Perempuan itu datang lagi, kali ini ia memakai rok biru langit yang dipadukan dengan kaos oblong dengan warna senada. Rambutnya ia cepol acak dengan pengikat warna hijau bergaris putih, sedang sandalnya masih warna abu-abu seperti yang aku perhatikan darinya belakangan.
Aku tidak tahu namanya siapa, dan sebenarnya aku tak tertarik untuk mengetahui namanya. Hanya saja ada satu kebiasaannya yang membuatku selalu memperhatikannya setiap berkunjung ke toko kami.
Dia selalu membeli susu rasa melon, yang seharusnya itu diperuntukkan bagi anak-anak. Kadang ia datang hanya untuk membeli itu, kadang lainnya ia datang sekaligus membeli kebutuhannya yang lain.
Sejujurnya aku tak pernah ingat kapan pertama kali ia datang, sebab ia bukan tipe pelanggan yang akan membuatku mengingat. Maksudku, ada jenis pelanggan tertentu yang akan kita ingat. Misal, pelanggan yang memiliki pertanyaan yang terlalu banyak tapi hanya membeli sedikit, waktu memilih yang terlalu lama ujungnya tak jadi membeli dan hal-hal lainnya.
Dia tidak, bahkan tak pernah rewel. Bertanya seadanya dan belanja secepatnya. Namun kebiasaan kecilnya membuat aku mengingatnya bahkan mulai memperhatikannya.
Belakangan rasa tertarik itu menjadi-jadi, seperti rasa ingin tahu yang besar. Aku sudah menemui banyak jenis pelanggan dan baru kali ini rasanya aku begitu penasaran. Jika tadi ia adalah gadis remaja yang selalu membeli es krim rasanya sangat mudah dipahami. Tapi ini, aku yakin usianya sudah seperempat abad sekitar, dan dia masih membeli susu melon untuk anak-anak.
Maka aku memutuskan untuk akan menuntaskan rasa penasaran ini.
Aku menunggu apakah ia akan duduk sebentar di depan toko atau tidak, ia sering melakukannya. Kadang ia duduk di depan toko hingga malam semakin pekat, kadang ia duduk hanya untuk menghaniskan susu melonnya.
Begitu ia sudah selesai membayar dan duduk di depan toko, aku memanggil adikku untuk gantian berjaga. Lalu aku menyusul perempuan susu melon itu.
"Mbak, boleh ikut duduk?" Ia menatapku sesaat dengan tampang menyelidik sebelum akhirnya mengangguk tipis. Kewaspadaan yang cukup mengingat dia adalah perempuan, yang di negeri ini jika tak menjadi sinis mudah sekali dianggap remeh orang lain.
"Ini kan toko Mas-nya, tidak mungkin saya larang kan?" Ia berucap retoris sembari melanjutkan meminum susu melonnya yang sudah separuh.
Aku tertawa kecil mencairkan suasana. Ngekos dekat sini mbak?"
"Iya, rumah oranye di gang sana."
"Punya Bu Melati?"
Iya mengangguk pelan. Dari gesturnya aku bisa merasakan kerisihan, hal itu didukung dengan sikapnya yang buru-buru berdiri.
"Saya duluan ya mas."
Ia berbalik, namun sebelum ia melangkah rasa penasaran itu akhirnya keluar dengan tiba-tiba. "Kenapa susu rasa melon?"
Ia menahan langkahnya, berbalik, menatapku dengan, emmm, rasa penasaran?
"Saya penasaran kenapa Mas penasaran untuk hal-hal biasa? Maksud saya, ini bukan sesuatu yang istimewa atau asing. Ini hanya susu rasa melon." Ia mengangkat botol susunya yang sudah kosong.
Ada suatu pertahanan yang ia tunjukkan dengan wajah itu, sebuah alasan yang tidak hanya sekedar susu rasa melon. "Tidak masalah kalau tidak dijawab mbak," Aku berdiri dan tersenyum sedikit "maaf jika mbaknya tersinggung."
Perempuan itu mengendurkan ekspresinya. Aku hendak berbalik saat ia akhirnya dengan mudah menceritakan kisah susu melon miliknya.
"Ayah saya, dia membelikan saya susu rasa melon di hari terakhir hidupnya."
Dan aku mendadak benci rasa penasaran, mata perempuan itu berkaca-kaca saat mengucapkannya.
"Dulu kami hidup miskin, serba kekurangan. Jangankan beli melon, beli buah apapun dulu tak sanggup. Tapi saya selalu penasaran rasanya melon. Selalu, setiap melihatnya saya akan merengek kepada Ayah untuk membelikannya. Tapi kami tak sanggup, dan hingga hari ini meski saya mampu saya tak sanggup.
Suatu hari saya menjuarai lomba menulis, Ayah berjanji akan membelikan saya melon sebagai hadiah. Tapi Ayah tak menepatinya, saya marah. Kemarahan yang saya sesali hingga sekarang. Dan itu hari terakhir Ayah, sebagai perminta-maafannya Ayah membelikan saya susu ini, susu rasa melon. Ia meninggalkan susu ini sebelum berangkat kerja. Saya melihatnya tiga hari kemudian, setelah semua orang yang melayat pergi. Susu itu ada diatas meja tempat saya meletakkan buku-buku, dan sebuah pesan kecil agar saya memaafkan A...yah... "
Perempuan itu menangis, di depan toko, di depan jalan di mana kendaraan berlalu-lalang. Aku tentu saja panik.
Aku mendekatinya berusaha untuk menenangkannya. Tapi perempuan itu semakin terisak, aku semakin merasa bersalah. Haduh seharusnya aku tak bertanya.
"Ta...pi... apa Ayah memafkan saya mas?"
Ia bertanya padaku seolah aku tahu jawabannya. Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa. Ia semakin terisak saat aku tak menjawab, adikku yang sedang di dalam toko buru-buru keluar. Mungkin karena sesama perempuan akhirnya ia lah menenangkan perempuan itu.
Setelah ia cukup tenang, aku meminta maaf. Tapi ia tersenyum kecil, berterimakasih karena aku sudah bertanya. Seolah pertanyaan itu mampu mengeluarkan separuh beban yang sudah ia tanggung bertahun-tahun lamanya.
Selepas hari itu aku pikir ia akan berhenti belanja di tokoku. Tapi ternyata aku salah, beberapa hari kemudian ia datang lagi, ia tersenyum kikuk saat membayar belanjaan. Ia masih membeli susu rasa melon.
Setelah ia membayar belanjaan, ia menatapku dengan senyuman dan mengucapkan terimakasih. Aku tak akan pernah lupa senyuman itu, karena rasanya ada sesuatu yang menyenangkan saat ia tersenyum.
Esoknya, ide itu hadir.
Hari berikutnya ia berbelanja, aku menyerahkan sekantung belanjaan lain padanya. Ia menatapku bingung.
"Aku tahu kamu sanggup beli, tapi aku ingin jadi orang pertama yang membelikannya."
Ia menatap isi kantong belanjaan itu, "Melon?"
Aku tersenyum yakin, "dan kartu namaku."
Ia ikut tersenyum, manis sekali.
Bertahun sudah kenangan itu hidup dalam diriku, menemani setiap cerita bagaimana aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang sebelumnya aku kenali sebagai perempuan susu melon perlahan berubah menjadi perempuan yang menjadi kekasih. Tahun berganti dan berubah menjadi istri, lalu ibu dari dua jagoanku, hingga cerita itu kini didengarkan cucu pertamaku.
"Jadi itu kenapa ya Kek, selalu menanam melon di belakang rumah?"
Aku tertawa kecil, "Kamu memang pintar sayang, persis seperti nenekmu."
"Nenek pasti lebih cantik, kata Papa nenek adalah perempuan paling cantik sedunia."
"Papamu benar, nenek adalah perempuan paling cantik sedunia."
Aku menatap figura foto pernikahan kami, ia begitu cantik dengan senyum yang begitu cerah.
"Ayo putri kesayangan Papa, sudah dengan cerita kakek ya, sekarang waktunya makan melon."
Cucu perempuanku itu mengangguk senang, berlarian kecil menuju ayahnya.
"Pa, ayo!"
Aku mengambil kacamata, sekali lagi menatap figura foto itu.
"Lihat sayang, anak-anakmu, bahkan cucumu persis sepertimu. Pencinta melon sejati."
Aku tersenyum sekali lagi, menatap perempuan susu melonku.