Disukai
0
Dilihat
8
Sepasang Bayang-Bayang
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Jacob! Heh!” teriakan kecil itu mengagetkanku. Aku yang sedang duduk di teras tongkonan(1) langsung merunduk sedikit kebawah. Itu Sali, kawan masa kecilku yang tinggal di samping rumah. Tubuhnya kecil, tinggi tak seberapa, kalau jinjit pun dia cuma bisa menyundul bahuku. Rambutnya ikal panjang, berwarna hitam, juga kedua matanya yang selalu membelalak dan penuh rasa ingin tahu. 

“Apa!” aku balas meneriakinya, tentu saja dengan seringai di akhir karena melihat tubuh pendek Sali melompat. Kedua mata bulatnya melebar, kemudian yang aku lakukan hanya menghitung dari satu sampai tiga sampai Sali balas berteriak dengan kesal.

“Kau yang apa!” teriaknya sambil mengacungkan telunjuk. Aku menggernyit melihat kukunya, tumben sekali kupikir dia memakai cat kuku berwarna merah muda.

“Tumben. Mau kemana kau pakai itu?” aku balas menunjuk Sali. Dia kelihatan bingung, kemudian dia menyadari bahwa yang aku maksud adalah kukunya. Kemudian, bukannya menjawab, Sali malah merengut. Wajahnya merah bukan main, dia terdiam sambil menatapku seolah dia kesal. Eh, marah.. atau mungkin murka. 

“Kenapa? Jelek kah?!” dia balas berteriak, kali ini lebih kencang. Aku kaget, belum pernah aku lihat dia semarah ini. 

“Bukan. Bagus, lucu kok. Cantik,” aku jawab begitu. Tentu saja, mana mungkin aku menganggapnya jelek. Tidak akan pernah terpintas di kepalaku untuk menemukan sesuatu yang jelek pada Sali. Bagaimana bisa? Sali memiliki sepasang mata yang mengingatkan aku pada langit malam di penghujung bulan April, dimana kemarau datang dan menghempas awan sampai yang terlihat hanya bintang-bintang. 

Kami lama terdiam, posisinya konyol. Sali yang tiba-tiba berbalik badan dan merajuk, sedangkan aku masih duduk di teras sambil merunduk menatapnya dari atas. Sesekali hanya suara celeng dan kambing yang terdengar dari kolong tongkonan yang terdengar. 

“Apa sih?” akhirnya aku mengalah dan beranjak turun untuk mendekati Sali. Dia masih merajuk, melipat tangannya dan menolak untuk menatapku. Aku akhirnya berjalan memutar untuk berdiri di hadapannya, “kenapa?” tanyaku sekali lagi, kali ini dengan lebih pelan. 

“Antar aku potong rambut!” jawab Sali ketus. Wajahnya masih merah, bibirnya merengut. Waduh, kalau sudah begini pasti serba salah. Aku melirik ke kepalanya, aku lihat rambut ikalnya itu dililit asal di atas kepala dengan sebuah ikat rambut, warnanya agak pudar. Seingatku, rambutnya sudah menyentuh pinggang. 

“Boleh,” kujawab, tanpa protes sedikitpun. Meski aku sebetulnya suka rambut panjang Sali yang tebal dan berkilau. Akhirnya obrolan ditutup dengan aku membonceng dia pakai motor bebek ke salon tante Frieska.

Salon tante Frieska adalah salon rumahan, tentu saja aku memilih untuk menunggu di teras sambil melamun dan minum kopi yang disuguhkan. Ogah aku masuk kedalam dan mencium bau hairspray yang bikin pusing, atau mendengar cuap-cuap yang tidak kalah bikin kepalaku melilit. 

Lama kutunggu dia potong rambut, rasanya punggung pegal dan mengantuk. Bisaku hanya bersandar di sofa teras sambil melamun, bosan. 

“Ayo pulang!” tiba-tiba, Sali sudah berdiri di depanku. Aku yang sedang tenggelam sambil menatapi jalan di luar pagar langsung menoleh padanya. Rambut Sali sudah dipotong, tidak terlalu pendek hanya saja terlihat berbeda. Aku tidak paham model rambut apa itu, hanya saja rambut ikalnya terlihat indah. Poninya dibelah tengah, jatuh dengan lembut di samping wajahnya, baris terdepan rambutnya jatuh di atas bahu, sisanya lebih bawah menyentuh dada. Gila, cantik sekali. 

Aku menatapnya. Lama. Tanpa berkata apa-apa, aku berdiri dan langsung menghampiri motor yang terparkir di halaman salon tante Frieska. 

