Panggung Stadhuis van Batavia

Panggung Stadhuis van Batavia

Hari itu, 12 Oktober 2019, Hutama mengajakku menghadiri acara puncak Hari Museum Nasional yang digelar di Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta. Kegiatan hari itu rencananya akan dimeriahkan beberapa acara seperti pameran, seminar, dialog kuratorial, workshop, mural 3D, grebek museum, 1.000 kriya gerabah, permainan rakyat, olahraga tradisional, dan penampilan band.

Sebelum larut dalam semaraknya berbagai acara yang digelar, mataku tertuju pada salah satu pedagang jajanan favoritku. Selesai membayar jajanan itu, tetiba tersandung batu yang mengganggu langkahku. Entah sejak kapan batu sial itu, berada di sana.

Jatuh tersungkur tak dapat terelekkan. Kepalaku juga terbentur jalan berpaving. Ketika kubuka mata, jalan paving berubah menjadi hamparan tanah. Segera aku bangkit, berdiri kembali. Kuraba dahi dan syukurlah tak berdarah. Hanya ada benjolan yang biasanya akan membaik setelah dikompres batu es.

Terdapat keanehan yang terjadi setelah itu. Suasana acara puncak Hari Museum Nasional yang digelar di Taman Fatahillah, berubah. Penampilan para pengunjung yang hadir, menurutku tak biasa. "Ayo berdiri di depan Stadhuis!" seru seorang perempuan muda berkebaya, mengajak seorang perempuan lain yang berjalan bersamanya.

Kakiku tergerak mengikuti dua perempuan itu. Kami masuk dalam kerumunan manusia berpenampilan vintage ala akhir abad ke-19. Apakah aku salah kostum menghadiri acara ini? 

Tampak orang-orang dari segala bangsa ikut berkerumun. Mulai dari etnis Eropa, Arab, Tionghoa, kaum bumiputra hingga Armenia. Baru pertama kali kuhadiri acara Hari Museum Nasional yang pengunjungnya datang dari berbagai negara. Semua mata tertuju pada panggung yang digelar di halaman museum Fatahillah.

Dua perempuan yang kuikuti tadi, berusaha menembus kerumunan hingga mereka berdiri di barisan terdepan. Spontan kuikuti dua perempuan berwajah manis, berkebaya itu. Sejumlah bule berseragam tentara, berbaris sebagai pagar betis di sekitar panggung.

"Lihat, narapidana itu! Sebentar lagi akan meregang nyawa!" seru seorang lelaki Tionghoa yang berdiri di sebelah kiriku, sembari menunjuk ke arah lelaki bule yang naik ke panggung.

"Ik ben de dader van een overspelschandaal. Imiteer mijn acties niet." Dengan lantang lelaki bule itu mengucapkan kalimat yang tak kuketahui apa artinya.

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan yang juga berwajah bule, diseret ke halaman museum Fatahillah, lalu mendekati panggung. Entah apa hubungan dua muda mudi bule itu! Namun, aku bisa 'mencium aroma' asmara dari pertemuan pandangan mata mereka.

Lelaki pribumi berotot di atas panggung, yang kuduga adalah algojo, melumuri wajah bule tampan itu dengan arang. Tak lama kemudian, mataku terbelalak saat melihat dengan jelas pertunjukan eksekusi pancung. Kepala bule itu jatuh dari panggung, lalu bergelinding di tanah dan menjadi tontonan ratusan orang. Seketika itu juga, tubuhku terasa kaku. Manusia memang 'Homo Festivus', makhluk yang menyukai hiburan atau festival. Namun, pertunjukan hari itu sangat tak lazim.

"Hidung belang!" terdengar celetukan perempuan yang memperhatikan warna belang, hasil coreng moreng arang di hidung mancung lelaki bule yang malang itu. Apa-apa'an ini! Benarkah ini acara puncak Hari Museum Nasional?

"Lang! Gilang! Sadar, Bro!" suara Hutama menyadarkanku.

"Kayak bocah lu! Jalan gitu aja, bisa kesandung! Pake pingsan segala!" ejeknya sembari meringis.

2 disukai 5.5K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction