Aku meneguk liur berkali-kali. Bukan, aku bukan tergiur, juga tak berkaitan dengan food vendor truck yang kukemudikan. Pasalnya aku gugup, menghadapi jalanan berkelok yang katanya memendam hawa jahat. Lagipula truk makanan yang kukendarai melompong, tanpa muatan makanan yang terjual habis baru saja. Hanya ada aromanya yang tertinggal, itu pun samar-samar saja.
“Bung, hati-hati. Ada lubang angker di jalan Semboja Baru. Aku gak main-main, lho. Maksudku ini bukan hoaks, bukan omong kosong.” Terngiang himbauan dari seniorku, yang kusapa Oom lantaran lagaknya yang nge-boss. Sebetulnya ia cuma mantan pengemudi food truck yang dimutasi jadi staf marketing.
Aku sudah menjalani pelatihan khusus dari si Oom, mengenai rute atau jalur mangkal si food truck menor. Truk merah oranye menyala, ibarat sebutir jeruk ranum yang bergulir di jalan-jalan strategis, tak ayal menarik penikmat kuliner yang berburu jajanan manis. Dalam sekejap dagangan laris manis, selaris kacang godok kesukaanku, yang sayangnya tak dijual dalam truk makanan ini.
“Lubang angker apa, Oom? Lubang bekas kejatuhan meteor yang segede gaban, gitukah?” Kujawab wanti-wanti si Oom dengan slengekan.
“Bego kau! Itu lubang berhawa jahat yang bikin pengemudi kecelakaan lantas matot, tahu? Cuma supir berpengalaman macam aku yang selamat dari lubang angker. Makanya junior selugu kau harus diajar baik-baik.”
Baiklah, Oom. Aku sudah hati-hati. Tidak ngebut, juga menikung pelan-pelan dan stabil. Aku membatin, sembari mengingat-ingat pantangan dari si Oom.
“Pantangan pertama, kau gak boleh mengangkut orang yang cari tebengan. Kalau cantik, ya bolehlah, siapa tahu bisa jadi gebetan baru. Hahahaha!”
Lho? Betul-betul ada yang mencari tebengan. Seorang ibu tua, kucel, sekujur tubuhnya kotor dan berlumpur, melambai-lambai penuh harap. Alhasil, aku jatuh iba dan pantangan pertama si Oom pun kulanggar. Lagipula jalanan Semboja Baru lengang dan jarang dilewati kendaraan. Kasihan kan ibu itu.
“Maaf, Ibu tadi jatuh di mana?” Kusapa ibu penebeng yang kuamati juga luka-luka ringan di kaki dan tangannya.
“Oh, ini, gak sengaja kejeblos ke lubang kubur, eh, maaf, maksudnya lubang galian, Mas. Maklum, udah tua jadi gampang jatuh.”
Terngiang lagi wejangan dari si Oom seniorku itu. “Pantangan kedua, jangan mengobrol di mobil. Fokus dan jangan pegang-pegang ponsel juga.”
Alhasil, aku mengobrol dengan si ibu lansia, dengan asyiknya, ngalor ngidul, seraya mengingat-ingat pantangan nomor tiga. “Ingat satu lagi, Bro. Jangan banting setir sembarangan. Fokus saja ke depan dan lurus. Walau nanti kelihatannya jalanan bercabang tiga gak usah kau peduli. Hajar aja terus!”
Sekonyong-konyong si ibu tua memekik, “Mas, Mas. Lekas banting setir ke kiri. Nanti bakal nabrak.”
Seakan-akan tersihir, aku membuang setir ke kiri. Akibatnya truk kecilku merumput, terdampar di area pinggir jalan dan nyaris menabrak pohon besar. Hah? Kusaksikan dengan ngeri, jalanan amblas di sebelahku. Menganga lubang besar dan sangat dalam, mungkin lebih dari tiga meter dalamnya. Seandainya aku meluncur lurus, apakah sempat aku menginjak rem supaya tak terperosok?
“Bu, terima ka...” Ucapanku menggantung, karena si ibu lansia menghilang begitu saja.
Keringat dinginku mengucur, tersadar baru saja diluputkan dari lubang angker dan kecelakaan maut. Padahal aku melanggar pantangan, bahkan ketiga-tiganya tak kupatuhi. Namun kok aku malah selamat, ya? Ah, agaknya mengikuti kata hati sendiri memang lebih penting.