Arunika baru saja nampak. Namun, suara bel pintu utama telah berdering. Gadis bermata cokelat yang masih membungkus kepalanya dengan handuk segera berlari keluar. Takada seorang pun di sana. Tasya berniat meninggalkan beranda, tapi tanpa sengaja kakinya menyampar sebuah benda. Gadis itu menunduk, menekuri benda berbentuk kotak yang diselimuti kertas kopi. “Teruntuk Tasya” ucapnya lirih membaca.
Hari ke dua, Tasya yang baru mandi tiba-tiba dikejutkan oleh suara dering bel. Ia lekas beranjak keluar. Lagi-lagi takada orang di sana dan hanya sebuah kotak yang ukurannya lebih kecil dari yang kemarin tengah menantinya. Gadis itu memungutnya “Teruntuk Tasya.” Kali ini dia membacanya lebih keras.
Hari ke tiga, sejak sehabis shalat subuh Tasya sengaja duduk di beranda. Hingga sang surya semakin terang, takada satu pun orang yang datang untuk mengantar bingkisan.
“Mungkin dia lelah!” Tasya bersenandika. Ia mengendurkan semangatnya, berniat masuk ke dalam rumah. Baru melangkah masuk, bahkan posisi tubuhnya belum jauh dari pintu, bel berdering. Tasya membalik badan. Sebuah kotak yang ukurannya sebesar kotak lemari pendingin berada di ambang pintu. Gadis itu menoleh ke setiap sudut halaman rumah, lagi-lagi tak didapatinya seseorang di sana. “Siapa pun kamu, terima kasih atas hadiahnya!” serunya melantangkan suara. Ia lalu membuka pita yang mengikat kotak kardus besar itu. “Surprise!” teriak seseorang yang tiba-tiba muncul dari dalam kotak. Tasya tekejut seraya melangkah mundur. Wajahnya memucat dan akhirnya terjatuh. Lelaki itu segera keluar dari kotak kardus. Senyumnya memudar diganti dengan kegusaran. “Tasya, bangun, Sya!” teriaknya. Ia memeriksa pergelangan tangan si gadis, juga lubang hidungnya. “Innalillhai waiinnailaihi roji’un,” Tunangannya terkena serangan jantung.