Disukai
1
Dilihat
3,683
Untitled
Romantis

Aku pernah jatuh cinta.

Biar kau tahu seberapa rumit perasaan ini, akan aku ceritakan tentang dia sesingkat mungkin namun cukup memberimu penjelasan kenapa akhirnya sebatas pernah jatuh cinta.

Namanya Hardi, keturunan bangsawan, ah ini hanya istilahku saja karena ia datang dari keluarga dengan privilese yang bagus. Kami satu kampus, berbeda jurusan dan fakultas. Aku cukup berbangga diri kuliah di jurusan sejarah dengan beasiswa di salah satu kampus negeri di Indonesia, dan dengar-dengar ia hanya tak punya pilihan selain mengikuti kata orang tuanya yang sepasang pengacara untuk berkuliah di fakultas hukum, yang konon adalah fakultas terbaik di kampusku.

Hardi dan aku seharusnya tak pernah bersinggungan, barangkali juga tak pernah jika itu menurut defenisinya. Tapi di semestaku, Hardi adalah tokoh penting yang menjadi salah satu orang yang membuat aku menjadi sekarang. Salah satu, tolong garis bawahi ini. Nanti kau berpikir pula aku meniadakan peran orang tua dan guru-guruku.

Apa kau sedang mengira Hardi ketua BEM Fakultas atau Universitas? Bukan. Hardi adalah pelopor gerakan bicara dengan hukum di kampus kami, yang menjadi wadah banyak mahasiswa untuk menganalisa isu kampus juga luar kampus dari perspektif hukum. Aku tak tahu banyak soal hukum, tapi aku tahu Hardi adalah yang paling cemerlang di angkatannya. Ia lebih dikenal banyak orang dibanding ketua BEM Universitas kami, ah mungkin menurutku saja, sebab aku pernah salah mengenali ketua BEM Universitas. Intinya, peran dia sebagai pelopor bicara dengan hukum menjadikan Hardi salah satu mahasiswa paling bersinar yang dikagumi banyak orang termasuk civitas akademika dan juga publik alias warganet sekitar.

Jadi apa sekarang kau berpikir aku mengenalnya dari tersohornya namanya itu? Bukan. Tebakanmu masih salah. Aku mengenal Hardi saat kami mengantri bayar belanjaan di minimarket. Ia tak cukup menonjol secara fisik (ini hanya penilaian di awal, setelahnya bagiku Hardi menonjol dalam segi apapun) tapi apa yang di tangannya saat itulah yang paling menonjol aku ingat.

Hardi sedang membaca buku Laut Bercerita karangan Leila Chudori, yang bukunya sekarang menjadi buku sastra paling terkenal seantreo Indonesia. Kala itu, aku tak kenal banyak orang yang suka membaca, aduh juga sekarang si tapi ya setidaknya kau sedang membaca ceritaku sekarang.

Tahun itu tahun terakhir aku di kampus, sedang sibuk-sibuknya dengan skripsi. Membaca jadi pelarian paling mujarab dari coret-coret dosen yang sudah tahu apa yang aku tulis di kalimat ketiga. Maka hari itu, ketika melihat ada seseorang yang memegang buku tersebut, aku tanpa pikir panjang langsung mengajaknya mengobrol.

“Menurut mas masih ada ngga si organisasi kayak winatra sama wirasena?”

Hardi yang berdiri di sampingku melihat dengan tatapan bingung, aku yakin dia ragu jika ia yang aku aja bicara. Ayolah, zaman sekarang siapa yang mau repot mengobrol dengan orang di sekitarmu sedang di genggamanmu ada teknologi canggih, yang lucunya kau mau repot mengobrol dengan orang asing dalam teknologi itu.

“Mba bicara sama saya?”

Jujur saja, seandainya aku sudah tahu kiprah Hardi aku tidak akan mengajaknya bicara. Palingan menatapnya dengan mata terkagum-kagum. Tapi karena saat itu aku belum mengenal Hardi maka aku melakukannya tanpa berpikir panjang.

“Iya, baca Laut Bercerita kan mas?”

Aku terkesan dengan caranya tersenyum, hingga detik ini senyuman Hardi kala itu adalah senyuman paling tulus dan hangat yang pernah aku temui.

“Kamu percaya ngga kalau saya bilang sekarang, saya lagi membentuk wirasena, membawa kembali sejarah sebagai anak muda.”

Detik itu juga aku tahu, dia bukan mahasiswa sembarangan yang iseng membaca buku. Atau sepertiku yang membaca sekedar pelepas penat dari amukan dosen pembimbing. Bukan hanya kalimatnya, ada sesuatu dari caranya bicara yang membuatku tersihir.

“Oh ya?”

Hardi tertawa sebentar sebelum menjawab, mungkin karena aku sudah meladeni kalimatnya dengan serius. “Sejarah akan tetap menjadi sejarah mba, fiksi juga akan tetap menjadi fiksi, yang kita lakukan hanya bagian berusaha saja.” Ia menjawabnya tak kalah serius dengan raut wajah yang sukar didefenisikan.

“Mas terkesan semacam aktivis gagal.” Komentarku tanpa maksud apapun.

Hardi tertawa lagi, kali ini lebih ke miris. “Saya bukan aktivis mba,”

“Silakan mas,” dan suara mba-mba minimarket memotong obrolan itu. Aku juga mendapat giliran di kasir yang satu lagi. Saat itu aku sempat menyesal belanja bulanan banyak karena melihat Hardi bergerak terlebih dahulu dari meja kasir.

Aku pikir itu akhirnya, ternyata Hardi menunggu di pintu mini market dengan belanjaannya yang hanya minuman dingin sekitar lima botol.

“Kamu punya bukunya?”

Aku menggeleng. “Aku malu mengakui ini, tapi aku curi baca di toko buku. Kan biasa tu mereka punya satu dua eksemplar yang terlepas dari plastiknya.”

Hardi tertawa lagi, dan semakin manis.

“Ini buat kamu, aku sudah selesai baca.”

Aku mendongak tak percaya. “Mas, saya..”

“Seharusnya kamu juga orang yang mengerti kan peran untuk memperluas literasi, anggap saja ini salah satu peran saya.”

Aku tak sempat membalas saat buku itu sudah berpindah tangan kepadaku.

“Itu teman saya sudah nunggu, saya duluan.”

“Terima kasih mas!”

“You are welcome,” Hardi menganguk kecil masih dengan senyum manisnya lalu berlari kecil, menyeberangi jalan menuju tempat temannya menunggu dengan motor.

Sedang aku, hatiku ambruk. Jatuh. Cinta.

Selesai.

Ah tentu belum. Kau pasti akan kesal jika aku selesaikan cerita ini bahkan sebelum Hardi mengenalku. Tapi meski cerita masa kampusku dengan Hardi di dalamnya belum selesai, aku beritahu saja, hingga aku resmi diwisuda Hardi tak pernah tahu namaku.

Ya jelas saja, kami tak pernah bersinggungan lagi.

Jika kau percaya dengan kisah cinta yang membuat dua tokoh utamanya bolak-balik bertemu tanpa sengaja, maka kisah kami bukanlah kisah cinta karena kebetulan hanya sekali. Setelahnya adalah rencana-rencana yang diatur.

Iya, rencana yang aku atur hingga tak perlu bertemu dengan Hardi lagi. Sebab detik aku membuka buku itu, lalu memfotonya ke grup sohib 45 (geng persahabatanku selama di kampus) secepat itu pula degupan dalam hatiku dipukul mundur. Hanya dengan satu nama di halaman pertama buku; Mahardika Ryan.

Informasi tentang Mahardika Ryan direportase langsung oleh teman baikku, Alina, anak sejarah paling update informasi. Hal ini tak lepas dari perannya sebagai aktivis aktif tingkat jurusan yang dulu berkecimpung di himpunan mahasiswa. Reportase itu ditutup dengan sebuah informasi maha singkat ‘Hardi ngga available gais’ yang sebelumnya membuat mataku berbinar setelah sekian kelumat dalam otak semasa kuliah langsung padam.

Padam, yang dipaksa padam.

Nyatanya, aku selalu mencari waktu di mana aku bisa melihat Hardi dengan memastikan ia tidak akan melihatku. Aku mulai mengikuti forum-forum yang ia ikuti, aku mulai aktif mengintip semua media sosialnya yang penuh dengan nilai dan amanat yang mengagumkan, aku mulai hapal jadwal dia muncul di halaman fakultas hukum yang kebetulan bersebarangan dengan gedung fakultasku. Dan semua yang dilakukan perempuan jatuh cinta, aku melakukannya dengan catatan secara diam-diam. Diam yang sebenarnya berisik karena dilakukan dengan bala bantuan ketiga sahabatku yang tak pernah percaya jika yang aku rasakan adalah jenis cinta seperti cinta yang mereka miliki kepada kekasih mereka.

Sebenarnya terlalu banyak hal yang bisa aku ceritakan tentang Hardi, hingga rasanya kau yang membaca juga akan terlalu pusing dan mulai mengerti kenapa aku memilih untuk hanya diam. Padahal Hardi sebagai seseorang memberikan begitu banyak kesan dan pesan yang mendalam untukku sebagai pribadi yang biasa-biasa saja.

Mungkin kau sudah mulai membayangkan, lelaki maha sempurna sedang aku perempuan biasa saja. Percayalah, ini tidak hanya tentang itu. Meski iya, Hardi terlalu sempurna untuk aku yang biasa saja. Tapi yang paling penting dari cinta dalam diam tapi berisik itu adalah, Hardi memiliki kekasih. Lalu untuk apa mengambil kesempatan menciptakan kenangan bersama seseorang yang kau yakin tak akan kau gapai?

Mahardika Ryan, jadi satu-satunya laki-laki di masa kuliahku. Sekaligus lelaki terakhir yang membuat jantungku berdegup dan menghangat. Ia adalah kisah yang tak pernah menjadi kisah dan juga cinta yang tak pernah jadi cerita cinta.

Sekian.

Eitsss...

Kau pasti kesal kan jika ini kusudahi. Lalu hanya itu?

Iya, hanya itu. Lima tahun sejak berlalu, sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di kampus, maka lima tahun itu pula aku menutup keriuhanku perihal jatuh cinta kepada Hardi. Aku tak mengikuti media sosialnya lagi dan hal terakhir yang aku dengar dari Alina adalah, Hardi menutup semua akun media sosialnya, dan aku tak mau penasaran dengan kelanjutannya.

Maka seharusnya semua selesai, hingga hari ini saat aku membuka kolom tanya di fitur instagram stori seseorang dengan username ‘mahardikarw’ membawa kembali memori itu hanya dengan satu pertanyaan;

‘Menurut mbak masih ada nggak si organisasi kayak winatra sama wirasena?’

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi