Langit Kota Kaliwungu sore itu diselimuti awan kelabu, seolah-olah tahu bahwa seseorang sedang membuka lembaran lama yang seharusnya tak pernah disentuh lagi.
Dr. Lintang Prasetya memandangi surat lusuh itu di atas mejanya. Kertasnya kekuningan, tinta birunya nyaris pudar. Tapi tulisan tangan itu tak asing baginya. Ia bisa mengenali lekukan huruf “L” dan “S” yang terlalu miring ke kiri. Tangan milik seorang yang pernah menjadi mahasiswa kesayangannya—Salma Nuraini, gadis cerdas yang menghilang tanpa jejak tiga tahun silam.
Lintang menghela napas, menyesap kopi hitam yang sudah hampir dingin. Surat itu datang kemarin, tanpa pengirim. Hanya namanya yang tertulis di depan amplop, bersama alamat rumah lamanya di Kaliwungu yang sudah ia tinggalkan sejak ibunya meninggal dunia. Seseorang—entah siapa—telah menyampaikannya ke fakultas, dan petugas kampus menyerahkannya padanya seolah itu hal biasa.
Ia membaca ulang baris pertama:
> “Pak Lintang, kalau Bapak membaca ini, berarti saya sudah gagal sembunyi. Saya mohon maaf. Tapi semua jawaban ada di Kaliwungu. Mulailah dari rumah yang ditinggalkan sejak 1998. Hati-hati dengan kabut. Itu bukan hanya kabut.”
Lintang bergidik. Tahun 1998? Rumah siapa? Dan apa maksudnya kabut bukan hanya kabut?
Ia memutuskan untuk mencari tahu.
---
Perjalanan menuju Kaliwungu memakan waktu lima jam dari Semarang. Jalanan sepi, dan musim hujan baru saja mulai. Kabut menggantung rendah ketika ia memasuki kawasan perbukitan di pinggiran kota.
Lintang tidak pernah menyukai kembali ke tempat ini. Terlalu banyak kenangan—beberapa indah, sisanya pahit. Sejak ibunya meninggal dan rumah mereka dijual, ia tak pernah lagi menjejakkan kaki di kota kecil itu. Tapi kini, surat dari Salma menariknya kembali.
Sesampainya di penginapan tua dekat alun-alun, Lintang meletakkan tasnya lalu membuka peta lama kota itu yang sempat ia simpan di laptop. Ia mencari kemungkinan rumah-rumah kosong sejak tahun 1998.
Kaliwungu tak besar. Tapi rumah tua di sudut Jalan Mawar—yang dulunya terkenal angker karena pemiliknya tewas terbakar di dalam—muncul dalam pencariannya. Rumah itu sudah kosong lebih dari dua dekade, tak pernah dijual kembali.
Lintang ingat kisah itu. Waktu ia masih SMA, rumah itu jadi bahan pembicaraan banyak orang. Tapi ia tidak pernah tahu siapa pemiliknya, atau apakah benar ada yang meninggal di dalamnya. Sekarang, entah kenapa, rumah itu terasa penting.
Malam itu, ia bermimpi. Ia berdiri di depan rumah tua dengan pagar berkarat. Kabut menyelimuti sekelilingnya, dan suara langkah kaki terdengar di balik kabut. Tapi tak ada siapa pun di sana. Hanya suara seorang perempuan—lirih, bergetar, menyebut namanya.
> “Pak Lintang… saya di sini... jangan percaya mereka…”
Ia terbangun dengan napas tersengal. Jam menunjukkan pukul 03.12.
---
Pagi harinya, ia menuju Jalan Mawar. Rumah tua itu berdiri di ujung jalan sempit, tertutup ilalang tinggi dan semak belukar. Pagar logamnya nyaris roboh, dan dinding rumah dipenuhi jamur serta lumut hitam.
Lintang menyibak rumput tinggi, mendorong pagar yang berderit seram, dan berjalan ke beranda.
Langkahnya terhenti saat ia melihat simbol aneh tergurat di daun pintu. Garis-garis melingkar, dipenuhi coretan seperti aksara yang tidak ia kenali. Seperti dibuat dengan arang.
Ia menyentuhnya—dan tiba-tiba, suara lirih terdengar dari dalam rumah.
> “Tolong…”
Lintang membeku. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya ilusi suara. Tapi suara itu terdengar jelas. Suara perempuan.
“Salma?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Tapi pintu di hadapannya terbuka sedikit dengan suara engsel berderit.
Jantungnya berdetak tak karuan. Naluri dosennya berteriak agar ia berhenti, kembali ke penginapan, dan melapor pada pihak berwenang. Tapi rasa bersalah yang lama membungkam logika. Ia tidak bisa melupakan hari terakhir Salma muncul di kampus, menangis sendirian di perpustakaan, lalu menghilang keesokan harinya. Ia tidak pernah menjelaskan apapun pada Lintang, dan surat ini terasa seperti penebusan—bagi mereka berdua.
Ia masuk ke dalam rumah.
---
Ruangan dalam gelap dan berdebu. Bau lembap menyengat hidungnya. Ia menyalakan senter ponsel dan menyusuri lorong sempit menuju ruang tengah.
Tiba-tiba, ia melihatnya—di atas meja ruang makan, terdapat tumpukan buku tua dan foto-foto hitam putih. Ia mendekat dan melihat lebih jelas. Sebagian besar foto itu bergambar keluarga—suami, istri, dan seorang anak perempuan kecil berambut panjang.
Lintang menahan napas saat menyadari sesuatu.
Gadis kecil di foto itu… wajahnya sangat mirip Salma.
Ia mengambil salah satu foto dan membaliknya.
> “Kaliwungu, 1997 – ulang tahun Salma.”
Tubuhnya melemas. Bagaimana mungkin?
Ia mengenal Salma sebagai anak yatim piatu dari Surabaya. Tidak pernah menyebut keluarga atau kampung halaman. Apakah semua itu bohong? Atau ada sesuatu yang ia sendiri tidak tahu?
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara derit lantai di lantai atas mengalihkan perhatiannya. Langkah pelan, seperti seseorang berjalan dengan sangat hati-hati.
Ia mendongak, senter diarahkan ke tangga kayu yang mengarah ke lantai dua.
Langkah itu berhenti.
Dan kemudian… suara tertawa kecil.
Suara anak-anak.
Lintang mundur satu langkah. Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel. Tapi kemudian, rasa penasaran yang menyesakkan dada mengalahkan rasa takut.
Ia menaiki tangga itu, pelan-pelan, langkah demi langkah, sambil menahan napas.
Di puncak tangga, lorong sempit menyambutnya. Pintu-pintu di kiri dan kanan tertutup rapat.
Ia memilih pintu paling ujung—karena terdengar suara... musik kotak musik dari dalamnya.
Pintu itu terkunci, tapi ketika ia menyentuh kenopnya, kunci terbuka dengan bunyi klik yang pelan.
Lintang mendorong pintu perlahan.
Ruangan itu kosong. Hanya satu tempat tidur kecil, meja belajar berdebu, dan sebuah boneka usang tergeletak di lantai. Tapi suara musik masih terdengar. Ia berasal dari lemari kecil di sudut ruangan.
Ia membuka lemari.
Sebuah kotak musik kecil berwarna merah muda berdiri di tengah-tengah rak. Di sebelahnya, ada buku harian. Ia mengambilnya.
Saat menyentuh sampul buku itu, musik berhenti seketika.
---
Lintang membawa buku harian itu ke penginapan. Ia tidak berani membacanya di rumah itu. Sesuatu tentang tempat itu membuat bulu kuduknya berdiri sejak pertama masuk.
Malamnya, hujan turun deras. Ia duduk di bawah cahaya kuning temaram kamar, membuka halaman pertama buku itu.
Tulisan tangan rapi, halus. Ia tahu itu tulisan Salma.
> Hari ini aku kembali ke rumah ini. Rumah yang seharusnya jadi tempat pulang, tapi malah mengusirku sejak kecil. Ibu terbakar di kamar mandi. Ayah bilang itu kecelakaan. Tapi aku tahu, ada yang lebih gelap dari sekadar kecelakaan.
> Aku mendengar suara dari balik dinding. Sejak aku kecil. Dan suara itu kembali memanggilku.
> Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tapi jika suatu hari aku menghilang lagi, dan Pak Lintang menemukan buku ini, maka Bapak harus tahu: rumah ini menyimpan lebih dari sekadar abu dan kenangan. Rumah ini menyimpan rahasia yang... tidak ingin ditemukan.
Lintang menutup buku itu. Tangannya dingin.
Dan saat itu juga, listrik di penginapan mati.
Dalam gelap, ia mendengar sesuatu mengetuk jendela kamarnya.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Pelan, teratur… seperti irama dari sebuah lagu lama yang menyeramkan.
Tok.
Tok.
Tok.
Lintang menahan napas. Ketukan di jendela kamarnya terus berulang. Awalnya pelan. Tapi makin lama, makin kencang.
Tangannya meraih senter ponsel. Cahaya menyorot tirai tipis yang bergoyang lembut. Di baliknya, jendela kayu tua itu tertutup rapat. Tapi sesuatu di luar... seperti berdiri menunggu.
Dengan perlahan, ia mendekat, jantungnya berdetak keras. Senter diarahkan ke kaca buram itu.
Dan sekelebat, ia melihat siluet seorang perempuan.
Rambut panjang. Tubuh kurus. Berdiri diam di balik kabut hujan yang menempel di kaca.
Tok.
Tok.
Lintang mundur satu langkah. Lalu dua. Ia tidak tahu harus lari atau menghadapi.
Tiba-tiba, suara dari luar jendela berbicara.
"Kau sudah membuka pintunya, Pak. Sekarang semuanya tidak akan diam lagi."
Suara itu serak, bukan milik Salma. Tapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh. Ketika ia membuka tirai, halaman di luar sudah kosong.
Tak ada siapa pun.
---
Pagi harinya, Lintang memutuskan kembali ke rumah tua. Ia harus tahu lebih banyak. Buku harian Salma belum habis terbaca, dan ia yakin ada petunjuk lain di sana.
Tapi ketika ia kembali ke rumah itu… sesuatu berubah.
Pintu depan terbuka lebar.
Dan lantai depan dipenuhi jejak lumpur. Kecil. Seperti telapak kaki anak-anak.
Lintang menggertakkan gigi, masuk perlahan. Ia mengikuti jejak itu ke ruang tengah—dan mendapati meja makan kini penuh dengan kertas bertulisan tangan.
Ia mendekat. Sebagian besar tulisan itu tak beraturan, seolah ditulis dalam kondisi tergesa atau… kesurupan. Tapi ada satu kalimat yang berulang-ulang tertulis dalam bahasa Jawa halus:
> “Mbakyu dudu manungsa. Aja percaya tangise.”
(“Kakak bukan manusia. Jangan percaya tangisnya.”)
Lintang merasa darahnya membeku.
Ia mengambil salah satu kertas. Di baliknya, ada gambar. Sketsa kasar seorang anak kecil menangis di dalam lemari, sementara perempuan dewasa tersenyum dari balik pintu.
Ia menelan ludah. Semua ini makin tidak masuk akal.
Ia pun kembali ke kamar di lantai dua, tempat ia menemukan buku harian itu.
Kali ini, di dinding kamar, muncul satu coretan baru. Entah kapan dibuat, tapi jelas belum ada semalam.
> “Lintang, kalau kau membaca ini, artinya aku masih bisa menulis. Tapi tidak untuk lama lagi.”
Tinta merah itu masih basah. Seolah baru ditulis beberapa menit lalu.
---
Lintang membaca lanjut isi buku harian Salma:
> “Ayah selalu bilang Ibu terbakar karena kompor rusak. Tapi aku lihat sendiri malam itu. Ibu tidak terbakar. Ibu menghilang. Seperti dihisap oleh dinding kamar mandi. Suara yang selama ini berbisik, tertawa, lalu menyanyi… mengajakku ikut bermain. Tapi aku lari. Sejak itu, rumah ini tak pernah berhenti berbicara.”
> “Ada sesuatu yang hidup di balik dinding rumah ini. Ia menyebut dirinya ‘Mbakyu’. Ia mengaku kakak Ibu, tapi tak pernah tua. Ia selalu muncul ketika kabut turun. Dan saat itu, seseorang akan menghilang.”
Lintang berhenti membaca. Ia teringat kabut yang turun sore itu, dan siluet perempuan di jendela.
Apakah itu… "Mbakyu"?
---
Menjelang sore, ia mengunjungi tetua kampung. Seorang wanita sepuh bernama Mbah Kirana, yang pernah jadi dukun beranak di sekitar Jalan Mawar.
Awalnya, Mbah Kirana enggan bicara. Tapi setelah Lintang menyebut nama rumah tua itu, ekspresi wanita tua itu berubah. Ia menatap Lintang lama, lalu berkata:
> “Rumah itu dulu milik keluarga dokter. Istrinya cantik, tapi sering sakit. Suka ngomong sendiri. Katanya, waktu masih kecil, dia punya ‘kakak’ yang selalu muncul dari cermin. Tapi kami kira itu hanya teman imajinasi.”
> “Lalu, istrinya hilang. Suaminya gila. Anaknya dibawa pergi diam-diam. Tak ada yang pernah lihat mereka lagi. Tapi… sejak itu, kabut di sekitar rumah itu tak pernah biasa. Ada kabar orang tersesat, lalu ditemukan dalam keadaan linglung. Atau tidak ditemukan sama sekali.”
> “Mbakyu itu bukan manusia, Nak. Ia tinggal di antara dinding dan cermin. Dan ia suka mengajak ‘adik-adik’ baru untuk bermain di dunianya.”
Lintang mencoba menguatkan diri.
“Salma... cucunya?”
Mbah Kirana hanya memejamkan mata. “Kalau anak itu kembali ke rumah itu... ia tidak akan bisa keluar sendirian.”
---
Malamnya, Lintang kembali ke rumah tua untuk terakhir kali. Ia harus menemukan Salma, jika masih ada kesempatan. Ia membawa buku harian itu dan menyalakan semua senter yang ia punya.
Di lantai dua, lorong kembali gelap. Tapi kini… semua pintu terbuka.
Satu per satu kamar ia periksa. Kosong.
Sampai ia masuk ke kamar paling ujung. Tempat kotak musik itu.
Kotak itu terbuka. Musiknya bermain sendiri.
Dan di dinding, muncul sebuah cermin besar, bersandar miring, padahal tak ada sebelumnya.
Lintang mendekat.
Bayangannya terlihat… tapi sesuatu aneh. Ia tidak sendiri dalam pantulan itu.
Di belakangnya—dalam cermin—seorang perempuan muda berdiri.
Bukan Salma.
Tapi wajahnya… sangat mirip.
Perempuan itu tersenyum. Matanya kosong.
> “Pak Lintang… akhirnya kita bertemu. Saya Mbakyu.”
“Salma sudah bermain dengan saya. Kini giliran Bapak.”
Lintang ingin mundur, tapi tubuhnya membeku. Tangannya tak bisa bergerak. Matanya tak bisa berpaling dari pantulan itu.
Lalu cermin bergetar.
Dan dari dalamnya, tangan putih panjang meraih keluar, menggapai wajahnya.
Lintang mencoba berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam keheningan aneh yang melingkupi kamar itu. Tangan putih yang muncul dari cermin itu dingin, kaku, dan terasa seperti tulang kering tanpa daging.
Ia meronta.
Senter di tangannya terjatuh, mengguling di lantai dan membuat cahaya berputar cepat, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk seperti bayangan para penari tradisional yang kerasukan.
Tangan itu menarik wajahnya.
Lintang menutup mata. Tapi ketika ia membukanya lagi… dunia di sekelilingnya telah berubah.
Ia masih di kamar yang sama.
Tapi warnanya kelabu. Seolah dunia telah kehilangan seluruh pigmen. Semua terdengar hening, bahkan napasnya sendiri terasa seperti gema dalam ruangan besar yang kosong.
Lalu ia menyadari: ia kini berada di dalam cermin.
Di luar, di dunia nyata, ia melihat tubuhnya berdiri kaku, seolah patung. Tapi di sini, hanya bayangannya yang bernyawa. Bayangannya... dan sesosok perempuan di ujung ruangan.
"Selamat datang di rumahku yang sebenarnya," kata Mbakyu.
Lintang memutar badan. Ia berdiri di dalam lorong panjang yang tampak tak berujung, dindingnya penuh cermin pecah dan foto-foto lama yang buram. Semua potret menunjukkan wajah anak-anak. Beberapa tersenyum. Beberapa terlihat ketakutan.
Satu wajah yang ia kenali: Salma.
"Di mana Salma?" tanya Lintang.
Mbakyu tersenyum. "Ia sudah di bagian terdalam. Jika kau ingin menjemputnya, kau harus memainkan permainanku."
Lintang tahu ia tidak punya pilihan. Jika ia ingin keluar dari dunia ini, ia harus memahami permainan Mbakyu.
---
Babak Pertama: Lorong Ingatan
Mbakyu menunjuk ke tiga pintu yang muncul di depan Lintang. "Pilih satu. Tapi hati-hati. Setiap pintu adalah ingatan yang tak selesai. Dan setiap kesalahan akan membawamu semakin jauh dariku."
Lintang memilih pintu tengah.
Ia memasuki ruang kelas tua. Di papan tulis, tertulis “Kelas 2B – 2007”. Anak-anak kecil duduk membelakanginya. Seorang guru berdiri di depan.
Tiba-tiba, guru itu berbalik. Wajahnya tanpa mata, hanya rongga hitam.
"Jawab," katanya. "Siapa nama anak yang hilang di kelas ini?"
Lintang berpikir. Ia mengingat isi buku harian Salma. Ada nama yang disebut beberapa kali—Arini.
"Arini," jawabnya.
Guru itu tertawa. Terdengar seperti kursi tua diseret. Anak-anak membalik badan… dan semuanya memiliki wajah yang sama: wajah Salma.
Semua menyanyi serempak.
> "Arini tak pulang…
Arini di cermin…
Arini menunggu…
Kau akan jadi teman."
Lintang lari dari ruangan itu, pintu menutup sendiri di belakangnya. Kembali ke lorong. Mbakyu berdiri di ujung.
"Satu langkah benar. Dua lagi sebelum gelap."
---
Babak Kedua: Dinding yang Berbisik
Lintang berjalan ke lorong lain. Kali ini, ia mendengar suara tangisan. Di depan, ada dinding besar penuh celah, dan dari balik celah itu, jari-jari mungil menyembul. Seperti tangan anak kecil mencoba meraih keluar.
Di sebelahnya ada tulisan:
> "Temukan suara yang bukan tangisan, maka jalanmu akan terbuka."
Lintang mendekat satu per satu celah. Di balik setiap celah, ia mendengar suara: tangisan, teriakan, bisikan. Tapi di satu celah sempit, ia mendengar...
Tawa.
Ia menempelkan telinganya. Tawa kecil. Seperti anak kecil menertawakan sesuatu yang lucu. Ia menyentuh celah itu… dan dinding terbuka perlahan, menyingkap ruang kecil.
Di dalamnya—Salma duduk memeluk lutut.
Tapi sebelum Lintang bisa menariknya keluar, Mbakyu muncul di belakang.
"Hebat," ujarnya. "Tapi satu tantangan lagi. Dan ini yang menentukan."
---
Babak Ketiga: Cermin Diri
Mbakyu membawa Lintang ke ruangan cermin.
Ribuan cermin berdiri di sekeliling, menciptakan ilusi tak berujung. Tapi hanya satu cermin yang menunjukkan Lintang apa adanya. Bukan bayangan sempurna. Tapi sisi lemahnya. Ketakutannya. Kesalahannya.
Mbakyu menunjuk. "Temukan siapa dirimu sebenarnya. Atau tetaplah di sini sebagai bayangan untuk selamanya."
Lintang berjalan pelan.
Setiap cermin memantulkan dirinya yang berbeda: Lintang sebagai bocah, Lintang menangis saat ibunya wafat, Lintang saat menyerah dari pekerjaannya. Tapi satu cermin membuatnya berhenti.
Ia melihat dirinya... sedang membaca buku harian Salma.
Matanya basah.
Di cermin itu, ia bukan orang dewasa tangguh. Tapi seseorang yang merasa bersalah karena meninggalkan sahabat kecilnya bertahun-tahun lalu. Ia tahu: ia tak pernah benar-benar peduli. Hingga sekarang.
Lintang menyentuh cermin itu. Dan dunia runtuh.
---
Ia terbangun di kamar atas rumah tua itu.
Salma duduk di pojok ruangan, lemas. Tapi hidup.
Kotak musik telah berhenti.
Dan cermin besar itu… pecah berkeping.
Angin sore menyusup masuk dari jendela yang retak. Lintang merasakan keringat dingin di tengkuknya, napas masih terengah. Salma duduk diam memeluk lutut di pojok ruangan, matanya kosong seperti baru bangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata.
"Salma..." Lintang mendekat perlahan.
Gadis itu menoleh, lambat. Matanya mengenali, lalu menangis dalam diam. Lintang memeluknya erat.
"Aku… aku dengar kau datang. Tapi aku tak bisa menjawab. Seperti tubuhku bukan milikku," bisik Salma.
"Semua sudah selesai," jawab Lintang. "Kita keluar dari rumah ini."
Namun sebelum langkah mereka menyentuh tangga, suara familiar kembali terdengar—suara kotak musik. Tapi tak berasal dari lantai atas, melainkan… bawah tanah.
Lantai kamar tiba-tiba bergetar. Sebuah lubang terbuka perlahan, memperlihatkan tangga batu menurun. Cahaya remang oranye bersinar dari dalam. Lintang dan Salma saling berpandangan. Mereka tahu: belum sepenuhnya usai.
Lintang menggenggam tangan Salma dan turun bersama.
Tangga itu seolah menembus bumi, semakin dalam. Dinding dipenuhi coretan nama-nama yang diukir kasar. Nama-nama anak kecil. Di salah satu batu, Lintang membaca: ARINI, 2007.
---
Ruang Bawah Tanah: Altar Kenangan
Mereka tiba di ruang besar yang berbentuk lingkaran. Di tengahnya, ada altar batu melingkar dengan patung perempuan duduk sambil memeluk boneka rusak. Kotak musik tua berputar di pangkuannya. Dari patung itu, seberkas kabut putih perlahan memadat… membentuk sosok perempuan muda.
Mbakyu.
Tapi kini ia tak tampak menakutkan. Wajahnya sedih. Tangannya terulur ke arah mereka.
"Aku tak ingin menjebak. Aku hanya ingin dikenang," ucapnya lirih.
Lintang menatapnya penuh tanya.
"Aku guru TK di rumah ini, sebelum rumah ini kosong. Tapi suatu sore, aku ditinggal. Aku dan para murid terjebak dalam kebakaran. Semua pergi, semua lupa. Arwah kami terikat di sini, dalam waktu yang tak bergerak."
Air mata hantu? Mustahil, tapi Lintang melihatnya jatuh.
"Setiap anak yang datang, adalah harapan bahwa kami akan dikenang. Tapi mereka lari. Lupa. Kecuali Salma."
Salma melangkah maju.
"Aku tak bisa tinggalkan tempat ini. Aku merasa ada janji yang belum kutunaikan."
Lintang menatap keduanya. Lalu berkata, "Kalau kalian ingin dikenang… izinkan kami menjadi saksi. Jangan tahan kami di sini."
Mbakyu mengangguk. Lantai berguncang sekali lagi. Kotak musik berhenti.
Cahaya putih memenuhi ruangan.
Dan kemudian… semuanya gelap.
---
Epilog: Kaliwungu, Dua Tahun Kemudian
Lintang berdiri di halaman rumah yang kini berubah menjadi taman memorial kecil. Di batu besar terpahat nama-nama:
> Untuk Arini, Mbak Ayu, dan anak-anak yang hilang dalam ingatan.
Kini kalian tak terlupa.
Salma duduk di bangku taman, memegang buku—Dongeng dari Kaliwungu, kumpulan kisah yang ditulis Lintang untuk mengenang para jiwa yang terjebak di rumah tua itu. Buku itu terjual ribuan kopi, tapi bagi Lintang, satu hal lebih penting:
Mereka bebas.
Dan dikenang.