Disukai
2
Dilihat
1060
Tekanan
Drama

Saat ini, aku sedang menatap laptop yang baru saja kututup di atas mejaku. Jam sudah menunjukkan pukul 14.00 siang. Tiga jam lagi, aku akan pulang kerja, saat ini aku telah kehabisan ide mendesain bangunan baru untuk perusahaan investasi emas di Jakarta dekat kantorku. Aku memainkan kursiku dan sedang menunggu kapan tantangan dalam hidupku datang kembali. Aku menunggu bertahun-tahun karena sudah tidak ada tantangan dalam hidupku yang membuatku menangis setiap malam. Keinginanku sudah terkabul menjadi orang sukses dan terhindar dari banyak tekanan atau masalah di keluargaku.

Aku melihat beberapa hasil desain di kantorku yang kupajang di dalam lemari berwarna coklat. Tidak hanya bergerak di bidang arsitek, aku juga gemar menulis sebuah cerita, puisi dan sastra lainnya. Aku membuka laptopku kembali dan mulai mengetik sebuah cerita yang sebelumnya pernah kurasakan, sebuah cerita yang akan membuat pikiran pembaca mind blowing dan out of the box. Kisah yang akan kutulis berdasarkan kisah hidupku dari aku lahir sampai aku merasakan kehidupan yang mentereng dan inilah kisah hidupku.

Namaku Tristan. Lahir di kota Jakarta 12 April 2001, aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Abangku bernama Nanda dan Kakakku bernama Nandita. Mereka berdua bukan saudara kembar. Namun, hanya penamaan saja yang membuat mereka terlihat kembar. Aku memiliki nenek dan kakek yang baik dan sangat menyayangiku. Aku juga memiliki tiga tante dan satu om yang sebagian dari mereka berhenti peduli ketika mamaku menjadi wanita yang nakal, sedangkan omku masih menetap di rumah nenekku. Rumah mama dan nenekku saling berdekatan, sedangkan tanteku rumahnya di berbatasan kota Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Aku memiliki banyak sepupu. Namun, semua keluarga tanteku tidak mengizinkan mereka bersama keluargaku karena tidak pantas untuk menjadi bagian dari keluarga.

Ayahku meninggalkan kami semua, saat usiaku tiga tahun. Terdengar asyik bukan menjadi anak broken home pada usia dini. Itu belum seberapa, itu masih awalan yang segar bagi seorang pembaca. Ayahku memiliki watak yang keras dan suka memukuli mamaku semenjak ayahku menjadi pengangguran dari pekerjaannya sebagai satpam. Mamaku meniti karir sejak berumur 17 tahun, naik jabatan sebagai seorang sekretaris di kantornya kemudian menikah dengan ayahku saat berusia 20 tahun. Mamaku meminta cerai pada ayahku karena ia tidak pernah bekerja dan menghabiskan uang mamaku hanya untuk bermabuk-mabukan dan bercinta di hadapan mamaku. Ayahku pergi tanpa meninggalkan nafkah dan membiarkan mamaku membanting tulang sendirian.

Pada usia tujuh tahun, aku di daftarkan di Sekolah Dasar, sekolah yang akan membawaku pada sebuah penderitaan. SD-ku berwarna putih dan hijau, memiliki taman yang cukup asri dan lapangan yang sedikit luas. Aku sekolah di sana pada bulan Juni 2008. Saat itu, abangku sekolah di sana, ia kelas lima SD karena usiaku dengannya hanya beda empat tahun, sedangkan kakakku sekolah di SD yang tidak jauh berbeda dari sekolahku. Saat itu, kakakku kelas tiga SD karena usiaku dengannya hanya dua tahun.

Seminggu pertama di sekolah dasar cukup membuatku merasa bersalah karena satu kelas mengatakan bahwa aku “Banci dan bencong bertitit.” Perkataan mereka membuatku sedih, hatiku sakit sekali mendengar ucapan mereka yang begitu hina. Abangku yang pertama kali mengatakan hal itu karena ia hanya bercanda. Namun, perkataan tersebut menjalar ke mana-mana dan terus menjadi kebiasaan. Hanya ada satu orang yang mau menemaniku, ia bernama Zidan. Murid berambut hitam namun ada banyak uban di rambutnya. Ia salah murid sekelasku yang sangat pintar, ia selalu mendapatkan peringkat sepuluh besar.

   Saat aku kelas tiga SD, dua murid laki-laki menjadi sahabatku, mereka bernama Agung dan Bagus. Agung memiliki badan yang besar dan Bagus memiliki badan yang sedang. Aku dan Zidan yang paling kecil di kelas. Di sekolah, kami berempat selalu berkumpul bersama entah di kantin, di kelas, Warnet atau di rental PS. Kami bagaikan empat sekawan yang tidak pernah lepas. Nilai kami semua bagus. Namun, Zidan selalu menjadi nomor satu di antara kami semua, bahkan ia menjadi salah satu murid kesayangan semua guru.

Saat kelas empat sampai kelas enam SD, banyak murid di kelasku yang melakukan pembulian terhadapku salah satu dari mereka bernama Wawan, Randi, dan Zeki. Mereka membuat mentalku hancur berkeping-keping untuk pertama kalinya, aku mendapatkan bulian yang sangat parah bahkan dari verbal yang hanya omongan menjadi sebuah perbuatan keji. Aku pernah dicekik di saat jam istirahat sekolah. Saat itu, Zeki menarik kerah bajuku dan mengangkatku ke atas kemudian membenturkan kepalaku ke dinding. Ia membuatku menangis karena aku tidak bisa melawannya. Badanku kecil, tidak punya nyali bahkan tidak ada motivasi dari seorang ayah.

Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar bagiku, aku merasa tersiksa dan sengsara sekolah di sana. Sekolah yang membawaku pada sebuah penderitaan dan kesedihan yang tidak akan pernah habis sampai aku keluar dari sana. Setiap hari aku selalu berdoa kepada Tuhan agar aku segera lulus dan meninggalkan sekolah neraka tersebut. Selain di cekik aku pernah di starter, kedua kakiku di pegang oleh tangan Zaki dan kakinya digoyangkan ke arah kelaminku, rasanya menjijikkan. Jika aku seorang psikopat, mungkin aku akan membunuhnya. Namun, aku tidak segila itu. Otakku masih waras hanya dia yang tidak waras.

Enam tahun berlalu, aku lulus dengan nilai kecil dan tidak pantas untuk masuk sekolah negeri. Aku mendapatkan nilai kecil karena tidak masuk sekolah, sehingga selalu tertinggal mata pelajaran. Mamaku mendaftarkanku di sekolah swasta tempat abang dan kakakku sekolah. Di sana, sekolahnya jelek dan tidak seperti yang kuharapkan. Catnya berwarna jingga dan kuning dengan warna goresan pulpen dimana-mana. Lapangannya pun digabung dengan jalan keluar-masuk motor dan mobil masyarakat di sana. Sekolah di swasta sangatlah mahal, untung saja aku sekolah dengan biaya gratis karena mamaku bilang, aku anak yatim karena ayahku pergi begitu saja. Aku tidak tahu ayahku sudah meninggal atau belum. Namun, mamaku terus mendesak untuk mengatakan ayahku meninggal karena sakit. Semenjak mengaku menjadi anak yatim, banyak sekali orang-orang yang bersimpati padaku dan memberikan uang santunan.

Aku masuk di hari kedua sekolah karena hari pertama celana SMP-ku tidak muat. Celana tersebut warisan dari abangku karena ia telah SMA. Teman pertamaku bernama Alam, ia memiliki badan yang pendek dan gigi seri yang besar. Aku duduk di sampingnya di barisan kedua. Aku berkenalan dengannya, ia tampak ramah dan senang sekali mengganggu anak perempuan. Aku suka dengan kepribadiannya yang suka tertawa lepas dan bahagia. Di satu sisi, aku memiliki teman yang bernama Ridwan, Ferry, Aji dan Galang. Kami semua adalah anak-anak cupu dan memiliki badan yang pendek, sedangkan yang lain memiliki badan yang tinggi dan besar. Kami semua tidak pernah bertengkar dan selalu bermain bersama sama halnya dengan teman-teman SD-ku. Namun, semenjak lulus SD kami semua berpisah dan tidak pernah bertemu.

Beberapa hari kemudian, aku sempat menyukai seorang perempuan. Ia bernama Diana, murid kelas delapan. Ia selalu meminjami ponselnya padaku karena aku sangat menyukai permainan Subway Surf. Ia tidak cantik hanya saja memiliki senyum yang manis. Namun, pada waktu yang bersamaan, teman-temanku tahu bahwa aku nyaman bermain dengannya daripada bersama mereka. Beberapa hari kemudian, mereka menjauhiku dan mengatakan bahwa aku seorang banci, bencong dan perkataan lainnya yang seolah-olah bahwa aku seperti perempuan. Kata-kata itu membuatku bernostalgia saat aku di bangku sekolah dasar. Aku membenci mereka semua dan semua murid menyukaiku ketika aku di siksa oleh teman sebayaku.

Kakakku tidak pernah tinggal diam, ia selalu membelaku karena ia kelas sembilan. Salah satu senior yang paling ditakuti di sekolah tersebut. Jika ada yang memalak uangku, kakakku yang berani maju. Aku senang sekali ia memberiku kesempatan untuk bisa menikmati hidup di fase remaja. Namun, setelah ia lulus sebuah bencana datang menghampiriku lagi. Seperti mimpi buruk yang mencengkam, hampir setiap hari, aku menangis di kamar mandi, di kelas, di jalan pulang dan kadang di saat ku berdoa pada Tuhan.

Kasus pembulian di sekolahku semakin brutal dan semakin menjadi, banyak dari mereka yang membuatku depresi dan stres. Dari sekian banyak bulian yang kudapat. Hanya ada satu momen yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku, yaitu pada tanggal 12 April 2015 tepat hari ulang tahunku. Saat pulang sekolah, aku melihat Iqbal salah satu teman sekelasku yang suka membuliku, ia sedang pipis di dalam botol plastik dan ia pun terkejut ketika melihatku tak sengaja melihatnya. Aku berlari sekencang mungkin saat murid yang lain sudah pulang. Namun, aku di hadang saat di depan gerbang sekolah. Kedua tanganku di pegang begitu erat oleh kedua temanku. Lalu, Iqbal menyirami air kencingnya yang berwarna kuning ke atas rambutku kemudian mengalir air kencingnya ke wajahku dan membasahi pakaian baju kokoku yang berwarna ungu. Padahal baju koko tersebut adalah hadiah ulang tahun dari kakekku. Setelah menyiram air kencing, salah satu teman sekelasku menyerok air got yang berwarna hitam pekat di dekat gerbang sekolah. Ia menambahkan air tersebut dengan tertawa lepas, sedangkan aku hanya bisa tersenyum kecil dan merasa malu di lihat oleh semua orang. Tidak ada yang mengasihaniku, mereka semua menertawakanku seperti orang bodoh. Aku menundukkan kepalaku kemudian berlari meninggalkan mereka. Aku pergi ke belakang masjid dan membersihkan semua noda najis yang mereka berikan. Aku membasahi rambutku perlahan-lahan dengan tangisan isak yang tak tertahankan. Tidak ada yang menemaniku, hanya ada ingatan yang tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.

Setelah bersih-bersih, aku melangkah pulang. Namun, tidak ada satu pun angkutan umum yang membiarkanku naik karena mereka tidak ingin aku mengotori mobilnya dan membuat penumpang risih padaku. Sebelum waktu Jumat di mulai, aku berjalan kaki dengan wajah penuh tangisan kembali. Aku tidak tahu, aku tidak bisa lagi berkata. Aku terus melangkahkan kakiku dan menundukkan kepala. Perlahan-lahan aku sampai di rumah nenekku. Namun, aku tidak pernah bercerita padanya tentang teman-temanku. Ia akan sangat marah besar jika aku di jahati oleh orang-orang yang tidak bisa memberikanku makan dan uang. Keluargaku saja yang memberikanku kehidupan yang layak tidak berani seperti itu. Namun, mereka yang hanya teman sebayaku menggagapku seperti sampah. Aku juga tidak pernah bercerita kepada siapa pun karena akan memperpanjang situasi, sehingga untuk menghilangkan kesedihan, aku menulis di sebuah buku diari jika aku merasa tersakiti.

Di saat umurku 14 tahun, mamaku berhenti berkarir dan menikah dengan seorang pria berumur 30 tahun yang bernama Bandi. Pernikahan mereka tidak begitu mewah, hanya menggunakan tenda dan bangku seperti pernikahan sederhana lainnya. Pernikahan mereka berjalan begitu lancar. Namun, ayah tiriku sangat pasif dan tidak bisa menjadi ayah tiri yang baik. Ia hanya mencintai mamaku saja, ia tidak pernah bicara padaku atau keluargaku yang lain. Mamaku juga begitu egois, ia tidak mengajarkan suaminya untuk menjadi ayah yang baik untuk anak-anak tirinya. Mempunyai ayah tiri begitu sulit bagiku untuk beradaptasi begitu pun dengannya yang tidak bisa memperjuangkan dirinya untuk mendapatkan umpan balik dari keluargaku.

Di saat umurku 15 tahun, mamaku melahirkan dua anak kembar yang satu perempuan dan yang satu laki-laki. Mereka bernama Riska dan Riski. Ayah tiriku hanya sayang pada mereka berdua, begitu pun dengan mamaku. Mereka berdua egois, hanya memikirkan apa yang ada di hadapan mereka. Di saat adik tiriku Riska berumur enam bulan, nenekku ingin membunuhnya karena ia tidak menyukai Riska, ia hanya menyayangi cucu yang lain termasuk Riski. Hal ini terdengar gila tapi begitu lah, nenekku hanya resah dengan kehadiran cucu perempuan terakhir. Seminggu kemudian aku tidak pernah melihat Riska lagi dan hari terakhirku melihatnya ia sedang ditimang oleh mamaku. Aku tidak tahu Riska dimana, aku berharap di suatu tempat ia baik-baik saja.

Di umurku yang ke-16 tahun, om ku dipukuli warga karena ketahuan melakukan tindakan asusila terhadap anak kecil, sehingga ia dipenjara selama 15 tahun. Hal ini membuatku terkejut karena aku tidak menyangka ia bisa sekeji itu. Kejadian itu kulihat saat aku pulang sekolah sekitar jam 16.00 sore karena ada ekstrakurikuler di sekolah. Aku tidak menyangka, selama ini aku telah satu rumah dengan seorang pedofil untung saja kakak perempuan dan bangku tinggal di rumah mamaku. Setelah kejadian itu, aku sering melihat nenekku menangis dan malu melihat putranya seorang pedofil.

Di SMP, aku lebih menyukai belajar seni seperti menulis puisi, novel dan esai. Bahkan aku menyukai melukis abstrak atau naturalisme. Aku sangat menyukai beberapa karya terkenal milik Chairil Anwar dan WS Rendra. Mereka berdua membuat pikiranku terhanyut setiap kali aku membaca puisinya. Aku juga sering membaca banyak buku pelajaran, sains dan sastra lainnya, sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuanku. Selain itu, aku juga menciptakan karya pertamaku, yaitu berupa puisi tentang Arti Sebuah Kebahagiaan. Aku sangat menyayangi keluargaku walaupun tidak ada satu pun dari mereka yang peduli padaku setiap masalah berdatangan.

Masa pembulianku berakhir saat kelulusan SMP, aku mendapatkan nilai tertinggi di sekolah, sedangkan yang lain sangat jauh dari nilaiku. Aku mendapatkan peringkat satu berturut-turut dan masuk ke salah satu SMA Negeri yang terkenal akan banyak murid-murid cerdas. Aku meninggalkan teman-temanku yang pernah membuliku, sebagian dari mereka tidak lulus dan sebagiannya lagi masuk SMK swasta dengan biaya yang sangat mahal.

Perasaanku saat di nyatakan masuk tahun pertama di SMA dengan kebahagiaan, penuh senyum dan tak sabar mengenakan seragam putih abu-abu. Aku juga sudah berdamai dengan semua orang yang pernah membuliku walaupun aku tidak akan pernah melupakan rasa sakitnya menjadi korban. Di saat aku sedang berbahagia, kabar buruk datang dari mamaku. Ia akan bercerai dengan ayah tiriku, hal ini membuatku tidak bisa berkata apa-apalagi, Kebahagiaan itu tiba-tiba sirna dan hempas begitu saja. Ayah tiriku ternyata selama ini memiliki istri yang sah. Mamaku tidak tahu jika selama ini ia berbohong pada keluargaku. Hari pertama masuk di SMA harus kulewatkan dan menyaksikan perceraian mereka di depan keluargaku dan keluarga istri sahnya. Mamaku menampar ayah tiriku kemudian meludahi wajahnya dan berkata “Dasar brengsek.” Ini kedua kalinya mamaku menjadi seorang janda dan ibu tunggal yang menghidupi keempat anaknya. Di sekolah, aku menjadi anak yang aktif dan ceria. Aku berbaur dengan siapa saja karena teman sekelasku yang jurusan Bahasa memiliki satu pemikiran yang sama. Tahun pertamaku selesai dan tidak ada pembulian selama aku di sekolah. Namun, aku selalu menyembunyikan rasa kesedihanku ketika aku sedang tertawa. Teman-temanku tidak ada yang tahu bahwa aku akan broken home yang menyedihkan dengan segala permasalahan yang begitu banyak. Aku tidak ingin semua orang tahu kisahku sehingga aku hanya bisa berpura-pura menjadi orang lain dan mengejar prestasiku agar bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.

Tahun 2018, ekonomi keluargaku di ambang kehancuran. Mamaku memberikan hak asuh adik tiriku kepada orang lain begitu pun dengan Riska. Mereka berdua dititipkan dengan orang yang sama di tahun yang berbeda. Mantan suami dari mamaku tidak tahu bahwa adikku selama ini di jual karena mamaku tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk mereka berdua. Mamaku memutuskan memberikan hak asuhnya agar kedua adikku hidup bahagia.

Pertengahan tahun 2018, mamaku bekerja di sebuah kafe malam, sehingga banyak teman-temanku yang menganggap bahwa mamaku seorang kupu-kupu malam karena ia menafkahi keluarganya dari uang haram. Aku sangat malu sekali mendengar ucapan teman-temanku dari kelas lain. Namun, teman sekelasku tidak membenci atau pun malu memiliki teman sepertiku. Mereka menguatkanku untuk selalu tegar dan tidak perlu mendengar ucapan orang lain. Aku bangga dengan mamaku dan sangat menyayanginya.

Saat abangku menginjak usia 21 tahun, ia membuat keluargaku malu karena ia telah menghamili pacarnya yang masih duduk di bangku SMA. Mamaku menangis saat abangku membawa orang tua pacarnya bertemu mamaku. Mereka bertengkar hebat dan tidak percaya bahwa anak yang di kandung adalah anak dari abangku. Namun, abangku berterus terang dan berkata jujur ia pernah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya sekali tanpa menggunakan alat konrtrasepsi. Aku yang mendengar ucapan abangku langsung berlari sekencang mungkin dan pergi menuju laut dan berteriak sekencang mungkin. “Arghhhhh.”  Aku menangis sambil menatap senja di pinggir laut Jakarta Utara. Seketika pikiranku tenang dan selalu mengingat tempat ini akan menjadi tempat favoritku untuk meluapkan semua emosi yang sedang kurasakan.

Saat kelas 11 semester 2, mamaku menikah untuk ketiga kalinya begitu pun dengan abangku yang sudah menikah sebelum mamaku menikah. Keluargaku memang gila dan penuh plot twist. Aku bahagia melihat mamaku bahagia. Namun, aku paham dengan skenario Tuhan, Dia membenturkan hidupku agar aku bisa terbentuk.

Dua minggu kemudian setelah mamaku menikah, kakekku meninggal karena sakit paru-paru. Dokter bilang ia terkena kanker paru-paru akibat terlalu aktif merokok. Aku adalah saksi pertama yang melihat kakekku terjatuh dari kamar mandi dan memegang dadanya. Matanya terbuka lebar dan mulutnya terbuka. Saat itu, jam 02.00 dini hari, aku panik setengah mati kemudian berteriak memanggil nenekku yang juga sedang sakit. Tak lama kemudian, aku menelepon mamaku dan beberapa tanteku untuk datang. Namun, mereka datang di pagi hari. Hal ini membuatku kecewa karena tidak sempat membawa kakekku pergi ke rumah sakit.

Mamaku tinggal serumah dengan suami barunya yang jaraknya lumayan jauh begitu dengan abangku. Kakakku kuliah di luar kota, dan beberapa tanteku tinggal di luar kota Jakarta. Esok paginya mereka semua datang dan menangis tersedu-sedu. Semakin jauh membuatku tersadar bahwa tidak ada cinta yang begitu kuat jika kita tidak bersama dan menguatkan.

Pada bulan Maret 2019, nenekku meninggal karena sakit lambung, ia adalah orang terakhir yang mencintai dan meninggalkanku. Pada malam itu, aku benar-benar merasa kehilangan orang yang kucinta, belum sempat kumemberikan hadiah untuk mereka, yaitu pergi umrah. Namun, Tuhan memanggilnya begitu cepat. Aku benar-benar terpuruk dan pergi ke pantai tempatku melepas stres. Aku berteriak sangat kencang sampai suaraku serak karena dengan itulah aku bisa melepas beban yang ada di pikiranku.

Setelah lulus SMA pada pertengahan 2020, saat aku ingin mendaftar kuliah. Mamaku tidak mampu membiayai kuliahku karena ia ingin melahirkan seorang bayi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk mamaku. Aku menunda satu tahunku untuk tidak kuliah dan mulai mencari pekerjaan agar aku bisa mengumpulkan uang untuk kuliah seperti kakakku. Tahun depan ia lulus kuliah dan mencari pekerjaan. Ia berencana akan membiayai uang kuliahku jika aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku bersyukur memiliki kakak yang sangat baik tidak seperti abangku yang hanya membuat masalah. Setelah setahun lebih menikah, abangku mulai kasar kepada istrinya bahkan ia sering berselingkuh dengan wanita lain. Abangku memang bajingan seperti ayah kandungku.

Tahun 2020 akhir, abangku di penjara karena ketahuan melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, ia di penjara selama 10 tahun dan pembunuhan berencana dengan anak kandungnya sendiri. Dia benar-benar seorang psikopat dan manusia keji. Aku tidak pernah mendapatkan masalah atau membuat suatu masalah. Namun tidak membuat hidupku merasa tenang karena apabila masalah itu datang, mentalku semakin di adu, membuat pikiranku kacau, depresi bahkan selalu ingin menyakiti diriku sendiri.

Mamaku tidak peduli dengan abangku karena ia sudah lelah dengan semua masalah yang ada. Mulai saat itu, mamaku menjadi jahat, memikirkan dirinya sendiri dan tidak pernah mendengar apa yang ku katakan. Mamaku sering pergi mabuk dan pulang malam, ia sering meninggalkanku dan adikku untuk waktu yang begitu lama. Ia benar-benar jahat, begitu dengan ayah tiriku yang tidak pernah pulang selama enam bulan. Keluargaku diterpa dengan kemiskinan dan menjadi bahan omongan tetangga karena ulah mamaku. Banyak sebagian dari mereka yang memberitahuku bahwa mamaku seorang pekerja malam bukan mencari keberadaan ayah tiriku.

Aku sangat takut kepada mamaku yang selalu berkata bahasa binatang bahkan selalu membentak adikku yang masih kecil. Aku ingin pergi dari mamaku yang begitu kejam, aku tidak ingin melihat wajahnya. Apalagi, mendengar suaranya yang selalu membentakku dan adik kesayanganku. Adikku selalu menangis jika mamaku berkata kasar, terkadang teriakannya selalu membawaku ke dalam mimpi buruk. Aku takut ia menjadi gila dan membunuhku ketika aku sedang  tertidur.

Setiap malam, terkadang aku ingin bunuh diri karena aku tidak pernah merasakan arti sebuah kebahagiaan. Dari kecil, hanya ada rasa sedih yang selalu tersimpan di benakku. Tidak ada pilihan lain selain ingin menyakiti diriku sendiri. Suatu pagi, aku pernah mengambil pisau di dapur yang berwarna hijau, pisau itu sering kugunakan untuk memotong buah atau pun sayur. Setelah mengambil pisau, aku pergi ke kamar mandi dan ingin menyayat tangan kiriku. Aku ingin kematianku segera tiba daripada aku sengsara seperti ini. Aku ingin mati lebih cepat sebelum semua keluargaku mati, Aku tersiksa dengan semua keadaan, semua kepalsuan dan semua masalah yang tidak pernah ada habisnya. Tidak ada yang membuatku bertahan hidup tanpa sebuah iman, jika imanku goyah mungkin aku sudah menenggelamkan diriku di laut yang sering kutuju. Percobaan bunuh diriku gagal, saat aku berada di kamar mandi karena aku masih sayang dengan adik laki-laki kecilku. Ia masih ingin hidup dan bebas dari mamaku yang gila. Aku hanya butuh waktu untuk pergi dari rumah ini dan tinggal bersama kakakku di Bandung.

Hidup di Jakarta begitu keras dan kejam, aku tidak ingin berlama-lama tinggal di kota yang penuh dengan manusia bermuka dua, toxic, dan penuh kesedihan. Aku harus membuka lembaran hidup baru dengan adik dan kakakku. Aku sering bertukar pesan melalui Whatsapp dengan kakakku. Namun, pesanku tidak pernah dibaca olehnya karena jika sudah dibaca pasti akan centang biru. Aku masih ingat kejadian itu terjadi pada bulan Juni 2021, saat aku melepas pekerjaanku sebagai seorang kasir, aku berencana pergi diam-diam dengan adikku dan meninggalkan kota Jakarta dan mamaku selamanya. Kakakku bilang ia akan menunggu kedatanganku pada pukul 20.00 malam. Namun, saat aku bilang, aku telah sampai di sana. Tiba-tiba, pesanku tidak di baca. Malam itu membuatku takut karena aku membawa adiku yang masih berumur satu tahun lebih. Aku terus menelepon dan mengirim banyak pesan kepada kakakku. Namun, tidak pernah ada balasan darinya. Pada akhirnya, aku melapor pada polisi dan mengetahui bahwa kakakku telah meninggal karena mengalami kecelakaan di jalan menuju stasiun. Satu jam sebelum aku sampai, ia sudah dinyatakan meninggal. Malam itu adalah malam yang tidak akan pernah kulupakan untuk ke sekian kalinya. Aku menangis dan terus menangis tanpa henti. Air mata mengalir di pipiku, aku melihat jasad kakakku yang sudah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Aku menelepon mamaku. Namun, ia benar-benar tidak peduli dan mengusirku dari rumah. Aku bersumpah mamaku akan menyesal mengusirku dan adikku begitu pun dengan semua keluargaku. Aku bersumpah suatu saat nanti akan menjadi orang sukses dan hidup bahagia tanpa mereka.

Dua hari setelah kematian kakakku, aku menitipkan adikku ke ketiga tanteku. Namun, mereka semua menolak karena biaya hidup di Jakarta begitu besar. Aku berjanji pada semua tanteku, aku akan memberikan uang tiap bulan. Namun, mereka semua mengusirku dan tidak ingin melihat wajahku lagi karena mereka bilang keluargaku selalu menyusahkan. Aku merasa seperti sampah, tidak pernah di anggap oleh siapa pun. Hadirku membuat semua orang membenciku dan tidak ada kata cinta, kasih sayang atau kehidupan yang lebih baik. Aku selalu merasa tertekan dengan apa yang kurasakan. Beberapa keluarga sudah meninggal, semua temanku hanya datang dan pergi. Saat ini, hanya ada aku dan adik kesayanganku. Aku tidak ada jalan lain selain menitipkannya di panti asuhan. Aku meninggalkan adikku untuk sementara waktu. Dengan berat hati, aku harus pergi mencari pekerjaan di Jakarta.

Seminggu setelah menitipkan adikku di panti asuhan, aku kembali ke sana untuk melihat adik kesayanganku. Aku pergi ke Jakarta untuk menjenguk mamaku karena beliau sedang sakit keras. Aku hanya mengatakan kepadanya bahwa aku dan adik sedang baik-baik saja. Aku sudah memaafkan mamaku. Namun, aku tidak akan pernah kembali untuk tinggal bersamanya karena rasa trauma itu masih ada dibenakku.

Saat aku sampai di Kota Bandung, ibu panti asuhan memberikanku tempat tinggal untuk waktu yang begitu lama karena pemilik asuhan mempercayaiku memiliki kepribadian yang baik dan punya masa depan yang indah. Ia percaya bahwa aku bisa menjadi orang sukses kelak nanti. Di saat pembicaraanku dengannya, ia memberikanku secarik kertas beasiswa di Institut Teknologi Bandung. Aku sangat mencintai seni dan sastra,  aku ingin mengambil jurusan seni rupa atau sastra Indonesia karena dengan itulah aku bisa mengasah kemampuanku. Namun, ibu panti memberitahuku untuk mengambil jurusan arsitek karena jurusan tersebut berhubungan dengan seni juga.

Setelah memberitahuku, keesokan paginya aku bertemu dengan dekan bernama Pak Waluyo di Institut Teknologi Bandung. Orang Bandung itu sangat ramah dan penuh senyuman. Aku berbincang dengannya mengenai program beasiswa di kampus tersebut dan aku telah membawa berkasku berupa nilai yang sempurna dan beberapa prestasi dari tingkat nasional. Namun, saat ku memberikan berkasku padanya, ia hanya tertawa dan hal ini membuatku salah tingkah.

“Tristan, dengar ya! Yang mau daftar di ITB itu banyak dan dari sebagian mereka pintar sama seperti kamu. Untuk mendapatkan beasiswa S1 ini, kami hanya menerima lima orang saja. Pintar saja belum cukup, tapi kami ingin menerima sebuah esai dari calon mahasiswa. Kampus ingin sebuah cerita yang deep dan menyayat hati semua orang. Pengumpulan esai bapak tunggu minggu depan, jika kamu bisa menyelesaikan lebih cepat maka akan lebih baik.” Ucap Pak Waluyo.