“Jacob. Apa, sih?” Sali menyecar sambil mengekor ke arah motor. Dari berdiri di belakangku, hingga naik di jok belakang dia tidak henti-hentinya nyerocos. 

“Apa sih? Kenapa? Jelek kah?” dia terus bertanya, “Jacob, jawab dong… atau bilang sesuatu!” omelnya.

Aku terdiam, kedua mata masih menatap ke jalan. Deru motor, angin dan omelan Sali memenuhi telingaku. Tangan kiriku turun dari stang motor, aku meraih tangan kanan Sali yang kebetulan menggenggam ujung kaus yang aku pakai.

Dengan pelan, aku membimbing tangannya yang tidak lebih besar dari telapak tanganku untuk naik dan menyentuh dada. Aku meremat erat tangan Sali yang diam di dadaku, membiarkan Sali mendengar jawabannya dari kerasnya debar jantung yang meronta dari balik kerangka dada. 

Kemudian Sali terdiam. Aku pelan-pelan melepas tanganku dan kembali menggenggam stang motor. Tapi diluar dugaanku.. Sali tidak melepas tangannya, dia meremat kaos yang aku gunakan sedangkan tangannya yang satu lagi berpegangan pada pinggang, dan berakhir memeluk. 

Aku merasakan tubuh kecilnya mendekat, dia bersandar pada punggungku. Aduh, tidak benar ini! rasa-rasanya aku mau meloncat dari motor, berteriak seperti monyet dan melompat-lompat kegirangan. 

Kami berdua terdiam selama perjalanan. Aku membiarkan Sali mendekapku dari belakang tanpa bersuara. Sesekali aku melirik ke arah spion seolah lupa kalau dia pendek dan berharap aku bisa melihat, secuil saja wajahnya. 

Kami masih terdiam, begitu terus hingga tak terasa motorku berhenti di pekarangan Sali. Suara ayam dan bebek menyambut kami. 

“Eh, ini apa?” tanya Sali sambil menepuk-nepuk dadaku. Aku berdeham, kedua mataku teralih ke arah pekarangan tongkonan keluarga Sali. 

“Rosario” begitu kujawab sambil menarik tali manik-manik yang terkalung di leher. Sengaja kupilih manik-manik hitam mengkilap.

“Oooh” jawab Sali, dia juga melirik ke arah lain. Aku hargai usahanya untuk mencairkan suasana. Aku lihat, ikat rambut usangnya dia pakai jadi gelang. 

“Itu ikat rambut masih kau pakai? Kenapa tidak ganti?” tanyaku.

“Soalnya ini kan Jacob yang hadiahkan!” jawabnya ketus. Meski begitu, tangannya masih mendekapku. Namun, begitu terdengar suara pintu terbuka, Sali langsung melompat dari motor dan membuat aku oleng ke samping. 

Sali langsung menaiki tangga dengan terburu-buru melewati bapaknya yang menatap heran. Kemudian bapaknya berteriak, “Sali! Ini Jacob tidak disuruh masuk? Heh!” dia berteriak sambil menoleh ke belakang. 

Aku cuma nyengir sambil mengangguk untuk berpamitan, kemudian melaju sedikit sampai ke tongkonanku. Indo(2) sambut aku, dia tersenyum sambil membawa nampan dengan segelas sarabba(3)

 yang mengepul. Aku tersenyum dan berucap terima kasih kepada indo, ia nyengir sambil menepuk-nepuk lenganku. Tangan keriputnya dulu bisa sampai ke puncak kepalaku, tapi apa daya kini aku jauh lebih tinggi darinya.

Ada rasa sesal di dadaku tiap kali aku lihat Indo, semenjak ambe(4) menjadi to makula(5), sungguh hal yang menyakiti mataku tiap aku ingat tak sempatnya Indo menghabiskan masa tua sembari minum dalam cawan perak atau sekedar jalan-jalan sore dengan uang kertas sebagai alas kakinya. Tidak, sungguh perempuan yang kuanggap dewi itu masih harus menempa kedua tangan, bergelut dengan kain tenun.

“Darimana?” tanya Indo sambil menatapku yang menerima gelas dan pelan-pelan duduk di teras. Aku cuma menatap ke arah gelas, memperhatikan kuning telur yag mengambang dengan sedikit taburan merica sebelum akhirnya meniup-niup kepul asap dan meminumnya pelan-pelan.

“Antar Sali potong rambut,” jawabku sambil tersenyum.

“Oh, model apa? bagus?” tanya Indo, kini tangan tuanya membelai helai rambutku dengan lembut. Dia menatapku dalam, sama seperti saat ambe menghembuskan nafas terakhir. Ada kesedihan di sana, sesuatu yang jauh dan tidak akan pernah bisa aku sentuh. 

“Bagus.” kujawab sambil kembali menyesap sarabba. Masih cengar-cengir waktu mengigat rambut baru Sali.

“Cantik ya dia?” tanya indo lagi, aku nyengir sambil mengagguk untuk menimpali indo. Ia cuma tertawa, dia perlahan ikut duduk di sampingku, tangan kanannya masih dengan lembut memainkan rambutku, menyisirinya dengan jari. 

“Jacob, dengar… indo tau kau mencintainya, tapi jangan terlalu berlebihan,” kata indo sambil menatapku. Aku terdiam, seketika aku berhenti minum dan balas menatap indo.

“Apalagi, jika perasaanmu terbalas..” ucap indo. Seketika, aku merasa langit Toraja runtuh dan menghantamku hingga tenggelam. 

Kemudian indo tertawa pelan, “sudah terlambat sepertinya, indo tahu kalau dia sudah membalas perasaan kau... Fatima tadi kesini bicara dengan indo.”

Mendadak aku merasa dingin ketika nama ibunya Sali disebut. Aku langsung menggigit bibir sambil menunggu apa yang akan indo katakan selanjutnya. 

“Indo cuma mau bilang, kau boleh mencitai Sali sesukamu, menyayangi dan peduli dengan dia, tapi jangan ambil dia dari Tuhannya... ” ucap indo sambil menatapku, dia tersenyum

Aku hanya bisa terdiam, tidak pernah menyangka bahwa mencintai Sali akan terasa seperti sebuah dosa. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain terdiam. 

“Mulai sekarang, begini... kau ingat-ingat saja penampilan Sali tadi,” begitu kata indo. Tentu saja aku merasa aneh dibuatnya. 

 “Buat apa?” tanyaku heran. Indo hanya tersenyum sambil menatapku, dia tak berkata apa-apa dan malah beranjak ke belakang meninggalkan aku. Kemudian, hari-haripun berlalu tanpa kulihat Sali. Entah kemana dia, padahal jarak tongkonan kami cuma berjarak empat blok saja. 

Waktu aku iseng berkendara melewati tongkonannya, semua kosong. Bahkan tidak aku lihat secercah cahayapun di sana. Apakah dia pindah? Kenapa tidak ada satu patah katapun sampai padaku?

Hal ini bikin aku uring-uringan, memetik kopi juga jadi tidak jelas. Tiap aku mau tidur, aku selalu menengadahkan kepalaku ke luar jendela untuk menatap langit, berharap aku menemukan bintang-bintang yang biasa aku lihat di kedua matamu. Tiap sore datang, aku tersenyum saat melihat warna merah dan oranye yang mengangkasa. Sore selalu ingatkan aku juga pada sosok Sali, aku selalu ingat saat dia mengeluhkan warna kulitnya yang kecoklatan. Dia selalu menganggapnya jelek, padahal menurutku, tiap dia malu dan bersemu, Tuhan seperti meminjaminya warna langit sore. 

Hingga, suatu hari yang mendung pintu tongkonan kami diketuk. Aku yang sedang tidur-tiduran di ranjang segera bangkit ketika indo panggil aku. Begitu melangkah ke luar kamar, kulihat pak Salim, bapaknya Sali. Di situ, ada bu Fatima juga. Mereka datang sambil tersenyum, membawakan buah tangan yang mereka bawa dari Makassar setelah mengunjungi kampung halaman bu Fatima. 

“Salinya dimana?” tanyaku sambil tersenyum. Mendengar itu, ekspresi wajah bu Fatima terlihat agak redup, pak Salim membalas senyumku sambil menepuk-nepuk bahu istrinya.

“Ada, tuh dia di luar.” jawab pak Salim, tapi begitu aku hendak beranjak dari sana, tangan beliau mengekangku.

“Sebentar, Jacob... saya mau ngomong sama kau” kata pak Salim. Aku mengerutkan kening meski masih tersenyum dan ikut duduk di depannya. 

“Saya tahu kau dan Sali memiliki sesuatu yang sebetulnya itu ada di luar kehendak kami” kata pak Salim, apa yang dia ucapkan padaku membuatku tiba-tiba merasa sakit. Kata-katanya seperti minyak panas yang dibuang ke saluran air, mendidih dan berdesis marah meskipun nada bicaranya tenang. 

Setelah lama terdiam, aku memberanikan diri bicara, “Apakah ada yang salah dengan mencintai anak bapak?” tanyaku.

Pak Salim tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “tidak ada yang salah dengan kamu mencintainya, bahkan kalau kamu tidak berubah dan masih menyayanginya berpuluh-puluh tahun kedepan pun, tidak ada yang salah!” 

“Lalu?” aku kembali bertanya, tapi kini dengan suara sedikit gemetaran. Tidak berani aku menatap pak Salim. 

“Bisakah kau relakan dia?” tanya pak Salim. Mendengar itu, aku hampir membuka mulut, tapi pak Salim mendahuluiku.

“Bukan saya tidak suka dengan kau. Kau sendiri tahu saya berteman lama dengan bapak kau, dari kecil saya tahu tabiat kau, dan saya bisa menilai kalau orang tua kau berhasil mendidik anaknya... ” kata pak Salim panjang lebar.

“Kami mau minta maaf untuk memintamu tidak mencintainya lebih dari teman... ” bu Fatima menyahut diantara obrolanku dan pak Salim.

Beliau menatap ke luar jendela, “kami ada niatan untuk menjodohkan Sali dengan kenalan saya di Makassar, kami harap kamu bisa melepasnya dengan ikhlas... ”

Aku tidak percaya apa yang aku dengar. Aku menatap pak Salim dan bu Fatima lekat-lekat, meski tatapanku berkabut. 

“Saya tahu kau sudah lebih dulu mencintainya sejak lama, saya tidak buta” kata pak Salim. Dia tetap menatap wajahku, “saya selalu bersyukur soal anak saya dicintai oleh orang yang seperti kau,”

“Lalu bagaimana dengan Sali sendiri?” tanyaku, melihat itu pak Salim hanya tersenyum sambil memiringkan kepalanya ke arah pintu, “tanyalah dia... ”

Aku menunduk, sejenak menyembunyikan setengah wajahku di antara tangan. Aku bisa merasakan indo mendekat dan mengusap-ngusap punggungku, juga satu tangan lainnya yang mengusapi kepalaku. Itu ternyata bu Fatima, dia menangis.

“Maaf nak,” kata bu Fatima. Aku tidak menjawab, tapi segera bangkit dan berjalan ke luar. Hari sudah gelap, gerimis tipis-tipis mulai turun.

Saat itu aku terperangah saat melihat Sali yang duduk di teras sambil melamun ke arah lain, dia membelakangiku.

“Sali!” kupanggil dia. Perlahan Sali menoleh, tidak ada yang berubah darinya. Masih tetap cantik seperti biasanya, namun kini dia menggunakan kerudung, panjang hingga menutupi dada sehingga bias rambut ikalnya yang ada dalam kenanganku mulai sedikit pudar. 

“Hai!” Sali menyapaku dengan kedua matanya yang sembab, dia menatapku sambil memainkan ujung kuku. Cat kuku merah muda yang dia pakai tempo hari sudah bersih tak berjejak. 

“Bapak sudah bilang?” tanya Sali, aku mengangguk dan ikut berdiri di sampingnya. Kami berdua berdiri menghadap ke arah kebun kopi kecil peninggalan ambe. 

“Bagaimana perasaan kau?” begitu kutanya dia sambil melirik. Aku lihat kedua mata Sali kembali basah, dan aku untuk kesekian kalinya merasa tambah berdosa.

“Bapak dan ibu sudah sangat tua, dan aku tidak kuasa untuk melawannya... ” jawab Sali sambil kembali memainkan kukunya, “Aku ingin jadi anak yang baik, tapi aku… ”

Suara Sali mulai gemetar, begitu pula aku yang merasa bahwa mata ikut memberat diikuti pipi yang mulai basah. Kita berdua terdiam diantara gelap dan penerangan yang temaram dari lampu minyak yang menggantung di samping pintu. 

“Apa Jacob menemui aku buat mengucapkan selamat tinggal?” tanya Sali, suaranya surut. Dia menangis, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku lihat dia begitu. 

“Apa dia laki-laki yang baik?” tanyaku sambil melirik ke arah Sali. Kemudian, kulihat Sali mengangguk. Hal itu membutku tersenyum meski jawabannya membuat aku merasa kalut. Terbayang, laki-laki yang dipilih oleh orangtuanya bukan sembarang laki-laki. Kelak nanti, laki-laki itu akan berada di depan Sali ketika ia sembahyang, hal yang tidak akan pernah bisa aku lakukan sampai kapan pun. 

Kemudian aku kembali bertanya padanya, “apa kau tahu kalau aku suka dengan kau?” aku bicara sambil menatap Sali lekat-lekat. Kali ini dia balas menatapku sambil tersenyum dengan raut wajahnya yang basah. Sial. Aku tahu Sali itu cantik, dia selalu cantik bahkan zaman ketika dia masih suka main tekka-tekka(6) denganku, tapi hari ini entah kenapa wajahnya seakan bakal menghantuiku selamanya. 

Kenapa ya, Tuhan menciptakan Sali seolah-olah untuk jadi ujian buatku? Dengan kecantikan yang Dia titipkan pada wajahnya. Buat apa Tuhan tambah serpih bintang di kedua mata itu? Buat apa?

“Aku juga suka Jacob.” Sali akhirnya bicara, “tapi... aku harus belajar untuk lebih mencintai kedua orang tuaku dan Tuhan... ” tambahnya. Air mata kembali berlarian di pipi Sali, meski dia tersenyum.

Mendengar jawabannya, aku merasa sedang berjalan di atas pecahan kaca. Aku memaksa diriku untuk memahami apa yang dia katakan. Jika caraku mencintai Sali adalah dengan melepaskan dia untuk menghargai apa keputusan yang ia pilih, maka akan aku lakukan. Kita berdua sama-sama terdiam dengan air mata yang semakin luruh turun diikuti gerimis yang perlahan menjadi deras dan menyentuh Toraja.

Aku hanya bisa mendengar suara Sali yang terisak pelan dan terpaan tipis dari rintik hujan yang mengenai dedaunan kopi, juga suara ternak yang ada di kolong tongkonan. 

“Sali,” kembali kupanggil dia, Sali menyahut dengan anggukan tipis dan senyum kecil.

“Ya?” jawab Sali, kudengar suaranya sudah mulai stabil.

“Kalau ada di kehidupan selanjutnya, bolehkah aku suka lagi dengan kau?” begitu tanyaku, Sali tersenyum lebar, kedua matanya menyipit menghalau air mata sambil mengangguk.

Aku tersenyum. Dalam hati, terbersit aku ingin menyentuhnya untuk yang terakhir kali, tapi aku ingat bahwa jika aku menyentuh Sali, maka barang setitik dimana tempatku menyentuhnya itu akan menjadi dosa buatnya dan dia harus mempertanggung jawabkan itu. Aku tidak ingin menyakiti Sali sedikit pun. 

“Sali,” lagi-lagi aku memanggilnya.

“Ya?” Sali kembali menjawab.

“Aku mau berbuat lancang, aku beri kau kesempatan buat pukul aku sekeras mungkin… ” ucapku sambil melirik ke arah dinding tempat dimana sepasang bayang-bayang kita berdua saling berhadapan.

“Maksudnya?” Sali terdengar kebingungan. 

Aku tertawa kecil, mataku tak lepas dari dinding kayu. Kemudian aku menghela nafas kecil sambil bicara, “Bisakah kamu maju sedikit dan menengadah?” pintaku.

Sali maju sedikit, kemudia menengadah. Tanpa dilihat pun aku tahu dia pasti kebingugan. Pelan-pelan aku ikut bergerak maju, memastikan bayangan kami berdiri saling berhadapan dengan tepat. 

“Coba lihat ke dinding. Bukan, jangan dengan kepala kau, matanya saja... ” ucapku. Kemudian aku melirik ke arah Sali untuk memastikan dia melakukannya. Begitu kulihat kedua matanya teralih ke dinding untuk melihat bayangan kami yang berhadapan di sana. 

Melihat itu aku sedikit membungkuk, merunduk hingga bayangan kita bersentuhan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menciumnya meski hanya sebatas lewat bias bayang-bayang dari lampu minyak.


----

Catatan Kaki.

  1. Tongkonan : Rumah panggung adat Toraja
  2. Indo   : Ibu dalam bahasa Toraja
  3. Sarabba   : Minuman khas Sulawesi, terbuat dari rampah-rempah dengan bahan dasar air kelapa, telur, gula merah dan merica.
  4. Ambe     : Bapak dalam bahasa Toraja
  5. To Makula : Orang sakit demam, sebutan untuk orang yang telah meninggal dunia dalam adat Toraja jika belum dilaksanakan rambu solo(upacara kematian adat Toraja). 
  6. Tekka-tekka : Permainan tradisional khas suku Toraja, mirip seperti enggrang. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi