Disukai
0
Dilihat
439
Kota Yang Tak Pernah Subuh
Drama

Jam digital di perempatan menunjukan 04:02. Angka merahnya berpendar di udara lembab, menempel di kabut seperti tato yang tak bisa dihapus.

Sudah tiga hari, waktu di kota ini tidak bergeser. Tiga hari tanpa subuh, tanpa burung, tanpa bayangan matahari. Namun mesin-mesin masih berdengung. Lalu lintas masih lewat perlahan. Orang-orang masih membuka toko, menyalakan radio, menyapa dengan wajah yang tak benar-benar sadar.

Angin membawa aroma debu dan roti setengah matang. Udara terasa menggantung, berat, napas yang tertahan di tenggorokan kota.

Di ujung jalan, Kedai 24 Jam “Amerta” berdiri dengan lampu neon yang berkelip, huruf “A”-nya sudah mati. Hanya tinggal “merta”. Kata yang terasa terlalu tepat untuk keadaan seperti ini.

Di dalamnya, Nara menuang air panas ke cangkir-cangkir kosong. Ia tidak menghitung waktu lagi. Televisi di pojok menayangkan berita yang sama seperti kemarin. Penyiar yang sama, dengan kalimat yang persis:

“Fenomena waktu stagnan masih menjadi misteri. Pemerintah meminta masyarakat tetap tenang.”

Nara mendengarkan separuh. Separuh lagi tenggelam di pikirannya sendiri. Di meja, ada tumpukan struk kosong. Setiap kali tak ada pelanggan, ia menulis sesuatu di belakangnya: potongan kalimat, dialog, kadang doa. Kebiasaanya dulu waktu masih ingin jadi penulis.

Di luar, jalanan tampak seperti film yang diputar ulang. Motor-motor melintas dengan kecepatan sama. Asapnya tak pernah benar-benar hilang, hanya mengambang di udara. Lampu lalu lintas berganti warna tanpa makna.

“Kalau waktu berhenti, apa artinya hidup tetap berjalan?”

Nara menulis itu di balik struk terakhirnya.

Jam di dinding kedai berdetak, tapi jarumnya tak bergerak. Suara tik… tik… tik… itu menggema pelan, seperti gema napas kota yang enggan mati.

Lalu, pintu kaca berdering pelan. Seseorang masuk, jaket basah, helm di tangan, mata sembab karena kurang tidur. Arman, pelanggan tetap setiap dini hari. Ia menyapa,

“Masih empat lewat dua, ya?”

Nara menatap jam. Senyumnya tipis.

“Sepertinya… memang selamanya begitu.”

Kopi selalu diseduh dengan cara yang sama: sendok teh pertama untuk gula, kedua untuk aduk, ketiga untuk alasan agar tangan tetap sibuk. Nara melakukannya tanpa berpikir. Arman duduk di kursi ujung dekat jendela, tempat ia selalu duduk. Dari situ, ia bisa melihat langit yang tak berubah, abu-abu tua dengan garis oranye samar, seperti lukisan yang belum selesai.

“Motor lo masih nyala?” tanya Nara.

Arman mengangguk pelan. “Nyala. Mesin masih panas, tapi bensin gak berkurang. Kayak jalan di mimpi.”

Ia menatap luar, ke arah jalan yang sepi tapi terus berdengung. “Kadang ada mobil lewat. Plat nomornya sama, orangnya juga sama. Balik lagi, lagi, lagi. Gak tau dari mana.”

Nara mengangkat bahu, mengambil kain lap. “Kemarin ada yang bilang waktu rusak karena manusia gak bisa berhenti kerja,” katanya. “Lucu juga, ya? Dunia minta istirahat tapi kita malah panik.”

Arman tertawa tanpa suara. “Kamu ngomong kayak di radio malam.”

“Emang dulu pernah siaran,” jawab Nara enteng. “Cuma suara latar buat orang susah tidur.”

Sunyi turun lagi, pelan tapi menekan. Di luar jendela, neon toko sebelah memantul di kaca, warna biru kehijauan, menulis kata ‘Terbuka’ yang tak berarti. Udara dingin menyusup lewat celah pintu.

Arman menatap jam digital di atas meja kasir. Angka merah itu masih menunjukkan 04:02. “Anakku meninggal jam segitu,” katanya tiba-tiba.

Suara itu datar, tanpa getar dramatis. “Mobil tabrakan di flyover, dini hari. Aku yang nyuruh dia pulang cepat karena hujan. Sekarang tiap malam jam segitu aku keluar nyari penumpang… entah kenapa malah berhenti di sini.”

Nara berhenti mengelap meja. Kopi di teko kecil mulai menetes pelan. Ia menatap jendela yang berembun. “Kalau waktu berhenti, mungkin itu cara Tuhan biar kita gak perlu nambah kehilangan.”

Arman mengangguk, tapi matanya kosong. Di luar, kabut menebal. Lampu jalan bergetar pelan, seperti menahan napas.

“Mas,” kata Arman lirih. “Kalau subuh gak datang, kita tetap hidup, kan?” Nara tersenyum tipis, memandang langit yang tak berubah.

“Mungkin ini bukan hidup, Man. Mungkin ini cuma… sisa waktu yang kita pinjam.

Udara di luar kaca tampak lebih padat malam itu. Kabut turun rendah sampai menempel di trotoar. Dari balik kaca, dunia tampak seperti miniatur kota yang diletakkan di dalam toples berembun.

Nara menyeduh ulang air panas, hanya karena suara mendidihnya memberi rasa tenang. Arman diam di kursinya, matanya tak lepas dari jendela. Dari sana, ia bisa melihat jalan raya yang seolah berputar di loop: mobil sedan hitam melintas, hilang di tikungan, lalu muncul lagi dari arah sebaliknya. Lampunya menyapu aspal basah dengan gerakan yang persis sama.

“Mas,” kata Arman pelan. “Lihat deh. Mobil itu…”

Nara mengikuti arah pandangnya. Ia menunggu. Tiga puluh detik, enam puluh detik, lalu sedan yang sama muncul lagi. Lampu kiri mati, plat nomor berdebu, pengemudi menunduk dengan wajah yang tak kelihatan.

“Udah tiga hari begitu,” kata Nara.

Suara mesin kopi berhenti bersamaan dengan kata-katanya. Hening menggantikan bunyi. Hanya ada dengung listrik dan detik digital yang tak maju-maju.

Arman berdiri, mendekat ke kaca.

“Gila ya, kita diulang tapi gak bisa ngulang hidup sendiri.”

Nara tersenyum hambar. “Kamu masih mau?”

“Ngulang?” Arman menatap pantulan wajahnya sendiri di jendela.

“Mungkin kalau bisa, aku mau ngulang malam itu. Yang terakhir. Tapi aku tahu aku bakal nyuruh dia pulang lagi. Dan kalau takdir gak berubah, mungkin dia bakal mati juga dengan cara yang berbeda.”

Kabut diluar bergetar tipis, seolah mendengar. Lampu jalan berkedip dua kali, lalu padam. Beberapa detik, dunia di luar benar-benar hitam. Lalu dari arah trotoar, muncul cahaya lain. Lembut, bergerak perlahan. Cahaya dari senter ponsel.

Seseorang berjalan mendekat ke arah kedai. Langkahnya tenang, konstan, seakan waktu tak berlaku padanya. Begitu dekat, wajahnya baru terlihat samar di balik kaca: perempuan muda, rambut diikat asal, tangan membawa kanvas kecil dan kuas kering.

Nara membuka pintu otomatis yang macet separuh.

“Kedai masih buka?” tanya perempuan itu. Suaranya jernih tapi datar, seperti seseorang yang baru bangun dari mimpi panjang.

“Selalu,” jawab Nara.

Arman hanya menatap. Lampu neon di langit-langit bergetar sekali, lalu tenang.

“Namaku Maya,” katanya. “Aku melukis matahari. Tapi sejak tiga hari lalu, warnanya gak mau keluar.”

Maya duduk di kursi dekat pintu, meletakkan kanvasnya di lantai. Kanvas itu kosong, hanya ada guratan tipis warna oranye yang berhenti di tengah, seperti subuh yang tertahan. Ia menatapnya lama, seolah berharap warna itu tumbuh sendiri.

Arman mengamatinya dari jauh. “Kalau kamu melukis matahari,” katanya pelan, “berarti kamu masih percaya pagi bakal datang.” Maya mengangkat kepala, tersenyum samar.

“Percaya itu kebiasaan, Mas. Sama kayak ngopi tiap jam empat.”

Hening jatuh lagi. Nara menaruh secangkir teh di depan Maya, lalu duduk di seberangnya. “Udah berapa lama kamu di sini?”

“Gak tahu,” jawab Maya. “Aku pikir baru semalam. Tapi bunga di depan apartemenku udah layu semua.” ia memandangi jarinya sendiri, bekas cat menempel di kuku. “Lucu ya, dunia berhenti, tapi sesuatu masih mati.”

Pintu kedai tiba-tiba berbunyi pelan. Seseorang masuk sambil mengibas jas basah, pria muda dengan ransel kamera. Nafasnya berat, wajahnya tegang.

“Permisi… ada kopi?”

“Selalu ada,” jawab Nara, lagi-lagi dengan nada yang sama seperti mantra.

Pria itu memperkenalkan diri. Dika, wartawan lepas. Katanya, ia sedang menulis tentang “kota yang kehilangan subuh”. Ia mendengar laporan orang-orang yang jamnya berhenti di pukul 04:02, tapi tetap bisa beraktivitas seperti biasa.

“Listrik gak padam, toko tetap buka, tapi gak ada cahaya baru,” katanya sambil menyalakan recorder kecil.

Maya memandangnya dengan tatapan dingin. “Berarti kamu pikir ini kejadian nyata?”

“Kalau bukan, ini berita paling indah yang pernah ada,” jawab Dika.

Arman menyeringai kecil. “Berita indah buat siapa? Buat orang yang masih punya waktu, atau buat kita yang udah gak tau ini hari keberapa?”

Dika menatap jam tangannya. Jarumnya macet di antara dua angka.

“Buat siapa pun yang masih bisa ngerasa sesuatu,” katanya datar.

Ia menatap Maya yang terus menggambar tanpa arah.

“Mungkin subuh itu bukan hilang. Cuma belum ada yang berani nyari.”

Di luar, kabut menipis sedikit. Untuk pertama kalinya sejak lama, langit menampakkan garis cahaya samar. Bukan oranye, bukan biru. Warna yang belum punya nama.

Arman memicingkan mata. “Kayaknya pagi itu mulai sadar kalau kita masih di sini,” katanya. Dan untuk sesaat, semua diam. Suara teko, dengung listrik, napas pelan. Semua terasa seperti denyut jantung yang pelan-pelan bangkit.

Waktu di kedai seolah tak bergerak, tapi sesuatu mulai bergeser. Perlahan, halus, nyaris tak bisa dijelaskan. Di luar kaca, lampu jalan yang mati tadi kini menyala lagi, tapi cahaya yang keluar berdenyut pelan, seperti napas makhluk hidup.

Dika menyalakan rokok, mengamati pantulan dirinya di jendela. “Setiap aku liat ke luar,” katanya, “aku ngerasa ada yang niru gerakanku. Tapi cuma sepersekian detik lebih lambat.”

Ia menunduk, menatap pantulan api di ujung rokoknya. “Kayak kota ini... nyimak kita.”

Maya berhenti melukis. Kanvasnya kini punya bentuk samar. Garis-garis bangunan, langit, tapi tanpa sumber cahaya.

“Mungkin karena kita satu-satunya yang masih percaya hari bisa ganti,” ucapnya.

“Kalau gak ada yang nunggu subuh, ngapain subuh datang?”

Arman mendengus pendek. “Kedengarannya kayak kalimat di naskah teater.”

Nara menimpali tanpa senyum, “Atau doa yang kehilangan pendengarnya.”

Dari kejauhan, samar terdengar bunyi deru mesin. Sebuah motor melintas di jalan depan kedai atau tampak seperti itu. Tapi ketika mereka memperhatikan lebih seksama, motor itu berhenti di titik yang sama, lalu menghilang. Beberapa detik kemudian, muncul lagi dari arah kanan, dengan ritme yang identik.

“Itu yang tadi,” bisik Arman. “Sama persis.”

Tak ada yang bergerak. Nara hanya memandangi cangkir di tangannya, kopi yang hitam, dingin, tapi permukaannya bergetar pelan. Ia menatap ke arah langit-langit: neon berkedip dengan pola tertentu, seolah ada pesan di balik ritme cahaya itu.

“Kadang,” katanya perlahan, “aku pikir kota ini gak rusak. Cuma... berhenti menunggu kita sadar.”

“Kalau sadar berarti apa?” tanya Maya.

“Berarti udah siap kehilangan semua alasan buat hidup,” jawabnya.

Dika meletakkan rokok di asbak. “Atau justru baru mulai hidup.”

Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ada tawa kecil keluar dari Nara — bukan karena lucu, tapi karena tubuhnya butuh alasan buat tetap manusia.

Di luar, kabut mulai surut ke arah barat. Tapi langit tetap sama: keabu-abuan, dingin, tak berpindah. Hanya saja, di ujung cakrawala, ada semburat warna baru. Bukan oranye, bukan merah muda. Sesuatu di antara nyeri dan harapan.

Maya menatapnya lama, lalu berkata pelan,

“Mungkin ini bukan subuh. Mungkin ini kita.”

Dika berdiri di depan pintu kedai. Udara di luar seperti terbuat dari kaca dingin. Transparan, tapi menahan napas siapa pun yang keluar. Ia menarik ritsleting jaketnya, menatap jalan raya yang melingkar di depan. Mobil sedan hitam masih lewat, pola yang sama, bunyi yang sama, jeda yang sama.

“Gue cuma mau buktiin sesuatu,” katanya. Nara mengangguk, tapi tak mencoba menghentikan.

“Kalau lo balik lagi, artinya lo belum pergi,” katanya singkat.

Dika melangkah keluar. Udara lembab. Bau ozon dan aspal basah bercampur. Ia melewati trotoar yang sepi dan papan iklan kosong yang masih menyala, menampilkan iklan susu, jam digital di pojok kanan tetap menunjukkan 04:02.

Beberapa meter dari kedai, ia berhenti. Ada sesuatu di tengah jalan, genangan air yang lebar, memantulkan langit abu-abu di atasnya. Ia menatap pantulannya sendiri di sana. Tapi sesuatu tak tepat: bayangan di genangan itu tidak merokok. Tangannya kosong.

Dia menelan ludah, berjongkok, mendekat.

“Siapa lo?” suara itu keluar hampir tanpa sadar.

Bayangan di air menggerakan bibirnya, tapi tak ada suara. Hanya bentuk kata yang samar: “Aku… nunggu pagi.”

Dika mundur satu langkah. Genangan itu bergetar, lalu tiba-tiba permukaannya datar lagi. Ketika ia menengok ke arah kedai, ia melihat hal lain yang membuat darahnya dingin: Dari luar, jendela kedai tampak seperti cermin juga dan di dalamnya, ada empat orang, bukan tiga. Seseorang duduk di kursi ujung, menunduk, wajah tak terlihat.

Ia berlari kembali, membuka pintu kedai yang berbunyi seperti napas. “Mas!” katanya pada Nara. “Tadi di kaca….” Tapi suaranya hilang di tengah kalimat. Karena orang keempat itu benar-benar ada sekarang.

Seorang pria tua duduk di sudut dekat dispenser air. Tubuhnya kurus, mata kosong tapi tenang. Tangannya gemetar memegang secangkir teh.

“Saya cuma numpang diam,” katanya lirih.

“Kota ini terlalu ramai buat orang yang udah gak punya waktu.”

Tak ada yang menjawab. Maya menatap pria itu, lalu melihat kanvasnya sendiri. Sekarang, tanpa ia sadari, ada siluet lima orang di sana.

Tak ada yang tahu kapan pria tua itu mulai bicara. Mungkin ketika bunyi teko berhenti, atau ketika kabut di luar berubah arah. Yang jelas, kalimat pertamanya terdengar seperti bisikan yang ditunggu-tunggu dunia.

“Jam berhenti bukan karena rusak,” katanya, menatap permukaan teh yang tenang.

“Tapi karena tak ada lagi yang berani menatapnya.”

Nara yang pertama bereaksi. “Maksudnya?” Pria itu menatap ke arah jam digital di dinding — angka merah yang tetap di 04:02.

“Waktu itu makhluk yang malu,” lanjutnya. “Dia cuma bergerak kalau manusia masih percaya hidup itu berubah.”

Maya meletakkan kuasnya, perlahan.

“Kalau gitu, kota ini… berhenti karena kita?”

“Karena kalian berhenti menunggu,” jawab pria itu datar. “Setiap kota punya saat ketika doa-doa tak lagi diucap, hanya diingat. Saat itu, waktu kehilangan alasannya sendiri.”

Dika mencondongkan tubuh ke depan. “Siapa Anda sebenarnya?” Pria itu tersenyum tipis, keriput di wajahnya seperti peta yang dilipat terlalu sering.

“Aku dulu pemelihara jam di stasiun tua. Tapi orang-orang berhenti datang. Sekarang aku cuma ngurus waktu yang tersisa.”

Sunyi menelan kedai. Lampu neon bergetar sekali, seperti ragu apakah ia juga harus padam.

Arman menatap ke luar. Mobil hitam itu lewat lagi, tapi kali ini tak berhenti di tikungan. Ia melihatnya terus melaju, lalu perlahan… lenyap. Tak ada bekas ban, tak ada suara mesin.

“Mas,” katanya pelan pada pria tua itu, “kalau waktu mulai lagi, apa kita masih di sini?”

Pria tua itu menatapnya lama, kemudian berkata,

“Waktu bukan buat memulihkan, Nak. Dia cuma lewat, supaya manusia punya alasan buat menyesal.”

Ia berdiri, meneguk teh yang dingin, lalu melangkah ke pintu. Tapi ketika daun pintu terbuka, tak ada suara engsel. Ia keluar begitu saja, seperti kabut yang kembali ke asalnya.

Di luar, samar-samar, cahaya mulai berubah warna. Tidak terang. Tidak gelap. Hanya cahaya yang terasa seperti mengandung bunyi.

Maya menatap ke luar jendela, berbisik,

“Mungkin subuh sedang belajar bicara.”

Cahaya dari luar kaca tidak lagi datang dari satu sumber. Ia seperti merembes dari udara, menembus setiap benda, membuat bayangan yang tak punya arah. Kopi di meja memantulkan warna samar. Bukan hitam, bukan cokelat, lebih mirip arang yang diajak bermimpi.

Maya menatap kanvasnya. Lukisannya kini berisi siluet-siluet samar, tapi garisnya bergerak pelan, seolah sapuan kuasnya belum selesai.

“Kayak lukisan yang terus melukis dirinya sendiri,” gumamnya.

Nara mendekat. “Atau kota yang terus menulis ulang dirinya supaya gak hilang.”

Dika berdiri, menatap jam dinding. Angka digital 04:02 berkedip lambat, satu kali setiap delapan detik. “Ini baru terjadi,” katanya. “Tadinya jamnya mati total.”

Arman menjawab tanpa menoleh, “Berarti waktu mulai napas lagi.”

Tapi ada hal lain. Sendok di atas meja bergeser pelan, jatuh ke lantai dengan bunyi lembut. Botol sirup di rak belakang berpindah tempat, satu baris lebih ke kiri. Mereka semua melihatnya. Tak ada yang bereaksi keras, seolah semuanya sadar: yang aneh sudah jadi normal.

“Mungkin benda-benda ini cuma ngikutin kita,” ucap Maya. “Kalau kita berubah, mereka juga ikut.”

“Atau mereka yang duluan berubah,” sahut Dika. “Kita cuma baru sadar.”

Hening.

Dari luar kedai, terdengar suara langkah. Berat, lambat, dan tak berirama. Seperti orang berjalan di air. Ketika mereka menoleh, kabut di luar tampak lebih padat dari sebelumnya. Dari tengah kabut itu, muncul bayangan samar: seseorang berjalan dengan membawa lentera, tapi cahaya dari lentera itu tak menerangi apa pun. Hanya dirinya sendiri.

Nara menatap, napasnya tertahan. “Siapa itu?”

Tak ada yang menjawab. Bayangan itu berhenti di depan kedai, lalu menatap ke arah mereka. Tak ada wajah, hanya siluet. Tapi entah kenapa, mereka semua merasa sedang dipandangi, bukan secara fisik, tapi lebih dalam dari itu.

“Mungkin itu subuh,” bisik Maya. “Atau pantulan kita dari hari yang seharusnya datang.”

Cahaya di dalam kedai meredup perlahan. Warna dunia jadi satu gradasi panjang antara abu-abu dan jingga. Tak ada kontras. Tak ada bayangan. Semuanya jadi satu kesatuan lembut. Dunia tanpa arah, tapi juga tanpa gelap.

Tak ada yang tahu kapan cahaya berhenti berubah. Yang jelas, segala sesuatu di kedai terasa sedikit bergeser, tidak sepenuhnya salah tempat, tapi juga tidak persis di posisi semula. Cangkir berpindah beberapa sentimeter. Kursi yang diduduki Maya kini sedikit lebih dekat ke jendela. Seolah realitas melakukan koreksi kecil tanpa izin.

Dika menatap bayangannya di kaca jendela. Tapi kali ini bayangan itu tidak menatap balik. Bayangan itu malah sibuk mengetik di laptop, cepat, panik, seperti menulis sesuatu yang harus diselesaikan sebelum pagi.

“Itu aku,” katanya pelan. “Aku tahu posisi tanganku, gaya dudukku. Tapi…”

“Tapi kamu udah gak kayak gitu sekarang,” sela Nara.

Maya menunduk. Di permukaan kanvasnya, warna oranye mulai meluas sendiri, tanpa ia sentuh. Ia mencoba berhenti menatap, tapi garis itu terus bergerak, membentuk wajah samar, wajah dirinya, tapi jauh lebih muda.

“Aku dulu gak pernah tidur,” katanya lirih. “Selalu nunggu pagi buat mulai kerja lagi. Mungkin itu sebabnya subuh gak pernah datang, karena aku sendiri gak ngizinin dia datang.”

Arman terdiam, lalu berdiri. Ia berjalan pelan ke arah pintu, menatap jalan kosong di luar. Ada sesuatu di sana, bukan orang, bukan mobil. Hanya bayangan besar samar di tengah kabut. Ia tahu bentuk itu: tubuhnya sendiri, tapi berdiri di sisi jalan yang lain, bersandar di motor yang dulu ia punya. Siluet itu mengeluarkan sesuatu dari saku, foto kecil. Wajah anaknya.

Arman menunduk. “Dia nunggu aku minta maaf,” katanya nyaris tanpa suara.

“Mungkin kota ini cuma ruang antara... detik terakhir sebelum kita sadar semua yang kita tinggalkan.”

Nara menatap jam. Angka 04:02 masih di sana, tapi kali ini ada bunyi klik kecil dari dalam mesin jam, seperti napas pertama bayi, pelan dan ragu.

“Mungkin ini subuhnya,” katanya. “Bukan buat dunia… tapi buat kita.”

Hening menyelimuti mereka. Maya menatap kanvas yang kini berhenti bergerak. Dika menatap jendela yang perlahan memantulkan cahaya lembut, bukan dari luar, tapi dari dalam kedai sendiri. Dan Arman menutup mata, tersenyum kecil.

“Mungkin,” katanya, “pagi itu bukan datang… tapi tumbuh dari orang yang akhirnya berani berhenti.”

Langit berubah tanpa bunyi. Tak ada ledakan warna, tak ada cahaya tajam, hanya gradasi tipis, dari abu-abu menuju sesuatu yang sulit dinamai. Udara di dalam kedai terasa lebih ringan, seperti beban tak terlihat baru saja disingkirkan.

Jam digital di dinding bergerak.

04:03.

Angka itu bergetar sebentar sebelum menetap. Mereka menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dika menutup laptopnya, lalu tertawa pelan. “Lucu, ya? Dunia cuma butuh satu menit buat kelihatan hidup lagi.”

Maya menghela napas panjang, seolah baru sadar ia sudah menahan udara terlalu lama. Di kanvasnya, warna oranye kini memudar jadi pucat, tapi di tengahnya muncul bentuk samar: lingkaran cahaya, tidak sempurna, tapi cukup hangat.

“Mungkin subuh memang gak pernah hilang,” katanya. “Cuma terlalu sabar nunggu kita siap ngeliatnya.”

Nara menyandarkan tubuh di meja kasir, menatap keluar. Kota di luar mulai menampakkan bentuknya: gedung, jalan, papan reklame, semuanya sama… tapi seperti baru dibersihkan dari debu waktu. Orang-orang muncul perlahan. Pejalan kaki, tukang ojek, mobil kecil. Semuanya berjalan tanpa tergesa, seperti aktor yang baru dipanggil ke panggung setelah tidur terlalu lama.

Arman berdiri di depan jendela. Tangannya gemetar saat menempelkan foto anaknya di kaca. Cahaya pertama hari itu menembus foto itu, membuat wajah sang anak tampak bersinar lembut.

“Ma, aku pulang,” katanya lirih, bukan pada siapa-siapa, tapi mungkin pada dirinya sendiri yang dulu.

Nara menatap mereka satu per satu. “Kalian sadar gak,” katanya pelan, “kita gak tahu tanggal berapa sekarang.”

Dika menjawab, “Kayaknya gak penting. Yang penting udah bukan jam empat dua lagi.”

Mereka semua tertawa pelan, tawa yang lahir dari keletihan. Tawa manusia yang akhirnya menerima bahwa dunia tak perlu dijelaskan, hanya dijalani.

Cahaya menembus jendela sepenuhnya sekarang. Bayangan di lantai mulai bergerak sesuai arah matahari yang benar, bukan kilatan aneh seperti sebelumnya. Maya menatap langit yang mulai biru muda, lalu berkata,

“Aku tahu judul lukisanku nanti.”

“Apa?” tanya Dika.

“Kota yang Tak Pernah Subuh.”

“Kenapa bukan ‘Kota yang Akhirnya Pagi’?” tanya Arman.

“Karena,” jawab Maya sambil tersenyum, “ada sebagian dari kita yang masih tertinggal di sana. Dan biarlah, biar kota itu tetap ada, buat mereka yang belum siap.”

Hening lagi.

Tapi kali ini bukan hening yang menakutkan.

Hening yang terasa seperti pelukan panjang setelah tangis yang tertunda.

***

Mereka bilang, waktu adalah garis lurus, bergerak dari gelap menuju terang. Tapi di kota ini, waktu berhenti bukan karena kehilangan arah, melainkan karena manusia di dalamnya terlalu takut untuk tiba.

Barangkali Kota yang Tak Pernah Subuh bukan tempat di peta, melainkan ruang kecil dalam diri setiap orang, ruang di mana penyesalan belum selesai, dan pengampunan belum sempat diucapkan.

Kita semua punya versi “04:02” sendiri: detik ketika hidup seolah macet di antara yang sudah dan yang belum. Kita tetap bernafas, tetap bekerja, tetap bercakap, tapi tidak benar-benar bergerak.

Maya, Dika, Arman, dan Nara hanyalah empat wajah dari kesunyian modern: yang terus mencari cahaya di tengah rutinitas, yang tetap menunggu pagi meski tak tahu untuk siapa. Dan mungkin, seperti mereka, kita pun sedang terjebak di kota yang sama, cuma bentuknya berbeda: kantor, hubungan, layar, ingatan.

Tapi subuh, akhirnya, bukan waktu yang datang dari langit. Ia tumbuh dari dalam. Dari keberanian untuk menatap kehilangan sampai habis, dan berkata: aku siap hidup lagi.

Karena terkadang, satu menit tambahan, dari 04:02 ke 04:03, sudah cukup untuk menyelamatkan semesta kecil di dalam diri manusia.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi