20 Juni 1982
Hanya selapis tipis. Setipis lapisan kue lapis. Tapi Bahrowi selalu mampu membedakan perubahan hawa yang terjadi di setiap dinihari termasuk makhluk apa yang bergerak di dalamnya. Orang-orang menyebutnya manusia kalong karena memang begitulah dirinya. Tidur di siang hari, kerja di malam hari.
Menjadi penjaga malam adalah pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak zaman geger - zaman banyak garong ketika pemberontakan DI/TII terjadi di tahun 49-an. Kemudian geger kedua ketika partai komunis melakukan makar terhadap pemerintah tahun 65-an, dan sekarang ketika suasana sudah aman karena yang namanya garong selalu ada di setiap zaman selama malas berusaha di jalan halal masih dipilih sebagai teman.
Bahrowi jago bela diri termasuk pandai menggunakan bedil. Ia ikut berjuang melawan Belanda. Sayangnya niat Bahrowi untuk bergabung dengan tentara ketika republik sudah merdeka terhalang. Bahrowi buta huruf. Ia juga tidak punya koneksi. Pak Lurah lalu menawarinya menjadi penjaga malam dengan upah satu karung beras setiap bulan.
Singkong bakar dan kopi tubruk adalah temannya hari ini. Bahrowi menggulung rokok lintingnya, menyalakannya dengan sisa api di kulit singkong, meresapi sambil memejamkan mata ....
Hanya selapis tipis. Setipis lapisan kue lapis. Ada hawa hangat menyentuh permukaan kulitnya. Bahrowi bangkit siaga. Ia tahu yang akan hadir bukan demit karena demit tidak hanya membawa hawa dingin tapi juga bau anyir. Ia tahu yang hadir manusia, tapi siapa?
Bukan maling atau garong. Karena maling atau garong membawa hawa panas dan bau miras. Hawa ini begitu hangat dengan aroma wangi teh kuntum melati hingga mampu menyentuh hati yang paling dingin sekali pun.
Entah bagaimana yang jelas tiba-tiba Bahrowi merasakan rindu pada Suparti, istrinya yang meninggal 2 tahun lalu, juga Duraji dan Durati, anak laki-laki dan perempuannya yang sudah berkeluarga.
Duraji tinggal di Salatiga sementara Durati tinggal di Klaten. Dua kota yang tidak jauh dari Boyolali, tapi lebaran kemarin mereka kompak beralasan tak bisa menjenguk Bahrowi.
Bahrowi melepas selempang sarungnya. Merapikan celana panjang komprangnya juga kemeja batik lungsuran dari Pak Lurah. Peci lusuh di kepala yang semula miring dilepaskannya. Dengan jemari Bahrowi menyisir rambut ikalnya serapi mungkin.
Bahrowi bisa merasakan yang akan datang bukan orang biasa. Yang akan datang seseorang yang dihormati di desa ini. Bahrowi menanti. Jantungnya berdebar penasaran.
Di ujung jalan akhirnya nampak sebuah cahaya datang. Langkah pelan dan pasti dari seorang perempuan berkebaya rapi. Perempuan itu semakin mendekat dan Bahrowi tertegun.
*****
25 Juni 1982
Bunga randu mekar di musim panas. Bunga randu itu wangi. Jika bunga randu akhirnya menjelma jadi randu dan randu yang sudah coklat tua pecah maka lembar-lembar kapas akan melayang ke bumi dari pohonnya yang menjulang tinggi, hujan awan pun terjadi.
Darinah selalu menyukai momen itu begitu pun ibunya. Dan seperti ibunya, Darinah kesal ketika momen itu selesai karena halaman jadi kotor. Kapas bukanlah sampah yang mudah dibersihkan.
Pohon randu ditanam ayahnya di halaman depan. Lalu ada kursi panjang kayu yang ditaruh ayahnya di teras. Di samping rumah, ayahnya menanam kopi. Buah kopi yang merah ranum rasanya manis ketika dikulum. Darinah dan ibunya menikmati seolah kembang gula sambil menyaksikan hujan kapas terjadi.
Buah randu tua masih hijau ketika Darinah duduk siang ini. Butuh dua minggu untuk menjadikannya coklat sempurna lalu pecah. Kala itu terjadi Darinah ingin ibunya tak lagi tidur. Ibu bangun, sebangun-bangunnya.
Darinah mendesah resah. Buah kopi yang dikulumnya sudah hilang rasa manisnya, biji kopi yang tergigit menyesapkan rasa pahit, rasa getir.
Hidup ya seperti itu, kata ayahnya. Ada manis, ada pahit. Semua disesap dalam satu lidah.
Yang dirasakan Darinah hari ini adalah manis karena kebersamaan mereka lalu pahit karena keharusan mengakhiri kebersamaan.
Akankah Ibu menyusul Ayah? Ah, mata Darinah jadi basah karenanya. Ia tercenung teringat kesaksian Bahrowi pada Wid, kakak laki-lakinya.
“Leres, Den Wid. Kulo kepanggih Ibu. Ibu ngediko ditimbali Bapak ….” (betul Den Wid, saya bertemu Ibu. Ibu bilang dipanggil Bapak)
Wid meragukan yang berjumpa dengan Bahrowi si penjaga malam itu, ibunya. Begitu pun Darinah. Mereka tahu benar Ibu tidak pernah keluar malam-malam sendirian apalagi dinihari.
Tapi Bahrowi yakin sekali. Ia bahkan berani menambahkan melihat cahaya di ujung desa tempat Khodirun, ayah Wid dan Darinah dimakamkan 40 hari yang lalu.
Jika bukan Ibu lalu siapa yang bertemu Bahrowi? Jika memang Ibu, apa benar dipanggil Ayah? Apa yang dilakukan Ibu di makam Ayah? Setelah itu apa yang terjadi? Bagaimana Ibu pulang? Tak ada saksi yang melihat Ibu pulang. Yang terjadi, Rahayu kakak Darinah menemukan ibu mereka terus tidur dan tak kunjung bangun. Kini sudah 5 hari.
Darinah menyentuh tangan ibunya. Hangat. Hatinya lega. Darinah mengamati dada ibunya. Masih naik turun. Jiwanya bersyukur. Tapi kemudian matanya basah. Darinah tahu semua hanya tinggal menunggu waktu. Entah dari mana firasat itu datang tapi jelas bukan firasat kosong.
Darinah mengecup dahi ibunya. Sebuah kenangan hadir. Kala itu siang hari, umurnya masih 10 tahun. Ibu membangunkan Darinah yang sedang tidur siang.
“Ayo kita beri kejutan buat ayahmu,” kata Ibu dengan mata berbinar.
“Kejutan apa tho, Bu?” tanya Darinah sambil menguap.
“Pisang goreng …” Ibu senyam-senyum. Darinah mengeryitkan dahi. Apa istimewanya dengan sepiring pisang goreng? Bukankah Ayah biasa menikmatinya di sore hari sambil minum secangkir teh aroma melati?
“Kita panen pisangnya sendiri. Belum pernah kan? Selama ini ayahmu yang selalu mengambilkan pisang dari kebun. Kali ini Ibu mau membuktikan kita juga bisa panen. Perempuan juga bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki.”
Darinah tergelak. “Bu, kita kan ndak tahu cara panen pisang. Ibu ada-ada saja.” Darinah kembali meringkuk di kasur.
“Ayo, tho sekali-kali bikin ayahmu senang.”
“Kenapa ndak sama Harjo saja, Bu?”
“Waduh, Harjo adikmu itu kan banyak ngomong, mana suarane banter (suaranya nyaring). Mau bikin kejutan nanti malah ayahmu bangun dengar suara ributnya.”
Darinah tersenyum. Ia pun manut. Senang rasanya menjadi yang terpilih dibanding Harjo.
Sampai di kebun Darinah ingat mereka berdua benar-benar bingung tak tahu cara memanen tandan pisang tua. Ayahnya terbangun karena suara ribut di kebun. Lantas ayahnya pula yang akhirnya memanen pisang, dan Darinah menangkap senyum simpul di bibir ayahnya serta kerling sayang pada ibunya.
Cinta Ayah pada Ibu memang luar biasa. Ayah Darinah adalah seorang wedana. Lelaki tampan berhidung bangir, bermata tajam. Ibunya perempuan biasa berwajah sederhana. Lumrah di jaman itu jika wedana beristri lebih dari satu.
Tapi ayahnya setia memilih hanya memiliki Ibu. Istri yang memberinya 15 anak, dengan 12 anak yang hidup. Ayah tak pantang membantu Ibu memarut kelapa padahal mereka hidup di kala sistem patriaki begitu kental.
Ayah yang berjanji akan menjemput Ibu jika Allah SWT menitahkannya untuk kembali lebih dulu. Janji sehidup semati yang diikrarkan itu rupanya dikabulkan Allah. Mata Darinah pun basah.
*****
21 Agustus 2016
Ikan tidak bersuara apalagi membuat kicauan ramai seperti burung, maka ketika kau menyelam di kedalaman laut yang kau jumpai sunyi.
Telinga menjadi tuli, namun jiwamu mampu mendengar degup jantung, tarikan napas, dan bisik hatimu.
Dalam mata terpejam, di sebuah tanah lapang aku berdiri, mencoba mengkondisikan diri seolah aku sedang menyelam di laut terdalam. Menghilangkan kicau burung dan tonggeret yang berbaur dengan hawa panas menyengat.
Hening. Degup jantungku terdengar. Derap napas mengalun lirih. Kubuka mata, dan rumah itu pun mewujud.
Rumah seribu pintu, begitu aku sering berkata meski bukanlah di Lawang Sewu, Eyang Kakung dan Eyang Putri tinggal. Rumah mereka adalah rumah desa berwujud rumah joglo, dengan pintu yang banyak.
Di dapur dengan lantai tanah aku pernah berjongkok sambil makan sawut bersama kakakku. Kala itu aku 4 tahun, sementara Dien, kakakku 8 tahun. Wid, ayahku yang penghobi fotografi mengabadikan senyum kami. Kuingat rambutku yang dipotong pendek berjepit kepik merah dan senyumku menampilkan gigi kelinci yang renggang.
Di rumah Eyang, hal yang paling menarik adalah kamar besar dengan jajaran 10 tempat tidur. Betapa ricuhnya di malam hari ketika semua anak-anak berkumpul, apalagi itu kamar anak perempuan. Jumlahnya 10.
Dari kamar besar itu, di sebelah kanan ada sebuah kamar, ukurannya tidak besar. Itulah kamar ayahku, si anak laki-laki pertama, kamar yang punya satu pintu tembus ke ruang tamu. Ada sepeda othel hijau tergantung di sana. “Punya Eyang Kakung,” kata Bulek Darinah.
Di kamar Eyang Kakung ada sajadah merah yang tersampir di kursi.
Bersama ibuku di samping rumah, kami pernah makan buah kopi. “Dikulum jangan sampai tergigit bijinya, pahit …” kata Ibu.
Matahari terik memanggang kulit kepala. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Pada sawah tetangga yang selalu merensek maju setiap tahunnya. Pada jejak pohon kelapa kopyor di samping rumah. Juga pada jejak pohon randu di depan rumah. Hanya pohon kopi yang masih tegak merimbun, tapi ia sudah tua dan tak lagi berbuah.
Rumah itu kini lenyap, yang ada hanya tanah lapang. Rumah teduh di mana kisah cinta Umi Kalsum dan Khodirun pernah hadir.
Kenapa ingin tahu kisah Eyang Putri?
Karena rindu.
Rindu?
Ya, rindu yang hadir 7 tahun lalu. Rindu yang melesak ke dalam jiwa karena kuntum-kuntum melati.
“Untuk siapa melati-melati itu, Bulek?”
“Eyang Putri,” jawab Bulek Darinah.
Aku tertegun. Sama tertegunnya ketika melihat Bulek Darinah menyusun melati-melati di pusaran Eyang Putri. Hanya untuk Eyang Putri. Adakah kisah indah antara kuntum melati dan Eyang Putri?
Baru kusadari jika seorang bertanya seperti apa Eyang Putrimu, aku tak tahu harus jawab apa. Eyang Putri meninggal saat aku masih kecil. Yang paling kuingat hanya Eyang Kakung sering memanggilku dengan nama Suci padahal itu bukan namaku. Ayahku bilang nama itu adalah nama yang dipilihkan Eyang Kakung untukku. Ayahku adalah seorang anak yang selalu berkirim surat pada orangtuanya – dan dalam salah satu suratnya meminta pertimbangan nama untuk anak-anaknya.
“Ayah pernah menangis?” tanyaku suatu ketika.
Ayah mengangguk.
“Kapan?”
“Waktu Eyang Putri dimasukan ke liang lahat.”
Kisah romantis itu ada antara seorang anak laki-laki dengan ibunya. Juga antara seorang anak perempuan dengan ibunya. Dan tentu saja antara seorang suami dan istrinya. Adakah antara seorang cucu dengan neneknya? Aku tiba-tiba merasa cemburu.
Hawa panas semakin membubung. Peluh hadir di keningku. Sehelai daun kopi luruh. Aku tercenung. Katanya sudah terlambat menyatakan cinta pada orang yang sudah meninggal, tapi ku yakin tak pernah ada kata terlambat jika bisa menulis cerita untuknya. Seperti ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak jalan pula merajut cinta.
Angin lembut beraroma teh melati menyapa wajahku. Angin lembut musim panas bulan Agustus. Kupejamkan mata.
Tandan buah randu coklat tua pecah membuncah menebarkan hujan kapasnya. Rasa buah kopi manis pahit menggeliat memenuhi rongga mulut. Eyang Putri tersenyum.
Hatiku menghangat.
Kubuka mata. Aku tersenyum. Angin lembut beraroma teh melati kembali berhembus, menebarkan daun-daun kering, jauh-jauh ke utara – menuju tanah makam cintaku. (dks)