Setelah berbincang dengannya, aku melangkah keluar dan memikirkan tentang penulisan esai. Aku sering menulis esai saat masih SMP. Namun, karyaku tidak pernah ku lomba kan karena aku tidak yakin bisa menjadi juara. Hanya Di SMA aku memenangkan lomba cerpen, cipta puisi dan melukis aliran abstrak dan naturalisme. Aku melihat banyak foto dinding kelulusan mahasiswa dan mahasiswi ITB, aku iri dengan mereka yang bisa kuliah. Aku tidak boleh menyerah, aku harus semangat dan mulai mencari inspirasi untuk penulisan esai agar aku bisa terima di kampus yang besar dan mewah tersebut.

Sepulang dari kampus ITB, aku mulai mengambil laptopku di tas kemudian membuka Microsoft Word. Di hadapanku hanya ada gambar putih dan aku mulai mengetik sesuatu. Namun, ku hapus kembali, aku berpikir sejenak menghadap langit-langit. Tiba-tiba, ide muncul di kepalaku, aku akan menuliskan kisah hidupku bersama keluargaku dari awal ku lahir dan semua masalah yang di hadapi keluargaku. Aku menuliskan kata demi kata dan menangisi masa laluku yang begitu menyedihkan. Sebuah kisah hidup yang membuatku merasa tertekan.

Setelah hampir empat jam aku membuat esai yang sangat menyedot air mataku. Aku memberi judul “Kisah Peliknya Anak Sebatang Kara Tanpa Sebuah Cinta dan Kasih Sayang Orang Tua.” Aku mulai mencetak karyaku dan membawanya esok pagi.

Keesokan paginya, aku berangkat ke ITB dan bertemu dengan dekan, Pak Waluyo. Aku memberikan berkasku sembari menceritakan kisah hidupku dari awal sampai sekarang. Hampir kurang lebih dua jam, kami saling bertukar cerita. Ia menangis terharu mendengar kisahku yang membuat otaknya mind blowing. Ia bilang ceritaku penuh dengan plot twist dan out of the box. Setelah berbincang dengan Pak Waluyo, ia memberikan esaiku pada Rektor ITB dan menunggu hasil keputusan dua minggu kemudian.

Pada bulan Agustus 2021, aku diterima kuliah di ITB dengan jurusan arsitek. Ibu panti sangat bahagia mendengar apa yang kuraih. Aku mendapatkan beasiswa penuh di ITB dengan syarat IPK tidak boleh turun. Aku bersyukur sekali bisa di terima dan akan menjadi seorang arsitek empat-lima tahun ke depan.

Selama aku kuliah, aku banyak sekali mendapatkan prestasi di bidang seni. Bahkan aku sudah di tawari bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum di Kota Bandung. Namun, aku ingin kembali ke Jakarta karena aku rindu dengan mamaku.

Setelah empat tahun kuliah, aku pergi ke Jakarta dan bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta. Aku mampir ke rumah mamaku. Namun, saat aku membuka pintu, betapa terkejutnya aku melihat mamaku sudah mengantung dirinya dengan lidah keluar dari mulutnya. Aku mencium aroma busuk dan bau minuman alkohol di kasurnya. Aku berteriak sekencang mungkin dan memanggil warga sekitar untuk datang. Meninggalnya mamaku membuatku terpuruk dan tekanan itu selalu datang padaku sampai aku sulit untuk bernapas. Semua keluargaku sudah pergi meninggalkanku lebih dulu, dua keluargaku yang lain di penjara. Hanya tersisa tiga tanteku dan keluarganya serta adikku. Aku pergi ke laut tempatku melepas stres. Aku ingin menenggelamkan diriku di laut. Namun, lagi dan lagi, aku selalu memikirkan adikku dan masa depanku. Pada akhirnya, aku hanya berteriak dari bibir pantai, aku membiarkan semua orang melihat diriku seperti orang gila. Aku menangis sekencang mungkin dan mulai mengambil napas perlahan-lahan.

Dua tahun kemudian, aku sudah memiliki rumah dan mengajak ibu panti dan adikku untuk tinggal bersamaku. Aku juga membangun panti asuhan di Jakarta dan mengajak anak-anak panti untuk tinggal di sana. Rumahku, ku desain hasil pemikiran ideku. Aku sudah bahagia sekarang bersama Bu Dwi selaku ibu Panti yang sudah kuanggap sebagak ibu kandungku dan adikku yang akan sekolah di bangku sekolah dasar.

Di umur ke – 27 tahun, aku belum memikirkan untuk menikah, aku hanya ingin membahagiakan Bu Dwi dan adikku karena mereka berdua adalah satu-satunya keluarga yang ku punya. Ceritaku belum berakhir. Namun, setiap masalah yang datang tidak pernah sesedih yang kurasakan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Rekomendasi