"Bunda, Amoy mau ikut Bunda, Amoy mau tinggal sama bunda aja!" Begitulah rengekan adik perempuanku saat Bunda menyuruhnya pulang.
"Tidak bisa, Moy! Papa hari ini pulang, Mulai sekarang Amoy tidak boleh lagi ke rumah bunda!" Bentak Bunda kepada Amoy. Aku merasa kasihan kepada adik kecilku itu. Sejak kecil terlunta-lunta kesana kemari, hanya sekedar mencari perhatian dan kasih sayang orang tuanya.
Lalu Bunda beralih menatapku dan berkata, "bawalah adik mu pulang sekarang juga. Kalo sampai papa tahu amoy di sini, kami bisa ribut besar gara-gara kalian. Tolong jaga adikmu agar tidak kabur kesini lagi," ucapnya tanpa belas kasih sedikit pun kepada kami, anaknya.
Dengan geram aku menyeret Amoy keluar dari rumah itu. Amoy meronta-ronta, sambil terus menangis.
"Kakak Amoy mau sama bunda, jangan bawa amoy pulang. Kakak dengarkan!" kalimat itu berulang-ulang aku dengar, di sepanjang jalan . Namun langkah kakiku terus melangkah kedepan, tanpa sedikit pun untuk mau berhenti.
Hingga sampai Amoy berhenti menangis lalu bertanya padaku,"Kenapa kakak tidak menangis saat bunda tinggalkan kita, apa kakak tidak sayang sama bunda?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Amoy, yang menurutku sangat konyol. Tapi Amoy masih serius menatapku, menunggu jawaban yang akan aku lontarkan.
"Karena kakak bukan sesuatu yang berharga bagi bunda, kakak tidak mau membuang air mata untuk hal yang tidak ada nilainya sama sekali di mata bunda. Dan ... kakak tetap menyayangi bunda meski kasihnya sepanjang galah, karena dia wanita yang melahirkan kita."