You Must Love Me. Ahjuma, engkau pastilah mencintaiku. Ingatkah, saat kita pertama kali berjumpa, penginapan tua itulah saksi bisunya. Penginapan itu milikku, warisan keluarga yang engkau sebut Wisma Pesek. Namanya Tanmasek, betul? Waktu itu aku berniat mengejutkanmu, menyuguhkan kopi wasabi yang pedas menyengat. Engkau berpura-pura tak terkejut, karena ingin berkeras menyenangkan hatiku. Kurasa detik itu juga, engkau sudah jatuh hati padaku.
Aku juga sama. Jatuh cinta pada sikapmu yang cuek. Engkau perempuan yang seenaknya sendiri. Tak heran kuragukan kesungguhanmu, apakah engkau serius menjadi koki baru kami, menggantikan koki lama yang kupecat lantaran tak becus?
Perawakanmu kecil, sepertinya tak ada potongan untuk bekerja di dapur kami. Betul, Tanmasek yang hiruk pikuk di pinggiran Jakarta, bahkan terluput dari wabah ganas yang melumpuhkan tahun 2020 itu, menuntutmu sibuk meracik menu andalan baru, karena aku adalah majikan yang galak dan tuntutanku sungguh tinggi.
Engkau pembangkang kecil bagiku, sungguh menyebalkan sikap kritismu. Terpaksa aku menyapamu Tante, yang engkau jawab dengan panggilan Om, tak pelak memancing amarahku. Akhirnya kita jemu bertengkar. Aku menyapamu dengan sebutan ahjuma. Engkau pun berkompromi, memanggilku ahjussi dengan berat hati. Konon, tidak semua wanita Korea senang disapa ahjuma, sementara yang laki-laki baik-baik saja dengan sebutan ahjussi. Perempuan memang sensitif soal usianya dan selalu ingin dianggap muda.
Aku pun tak paham kenapa engkau gigih merawat kecantikanmu. Ritual-ritual sepele dan ruwet, tetapi berarti besar bagimu. Kemarin sore, kita berjumpa di muka gedung panitera, engkau tetap secantik saat aku menikahimu dulu. Kala itu, kita mengucap sumpah suci di depan altar. Aku hanya ingat, betapa segar dan muda parasmu itu. Kini, melihatmu tidak berubah sejak dulu, tersadarlah aku, engkau sebetulnya berusaha keras mencuri cintaku.
You must not love me. Ahjuma, engkau pernah protes, merasa sebagai istri rasa simpanan, kunikahi dengan posisi di nomor dua. Ya, istri pertamaku adalah penginapan tua yang kuwarisi dari ayahku. Pekerjaan dan karierku selalu menjadi istri nomor satu.
Aku tak pernah mengerti, mengapa engkau tak memahamiku? Katamu engkau cinta padaku. Cinta apa yang engkau punya, sampai-sampai tega mempersalahkan cinta di antara kita?
Hari ini aku tidak memakai cincin pernikahanku. Maaf, maksudku cincin kita. Aku berdiri di depan penginapan tua, memaksakan diri mencintai dirimu. Engkau sendiri yang berkata, aku harus mencintai dirimu. You must love me, ujarmu getir. Engkau tahu betul, cintaku akan mendua selama penginapan masih jadi milikku. Maka aku memilih mencintaimu, dengan menjual penginapan turun temurun ini. Ya, kini, ia bukan lagi rumah kita bersama.
Sayang, engkau tetap menjatuhkan talak dan kita terpaksa bertemu di gedung panitera sore kemarin. Sia-sia pengorbananku, karena engkau pun tak mau lagi jadi milikku. Aku kehilangan dua istri tercintaku, yaitu engkau dan penginapan tua yang engkau benci lantaran kucintai dengan sangat. Kulihat jemarimu bersih, karena cincin kita sudah engkau campakkan sejak dulu. Aku tidak tahu kenapa kau berkeras mematahkan hatiku. You must not love me. Pastilah kamu tidak mencintaiku.
Untuk terakhir kalinya aku menyuguhimu kopi wasabi. Engkau memuji rasa sedapnya. Aku tahu engkau berdusta, tetapi aku pun tahu engkau jujur tentang satu hal. You must love me. Engkau pastilah (masih) mencintaiku.