Closing Credits

  “Mentari, ayo pulang. Filmnya kan udah selesai,” ajak Rendy seraya menarik tangan cewek mungil yang duduk di hadapannya. Namun cewek itu tak berkutik. Dia masih menopang dagu dengan cueknya. Matanya yang belo menatap layar bioskop yang menayangkan closing credits.

“Rendy, awas!” pekik Mentari, kesal. Didorongnya tubuh jangkung Rendy ke samping.  

“Orang lain udah pada keluar,” gerutu Rendy. “Masa kita masih betah nonton closing credits? Tuh, staf cleaningnya udah nungguin kita keluar.”

“Rendy, duduk deh. Kita nonton film ini sampai benar-benar selesai,” kata Mentari. “Bukannya kamu yang bilang kalau film baru benar-benar selesai kalau closing credits habis dan logo production house muncul di layar? Kok sekarang beda? Dulu kamu yang justru maksa aku untuk nonton closing credits. Hmm, apa hari ini hari kebalikan seperti yang ada di kartun SpongeBob, ya?”

Rendy mengangkat kedua bahunya lalu kembali duduk di sebelah Mentari. Wajahnya masih cemberut.

“Aku masih ingat lho ocehan kamu dulu soal nama-nama di closing credits itu,” ucap Mentari, yang kemudian menirukan ceramah Rendy dulu dengan berapi-api: “Mentari, meski nama dan keberadaan orang behind the scenes dan para figuran itu ibarat butiran debu dibanding para aktor terkenal itu, tapi mereka tetap berjasa. Film ini nggak mungkin bisa kita nikmati tanpa bantuan nama-nama kecil itu. Jadi, please, kamu duduk temenin aku nonton film ini sampai benar-benar selesai. Kita kenang nama-nama mereka dan kita sadari partisipasi mereka dalam film ini, okay?”

Mentari tertawa kecil. Dia hendak mendorong bahu Rendy, tapi tak ada Rendy di sebelahnya. Hanya udara dingin yang disentuhnya. Dengan cemas Mentari memandang sekeliling. Bioskop itu sepi dan suram. Closing credits di layar berhenti bergulir. Tak ada staf cleaning seperti yang tadi Rendy bilang. Bahkan Rendy tak ada di mana pun. Mentari sendirian. Sambil terisak, Mentari memanggil-manggil nama Rendy.

 

*

 

Mentari terbangun. Rupanya mimpi. Mimpi yang sama semenjak kematian Rendy satu minggu yang lalu. Kematian yang masih meninggalkan sejuta pertanyaan di benaknya.

“Kalau kamu bisa nonton film sampai benar-benar selesai, kenapa nggak demikian dengan hidup kamu? Kenapa kamu berhenti di tengah jalan, Ren? Kamu selalu menghargai para figuran dan orang-orang behind the scenes itu, tapi kenapa nggak demikian dengan diri kamu sendiri? Kamu bukan cuma butiran debu,” isak Mentari. “Kamu berarti buat aku, Ren. Kamu selalu jadi penyemangat aku. Kenapa kamu nggak beri aku kesempatan untuk melakukan hal yang sama untuk kamu?”

Mentari menepis air matanya lalu tersenyum getir. “Nggak. Kamu salah, Ren. Bahkan debu punya peran penting di bumi ini. Coba kamu googling.”

 “Iya, aku udah googling,” bisik Rendy, mengejutkan Mentari. Cowok itu duduk di sebelahnya. “Meski cuma butiran debu, aku tahu aku berarti buat kamu. Begitu pun sebaliknya. Maaf ya aku terlalu cepat ambil keputusan. Sekarang aku tahu itu salah. Dan aku menyesal.”

“Rendy…” Mentari menangis tesedu menatap Rendy. Wajahnya yang pucat tersenyum tulus. Kemudian cahaya lampu membanjiri bioskop dan menelan habis sosok Rendy. Closing credits bergulir di layar dan musik latar yang aneh bergema di telinganya.

Sekali lagi Mentari terbangun. Segera dimatikannya jam beker yang berdering. Dia kembali bermimpi. Kali ini mimpi yang lebih baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6 disukai 2.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction