iLeR Lu!

iLeR Lu!

Hari ini, seperti biasanya, kuda besiku menyusuri jalan aspal dan berlomba dengan waktu. Tubuh ini dihantam debu dan polusi, terpanggang pula oleh terik matahari. Sudah dua tahun kulakoni tugas mengantarkan paket-paket ke tangan mereka yang telah menanti. Ada pula yang tak sekedar menanti, sebab di hati terselip cemas bila paket mereka rusak. Tak kupungkiri, memang ada beberapa rekan kerjaku yang memperlakukan paket-paket itu dengan kasar, terlebih bila mood sedang buruk.

Hingga sore ini, masih ada lima paket lagi yang menunggu giliran untuk berjumpa dengan para pemiliknya. Namun entah mengapa, tetiba kuda besiku berhenti di tengah jalan. Hanya selang waktu beberapa detik, bunyi klakson bersaut-sautan karena para pengendara lain menganggap berhentinya kuda besiku telah mengganggu kelancaran lalu lintas. Namun, apa boleh buat! Hal ini di luar kendaliku.

Sebelum sautan klakson kendaraan lain semakin ramai memekik menyasar telingaku, segera Si Merah kutepikan ke bahu jalan. Saatnya mencari tahu, apa yang membuat Si Merah keluaran 2011 ini merajuk. Di saat yang hampir bersamaan setelah menepi, jalan beraspal tempatku berpijak, tiba-tiba berguncang. Awalnya perlahan, seiring gerak detik jam, guncangannya semakin kuat hingga kepanikan orang-orang tak terbendung.

Lalu lintas semakin kacau, seiring orang-orang dari dalam rumah, toko, dan gedung berlari ke luar. Mereka berhambur ke jalanan. Kakiku yang tegak berpijak dapat merasakan kuatnya bumi ini berguncang. Rasa takut mulai menyelimuti diriku. Terlebih saat kulihat ada rumah yang tadinya tegak berdiri, sekitar empat meter di sebelah kiriku, berangsur runtuh dalam hitungan detik.

Tiga penghuninya berhasil ke luar menyelamatkan diri. Namun, seorang ibu di antara mereka, berteriak histeris memanggil nama seseorang. Ibu itu berteriak histeris sampai tergeletak tak sadarkan diri. Meskipun rasa takut bergelayut di hatiku karena guncangan yang terjadi. Namun, kucoba berjalan mendekati mereka.

"Kenapa, Dik? Apa masih ada seseorang yang terjebak di dalam sana?", tanyaku pada gadis remaja yang sedang memangku kepala ibunya yang pingsan.

"Iya, Mas! Salah satu adikku, Fina. Dia belum keluar," ujarnya sembari menangis. Remaja itu ditemani seorang gadis kecil yang juga sedang menangis. Wajah mereka hampir mirip.

Entah bagaimana nasib anak yang terjebak dalam reruntuhan itu, apakah ajal telah mendatanginya? Guncangan tektonik akibat gerak lempeng bumi, masih terasa. Riuh kepanikan orang-orang sekitar, belum mereda. Meskipun diri ini sebenarnya juga disergap kekhawatiran dan ketakutan, terhadap kematian yang seolah telah mendekat. Namun, tetap kucoba memberanikan diri untuk menolong.

Dalam keraguan, kucoba mendekati reruntuhan rumah itu. Mungkin masih ada yang bisa kulakukan untuk menolong Si Kecil, Fina. Mungkin masih ada harapan hidup, pikirku. Belum selesai tanganku membongkar puing-puing reruntuhan, satu demi satu. Anton menepuk bahuku.

Kawan koplakku itu berkata, "Woy! Jangan tidur di sofa, Bro! Itu mamak kos bisa murka! Apalagi kalau iler lu mejeng di sofa dia! Lagian lu tidur di depan TV! Masih nyala pula! Lu itu nonton TV, atau TV yang nonton elu!"



Tersentak bangun, kuarahkan pandangan mata ke layar TV. Seorang news presenter sedang menyampaikan berita duka. Gempa bumi tektonik mengguncang wilayah Majene dan Mamuju.

Rabu, 7 April 2021

9 disukai 5.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction