Disukai
1
Dilihat
1273
NEGERI YANG PENDUDUKNYA GUNDUL
Drama

Di sebuah negeri, yang bernama Negeri Jauh, negeri yang amat terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya serta kehidupan penduduknya amat makmur dan sejahtera. Tak sedikit wisawatan berkunjung ke Negeri Jauh tiap tahunnya. Banyaknya kunjungan wisatawan itu tak hanya disebabkan oleh keindahan alam negeri itu, namun juga karena keunikan penduduk yang tinggal di sana. Ada satu aturan di Negeri Jauh, yang tak ada di negeri-negeri yang lain. Semua penduduk di negeri itu tidak boleh menumbuhkan rambut alias harus gundul kepalanya. Tua muda, kaya miskin, laki-laki perempuan semuanya harus gundul. Hingga Negeri Jauh juga sering disebut sebagai ‘Negeri Orang-Orang Gundul’.

Kecuali wisatawan luar negeri, semua manusia yang ada di negeri itu gundul kepalanya. Jika kita berjalan ke semua sudut negeri, dari kawasan rumah-rumah mewah, pusat perbelanjaan, desa-desa, hingga sudut negeri yang paling kelam, hanya akan terlihat kepala-kepala gundul yang berseliweran. Aturan itu jelas tertulis di Undang-undang Negeri Jauh, di poster, banner, juga selebaran yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Aturan itu ditampilkan lewat iklan-iklan di televisi, radio dan internet. Bahkan ada slogan yang sengaja dibuat pemerintah: Tak ada rambut, tak ada hidup sengsara. Dan benarlah, kehidupan penduduk di negeri itu memang makmur sejahtera.

Karena seringnya dicukur, rambut penduduk Negeri Jauh justru tumbuh lebih cepat dari kebanyakan orang pada umumnya. Jika orang lain mebutuhkan waktu seminggu atau bahkan sebula agar rambutnya tumbuh dan memanjang hingga lima senti, penduduk Negeri Jauh hanya berkisar selama dua hari. Sehingga, ketika sudah akan tumbuh cokol rambut baru, penduduk akan segera mencukurnya habis. Kehidupan sejahtera di negeri itu membuat penduduknya patuh akan setiap peraturan yang dibuat pemerintah, bahkan soal gundulnya kepala mereka. Tak jadi soal, tak apa gundul, asalkan harga minyak tanah di negeri itu tiga kali lebih murah dibading negeri tetangga. Tak hanya minyak tanah, kebutuhan pokok rumah tangga, harga tanah juga murah. Bahkan pelayanan kesehatan dan pendidikan di negeri jauh itu hampir tak dipungut biaya.

Lain halnya dengan Milah, seorang wanita berumur awal dua puluhan yang baru saja menyelesaikan studinya di negeri seberang. Milah yang masih merupakan penduduk asli Negeri Jauh mau tidak mau harus kembali ke kampung halamannya setelah selesai dengan studinya. Sejujurnya Milah sangat bangga dan senang kembali ke negeri asalnya, hingga ia ingat peraturan unik negeri itu.

Aturan pergundulan itu, Milah berdecak. Ia masih berada dalam pesawat yang akan mengantarkannya ke Negeri Jauh dan sekitar sepuluh menit lagi pesawat akan mendarat. Milah mengambil kaca kecil yang sering ia bawa di tas selempangnya, mematut diri dan memperhatikan rambut panjangnya yang berwarna hitam legam. Rambut Milah panjang hingga pinggul, ia biarkan terurai di balik punggungnya. Rambut hitamnya lembut namun tebal, sungguh rambut yang bagus, kebanyakan orang yang melihatnya pasti akan langsung memuji rambut Milah. Rambut Milah indah alami, tak perlu repot-repot pergi ke salon untuk meluruskan atau melembutkannya, karena memang rambutnya sudah asli seperti itu. Hampir seperti rambut ajaib, walaupun panjang dan tebal, mengurus rambutnya Milah tak kesulitan. Disisir hanya dua kali sehari, atau bahkan tanpa disisir seharian, rambut Milah tak kusut dan berantakan. Walau sehabis berlari atau berdesakan di lift kampus yang padat, rambut Milah tetap jatuh dengan lembut tanpa kusut.

Milah menatap ke luar jendela pesawat, ia bisa melihat dengan jelas satu pulau di bawahnya. Itu adalah Negeri Jauh, sebuah negeri kecil yang hanya memiliki satu buah pulau yang tak begitu besar, dikelilingi oleh lautan Pasifik yang biru berkilauan terkena cahaya matahari saat dilihat dari dalam pesawat seperti ini. Hati Milah galau, ia menyentuh dan memainkan rambut bagusnya. Ia memasukkan kaca kecil di tangannya ke dalam tas, lalu mengambil sebuah kartu identitasnya. Tertulis data dirinya dengan lengkap. Itu adalah kartu identitasnya sebagai penduduk Negeri Jauh.

***

Peraturan lanjutan dari aturan gundulnya kepala penduduk Negeri Jauh adalah, bahwa penduduk boleh menyimpan rambut mereka di rumah, atau memakai rambut palsu hanya saat di rumah. Kini duduklah Milah, dengan muka merengut, menggenggam potongan rambutnya yang panjang — yang sama sekai tak pernah ia potong satu senti sekalipun saat ia sedang studi di luar negeri. Ibu Milah menatapnya dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu.

“Ini peraturan yang baik, kan? Kamu jadi tidak perlu mengurus rambut lagi. Kepala juga jadi terasa lebih bersih dan enteng. Tidak perlu menyisir, atau menyapu lantai karena rambut yang berjatuhan” kata ibu Milah.

Kening Milah berkerut, matanya melotot. “Tetap saja! Ini rambutku, harusnya terserah aku mau aku apakan. Kenapa harus ada peraturan menggelikan seperti itu?!” ia menunjuk ke luar jendela rumahnya yang menghadap ke arah jalan raya. Jalan raya itu ramai terutama di siang hari Senin seperti ini, dilalui oleh beberapa penduduk Negeri Jauh dengan kepala gundulnya, juga wisatawan-wisatawan asing yang tidak gundul. “Lihat mereka, bu! Mereka bisa sesuka hati memanjangkan rambut mereka, mereka bisa menghiasi rambut mereka, mewarnainya, memotongnya sedikit, menguncirnya atau bahkan diberi bando dan pita-pita. Kenapa Negeri Jauh harus punya peraturan menggelikan seperti ini?!”

Ibunya justru menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Milah, nampak kecewa. “Jauh-jauh kamu belajar justru inikah yang kamu dapat? Memprotes kebijakan pemerintah kita yang sudah ada bahkan sebelum buyutmu lahir? Harusnya kamu bisa melihat manfaat di balik aturan itu. Lihat,” ibunya ganti menunjuk wisatawan berambut emas gelombang sebahu melalui jendela rumah mereka di ruang tengah. “Mereka boros karena rambut mereka. Itu, pita-pita dan hiasan di rambut mereka. Kamu pikir mereka gratis mendapatkannya? Belum lagi perawatan rutin macam-macam yang harus dilakukan dengan rambut itu. Buang-buang waktu saja”

Kerutan di kening Milah bertambah, namun matanya tak lagi melotot. Ia tak percaya ibunya justru menyalahkannya. Benar-benar. “Ibu tidak tahu apa yang kupikirkan! Pantas saja Negeri Jauh tidak maju-maju!” kata Milah akhirnya, ia memutuskan pergi dari hadapan ibunya, lalu masuk ke dalam kamar dengan membawa potongan rambutnya di tangan.

Di dalam kamar, Milah merenung di atas kasurnya, melihat ke arah pantulan kepalanya yang gundul lewat cermin besar yang diletakkan di depan kasur. Ia melirik ke arah gelungan rambutnya yang mirip seperti anakonda hitam di atas meja belajar. Milah menghela napas panjang. Ini sama saja dengan penindasan, pelanggaran atas hak-hak manusia! Tak bisa dibiarkan! Seru Milah dalam hati, penuh tekad. Ia merasa harus ada sesuatu yang ia lakukan.

**

Lalu dimulailah aksi protes Milah. Pertama, seperti yang ia pelajari dari demo-demo mahasiswa yang sering diadakan di kampusnya, Milah harus memiliki pendukung — orang-orang yang sepemahaman dengannya, orang-orang yang juga mau berjuang bersamanya. Maka, Milah menemui teman-teman dekatnya, teman alumni SD, SMP, SMA, teman masa kecilnya, hingga orang-orang yang ia tahu sempat mengenyam pendidikan di luar negeri sepertinya — orang-orang yang diperkirakan Milah memiliki wawasan dan pandangan yang lebih luas terutama mereka yang mampu dan mau mengkritisi peraturan penggundulan yang telah mengakar di Negeri Jauh.

Satu dua hingga terkumpul dua puluh orang rutin mengadakan pertemuan di rumah Milah. Mereka membicarakan betapa menggelikannya peraturan Negeri Jauh, betapa sangat ketinggalan, kuno, tidak masuk akal dan menyalahi hak asasi manusia dalam urusan personal. Mereka menganggap urusan rambut dan tak berambut adalah urusan pribadi yang harusnya tidak diurusi negara.

Ternyata tak sedikit penduduk Negeri Jauh yang merasa terkekang dengan aturan kepala yang harus gundul itu. Banyak dari mereka yang sering iri melihat wisatawan laur negeri dengan rambut indah mereka berjalan-jalan, nampak cantik dan ganteng dengan macam model rambut dan hiasannya. Milah menamai gerakannya sebagai ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’. Anggota gerakannya bertambah, bahkan tak hanya berasal dari penduduk Negeri Jauh.

Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ mulai dikenal masyarakat, padahal mereka belum menampilkan diri secara terang-terangan. Melihat anggota gerakan yang semakin bertambah kian harinya, Milah merasa mereka harus bergerak dengan lebih nyata. Kini ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ mulai menyebar selebaran, poster dan banner baik secara online maupun ditempelkan di jalan-jalan. Kabar Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ menyebar luas, terutama dengan slogan ciptaan Milah yang sedikit panjang, ‘Mau berambut atau tidak itu bukan urusan kepala negara, tapi kepala kami!’.

Kemudian ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ mulai mengadakan aksi protes pertamanya di depan gedung pemerintah daerah. Puluhan wartawan dari berbagai stasiun televisi, surat kabar, media daring hingga radio-radio yang sepi pendengar datang memberitakan aksi demo pertama Gerakan‘Revolusi Kepala Tak Berambut’. Milah berada paling depan, berkoar-koar dengan kepalanya yang masih gundul, menyatakan protes akan gundulnya kepalanya, menyalahkan pemerintah Negeri Jauh. Ia meneriakkan slogannya di akhir pidato yang disambut teriakan massa pendemo yang tak kalah kerasnya, “Mau berambut atau tidak itu bukan urusan kepala negara, tapi kepala kami!”.

Demo yang diadakan oleh Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ yang pertama itu mencuri perhatian masyarakat internasional. Tak hanya semua penduduk Negeri Jauh, namun juga masyarakat asing di negeri-negeri lain turut mencermati gagasan Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’. Namun, karena masih berada dalam taraf daerah, Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ dianggap tak begitu darurat untuk dibahas oleh Kepala Negeri Jauh. Yang muncul justru Gubernur Daerah yang secara diplomatis berusaha meredam Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’.

Milah geram, merasa diacuhkan oleh Kepala Negeri Jauh padahal isu yang ia bahas hanya bisa ditangani oleh eksekutif-eksekutif negara. Dua hari setelah demo pertama, anggota Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ semakin banyak, bahkan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Penduduk Negeri Jauh yang baru bergabung dengan Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ seakan tersadarkan oleh gagasan yang dicelotehkan Milah, si gadis gundul terpelajar. Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ menjadi bahan pembicaraan di penjuru Negeri Jauh. Milah merasa sudah waktunya kini Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ beraksi di depan istana negara dan mengatakan bahwa ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ akan membawa isu nasional yang sangat amat penting.

Maka melalui luasnya jaringan pendukung Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’, Milah dan pendukung terdekat yang ia andalkan berangkat ke ibukota Negeri Jauh. Kabar demo akbar itu disebar melalui media daring, dan seperti tetesan air di genteng bocor yang sulit dicegah saat hujan deras, berita demo kedua Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ tersebar sangat cepat.

Hari Rabu yang terik, massa pendukung Gerakan ‘Revolusi Kepala Tak Berambut’ berkumpul di depan istana Negeri Jauh. Jumlahnya ribuan, atau mungkin jutaan. Berasal dari segala penjuru Negeri Jauh, dari wilayah paling maju hingga yang paling terbelakang. Kostum mereka sama, memakai rambut palsu yang panjang, dan baju berwarna kuning cerah bertuliskan slogan yang ramai dibicarakan, ‘Mau berambut atau tidak itu bukan urusan kepala negara, tapi kepala kami!’. Rambut palsu yang digunakan massa pendemo warna-warni, menuntut kebebasan penduduk Negeri Jauh dalam mengurusi kepala mereka sendiri. Kali ini wartawan yang datang bukan hanya berasal dari Negeri Jauh, namun juga merupakan wartawan media massa internasional. Aksi demo ditayangkan secara langsung dan eksklusif, nampaknya elit-elit negara lain juga ingin tahu nasib kepala gundul penduduk Negeri Jauh.

**

Milah menatap ke arah jalan melalui jendela ruang tengah rumahnya. Tatapannya kosong, memperhatikan lalu lalang orang-orang. Yang berlalu lalang itu masihlah sama, terdiri dari penduduk Negeri Jauh dan wisatawan. Namun pemandangan lalu lalang di jalanan itu berbeda dari pemandangan jalan lima tahun yang lalu. Hampir tak ada lagi lalu lalang kepala gundul, semuanya berambut — bahkan sangat modis dengan hiasan di rambutnya masing-masing. Kini julukan Negeri Jauh bukanlah lagi ‘Negeri Orang-Orang Gundul’, julukannya berubah menjadi ‘Negeri Rambut Modis’ atau ‘Negeri Rambut Hias’. Dimana-mana penduduknya berlomba memperbagus rambut. Diwarnai macam-macam warna — bahkan ada yang mewarnai rambutnya dengan sepuluh warna yang dibuat sedemikian rupa bagusnya, dihiasi dengan aneka perhiasan, dari pita, benang, perak, emas, bahkan hingga permata mulia. Bahkan sampai ada kontes Ratu dan Raja Rambut Hias yang diadakan setahun sekali di Negeri Jauh. Tua muda, laki perempuan, kaya miskin semua penduduk Negeri Jauh memiliki rambut yang penuh dengan hiasan. Semakin berkelip dan berwarna rambut, semakin ia dinilai menarik.

Milah menghela napas panjang dari kursinya duduk. Pemandangan rambut dengan warna-warni di jalan itu adalah hasil perjuangannya dulu. Lima tahun yang lalu, saat kepala gundul masih merupakan suatu kehormatan dan lambang kesederhanaan serta kesejahteraan Negeri Jauh. Dan kini, pemandangan di depan amat sunggu berbeda. Milah mengambil kaca kecil yang biasa ia bawa, mematut wajah kusam dan tulang pipinya yang makin tirus. Ia mengusap kepalanya yang gundul — sama seperti lima tahun lalu. Bedanya, lima tahun lalu ia tidak sakit maupun terserang kanker kulit seperti saat ini. Milah menatap ke depan lagi, warna-warna tidak alami di rambut orang-orang menyilaukannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi