Dia merunduk dalam setelah menghentikan tampilan video yang aku perlihatkan. Tentu saja! Penyesalan menggelayut berat di tengkuknya, karena apa yang dia lihat adalah beberapa menit sebelum dia membunuh istrinya.
Dia melihat tampilan ruang makan dan istrinya sedang menyeduh kopi--tentu saja untuk suami tercinta.Bah! Aku ingin tertawa! Tapi memang kakakku ini memang mencintai perempuan itu.ย
"Aku sudah mengaku, Wan .... Aku memang membunuhnya. Untuk apa aku melihat ini?"
Aku tidak menjawab. Dia benar. Meski tidak mengaku, semua bukti tertuju pada dirinya yang bersalah. Dalam tampilan video itu memang memperlihatkan bagaimana mereka adu mulut dan dia menyambar pisau dapur, menusuk diafragma istrinya. Fatal, meski tidak segera mati. Menyadari perbuatannya kakakku ini langsung melarikannya ke rumah sakit.
Ya. Kalap. Amarah sesaat. Itu motifnya. Sebelum menusuk istrinya, dia sempat membanting meja makan dengan lembaran print foto yang menunjukkan istrinya sedang bermesraan dengan pria lain. Footage foto yang cukup vulgar. Aku tahu karena aku yang mengirimkannya. Aku sudah menduga arah dinamika rumah tangga kakakku ini, bahkan sebelum mereka menikah. Tidak hanya aku saja, sebenarnya.
"Sungguh Ummi berat hati lihat mas-mu itu menikahi perempuan itu." Begitu kata ibu kami.ย
"Tapi Mas Ardi sudah dewasa, Mi. Keputusannya biar dia yang tanggung sendiri," tanggapku kala itu, sekedar menetralisir cemas di hati Ummi. Namun, perhatianku agak menajam ke arah Ummi, karena Ummi saat itu memilin-milin ujung kerudungnya. Sekilas bagi orang lain mungkin tampak seperti kebiasan bocah, tapi bagiku yang dekat dengan beliau hanya sekali citra Ummi memilin-milin ujung kerudungnya yang hinggap di benakku; kala Ummi melepas Abbi berangkat ke Australia tapi pesawatnya merapat di lepas pantai. Yah, bisa dikatakan, Ummi punya firasat soal rumah tangga kakakku ini, tapi tidak aku sangka sefatal ini. Aku pikir, paling parah hanya bercerai.
"Lihat saja dulu," ucapku akhirnya sambil menyentuhkan jariku ke layar tablet itu.ย
Dan tak lama kemudian, matanya mengerenyit menangkap kejanggalan dalam tampilan video itu. Ya, dia telah sampai pada istrinya yang mengaduk kopi, menyimpan sendoknya ke kantung plastik, lalu melepas sarung tangan berbahan latex dan juga menyimpannya ke kantung plastik yang sama. Dia gulung kantung itu dan menyimpannya ke saku dasternya.
"Di kopi itu terdapat potasium sianida," ujarku. "Istrimu berniat membunuhmu dan memfitnah pembantumu. Di kantung plastik itu adalah barang bukti yang hendak ia tanam."
Matanya terbelalak menatapku.
"Semua itu akan meringankan masa hukuman kamu. Sekarang jangan lihat ke belakang. Untuk sementara, biar putrimu aku yang urus."
Dia kembali merunduk dan tangannya yang terikat borgol menutupi wajahnya.
"Nissa," gumamnya menyebut nama putrinya.
"Soal Nissa, seharusnya kamu bangga. Meski masih dua belas tahun dia sangat dewasa," ucapku sambil mengambil ponsel dan menyodorkannya di meja interogasi. Memperdengarkan sebuah rekaman suara.
"Gimana perasaanmu, Nis?" Suaraku terdengar lembut dalam rekaman itu.
"Sedih. Tapi ... tapi apa Nissa jahat, Om? Kalo Nissa merasa lega?"ย Suara gadis itu terdengar parau dan membuat wajah ayahnya menekuk sedih.
"Lega?"
"Iya. Nissa sudah tahu Mama ... bukan mama yang baik. Selama ini Nissa ingin lepas dari perasaan ini ... perasaan bersalah karena tidak memberi tahu Papa. Tapi sekarang Nissa merasa lega seolah ... seolah Nissa telah sampai di lembaran baru."
Aku ingat setelah gadis itu mengucapkan itu, aku memeluknya. Ya, akan aku jaga dia sementara ayahnya di penjara.