Disukai
5
Dilihat
1199
SURYA TAK MAU JADI MALIN
Drama

Hari ini Surya jadi anak nakal lagi. Surya ketahuan ambil roti stroberi di warung Bu Emil, dan Bunda yang diberi tahu benar-benar murka. Bunda benci anak durhaka.

Kamu tahu itu si Malin Kundang? Dia durhaka sama bundanya, dia dikutuk jadi batu! Jangankan makan, bergerak saja dia nggak bisa! Kamu, Surya sudah buat Bunda malu! Diam di luar sampai kamu kapok! Buat malu saja kamu bisanya! Anak nggak guna!

 Wajah marah Bunda mengerikan, apalagi suaranya yang menggelegar dan kata-katanya yang menusuk. Surya cuma bisa menunduk meskipun sesekali curi pandang, mencoba lihat wajah Bunda-nya. Meski terlihat marah, yang Surya tangkap adalah lingkaran hitam bawah mata Bunda yang makin parah, juga pipi tirusnya. Bunda pasti lelah. Baru pulang, sudah dapat aduan dari Bu Emil. Itu salah Surya. Coba saja dia bisa tahan dua jam lagi sampai Bunda datang. Coba saja dia diam menunggu di rumah. Cuma tinggal dua jam lagi dia tahan lapar di perut, dia tak perlu dihukum Bunda seperti sekarang. Coba dia tahan nafsunya buat ambil roti stroberi yang nampak lezat, membuat liurnya menetes. Coba saja Surya tahan, dia tak perlu duduk di luar rumah, memeluk lutut menghalau dingin udara malam bekas hujan.

Surya menatap langit malam. Gelap, hitam. Tak ada bintang-bintang. Coba saja ada bintang, dia bisa habiskan waktu. Membuat pola-pola dari gugusan bintang itu. Bangunan, hewan, tumbuhan, wajah orang-orang. Atau wajah cerah Bunda yang amat langka.

Di luar sepi, entah jam berapa sekarang. Surya tak punya jam tangan, jadi dia tak tahu pasti. Mungkin masih pukul tujuh, atau pukul sepuluh, atau bahkan pukul satu. Yang jelas di luar sepi, tapi mungkin juga karena habis hujan. Atau mungkin memang karena rumah kecil mereka berada di pojok kompleks yang agak jauh dari tetangga lain jadi jarang orang lalu lalang di depan rumah. Jadi, Surya hanya satu-satunya manusia di luar saat itu.

Surya melihat sekeliling. Ada barisan semut beriringan yang keluar dari lubang kecil di lantai. Mereka berjalan ke dinding, masuk ke dalam celah yang tak kalah kecilnya. Surya ingat, saat hujan kadang sarang semut kena banjir dan mereka harus mengungsi. Semut yang banyak itu cuma punya satu ibu yang disebut Ratu, bukan Ibuk, Bunda, Mama atau Ummi. Meskipun mereka banyak, mereka semua berbakti pada Ratu, ibu mereka. Ratu akan didahulukan saat mengungsi, dijauhkan dan dilindungi dari makhluk atau semut lain yang bisa mengancam si Ratu. Benar-benar anak yang berbakti semut-semut itu. Mungkin Surya harus belajar dari semut-semut. Tapi semut-semut tak bicara, mereka hanya lewat terburu-buru.

Surya memeluk lututnya lebih erat saat angin malam menerpa tubuhnya. Dingin. Dia menghitung semut-semut karena bintang tak ada malam itu.

Jarum jam yang pendek menunjuk angka dua saat Bunda bukakan pintu buat Surya dan menyuruhnya segera tidur. Wajah Bunda agak bengkak, ada garis-garis bekas seperti orang bangun tidur, matanya juga agak merah dan redup. Beberapa kali Bunda menguap, wajahnya masih suram, namun Surya lega karena Bunda tak bilang apa-apa. Meski Surya sempat tidur di luar sampai semut-semut selesai mengungsi ke sarang baru mereka, kasur tipis di kamarnya tetaplah yang terbaik. Hangat, Surya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

*

“Ayo main jungkat-jungkir, Sur!”

Nando mengajaknya penuh semangat, menarik tangan Surya untuk mendekati jungkat-jungkit yang ada di halaman sekolah. Surya diam saja tapi dia ikut. Surya dan Nando bergantian naik turun, ke atas dan ke bawah. Nando tertawa-tawa, kadang Surya ikut tertawa juga. Namun ia tak yakin apakah ia suka main jungkat-jungkit atau tidak.

Bunda mirip jungkat-jungkit. Bersama Bunda, Surya serasa main jungkat-jungkit yang jaraknya amat tinggi dari tanah. Saat papan jungkat-jungkit yang didudukinya di atas dan kakinya tak menjangkau tanah, Surya bergidik, takut jatuh. Dia ingin segera turun tapi tak bisa. Jika dia melompat ia pasti celaka, luka-luka. Jadilah Surya hanya bisa diam saja dengan papan jungkat-jungkit yang naik tinggi, menggigit bibirnya sampai tak terasa luka dan berdarah. Begitu juga saat papan jungkat-jungkit itu melesat dengan cepatnya ke bawah, Surya hanya bisa pegangan kuat-kuat namun sama sekali tak menutup mata. Baru ketika kakinya menapak tanah, berada di bawah, hatinya merasa lega. Setidaknya untuk beberapa saat Surya bisa menghirup napas dengan tenang. Meskipun nyatanya ia tak benar-benar lega. Jika papan jungkat-jungkit itu di bawah, maka Surya harus siap untuk melesat lagi ke atas. Terlalu lama jungkat-jungkit itu di bawah, Surya makin gelisah.

Pulang sekolah Surya merasa tubuhnya lemas sekali, napasnya juga susah ia ambil tak seperti biasanya. Dia berjalan pelan, agak terhuyung dari sekolah ke rumah. Untung jaraknya tak terlalu jauh, namun rasanya seperti perjalanannya dua kali dari yang biasa ia tempuh. Di rumah, Bunda belum pulang. Bunda baru pulang jam tujuh malam setelah pekerjaannya selesai. Di meja makan masih ada piring-piring, gelas dan sendok bekas sarapan Bunda tadi pagi. Ada juga mangkok dengan lauk yang isinya tinggal setengah, jatah makan Surya. Di penanak nasi juga masih ada nasi yang dimasak Surya semalam, sebelum Bunda mengurungnya di luar. Bunda tak pernah masak, kecuali untuk minum teh, susu atau kopi. Bunda biasa membawa makanan dari tempat kerjanya, dibawa pulang agar tak mubadzir katanya. Surya senang saja bisa makan lauk beda-beda tiap hari, kasihan dengar cerita temannya yang justru bosan karena lauk tempe tahu terus yang dibuat ibunya. Meski dalam hati ia iri dengan bekal yang biasa dibawa temannya ke sekolah yang kata mereka dibuatkan ibunya.

Surya merebahkan tubuhnya, tak kuat untuk membereskan bekas sarapan Bunda di meja makan atau menyapu seisi rumah seperti yang biasa ia lakukan. Surya bahkan tak bernafsu untuk melahap separuh ayam laos yang disisakan Bunda. Kepalanya terasa pusing sekali.

*

Surya terbangun dengan sebuah handuk kecil yang basah di kepala, terasa dingin handuk itu. Sepertinya sudah malam karena lampu-lampu di rumah dinyalakan. Surya keluar kamar, melihat Bunda sedang asyik makan keripik sambil menonton sesuatu dari layar HP, tertawa-tawa. Bunda menoleh ke arah Surya.

“Makan dulu, baru minum obat. Itu di meja.”

Singkat saja dan Bunda sibuk kembali dengan HP-nya, tertawa dan senyum-senyum sendiri. Surya patuh. Badannya terasa lebih baik meskipun ia sangat lapar. Surya mengambil lauk dan nasi, duduk di kursi, melirik Bunda. Ingin sekali ia jadi benda berbentuk persegi yang berhasil ambil perhatian Bunda itu.

*

Bunda seperti jungkat-jungkit. Atau mungkin juga seperti roller coaster.

Mulut Surya menganga melihat kereta roller coaster yang melesat di depannya. Salah satu roller coaster sederhana yang ada di pasar malam, yang antriannya panjang sekali. Surya memperhatikan roller coaster lekat. Keretanya melaju dengan kecepatan yang berbeda-beda tiap ada tanjakan, belokan, atau turunan. Di tanjakan, kereta akan berjalan pelan meniti relnya perlahan. Di tanjakan pula Surya bisa melihat orang yang ada di dalam kereta itu makin tegang wajahnya ketika kereta berjalan makin tinggi di tanjakan. Surya antusias, perasaannya campur aduk. Nampak perasaan itu begitu familiar baginya. Begitu sampai di puncak, kereta berjalan pelan lalu langsung melesat secepat kilat di turunan, teriakan penumpangnya terdengar nyaring. Ada yang takut, ada yang senang, ada yang tertawa-tawa, ada yang pejamkan mata. Surya berandai-andai, jika di sana, mungkin dia akan berteriak tanpa pejamkan mata.

Hari itu tanggal 30, akhir bulan. Bunda mengajak Surya ke pasar malam. Bunda belikan Surya jajanan, juga mainan. Surya dibolehkan main mobil-mobilan, Bunda merekam Surya yang tertawa-tawa. Malam itu Bunda juga beli jajanan untuk dirinya sendiri, berfoto dengan HP nya, berpose dan tersenyum manis. Malam minggu hari itu, pasar malam benar-benar ramai. Surya sangat senang. Inilah ketika Bunda bersikap baik, hangat dan manis.

Bunda menggandeng tangannya, mengajaknya untuk mencoba baju-baju yang dijual di beberapa tenda yang ada di pasar malam. Tangan Bunda terasa hangat di genggaman Surya. Tangan Bunda penuh menggenggam telapak Surya yang kecil, membuatnya merasa aman. Mereka bergantian mencoba baju, jaket juga topi. Bunda memasangkan topi yang lucu-lucu ke kepala Surya. Ada yang berbentuk telinga hewan seperti kucing, kelinci, koala dan macan. Ada juga topi bulu-bulu yang membuat Surya bersin-bersin. Ada juga topi berbentuk kerucut seperti topi bayi yang warna-warni. Yang paling Surya suka adalah topi biasa, berwarna merah tua polos, topi yang mirip dipakai Ayah dulu. Topi warna merah yang dilihat Surya terakhir kali saat Ayah pergi dari rumah, diiringi dengan teriakan dan tangisan Bunda. Tapi topi merah tua yang biasa itu Surya sembunyikan. Bunda tak boleh melihatnya. Bunda bisa marah lagi. Setidaknya di pasar malam hari itu Surya ingin bersama Bunda yang manis.

Lelah berkeliling, Bunda mengajak Surya naik bianglala. Bianglala itu megah dan meriah. Ada lampu warna-warni berkelip, berganti warna tiap menit. Bagus sekali. Surya memang ingin naik itu. Biarlah Bunda melarangnya naik roller coaster, bianglala ini sudah sangat cukup.

Berada di dalam bianglala terasa seperti berada dalam sangkar. Surya sempat melihat ‘sangkar’ lain yang naik sebelum mereka. Tampak ibu, ayah dan anak perempuan yang mungkin seumuran Surya di dalamnya. Mereka tertawa-tawa. Si anak perempuan makan gulali yang coba direbut ayahnya, menggodanya. Surya melirik Bunda. Bunda perhatikan mereka juga. Tiket bianglala sudah dibeli. Surya dan Bunda masuk ke dalam ‘sangkar'. Di dalam, Surya menyedot susu stroberi yang dibelikan Bunda sambil melihat pemandangan di luar bianglala. Orang-orang tampak kecil, lampu-lampu kota terlihat indah. Surya terpikat. Perhatiannya seluruhnya fokus pada pemandangan itu. Dia lupa pada Bunda di sebelahnya. Lupa juga dengan keluarga kecil tadi di ‘sangkar’ mereka, tampak bahagia.

Keluar dari bianglala, Bunda tak lagi menggandeng Surya. Surya hampir tertinggal, berusaha mengejar Bunda yang jalannya cepat di depan. Tangan Surya penuh, membawa dua kantong plastik isi mainan dan jajanan. Pasar malam makin ramai. Kebanyakan yang datang orang-orang dengan pasangannya, menikmati kencan mereka. Bunda makin cepat melangkah.

“Bunda!”

Surya berseru, keras. Ia tersandung dan jatuh, lutut dan sikunya menggesek tanah berbatu. Perih. Bunda menoleh. Orang-orang melihat mereka. Bunda melihat orang-orang. Wajah Bunda merah. Jantung Surya berdegup kencang. Buru-buru ia berdiri, Lutut dan sikunya berdarah. Bunda menggenggam tangannya, menyeretnya pergi dari situ. Pergi dari orang-orang yang melihat.

“Kamu ini! Jalan yang bener makanya! Ini dibuang saja, buat kamu lama jalan! Ayo pulang!”

Bunda merebut plastik mainan Surya, membiarkan plastik satunya yang berisi jajanan. Bunda membuang plastik itu ke tempat sampah. Surya menangis, tak rela mainannya dibuang. Lutut dan sikunya yang luka makin perih terasa. Wajah Bunda makin merah.

“Anak tak tahu diuntung! Anak setan!” Suara Bunda ditahan, tapi terdengar seram sekali. Surya langsung diam, namun terlambat. Bunda menyeretnya pulang, lebih cepat bahkan Surya hampir tak menapak. Di jalan motor Bunda ngebut, menuju rumah mereka yang ada di pojokan kompleks. Rumah yang hampir terpencil itu.

Sampai rumah, Bunda menyeret Surya lagi. Surya menangis, kini karena ketakutan, memohon-mohon. Pintu rumah ditutup, Surya dilempar ke lantai. Mata Bunda melotot, urat-urat di wajahnya terlihat, juga di lehernya, nampak hijau dan besar seperti sulur-sulur tanaman.

Malam itu Surya jadi anak nakal lagi. Surya belum berhasil jadi tak durhaka. Sekarang pintu rumah ditutup, Surya juga tak disuruh keluar. Tapi Surya takut, tangan Bunda sudah siap. Lebih baik ia menghitung semut atau bintang-bintang di luar. Surya lihat dari bianglala tadi malam ini penuh bintang-bintang. Sampai pagi di luar bersama bintang-bintang itu sungguh lebih baik daripada cubitan atau pukulan Bunda. Tapi terlambat.

“Gara-gara anak macam kamu, Ayahmu pergi dari rumah! Gara-gara kamu, anak setan!”

Luka di lutut dan siku Surya tak terasa lagi.

*

Saat ditanya di sekolah siapa orang yang paling dicintai?

Bunda!

Jawab Surya mantap. Meski bekas-bekas hukuman Bunda masih nyeri di lengan, punggung dan pahanya, yang dari luar tak kelihatan karena tertutup baju, Bunda adalah satu-satunya manusia yang paling dicintai Surya. Meskipun bekas hukuman bunda nantinya akan berubah dari ungu ke hitam, berbentuk lingkaran tak sempurna di sekujur tubuhnya, Bunda adalah cinta bagi Surya. Bunda yang jika marah amat seram, dengan mata melotot, wajah memerah, urat nadi yang menonjol di wajah hingga lehernya. Bunda tak meninggalkan Surya seperti Ayah. Bunda tetap pulang jam delapan malam, atau kadang lebih malam sedikit, tapi Bunda tetap pulang. Bunda juga tetap ada di rumah saat Surya bangun, biasanya masih tidur saat Surya sarapan dan berangkat sekolah. Bunda tetap pulang membawa makanan, meski Surya harus menahan lapar beberapa jam. Tapi Bunda tetap ada.

Kata Bu Guru cinta itu adalah kehadiran. Cinta adalah yang menyediakan. Cinta yang menyekolahkan. Cinta yang memberi makan, membuat perut kenyang. Jadi, Bunda pastilah cinta. Ayah bukanlah cinta. Ayah hadir sebentar lalu memberi luka pada Bunda, meskipun kata Bunda gara-gara Surya-lah Ayah pergi. Katanya Ayah tak kuat beri makan satu manusia lagi. Mungkin Surya makan terlalu banyak, makanya Bunda bilang Ayah pergi karenanya. Ayah katanya juga dari dulu tak pernah mau punya anak, maka kelahiran Surya memang jadi beban buat Ayah. Maka Ayah pergi. Padahal katanya dulu Ayah cinta Bunda. Namun cinta Ayah berubah gara-gara Surya. Kadang Surya bingung, padahal cinta katanya kehadiran. Berarti sejak awal, Ayah bukan cinta. Karena Ayah pergi meninggalkan Bunda. Hanya Bunda-lah cinta itu.

Meski Bunda tak bisa ditebak. Kadang manis, kadang penuh amarah, kadang begitu dingin, kadang sangat perhatian. Seperti hari itu, ketika pulang kerja Bunda memeluk Surya dan memberikan Surya permen berbentuk bulat yang besar, warna-warni. Mata Bunda menatap Surya lekat, mengelus lengan Surya yang kena cubit sebelumnya, membuat Surya mengaduh sedikit. Bunda memeluk Surya lagi dan berbisik.

“Maaf, Surya. Jangan marah sama Bunda ya. Cuma Surya yang Bunda punya.”

Lalu Bunda mengoles salep di lengan, punggung dan paha Surya. Lembut sekali. Permen yang disesap Surya amat manis, seperti Bunda sekarang. Andai saja superhero yang diceritakan Nando itu ada, superhero yang bisa hentikan waktu, Surya ingin waktu berhenti sebentar saja.

Di hari-hari lainnya Bunda bisa amat mengerikan. Surya salah sedikit saja, omel dan cambukan sabuk mendarat di badannya. Namun yang lebih menyakitkan adalah kata-kata yang keluar dari Bunda, yang tak pernah bisa Surya hapus dari kepalanya. Kata-kata bahwa ia anak durhaka. Kata-kata bahwa Ayah pergi karenanya.

 Surya sudah membuat Bunda susah, bahkan sebelum ia bisa bicara karena Ayah tak menghendakinya. Apa Surya memang ditakdirkan jadi anak durhaka? Apa Surya sebenarnya lebih durhaka dari Malin Kundang yang dikutuk jadi batu dan akhirnya kelaparan terus itu?

*

Seminggu ini, Bunda aneh. Bunda jadi baik dan hangat pada Surya. Selama seminggu, Bunda tak pernah marah. Bahkan ketika Surya tak sengaja mengompoli kasurnya, Bunda hanya menghela napas sebentar lalu menyuruh Surya untuk mengurus kasurnya sendiri. Biasanya Bunda akan keluar tanduknya, mencubit lengan atau pahanya, kadang menyiramnya di kamar mandi dengan air dingin keras-keras. Ditambahi omelan bahwa Surya adalah anak durhaka yang tak berhak masuk surga karena mengompol. Karena ompolannya itulah Ayah pergi, karena Surya memalukan dan menyusahkan seperti bayi. Namun kali ini Bunda terlihat tak terlalu terganggu.

Surya sadari, Bunda sering pulang agak malam. Jam sepuluh, kadang jam dua belas. Surya di rumah hanya bisa menunggu dengan perut lapar, takut jika ternyata Bunda tak akan pulang seperti Ayah. Namun Bunda tetap pulang, meski terlambat.

Seminggu ini Bunda tak hanya pulang bawa makanan sisa dari resto tempatnya kerja, kadang Bunda bawa martabak, terang bulan, risol, atau jajanan lainnya. Bunda juga lebih sering di ponselnya, senyumnya makin lebar. Kadang berbicara dengan seseorang di seberang, lewat telepon.

Bunda juga nampak berdandan lebih dari biasanya. Rambutnya rapi dan wangi. Bibirnya selalu berwarna, entah merah atau pink. Pipinya juga. Bunda jadi lebih cantik dan segar dari biasanya. Bunda berangkat kerja tanpa membawa motor, dibiarkannya motornya di rumah.

Pukul dua belas, Surya sengaja tidak tidur, menanti kedatangan Bunda. Terdengar suara motor sampai di depan rumah Surya. Surya menyingkap tirai, mengintip. Nampak Bunda turun dari motor. Di motor ada seorang pria, membuka helm, tersenyum manis pada Bunda. Surya tak bisa melihat wajah Bunda. Pria itu dan Bunda berbincang sejenak, lalu Bunda berjalan ke arah pintu rumah. Sang pria belum juga pulang, masih memperhatikan Bunda. Bunda sesekali menoleh ke pria itu sambil melambaikan tangannya. Bunda sampai di pintu, Surya ingin menyambutnya sekaligus bertanya siapa pria itu.

Bunda terkejut dengan kehadiran Surya, cepat-cepat menutup pintu sedikit dan menoleh ke arah si pria tak dikenal.

“Ada apa, Ra?” Suara pria itu terdengar.

“Nggak, apa. Yaudah kamu pulang sana.”

Bunda mendorong Surya masuk, menghalangi Surya dari luar.

“Iya, iya. Besok kuantar lagi ya, nggak perlu bawa motor.”

Pria itu menyalakan motor lalu pergi. Bunda masuk ke dalam, menatap Surya kesal.

“Kamu ngapain saja, kok belum tidur?”

“Itu siapa, Bunda?”

Mata Bunda melotot. “Bukan siapa-siapa! Sudah, sana tidur! Bunda capek! Lain kali kalau Bunda pulang kayak sekarang, jangan berdiri di depan pintu! Menghalangi jalan!”

Malam-malam setelahnya, Bunda terus pulang bersama pria itu. Surya mencoba untuk tidak tidur, menunggu Bunda di ruang tamu, namun Bunda marah luar biasa. Surya dicubit keras-keras, Bunda tak peduli akan tangisan Surya, justru makin marah dan menyabetnya dengan sabuk. Bunda marah karena Surya tak mau menurut. Anak yang tak menurut adalah anak durhaka. Surya akhirnya memilih diam di kamarnya, tak mau durhaka pada Bunda.

Hari Minggu. Surya sendirian di rumah, di luar hujan sehingga ia tak bisa main di luar bersama teman kompleksnya. Udara hari itu lebih dingin dari biasanya, Surya yang di rumah memakai jaket karena tak tahan dingin yang datang dari luar, merayap menyusup masuk ke dalam rumah. Rumah terasa sepi, Bunda pergi dari pagi. Bunda pergi dengan baju yang rapi, wajahnya cantik penuh polesan dan warna di bibir, pipi dan kelopak matanya. Surya tak boleh ikut, ke ruang tamu juga dilarang saat Bunda dijemput oleh pria yang sama, pria yang mengantarnya selama sebulanan ini.

Hujan turun deras, Surya memainkan mobil-mobilan di ruang tamu saat Bunda datang, membuka pintu rumah. Bajunya sudah agak basah, begitu juga dengan rambutnya. Bunda terburu-buru, mendorong Surya untuk masuk ke kamar, melarangnya keluar.

“Kamu diam di kamar ya, jangan keluar sampai Bunda suruh.”

Suara Bunda setengah berbisik. Surya bisa mendengar suara orang lain dari ruang tamu. Suara laki-laki.

“Kenapa, Bunda? Kalau aku kebelet gimana? Masa nggak boleh ke kamar mandi juga?”

“Sudah, nggak usah banyak tanya. Pokoknya jangan keluar. Awas kamu nggak nurut, Bunda hukum nanti.” Sebelum Bunda menutup pintu kamar, Bunda memberikan Surya sekantong plastik penuh jajanan. “Jangan keluar! Tetap di kamar!”

*

Lama, Surya tetap di kamar. Sekantung plastik jajanan dari Bunda habis, menyisakan bungkusan-bungkusan yang ia tumpuk di atas meja belajarnya. Setelah jajanannya habis, kandung kemihnya terasa penuh. Ia kebelet pipis. Tapi ia dilarang keluar oleh Bunda. Padahal kamar mandinya ada tepat di depan kamarnya.

Surya menempelkan telinga ke pintu. Di luar masih hujan, suara hujan begitu berisik hingga Surya tak bisa dengar sepenuhnya apa yang sedang dibicarakan Bunda dengan laki-laki itu. Hanya sepatah dua kata, namun yang jelas ketika mereka berdua tertawa, Surya bisa mendengarnya. Surya penasaran dengan siapa Bunda bicara sampai tertawa begitu kerasnya. Surya penasaran kenapa ia tak boleh keluar kamar. Padahal ini rumahnya dan Surya juga sedang tak dihukum. Kenapa Surya harus di dalam kamar terus? Terlebih sekarang ia harus ke kamar mandi. Bunda pasti akan sangat marah jika tahu ia mengompol lagi.

Surya galau. Lebih baik dimarahi karena mengompol atau karena keluar kamar agar tak mengompol? Kalau dia mengompol, celana dan kamarnya akan bau dan kotor. Belum lagi teringat wajah Bunda yang begitu seram jika ia mengompol. Lebih baik keluar dan dimarahi daripada mengompol. Lagipula, ia amat penasaran dengan tamu yang sedang ditemui Bunda sekarang. Kata Bu Guru, sebagai anak yang baik kita harus menghormati tamu kan? Anak baik tentu bukan anak durhaka.

Surya memutar kenop dan membuka pintu pelan-pelan. Nyatanya ia lebih penasaran dengan tamu Bunda, karena ia tidak langsung pergi ke kamar mandi. Surya justru berjalan mendekat ke ruang tamu, melihat Bunda mengobrol dengan amat ceria dengan seorang pria.

Surya kenal pria itu. Pria yang biasa mengantar Bunda malam-malam. Mereka berbincang dengan amat seru. Aneh rasanya melihat Bunda berekspresi dan bersuara begitu. Apa biasanya cara bicara Bunda begitu?

“Bunda ... ”

Reflek Surya bicara. Kedua orang dewasa di ruang tamu menoleh bersamaan. Sang pria melihat Surya terkejut, lalu melihat ke arah Bunda seakan minta penjelasan. Bunda menatap Surya, lebih terkejut lagi. Bunda menatap Surya dan sang pria bergantian, tapi jelas yang dipedulikan lebih pada pria itu.

*

Dingin sekali malam itu. Hujan masih turun deras. Hujan angin malam itu, membuat hujan benar-benar membasahi semuanya. Jendela rumah yang terbuka sedikit berhasil meloloskan air hujan ke kursi dan sofa dalam rumah. Surya yang meringkuk di depan pintu rumah basah kuyup, merapatkan kedua lututnya. Giginya bergemeretuk, badannya gemetar, menggigil.

“Maafkan Surya, Bunda ... ” lirih dia bicara, entah pada siapa. Suara hujan meredam suara lainnya. Pintu rumah tertutup, jelas Bunda tak dengar satu katapun dari bibir Surya.

“Surya janji nurut sama Bunda ... ”

Semut-semut nampak lagi dari lubang kecil di dinding.Sepertinya rumah ungsian mereka kena banjir lagi. Semut-semut itu merayap berbaris rapi berjalan menuju celah lain di dinding, membawa sesuatu kecil berwarna putih, telur-telur mereka. Ratu semut pasti sudah lebih dulu sampai di sarang baru mereka.

Seluruh badan Surya nyeri dan sakit. Tangan, kaki, punggung, juga wajahnya. Hawa dingin membuatnya merasa ngilu di bekas pukulan dan cambukan sabuk dari Bunda. Kali ini Surya bingung dengan kesalahannya. Dia dipukul karena tak menurut, tapi amarah Bunda lebih dari itu. Setelah tamu Bunda pulang, Bunda berteriak dan memarahinya habis-habisan. Bunda bilang bahwa Surya cuma bisa buat malu. Surya beban untuk Bunda. Surya seharusnya tak ada saja. Bunda menyeret Surya ke kamar mandi, menyiramnya dengan air dingin. Bunda memukulnya, namun tangis Bunda juga sama kerasnya dengan Surya. Itu bukan tangisan karena telah memukul Surya, karena Bunda tak berhenti sama sekali. Setelah lelah, Bunda menyeret Surya dan melemparnya ke halaman rumah. Pintu ditutup keras-keras.

Di halaman, Surya berusaha merapatkan terus jaketnya yang basah. Ia melihat semut-semut lagi. Menghitung semut-semut yang nampak buru-buru itu. Mereka rapi, tak keluar dari barisan sama sekali. Amat menuruti perintah Ratu, ibu mereka. Pastilah tak ada Malin di antara semut-semut itu. Pastilah mereka bukan anak durhaka.

Badan Surya terus menggigil, kini makin hebat. Sakit dan nyeri tak terasa lagi. Sebelum dingin tak lagi mengganggunya, Surya sempat mengucap, lebih lirih dari yang tadi.

“Bunda ... Surya tak mau jadi Malin ... maaf ...”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Surya apakah kamu masih hidup? Jika iya, bertahanlah.
Sebentar lagi kebahagiaan akan merangkulmu.
Rekomendasi