rio dan Remy menunjukkan wajah ternganga karena tidak mengerti yang dibicarakan Lina. Nadia dan Hayan tampak bisa mengikuti pemikiran Lina.

[LINA] Rekomendasi yang diberikan ke kita biasanya tidak terikat satu sama lain. Akun-akun yang ditampilkan di kolom rekomendasi tidak saling mengetahui bahwa mereka direkomendasikan ke kita.

[LINA] Akun-akun tersebut muncul karena pola pencarian kita yang diolah oleh algoritma media sosial.

[LINA] Lalu, jika kita mencari sesuatu yang berbeda dari data yang telah tersimpan. Maka, algoritma akan berubah dan mulai memberi kita rekomendasi yang baru pula.

[REMY] Gue masih belum nangkep apa yang pengen lu bilang.

[LINA] Gimana kalo sebenernya setan-setan penunggu di tiap kamar tidak tahu apa yang terjadi di kamar yang lain. Yang mereka tahu, jika urusan di kamar lain sudah selesai selanjutnya kamar mereka yang akan melakukan urusan selanjutnya.

[REMY] (Langsung menangkap maksud Lina) Ah! Urusan yang lu maksud adalah tumbal tadi. Jadi, setan penunggu di kamar yang lain menganggap bahwa pertumbalan sudah selesai dan menunggu giliran berikutnya.

[HAYAN] Ya, tak salah lagi. Dilihat dari kondisi ini hanya itu yang bisa disimpulkan. Dengan kata lain, penginapan ini adalah altar tumbal.

Suasana yang dirasakan kelompok makin mencekam. Penginapan ini semakin horor.

[LINA] Mungkin seperti itu. Mereka membuka pintu tanpa tahu kalo sebenernya setan di kamar yang lain udah dihabisi.

[REMY] Kalo lu bilang kek gitu, seharusnya kamar selanjutnya bakal kebuka. Kenapa jadi kek gini?

[LINA] Tadi gue juga bilang, kalo misal kita melakukan sesuatu yang berbeda. Maka, algoritma pun akan berubah.

[REMY] Berarti, terjadi sesuatu yang ngebuat semua kamar tertutup. Tapi, apaan?

[RIO] Pas gue ngelawan setan, gue ga ngelakuin hal yang aneh-aneh. Paling kek kata Lina. Gue cuman denger suaran bisikan seorang wanita.

[LINA] Iya sama. gue juga ga ada ngelakuin hal aneh saat ngabisin Kunti.

[HAYAN] Berarti, bener kata Ketua sebelumnya. Terjadi sesuatu di masa lalu. Makanya tengkorak sama linggis ilang.

[NADIA] (Berpikir) Mungkin bukan di masa lalu. Dan, yang pasti bukan saat ini.

[REMY] Apa maksud lu, Ketua?

[NADIA] Penginapan ini memang terhubung ke masa lalu. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga terhubung ke masa depan.

[HAYAN] Bener juga. Penginapan ini merupakan lorong waktu yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.

Mereka pun kembali terdiam. Belum ada yang mereka bisa lakukan saat ini.

[RIO] Kalo penginapan ini adalah altar tumbal. Berarti pasti ada sesuatu yang berhubungan dengan ilmu hitam di sini? Pesugihan kah?

[HAYAN] Ya. Kemungkinan besar. Dan, dugaan gue bukan hanya satu orang saja. Tapi, seluruh desa ini melakukan pesugihan.

[RIO] Seluruh desa? Ga bisa gue bayangin. Ngeri, anjing!

[REMY] Ah! Cocok dengan cerita Kepala Desa! Desa ini ditinggalkan karena hal itu.

[LINA] Bener! Baru inget gue. Itu juga ngejelasin kenapa seluruh desa habis terbakar. Warga desa yang lama sudah muak dengan ritual pertumbalan. Dan, ngambil tindakan buat ngebakar habis desa dan meninggalkan desa.

[RIO] Kalo gitu, berarti tengkorak yang tadi adalah orang yang memulai semua itu. Dia memutuskan untuk tinggal dan mengalahkan semua setan penunggu di penginapan ini.

[REMY] Yan! Ini kan cerita yang lu pengen. Cerita ini bagus banget, njing!

[HAYAN] Iya, sih. Emang cerita kek gini yang gue cari. Tapi, ga ada gunanya juga kalo kita ga bisa keluar dari sini.

[LINA] Well. Kita jadi kek gini juga karena lu. (Tertawa)

Lina, Remy, Hayan, dan Rio tertawa bersama. Sementara Nadia tampak berpikir.

[LINA] Ketua, kenapa lagi? Dapat sesuatu?

[NADIA] Aku jadi kepikiran sama ceritamu soal algoritma barusan.

[REMY] Ketua dapat ilham? Cara keluar dari sini?

[LINA] Apa yang Ketua pikirin?

[NADIA] Sebenernya bukan sesuatu yang berhubungan dengan cara keluar dari sini. Lebih ke penasaran.

[RIO] Ketua penasaran sama apa?

[NADIA] Yan. Pinjam lagi catatan kamu yang tanggal random itu. Yang dikasih Kepala Desa.

[HAYAN] (Mengambil catatan dari tas) Tanggal random kedatangan pria misterius ini? Bukannya tadi Ketua udah nyoba lama-lama dan ga nemu pola sama sekali?

[REMY] Emang kenapa dengan tanggal-tanggal itu, Ketua?

Tiba-tiba Rio berdiri dan berkata kepada temannya.

[RIO] (Menyorotkan senter ke meja lobi) Guys! Tadi mejanya ga kek gitu kan?

Lina, Hayan, dan Remy langsung melihat ke arah Rio menyorotkan senter. Posisi meja lobi berpindah.

Lebih tepatnya seperti bergeser sangat jauh. Tampak dari bekas bergeser tersebut, warna lantai yang terdegradasi. Dan ada bagian yang sepertinya bekas diperbaiki.

[REMY] Kenapa lagi ini, bangsat! Setan brengsek!

[HAYAN] (Menyorotkan ke setiap kamar) Eh!? Guys! Lihat kamar itu.

Kamar-2, kamar tempat Rio menghabisi setan Jeruk Purut barusan. Tengkoraknya muncul kembali.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar