Ukulele Ayah

Saat itu aku sedang duduk di taman kota. Menghela nafas sambil sesekali melemaskan otot-otot kakiku. Tiga jam berjalan kaki sambil berkeliling kota membuat otot kakiku kaku. Perut pun sudah meronta-ronta meminta jatahnya.

Aku pegang perutku dan berkata padanya, "Sabar ya rut, sebentar lagi kamu tak kasih jatah... mohon kerja samanya ya.."

Bukan cuma perut, hampir seluruh anggota tubuhku sering kuajak bicara. Lebih tepatnya aku bicara, mereka diam mendengarkan.

Misalnya saat kepalaku tiba-tiba pusing, aku bilang padanya, "La, jangan pusing dulu ya...hasil ngmen masih dikit ni.. tahan dulu ya..!"

Entah kepalaku benar-benar mendengarkan atau hanya sugestiku, setelah itu sakit kepalaku sembuh. Apapun itu, satu hal yang kuyakini bahwa seluruh anggota tubuhku ini juga makhluk dari sang pencipta yang juga harus kita perlakukan sebaik mungkin.

Begitu pun dengan mata. Ia juga harus sesekali dicuci agar bersih. Seperti yang kulakukan saat ini. Mataku berkeliling liar ke sana kemari barang kali ada pemandangan untuk cuci mata.

Benar saja, di trotoar sebrang jalan terlihat perempuan cantik sedang berdiri. Sepertinya sedang menunggu angkot. Dia mengelurkan sesuatu dari kantong plastik yang dibawanya. Ternyata itu sebuah pisang. Lalu dia memakannya. Setelah mataku yang mendapat asupan gizi, sekarang otakku yang membangun imajinasinya.

Aku masih memandang perempuan itu. Dia terus memakan pisang itu sampai habis. Setelah itu bangunan imajinasi otakku runtuh. Dia begitu saja membuang kulit pisang di trotoar. dalam hati kuberkata, "Duuh kasian tu kulit pisang, habis manis sepah dibuang. Bisa jadi membahayakan orang juga tu kulit. ah..sudahlah".

Setelah aku merasa memiliki cukup tenaga untuk berjalan menuju warteg langgananku. Tiba-tiba dari sebrang jalan ada dua orang petugas Satpol PP yang mengacung-ngacungkan tangannya padaku.

Melihat mereka yang tengah bersiap memburuku, aku berlari tunggang-langgang menerobos keramaian lalu lintas kota sambil menggenggam ukulele yang setia menemani mengais rejeki.

Sial, saat berhasil berlari hingga trotoar sebrang, kakiku menginjak kulit pisang. Aku terpeleset dan terpelanting jatuh.

"Braak..!" Tubuhku jatuh menabrak tong sampah. Sampah beraceceran kemana-mana. Untungnya ukuleleku baik-baik saja.

Aku kembali bangkit dan berlari tetap menggenggam ukuleleku. Dua petugas itu telihat masih terus mengejarku. Nampaknya mereka berlari lebih kencang dariku dan semakin mendekat.

Dengan tenaga yang tersisa, kucoba untuk terus berlari. Walaupun aku harus tertangkap, yang penting ukulele ini harus bisa aman. Aku harus segera mencari tempat untuk menyembunyikannya.

Nafasku semakin terengah-engah. Keringatku seakan tak henti-hentinya mengalir. Mataku yang mulai kabur, melihat sebuah gang. Segera aku berlari memasuki gang itu.

"Woi, jangan lari...!! Teriak salah satu petugas yang mengejarku. Aku tak menghirauksnnya dan terus berlari. Tidak ada satu orang pun terlihat melintas gang itu.

Mataku yang semakin kabur, tidak dapat melihat ada lubang kecil di depanku. Kakiku tersandung dan aku kembali terjatuh.

"Gubrakkk"

"Mampus lu" teriak salah satu petugas itu mengumpatku. Ternyata mereka sudah berada di belakangku.

Ukulele peninggalan ayah itu terlepas dari tanganku. Aku berusaha bangkit dan mencoba mengambilnya. Namun, Sebelum aku dapat meraihnya, mereka terlebih dulu mengambil ukulele itu dan memukulkannya ke arah kepalaku.

"Praak..!"

Kemudian semuanya terlihat gelap.

8 disukai 6.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction